#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀



Penumpang Malam

Bagian 1: Awal yang Biasa

Namaku Ardi, 26 tahun, seorang pekerja kontrak di sebuah perusahaan logistik di kota besar yang penuh debu dan kebisingan. Sudah tiga tahun aku tinggal di sini, jauh dari kampung halamanku yang tenang, mencoba bertahan dengan gaji pas-pasan dan hidup yang terasa seperti roda hamster—berputar tanpa henti, tapi tidak ke mana-mana. Kontrakanku kecil, berdinding tipis, dan setiap hujan turun, bau saluran got yang menyengat masuk ke dalam ruangan, mengingatkanku bahwa aku belum benar-benar "berhasil" seperti yang kuharapkan saat lulus kuliah dulu dengan jurusan teknik mesin yang ternyata tidak terlalu berguna di kota ini.

Lebaran adalah satu-satunya waktu yang membuatku bersemangat. Bukan hanya karena aku bisa pulang ke kampung dan bertemu ibu, bapak, dan adikku yang masih SMA, tapi juga karena itu satu-satunya kesempatan untuk melarikan diri dari gudang logistik yang panas, bau oli, dan teriakan mandor yang tidak pernah puas. Tahun ini, seperti biasa, aku memilih mudik dengan bus malam. Tiket kereta sudah habis sebulan lalu—aku terlambat memesan karena sibuk mengejar deadline proyek—dan pesawat jelas di luar jangkauan dompetku. Bus adalah pilihan terakhir, meski perjalanan panjang itu selalu menguras tenaga.

Hari itu, aku berdiri di terminal kota yang ramai. Udara terasa lengket di kulitku, campuran keringat, asap rokok, dan bau bensin dari kendaraan yang berdesakan. Aku mengenakan jaket tua yang sudah sedikit robek di siku, tas ransel tergantung di pundak, dan sepatu kets yang solnya mulai tipis setelah dua tahun dipakai setiap hari. Aku menunggu bus yang kutipes dua minggu lalu melalui aplikasi online—bus tua dengan cat biru pudar dan nama perusahaan PO yang tertera di sisinya. Aku memesannya karena harganya murah, meski ulasan di aplikasi penuh keluhan tentang kursi yang keras dan AC yang sering mati. Tapi aku tidak peduli—yang penting aku bisa pulang.

Aku sampai di peron sekitar pukul enam sore, matahari masih tergantung rendah di langit, memantulkan cahaya oranye di genangan air sisa hujan tadi siang. Orang-orang berdesakan di sekitarku—para pemudik seperti aku, membawa tas besar, kardus berisi oleh-oleh, dan anak-anak yang berlarian sambil menangis atau tertawa. Aku memeriksa tiket di ponselku sekali lagi, memastikan nomor bus dan jam keberangkatan: pukul tujuh malam, kursi 17B. Aku menghela napas, menarik tudung jaketku untuk melindungi kepala dari angin malam yang mulai bertiup.

Bus akhirnya datang lima menit lebih awal dari jadwal, mesinnya menderu keras saat berhenti di peron. Catnya lebih buruk dari yang kubayangkan—birunya sudah mengelupas di banyak tempat, memperlihatkan lapisan karat di bawahnya, dan jendelanya buram penuh goresan, seperti belum pernah dibersihkan selama bertahun-tahun. Sopirnya, seorang pria kurus dengan kumis tebal dan topi hitam yang sudah lusuh, turun dari kabin sambil membawa sebatang rokok yang belum dinyalakan. Dia melirik ke arah penumpang dengan tatapan datar, seperti seseorang yang sudah terlalu sering melakukan ini hingga kehilangan semangat. Keneknya, anak muda bertopi miring dengan kaus oblong bertuliskan nama band rock yang aku tidak kenal, melompat dari pintu dan berteriak ke arah calo yang berkeliaran di peron.

“Ayo, cepet naik! Bus mau jalan! Kursi tinggal lima, buruan!” 

Aku menaiki tangga bus yang berderit, mencium bau campuran oli dan kain kursi yang lembap. Aku mencari kursi 17B—baris ketiga dari belakang, sisi jendela—dan duduk dengan hati-hati, takut kursinya roboh karena terasa goyah saat disentuh. Aku meletakkan tas ranselku di rak di atas, menyisakan botol air mineral dan earphone di pangkuanku. Penumpang lain mulai masuk satu per satu—seorang ibu muda dengan anak balita yang rewel di gendongannya, seorang bapak tua dengan jaket tebal yang langsung duduk di sebelahku dan mulai mendengkur sebelum bus bergerak, dan beberapa pemuda yang sibuk dengan ponsel mereka, jari-jari mereka mengetik cepat di layar.

Aku melirik ke luar jendela, melihat lampu-lampu terminal yang berkedip-kedip di kejauhan. Sopir naik kembali ke kabin, menyalakan mesin dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya, dan kenek menutup pintu dengan bunyi keras yang menggema di dalam bus. Bus mulai bergerak sekitar pukul tujuh lewat, meninggalkan terminal dengan getaran yang terasa sampai ke tulangku. Aku memakai earphone, memutar playlist favorit yang penuh lagu-lagu dari masa SMA, dan mencoba rileks. Perjalanan ini akan memakan waktu belasan jam, dan aku ingin tidur sebentar sebelum sampai di kampung besok pagi.

Bagian 2: Malam yang Berubah

Perjalanan dua jam pertama berjalan lancar, meski bus terasa semakin berisik setiap kali melewati jalan berlubang. Aku terbangun dari setengah tidur saat kami berhenti di sebuah tempat istirahat kecil—bangunan sederhana dengan beberapa warung makan dan toilet yang bau pesingnya tercium dari jauh. Lampu neon di atap berkedip-kedip, dan beberapa penumpang turun untuk makan malam atau sekadar merokok di pinggir jalan. Aku memutuskan untuk tidak ikut—aku tidak lapar, dan dompetku hanya berisi cukup uang untuk ojek dari terminal kampung nanti. Aku membeli sebotol teh manis dari warung kecil di samping bus, lalu kembali ke kursi, menatap keluar jendela sambil menyesap minuman itu perlahan.

