#41 TANGISAN HOROR DI TEPI SUNGAI 👀


Tangisan di Tepi Sungai

Bab 1: Kepulangan yang Terlambat

Budi duduk di kursi penumpang sebuah mobil rental tua, tangannya mencengkeram tas kecil di pangkuannya, sementara jalan berbatu di bawah roda mobil mengeluarkan derit dan dentuman kecil yang menggema di dalam kabin. Cahaya senja yang kemerahan menyelinap melalui jendela yang sedikit buram, menerangi wajahnya yang tampak lelah—mata cekung dikelilingi lingkaran hitam akibat malam-malam panjang di kantor, dan garis-garis halus di dahinya yang menjadi tanda tahun-tahun penuh ambisi di Jakarta. Ia berusia 34 tahun, seorang pegawai kantoran yang sukses di mata rekan-rekannya, dengan jas rapi dan sepatu kulit mengilap yang kini terasa tak pada tempatnya di perjalanan ini. Mobil melaju pelan menyusuri jalan desa di Jawa Tengah, dikelilingi sawah luas yang hijau keemasan di bawah sinar matahari yang perlahan tenggelam, pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi di tepi jalan, dan aroma tanah basah yang menyelinap masuk melalui celah-celah jendela.

Sepuluh tahun lalu, Budi meninggalkan desa kecil ini—sebuah kampung terpencil yang tersembunyi di antara hamparan sawah dan perbukitan rendah—dengan janji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan menjadi “seseorang” di kota besar. Ia meninggalkan ibunya, Marni, seorang janda tua yang hidup sederhana dari menjual sayuran dan menenun kain di rumah kayu tua mereka. Budi ingat betul hari terakhir ia melambaikan tangan dari jendela angkot, ibunya berdiri di beranda dengan kain selendang lusuh di pundak, tersenyum kecil meski matanya berkaca-kaca. “Jangan lupa pulang Bud,” katanya saat itu, suaranya lembut tapi penuh harap. Budi hanya mengangguk, tapi dalam hati ia sudah merencanakan hidup baru yang jauh dari desa—hidup yang penuh lampu kota, apartemen modern, dan gaji besar yang ia kejar tanpa pernah menoleh ke belakang.

Namun, pagi itu, telepon dari tetangga tua, Pak Sarto, mengubah segalanya. Budi masih ingat suara serak Pak Sarto di ujung telepon, penuh getar dan nada yang tak bisa menyembunyikan kesedihan. “Budi, ibumu meninggal tadi malam. Kerenjangan, kejang kejang, katanya. Sendirian di rumah, nggak ada yang tahu sampai pagi tadi aku ke sana bawa sayur.” Budi terdiam di meja kerjanya di Jakarta, cangkir kopi di tangannya tiba-tiba terasa dingin, dan kata-kata itu bergema di kepalanya seperti gema di gua kosong. “Iya Pak. Aku pulang sekarang,” jawabnya pelan, suaranya datar meski dadanya terasa sesak. Ia tak tahu apa yang ia rasakan—kaget, sedih, atau hanya rasa tak nyaman yang tak bisa ia definisikan. Ia memesan mobil rental, membatalkan rapat sore itu tanpa penjelasan, dan kini ia berada di sini, kembali ke desa yang ia tinggalkan tanpa pernah menepati janji untuk pulang.

Mobil berhenti di depan rumah ibunya, sebuah bangunan kayu sederhana yang berdiri di ujung kampung, atap gentengnya ditumbuhi lumut tebal, dindingnya lapuk dengan cat cokelat yang mengelupas, dan beranda kecil yang penuh retakan di lantai tanahnya. Pintu depan terbuka lebar, dan dari dalam terdengar suara bisik-bisik pelan warga yang berkumpul, beberapa di antaranya memegang bakul nasi dan kendi air sebagai tanda belasungkawa. Budi melangkah turun, sepatu kulitnya yang mengilap menginjak tanah merah yang masih basah akibat hujan ringan sore tadi, dan udara dingin membawa aroma kemenyan yang menusuk hidungnya, bercampur bau tanah dan daun kelapa yang khas desa. Ia berjalan masuk, langkahnya berat seperti membawa beban yang tak terlihat, dan matanya langsung tertuju pada tubuh ibunya yang terbaring di tengah ruangan.

Marni terbaring di atas tikar pandan tua yang sudah usang, tubuhnya kurus dan kecil, ditutupi kain putih sederhana yang sedikit berjumbai di ujungnya. Wajahnya pucat, kerutan di kulitnya lebih dalam dari yang Budi ingat, tapi ada ekspresi damai yang tak biasa—bibirnya tertutup rapat, matanya terpejam, seperti sedang tidur setelah lelah bertahun-tahun. Di sampingnya, sebuah lampu minyak kecil menyala redup, apinya berkedip-kedip seolah akan padam, dan asap kemenyan dari mangkuk kecil di sudut ruangan naik ke udara, menciptakan kabut tipis yang mengaburkan pandangan. Budi berlutut di samping jenazah, tangannya ragu menyentuh kain itu, dan suaranya serak saat ia bergumam, “Maaf Bu. Aku… aku terlambat.”

“Sudah lama nggak lihat kamu Bud,” sebuah suara pelan memecah keheningan, membuat Budi menoleh. Bu RT, seorang wanita tua dengan kain kebaya lusuh dan selendang di kepala, berdiri di dekat pintu, memegang bakul nasi yang ia letakkan di lantai. Matanya penuh kerutan, menatap Budi dengan campuran rasa iba dan penilaian. “Ibumu sering cerita tentang kamu, bilang anaknya sukses di kota. Tapi dia nunggu kamu pulang tiap hari loh. Sampai akhirnya… ya gitu,” lanjutnya, nadanya lembut tapi ada nada menusuk yang membuat Budi menunduk. “Iya Bu. Aku sibuk… kerjaan di Jakarta nggak ada habisnya,” jawab Budi, suaranya datar, mencoba membela diri meski ia tahu itu hanyalah alasan.

“Dua tahun terakhir ibumu sakit Bud,” kata Pak Sarto yang tiba-tiba muncul di samping Bu RT, tangannya memegang tongkat bambu tua yang penuh goresan. Wajahnya penuh kerutan, rambutnya putih tipis menempel di kulit kepala, dan matanya menatap Budi dengan sorot tajam. “Dia nggak bilang apa-apa ke kamu, takut ganggu. Tapi tiap aku bawa sayur, dia cuma bilang, ‘Budi pasti pulang Pak.’ Ternyata nggak,” lanjutnya, suaranya bergetar oleh emosi yang ia coba tahan. Budi menelan ludah, tangannya mencengkeram lutut erat-erat, tapi ia tak bisa menjawab apa-apa—hanya diam, menatap lantai tanah yang penuh debu, merasakan kata-kata itu seperti pisau yang menusuk dadanya.

Pemakaman diadakan malam itu, sederhana dan cepat, di pekuburan desa yang terletak di bukit kecil di belakang kampung. Budi berdiri di samping makam ibunya, sebuah gundukan tanah merah yang ditandai batu nisan sederhana dari kayu, dikelilingi warga yang berdoa dengan suara