Saat bus kembali bergerak, malam sudah benar-benar turun. Langit di luar gelap pekat, hanya sesekali diterangi kilatan lampu dari kendaraan lain yang lelet di sepanjang jalan. Sekitar pukul sepuluh malam, kami keluar dari jalur cepat yang mulus dan masuk ke jalan kecil yang penuh tikungan. Pemandangan berubah drastis—lampu jalan dan bangunan digantikan oleh sawah yang membentang hitam di kedua sisi, pohon-pohon liar yang berdiri diam seperti bayangan raksasa, dan udara yang terasa lebih dingin meski jendela bus tertutup rapat. Aku tahu kami akan segera memasuki kawasan yang disebut Jalan Hutan Tua—sebuah jalur terpencil yang dikenal angker di kalangan pemudik dan sopir.

Jalan Hutan Tua adalah kawasan hutan lebat yang membentang di antara dua wilayah besar, tempat yang jarang disentuh peradaban. Jalannya sempit, aspalnya retak-retak, dan pohon-pohon tinggi di pinggirnya membentuk kanopi gelap yang menghalangi cahaya bulan. Aku pernah mendengar cerita tentang tempat ini dari temen kontrakan, tentang kecelakaan misterius, suara tangis yang terdengar dari dalam hutan, dan penampakan yang membuat sopir takut melintas di malam hari. Dulu, waktu kecil, kakakku juga pernah bilang dia melihat sesuatu di pinggir jalan saat mudik dengan bapak—seorang wanita tua yang berdiri diam di tengah kabut, menatap mereka tanpa berkedip. Aku selalu menganggap itu cuma karangan untuk menakut-nakuti adiknya yang penutup telinga, tapi malam ini, entah kenapa, cerita itu terngiang lagi di kepalaku.

Aku lihat jam di ponselku—22:47. Bus mulai memasuki hutan. Pohon-pohon tinggi menjulang di kedua sisi, daun-daunnya bergoyang pelan meski angin tidak terasa kuat. Lampu bus yang kuning pucat menyapu jalan di depan, tapi kabut tipis mulai muncul dari arah hutan, mengaburkan pandangan seperti asap yang perlahan naik dari tanah. Aku menarik napas dalam, mencium bau tanah basah yang entah bagaimana menyelinap masuk ke dalam bus. Aku mencoba fokus pada musik di earphone—lagu pop lama yang biasanya menenangkanku—tapi suara mesin bus yang berderit dan desis angin di luar jendela membuatku sulit rileks.

Aku melirik ke penumpang lain untuk mencari sedikit rasa aman. Ibu di depanku sedang menyusui anaknya yang sudah tenang, bapak di sebelahku masih mendengkur dengan mulut sedikit terbuka, dan pemuda di baris depan mengobrol pelan dengan temennya tentang rencana Lebaran. Semua tampak normal, tapi ada perasaan aneh di dadaku—seperti ada yang memandangku dari jauh, meski aku tidak tahu dari mana. Aku menggosok leherku, mencoba mengusir rasa itu, dan kembali menatap ke jendela.

Tiba-tiba, bus melambat. Aku melepas earphone, mendengar sopir menggerutu pelan di depan, suaranya tenggelam dalam deru mesin. Kenek berdiri dari kursinya, membungkuk ke arah kaca depan, matanya menyipit seperti mencoba melihat sesuatu di kegelapan. “Ada apa Pak?” tanyanya, nada suaranya sedikit tegang.

“Jalan macet kayaknya. Ada truk di depan,” jawab sopir, suaranya datar tapi ada sedikit kejengkelan di dalamnya. 

Aku melirik ke luar. Di depan, lampu belakang truk terlihat samar di balik kabut yang semakin tebal. Bus berhenti sepenuhnya, dan beberapa penumpang mulai mengeluh. “Lama nggak ini? Anakku udah rewel,” kata ibu di depanku, menggoyang-goyangkan balitanya yang mulai menangis pelan.

“Sabar Bu. Truknya mogok kayaknya. Aku cek dulu,” balas kenek sambil membuka pintu dan melompat turun ke aspal.

Aku menatap ke jendela lagi, mencoba melihat apa yang terjadi di depan. Kabut sekarang menyelimuti pohon-pohon di pinggir jalan seperti kain putih yang bergoyang pelan, meski aku tidak merasakan angin sama sekali. Cahaya lampu bus hanya menerangi beberapa meter ke depan, dan truk di kejauhan tampak seperti bayangan buram yang tidak bergerak. Aku menggosok mata, berpikir mungkin aku terlalu lelah, tapi saat aku membukanya lagi, aku melihat sesuatu di luar—bayangan samar, berdiri di antara pohon-pohon, tepat di tepi jalan, tidak jauh dari tempat bus berhenti.

Bagian 3: Bayangan di Kabut

Bayangan itu tinggi, kurus, dengan tangan yang terjuntai panjang sampai hampir menyentuh tanah. Wajahnya tidak terlihat—hanya siluet hitam yang berdiri diam di tengah kabut, seperti patung yang diletakkan sembarangan di hutan. Aku membeku, napasku tertahan di tenggorokan, jantungku mulai berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa itu cuma pohon—mungkin cabang yang bengkok atau tiang tua yang terdistorsi oleh kabut dan cahaya lampu. Tapi saat aku berkedip, bayangan itu bergerak—pelan, seperti meluncur di atas tanah, mendekati jalan tanpa suara.

Aku tersentak, hampir menjatuhkan botol air di pangkuanku. Aku menoleh ke penumpang di sekitarku, berharap ada yang melihatnya juga, tapi tidak ada tanda-tanda mereka sadar. Ibu di depanku masih sibuk menenangkan anaknya, menggumamkan lagu pengantar tidur dengan suara pelan. Bapak di sebelahku mendengkur lebih keras sekarang, kepalanya bergoyang setiap kali bus bergetar. Pemuda di baris depan tertawa kecil, menunjukkan sesuatu di layar ponselnya kepada temennya. Mereka semua tampak tidak terganggu, seperti dunia di luar jendela tidak ada hubungannya dengan mereka.

Aku menatap keluar lagi, tanganku memegang erat botol air sampai plastiknya berderit. Bayangan itu sudah lebih dekat—sekarang berdiri di pinggir aspal, tepat di bawah sorot lampu bus yang kuning pucat. Cahaya itu menyentuhnya, dan aku melihat detail yang membuat bulu kudukku berdiri: wajahnya pucat seperti kain basah yang diremas, dengan dua lubang hitam besar di tempat matanya seharusnya ada. Mulutnya tertutup, tapi ada garis tipis yang melengkung ke bawah, seperti senyum yang dipahat dengan tergesa-gesa. Tubuhnya terlalu kurus, seperti tulang yang dibungkus kulit tipis, dan tangannya—tangan itu—bergerak pelan, seperti mencari sesuatu di udara.

Aku menahan napas, mencoba menahan jeritan kecil yang hampir keluar dari tenggorokanku. Aku memalingkan muka, menutup mata rapat-rapat, berharap itu hanya imajinasi—mungkin aku terlalu lelah setelah seminggu kerja lembur, atau mungkin cahaya dan kabut bermain trik di otakku. Aku menghitung sampai lima dalam hati, mencoba menenangkan diri, lalu membuka mata perlahan. Bayangan itu masih ada—dan sekarang menatapku. Kepalanya miring ke samping, seperti burung yang penasaran, dan lubang matanya tampak lebih dalam, seperti dua sumur hitam yang menghisap cahaya di sekitarnya.

Aku merasa dingin menyelinap ke tulangku, meski AC bus tidak terlalu dingin malam ini. Aku ingin berteriak, ingin bangun dan bilang ke sopir bahwa ada sesuatu di luar, tapi tenggorokanku terasa kering, dan kakiku seperti terpaku di lantai bus. Aku hanya bisa duduk diam, menatap bayangan itu, sementara jantungku berdegup seperti mau melompat keluar dari dadaku.

Bus tiba-tiba bergetar—kenek naik kembali ke dalam, pintu ditutup dengan bunyi keras yang membuatku tersentak. “Truknya udah minggir Pak. Lanjut aja!” katanya, suaranya biasa saja, seperti tidak ada yang aneh di luar sana. Sopir mengangguk tanpa bicara, tangannya memutar kemudi, dan mesin meraung lagi. Bus mulai bergerak, meninggalkan bayangan itu di belakang, dan aku melirik ke jendela sekali lagi. Dia sudah hilang—tertelan kabut yang kini semakin tebal, seperti tidak pernah ada.

Aku duduk tegak, tanganku masih gemetar memegang botol air. Aku ingin bilang itu cuma halusinasi, cuma bayangan pohon atau tiang yang terlihat aneh karena kabut, tapi perasaan ditatap itu masih menempel di kulitku, seperti ada sesuatu yang menempel di punggungku dan tidak mau pergi. Aku memakai earphone lagi, memutar musik lebih keras, mencoba menenggelamkan pikiran itu dalam suara drum dan gitar. Tapi di sudut mata, aku merasa ada yang salah di dalam bus—sesuatu yang tidak kutangkap sebelumnya, sesuatu yang membuat udara terasa lebih berat.

Bagian 4: Penumpang yang Mulai Aneh

Aku melirik ke sekeliling, perlahan, tidak ingin terlihat panik atau gila di mata penumpang lain. Aku mencoba mencari tanda bahwa semua masih normal—bahwa apa yang kulihat di luar tadi cuma khayalan. Ibu di depanku masih duduk, tapi dia tidak lagi menyusui anaknya. Dia diam, menatap lurus ke depan, tangannya terlipat rapi di pangkuan seperti patung. Anak kecil di sampingnya juga diam sekarang, kepalanya miring ke bahu ibunya, tapi matanya terbuka lebar, menatap ke arahku dengan tatapan kosong yang tidak berkedip. Aku merasa bulu kudukku berdiri lagi—anak itu tidak menangis, tidak bergerak, hanya menatap, dan aku tidak yakin apakah dia bernapas.

Bapak di sebelahku masih mendengkur, tapi suaranya sekarang terdengar lebih dalam, lebih berat, seperti geraman pelan yang keluar dari tenggorokan binatang, bukan manusia. Aku melirik ke samping, dan dia masih duduk dengan posisi sama—kepala sedikit miring ke belakang, mulut terbuka kecil, tapi ada sesuatu yang salah. Cahaya lampu bus yang redup membuat bayangan di wajahnya tampak lebih tajam, dan aku yakin kulitnya terlihat lebih pucat dari tadi, seperti kertas yang dibiarkan terlalu lama di bawah matahari.

Aku menoleh ke baris depan. Pemuda yang tadi asyik dengan ponselnya sekarang diam—layar ponselnya mati, tapi dia tetap memandang ke arahnya, jari-jarinya diam di udara seperti lupa apa yang ingin diketik. Temannya yang duduk di samping juga tidak bicara lagi—dia menatap ke depan, kepalanya sedikit miring, dan aku tidak bisa melihat matanya dari sudut ini. Aku merasa seperti berada di ruangan penuh boneka—semua bergerak, tapi tidak hidup.

Aku menoleh ke jendela, mencoba mengalihkan pikiran. Kabut di luar semakin pekat sekarang, sampai lampu bus hampir tidak bisa menembusnya lagi. Jalan terasa lebih sempit, pohon-pohon di pinggir seperti mendekat, cabang-cabangnya mencakar sisi bus dengan suara berderit yang menusuk telinga. Aku mencium bau tanah basah yang lebih kuat sekarang, bercampur dengan sesuatu yang lain—mungkin bau daun busuk atau sesuatu yang lebih tua, lebih gelap. Aku merasa seperti kami tidak lagi di jalan biasa—ini lebih seperti terowongan gelap yang menelan kami perlahan.

Tiba-tiba, lampu di dalam bus berkedip. Sekali, dua kali, lalu mati sepenuhnya. Keheningan menyelimuti kabin untuk sesaat, hanya suara mesin dan desis angin yang terdengar. Beberapa penumpang mengeluh pelan—suara mereka terdengar jauh, seperti gema dari dalam gua, bukan dari mulut orang yang duduk dekatku. Aku mendengar sopir mengutuk pelan di depan, kata-katanya tidak jelas, tapi kenek tidak menjawab. Aku menatap ke arah kabin sopir, berharap dia melakukan sesuatu—mungkin memeriksa lampu atau apa pun—tapi dia tetap duduk diam, tangannya di kemudi, seperti tidak peduli.

Lampu menyala lagi setelah beberapa detik, tapi cahayanya lebih redup sekarang, kuning pucat yang membuat bayangan di dalam bus tampak lebih panjang dan lebih gelap. Aku menoleh ke samping, dan jantungku hampir berhenti. Bapak di sebelahku tidak lagi mendengkur. Dia duduk tegak, kepalanya miring ke arahku, tapi matanya tertutup—hanya kelopak pucat yang terlihat, seperti mata orang mati yang belum dikubur. Mulutnya terbuka sedikit, dan dari dalamnya keluar suara desis pelan, seperti angin yang bocor dari pipa tua. Aku mundur ke jendela, mencoba menjauh, tapi kursi terasa dingin dan basah di bawahku, seperti ada air yang merembes dari bawah.

Aku melirik ke depan lagi, dan ibu itu sekarang memandangku—bukan dengan mata normal, tapi dengan dua lubang hitam yang sama seperti bayangan di luar tadi. Anak kecil di sampingnya tersenyum, giginya terlalu banyak dan terlalu tajam untuk mulut kecilnya, seperti gigi ikan yang tersusun rapi dalam barisan ganda. Aku merasa napasku tertahan, tanganku gemetar mencari ponsel di saku jaketku. Aku menyalakan layar, berharap bisa memanggil seseorang—siapa saja—tapi tidak ada sinyal. Layar hanya menunjukkan garis-garis statis yang bergerak liar, seperti televisi rusak, dan jam tetap berhenti di 23:13.

Aku menoleh ke belakang, mencoba mencari penumpang lain yang mungkin masih normal. Di baris paling belakang, ada seorang pria tua yang naik bersama kami dari terminal—dia memakai kemeja lusuh dan topi anyaman yang sedikit miring. Tadi dia sibuk mengunyah sirih, tapi sekarang dia duduk diam, tangannya memegang tas kecil di pangkuannya. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena lampu redup, tapi ada sesuatu yang bergerak di tasnya—seperti ada tangan kecil yang mencoba keluar, menekan kain dari dalam. Aku menggosok mata, berpikir itu cuma bayangan, tapi gerakan itu terus ada, dan aku mendengar suara pelan—seperti cekikan kecil yang teredam.

Bagian 5: Bus yang Menjadi Asing

Aku mencoba berpikir jernih, mencari logika di balik semua ini. Aku naik bus biasa dari terminal yang ramai, dengan penumpang yang tampak normal—orang-orang yang ingin pulang kampung seperti aku. Tapi sekarang, semua terasa salah, seperti aku masuk ke dunia yang bukan milikku. Aku berdiri perlahan, ingin ke depan untuk bicara dengan sopir, untuk memastikan ini cuma mimpi atau kesalahan kecil yang bisa dijelaskan. Tapi kakiku terasa berat, seperti ada tangan tak terlihat yang menarikku ke bawah, membuat setiap langkah terasa seperti wade di lumpur.

Aku memaksa melangkah, melangkah di antara kursi, tanganku memegang sandaran untuk menjaga keseimbangan. Setiap penumpang yang kulewati menoleh ke arahku—gerakan mereka serentak, seperti boneka yang dikendalikan tali, kepala mereka berputar perlahan tanpa suara. Aku melihat wajah mereka sekarang—pucat, dengan kulit yang tampak seperti lilin meleleh, dan mata yang kosong atau tertutup rapat. Wanita di baris kedua dari depan memandangku, bibirnya melengkung ke atas dalam senyum tipis, tapi matanya hanya dua lubang hitam yang dalam, seperti sumur tanpa dasar.

Aku sampai di depan, memegang sandaran kursi kenek yang kosong. Sopir masih menyetir, tangannya kaku di kemudi, tapi dia tidak menoleh saat aku memanggilnya. “Pak, ada apa ini? Kenapa semua aneh?” tanyaku, suaraku bergetar, hampir pecah karena ketakutan. 

Dia tidak menjawab. Kepalanya miring sedikit ke samping, dan aku melihat wajahnya dari sudut—pucat, dengan kulit yang tampak seperti lilin meleleh, sama seperti penumpang lain. Matanya kosong, hanya bola putih tanpa pupil, dan mulutnya tertutup rapat, tapi ada garis hitam yang mengalir dari sudut bibirnya, seperti tinta yang bocor. Aku mundur, tersandung ke kursi kenek, dan jatuh dengan keras. Punggungku membentur sandaran, dan aku mendengar suara tawa kecil dari belakang—tinggi, seperti anak-anak, tapi penuh nada yang tidak wajar, seperti kaset rusak yang diputar ulang.

Aku berbalik, dan bus yang tadinya setengah penuh kini penuh sesak. Penumpang baru ada di mana-mana—di kursi, di lorong, bahkan di rak bagasi di atas. Wajah mereka pucat, beberapa tanpa mata, beberapa dengan mulut terbuka penuh gigi yang bengkok dan tajam, dan ada yang hanya kepala tanpa tubuh, mengambang di udara seperti balon yang terlepas. Seorang wanita tua di baris tengah menatapku, tangannya memegang tas kain yang bergerak sendiri—dan sekarang aku bisa melihat lebih jelas: ada jari-jari kecil yang mencuat dari tas itu, pucat dan bengkok, mencoba meraih udara. Aku menahan jeritan, tenggorokanku terasa seperti disumbat kapas.

Di baris belakang, pria tua dengan topi anyaman itu berdiri sekarang. Dia melangkah ke lorong, tasnya tergantung di tangan kirinya, dan aku mendengar suara cekikan yang lebih keras dari dalam tas. Wajahnya terlihat jelas di bawah lampu redup—kulitnya penuh retakan seperti tanah kering, dan matanya hanya dua lubang kosong yang meneteskan cairan hitam ke pipinya. Dia tersenyum, memperlihatkan gigi kuning yang patah-patah, dan melangkah mendekatiku dengan gerakan kaku, seperti boneka kayu yang digerakkan tali.

“Mau ke mana Mas?” sebuah suara bertanya dari sampingku. Aku menoleh—kenek berdiri di sana, tapi wajahnya sekarang berbeda. Hidungnya hilang, hanya dua lubang hitam yang menganga, dan senyumnya melebar sampai ke telinga, memperlihatkan gusi merah yang basah. Aku menjerit, mendorongnya dengan kedua tangan, dan lari ke pintu depan. Aku memukul kaca dengan kepalan tangan, berteriak minta turun, tapi bus terus melaju, dan sopir tidak bergerak. Tawa di belakangku semakin keras, bercampur dengan suara desis dan bisikan yang tidak bisa kupahami—kata-kata aneh, seperti doa yang terdistorsi.

Bagian 6: Jalan yang Menjebak

Aku jatuh ke lantai dekat pintu, menutup telinga dengan tangan, mencoba menutup suara tawa dan bisikan yang kini memenuhi bus seperti air yang membanjiri ruangan. Aku melirik ke jendela—kabut masih tebal, tapi aku bisa melihat pohon-pohon di luar bergerak, cabang-cabangnya seperti tangan yang mencoba masuk, mencakar kaca dengan suara berderit yang menusuk telinga. Aku merasa waktu berhenti—jam di ponselku berhenti di 23:13, dan jarum detik tidak bergerak sama sekali, seperti dunia di luar dan di dalam bus membeku dalam satu momen mengerikan.

Aku mendengar langkah kaki mendekat dari belakang—pelan, tapi pasti, seperti seseorang yang tidak terburu-buru karena tahu aku tidak bisa lari. Aku menoleh, dan anak kecil dari baris depan berdiri di lorong, tersenyum padaku. Rambutnya basah, meneteskan air hitam ke lantai yang membentuk genangan kecil di sekitar kakinya. Matanya sekarang benar-benar hilang—hanya rongga kosong yang menganga, tapi senyumnya melebar, giginya tampak lebih panjang dan lebih tajam dari tadi. “Mas takut ya?” katanya, suaranya seperti campuran banyak suara sekaligus—tinggi, rendah, tua, muda, bercampur jadi satu harmoni yang mengerikan.

Aku menggeleng cepat, mundur sampai punggungku menempel ke pintu, tapi dia melangkah lebih dekat, tangannya terulur ke arahku. Jari-jarinya pucat dan bengkok, seperti cakar kecil yang terlalu panjang untuk tubuhnya. Aku menutup mata, berdoa dalam hati agar ini cuma mimpi—agar aku terbangun di kontrakan kecilku, mendengar suara tetangga bertengkar seperti biasa, bukan di bus ini, bukan di hutan ini. Tapi suara langkahnya semakin dekat, dan aku merasa dingin menyentuh kakiku, seperti air genangan itu merayap ke sepatuku.

Bus tiba-tiba berhenti keras, membuatku terlempar ke depan dan membentur pintu dengan pundakku. Pintu terbuka dengan sendirinya, dan udara dingin menyelinap masuk, membawa bau tanah basah yang kuat, bercampur dengan sesuatu yang busuk—seperti daging yang dibiarkan terlalu lama di bawah matahari. Aku tidak berpikir lagi—aku melompat turun tanpa ragu, mendarat di aspal yang licin dan dingin. Kakiku gemetar, tapi aku bangkit cepat, berbalik untuk melihat bus. Pintu menutup dengan bunyi keras, dan sebelum aku bisa berkedip, bus itu hilang—tertelan kabut tanpa suara, tanpa jejak, seperti tidak pernah ada.

Aku berdiri di tengah jalan, sendirian, napasku tersengal. Kabut menyelimutiku seperti selimut basah, tebal dan berat, menekan dadaku sampai aku sulit bernapas normal. Aku merogoh saku, mengeluarkan ponselku, dan menyalakan senter dengan tangan gemetar. Cahayanya lemah, hanya menerangi beberapa meter di depanku, tapi cukup untuk memperlihatkan aspal retak dan pohon-pohon tinggi yang berdiri di kedua sisi. Aku mencoba menenangkan diri, berpikir mungkin aku bisa berjalan sampai menemukan bantuan—truk lain, mobil, apa saja—tapi langkah pertamaku terasa salah, seperti jalan ini tidak benar-benar ada.

Bagian 7: Hutan yang Bernapas

Aku mulai berjalan, senter ponselku di tangan kanan, tangan kiri memegang jaketku erat-erat untuk melawan dingin yang semakin menusuk. Kabut begitu tebal sampai aku tidak bisa melihat lebih dari lima langkah ke depan, dan suara sepatuku di aspal terdengar terlalu keras di keheningan malam. Pohon-pohon di sekitar tampak lebih tinggi sekarang, cabang-cabangnya bergetar pelan meski tidak ada angin yang kurasakan. Daun-daunnya hitam di bawah cahaya senter, seperti dilapisi tinta, dan aku mendengar suara samar—seperti desis atau napas panjang yang keluar dari dalam hutan.

Aku berhenti sejenak, mencoba mendengarkan lebih saksama. Suara itu ada lagi—pelan, seperti hembusan angin yang bercampur dengan bisikan, tapi aku tidak bisa menangkap kata-katanya. Aku menoleh ke kanan, ke arah pohon-pohon, dan senterku menyapu kabut di sana. Untuk sesaat, aku yakin aku melihat sesuatu bergerak—bayangan kecil, cepat, seperti anak-anak yang berlari di antara pohon. Aku mengarahkan cahaya ke arah itu, tapi tidak ada apa-apa selain kabut dan batang pohon yang bengkok.

Aku melanjutkan langkah, lebih cepat sekarang, berharap menemukan truk yang tadi menghalangi jalan atau kendaraan lain yang bisa membantuku. Tapi setiap beberapa langkah, aku merasa seperti berputar di tempat—pohon-pohon yang sama muncul lagi dan lagi, bentuknya tidak berubah, seperti aku terjebak dalam lingkaran yang tak terlihat. Aku mengecek ponselku—masih tidak ada sinyal, dan jam tetap menunjukkan 23:13, meski aku yakin aku sudah berjalan setidaknya sepuluh menit. Aku mulai panik, napasku cepat dan pendek, dan aku berteriak ke kegelapan dengan suara yang serak. “Ada orang nggak di sini?! Tolong aku!”

Tidak ada jawaban—hanya gema suaraku sendiri yang memantul kembali, terdistorsi oleh kabut menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih tua. Lalu aku mendengar tawa—jauh, tapi jelas, datang dari dalam hutan di sisi kiri. Tawanya tinggi, seperti anak kecil, tapi ada nada lain di dalamnya—kasar, seperti suara orang tua yang batuk. Aku berbalik, mengarahkan senter ke arah suara, dan cahayanya menangkap sesuatu—bayangan tinggi dari awal perjalanan, berdiri di tengah jalan, tangannya terulur panjang ke arahku seperti tali yang siap mencengkeram.

Aku menjerit, lari ke arah berlawanan, sepatuku tergelincir di aspal basah. Aku tidak peduli ke mana—aku hanya ingin menjauh dari bayangan itu, dari suara itu, dari hutan ini. Napasku memburu, paru-paruku terasa seperti terbakar, tapi aku terus berlari, senter di tanganku bergoyang liar, menciptakan bayangan aneh di kabut. Aku berhenti setelah beberapa menit, bersandar ke pohon untuk menarik napas, dan saat aku menoleh, bayangan itu sudah ada di depanku—hanya beberapa meter, wajahnya sekarang terlihat jelas di bawah cahaya senter.

Kulitnya pucat, penuh retakan seperti tanah kering, dan mulutnya terbuka lebar, penuh gigi jarum yang bengkok dan tajam. Matanya hanya dua lubang hitam yang meneteskan cairan hitam ke pipinya, dan tangannya—tangan itu—bergerak mendekat, jari-jarinya panjang dan bengkok seperti cakar. Aku menjerit lagi, tersandung ke belakang, dan jatuh ke tanah, senterku jatuh dan berguling ke sisi jalan. Bayangan itu melayang mendekat, tanpa suara, dan aku mendengar suara berderit dari pohon-pohon—seperti mereka ikut bergerak, cabang-cabangnya merunduk ke arahku, seperti tangan raksasa yang siap merenggut.

Aku menutup mata, menyerah, tubuhku gemetar di tanah basah. Tapi tiba-tiba ada suara klakson keras di kejauhan, memecah keheningan malam seperti pisau. Aku membuka mata—bayangan itu hilang, dan lampu terang menyapu kabut di depanku, memotong kegelapan menjadi dua.

Bagian 8: Cahaya di Tengah Kegelapan

Sebuah truk besar muncul dari kabut, lampunya membutakan mataku untuk sesaat sebelum berhenti beberapa meter dariku. Sopirnya, seorang pria bertubuh tegap dengan jaket lusuh, melompat turun dari kabin dan berlari ke arahku, wajahnya penuh kebingungan dan kekhawatiran. “Mas, ngapain berdiri di tengah jalan? Bahaya banget! Jatuh dari mana kamu?” katanya, tangannya memegang lenganku untuk membantu aku berdiri.

Aku gemetar, tidak bisa bicara dengan jelas, hanya menunjuk ke arah hutan dengan tangan yang bergetar. “Bus... bus saya hilang... ada sesuatu di sana...” kataku akhirnya, suaraku serak dan terputus-putus. Aku merasa seperti anak kecil yang ketakutan, tapi aku tidak peduli—aku hanya ingin keluar dari tempat ini.

Sopir truk mengerutkan kening, melirik ke arah hutan, tapi kabut terlalu tebal untuk melihat apa pun. “Bus? Nggak ada bus lewat di sini malam ini. Jalan ini sepi Mas. Kamu sendirian dari tadi? Ayo naik, aku anter ke kota terdekat. Nggak aman di sini.” 

Aku mengangguk lelet, kakiku masih lemas, tapi aku memaksakan diri untuk berdiri dan mengikuti sopir ke truknya. Aku naik ke kursi penumpang, pintu ditutup dengan bunyi keras, dan aku merasa sedikit lega mendengar suara mesin truk yang hidup—suara nyata, suara dunia yang kukenal. Sopir tidak bertanya lebih jauh, hanya melirikku sekilas sebelum memutar kemudi dan menginjak gas. Truk mulai bergerak, meninggalkan Jalan Hutan Tua di belakang, dan aku duduk diam, tanganku memegang erat pegangan pintu.

Perjalanan berjalan dalam diam, tapi aku terus melirik ke jendela, takut melihat bayangan itu lagi—orang-orang dari bus, atau apa pun yang kutinggalkan di sana. Kabut perlahan menipis setelah beberapa menit, dan lampu-lampu kota kecil mulai terlihat di kejauhan—cahaya kuning dan oranye yang hangat, tanda kehidupan yang nyata. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan jantungku yang masih berdegup kencang, tapi ada bagian dari diriku yang tahu bahwa malam ini tidak akan pernah benar-benar berakhir.

Sopir truk akhirnya bicara lagi setelah kami melewati beberapa rumah di pinggir jalan. “Kamu dari mana Mas? Kok bisa sendirian di tengah hutan gitu? Untung aku lihat, biasanya jarang ada yang masuk jalur ini malam-malam.” 

Aku menatapnya, mencoba merangkai kata-kata. “Aku... aku naik bus dari kota besar. Mau pulang kampung. Tapi tiba-tiba... busnya berhenti, dan semua jadi aneh. Penumpangnya... mereka...” Aku berhenti, tidak tahu bagaimana menjelaskan tanpa terdengar gila. 

Dia mengangguk pelan, matanya tetap di jalan. “Hutan itu emang aneh Mas. Banyak cerita. Sopir lama bilang, kalau kabut tebal gitu, jangan berhenti lama-lama. Katanya, ada yang suka ikut naik.” Dia tertawa kecil, tapi aku tidak bisa ikut tertawa. Aku tahu dia cuma bercanda, tapi kata-katanya terasa terlalu nyata.

Bagian 9: Kembali ke Kampung

Aku tiba di terminal kecil dekat kampungku saat langit mulai terang, mungkin sekitar pukul lima pagi, meski aku tidak yakin waktu masih berjalan normal. Sopir truk menurunkanku di depan gerbang terminal, sebuah bangunan tua dengan atap seng yang penuh karat dan beberapa pedagang yang mulai membuka warung mereka. Dia tersenyum kecil, mengangguk saat aku memberikan selembar uang yang kusisakan dari dompetku sebagai ucapan terima kasih. “Hati-hati Mas. Istirahat yang cukup,” katanya sebelum kembali ke truknya dan pergi.

Aku berdiri di sana sebentar, menatap terminal yang sepi. Hanya ada beberapa penumpang yang duduk di bangku kayu, menunggu bis pagi, dan seorang pedagang kopi yang sibuk menyalakan kompor kecilnya. Aku merasa seperti baru keluar dari mimpi buruk, tapi tubuhku masih gemetar, dan jaketku basah oleh keringat dan kabut dari hutan. Aku naik ojek dari terminal ke kampung, perjalanan dua puluh menit yang terasa seperti seumur hidup karena aku terus melirik ke belakang, takut melihat sesuatu di pinggir jalan.

Saat aku sampai di rumah orang tuaku, matahari baru saja muncul di ufuk timur, mewarnai langit dengan garis-garis merah muda dan oranye. Rumah itu masih sama seperti yang kuingat—bangunan sederhana dengan dinding bata merah dan halaman kecil yang penuh tanaman ibu. Aku mengetuk pintu, dan ibu membukanya dengan wajah penuh kejutan yang cepat berubah jadi senyum. Dia memelukku erat, tapi saat dia mundur, aku melihat kerutan di dahinya. “Ardi, kok pucat gitu? Sakit apa di kota? Kurusan lagi!” katanya, tangannya memegang pipiku seperti aku masih anak kecil.

Aku menggeleng, mencoba tersenyum meski bibirku terasa kaku. “Cuma capek Bu. Perjalanan jauh banget,” kataku, suaraku pelan, hampir seperti bisikan. Aku tidak cerita apa-apa—takut mereka tidak percaya, takut aku sendiri tidak mau mengingat apa yang terjadi malam itu. Ibu mengangguk, meski matanya masih penuh kekhawatiran, dan mengajakku masuk. Aku melepas sepatu, masuk ke ruang tamu yang penuh bau masakan Lebaran—ketupat, opor ayam, dan sambal goreng yang sudah dipersiapkan ibu sejak kemarin.

Aku duduk di sofa tua di ruang tamu, menatap televisi yang menyiarkan acara musik pagi, tapi pikiranku terus kembali ke hutan itu—ke bus, ke penumpang, ke bayangan yang menatapku dengan lubang matanya yang kosong. Aku merasa lelet, seperti ada bagian dari diriku yang tertinggal di sana, dan aku tidak tahu bagaimana mengambilnya kembali. Ibu membawakan segelas teh panas, meletakkannya di meja kecil di depanku. “Mandi dulu Ardi. Terus istirahat. Wajahmu nggak enak banget dilihat,” katanya, nadanya lembut tapi penuh perintah.

Aku mengangguk, menyeruput teh itu perlahan, tapi rasanya hambar di lidahku. Aku mandi dengan air dingin dari bak di kamar mandi belakang, berharap itu bisa mencuci rasa takut yang masih menempel di kulitku, tapi air itu malah terasa seperti kabut—dingin, berat, dan menyeramkan. Aku masuk ke kamar lamaku, tempat tidur kayu dengan kasur tipis yang sudah kugunakan sejak kecil, dan berbaring tanpa ganti baju. Aku tidur sepanjang hari, tapi mimpi buruk datang lagi—bus tua itu, penumpang tanpa mata, bayangan di hutan, dan suara tawa yang terngiang di telingaku seperti kaset yang tidak bisa dimatikan.

Aku terbangun penuh keringat di sore hari, matahari sudah condong ke barat, dan aku mendengar suara ibu memanggil dari dapur. “Ardi, bangun! Makan dulu, udah sore!” Aku duduk di tepi kasur, menatap lantai kayu yang penuh goresan, dan menyadari bahwa tanganku masih gemetar. Aku tahu aku selamat, tapi ada perasaan bahwa malam itu belum selesai—bahwa sesuatu dari hutan itu masih ada bersamaku, menunggu di sudut pikiranku.

Bagian 10: Bayang yang Tidak Hilang

Lebaran berlalu dengan cepat di kampung, tapi aku merasa seperti orang asing di tengah keluargaku sendiri. Hari-hari diisi dengan kunjungan ke rumah tetangga, makan ketupat dan rendang, dan tawa adikku yang bercerita tentang sekolahnya. Aku mencoba ikut tersenyum, mencoba menikmati momen itu, tapi setiap kali aku diam, pikiranku kembali ke Jalan Hutan Tua—ke wajah-wajah pucat itu, ke suara tawa yang tidak manusiawi, ke bayangan yang menatapku dengan lubang kosong di wajahnya.

Malam-malam di kampung terasa lebih gelap dari biasanya. Aku tidur dengan lampu menyala, takut kegelapan membawa sesuatu dari hutan itu ke kamarku. Kadang, saat aku berdiri di depan cermin kecil di dinding—cermin tua dengan bingkai kayu yang sudah retak—aku merasa melihat bayangan samar di belakangku. Tinggi, kurus, dengan tangan terlalu panjang yang tergantung di sisinya. Aku tidak berani menoleh—takut itu nyata, takut wajah pucat itu akan tersenyum padaku dari balik bahuku. Aku hanya menutup mata, berjalan pergi, dan berdoa agar itu cuma imajinasi.

Bapak memperhatikan aku beberapa kali selama Lebaran, matanya penuh pertanyaan yang tidak dia ucapkan. Suatu malam, saat kami duduk di teras sambil minum kopi, dia akhirnya bicara. “Ardi, kamu kenapa dari pulang kok beda? Nggak cerita apa-apa sama Bapak. Ada masalah di kota?” 

Aku menatap cangkir kopi di tanganku, uapnya naik pelan ke udara malam. “Nggak ada masalah Pak. Cuma capek aja. Kerja banyak banget sebelum Lebaran,” kataku, berbohong dengan suara sekecil mungkin. Bapak mengangguk, tapi aku tahu dia tidak percaya sepenuhnya. Dia menyesap kopinya, menatap ke arah sawah di depan rumah, dan tidak bertanya lagi.

Seminggu setelah Lebaran, aku harus kembali ke kota itu—kota besar tempatku bekerja, tempat kontrakan kecilku menunggu dengan dinding tipis dan bau got. Aku memesan tiket kereta kali ini, tidak mau naik bus lagi, tidak mau mengambil risiko melewati hutan itu sekali lagi. Aku duduk di stasiun kampung pada hari keberangkatan, menatap rel yang membentang di kejauhan, dan merasa sedikit lega bahwa aku tidak akan mendengar deru mesin bus tua itu lagi.

Tapi saat kereta bergerak, meninggalkan kampung di belakang, aku merasa ada yang salah. Rute kereta melewati kawasan yang mendekati hutan tua itu—aku tahu karena pohon-pohon tinggi mulai muncul di luar jendela, dan kabut tipis terlihat di kejauhan. Aku menutup jendela kereta, menarik napas dalam, dan menutup mata, berdoa agar tidak mendengar apa pun—tidak melihat apa pun. Tapi di tengah perjalanan, aku merasa dingin menyelinap ke kursiku, seperti udara dari hutan itu merayap masuk meski jendela tertutup rapat. Dan kemudian aku mendengarnya—suara tawa kecil, pelan, jauh, tapi jelas, seperti bisikan yang datang dari dalam kepalaku.

Aku membuka mata, menoleh ke sekeliling—penumpang lain di kereta tampak normal, membaca koran, bermain ponsel, atau tidur. Tapi aku tahu itu ada di sana—sesuatu yang kubawa pulang dari malam itu, sesuatu yang menempel padaku seperti bayang yang tidak pernah pergi. Aku sampai di kota besar sore itu, kembali ke kontrakan kecilku, dan malam pertama aku mendengar suara langkah kaki di luar pintu—pelan, teratur, seperti langkah penumpang bus yang kutinggalkan.

Aku tidak tahu apa itu—anak kecil itu, kenek dengan wajah lubang, atau bayangan tinggi di hutan—tapi aku tahu itu tidak akan pergi. Setiap malam, saat aku mencoba tidur, aku merasa ditatap, merasa ada yang berdiri di sudut kamar, menunggu. Aku hanya bisa berharap itu cuma imajinasi—meski di lubuk hati, aku tahu itu bukan. Dan setiap kali aku melewati cermin di kontrakan, aku menutup mata, takut melihat apa yang mungkin berdiri di belakangku—takut bahwa malam di Jalan Hutan Tua akan hidup selamanya di dalam diriku.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG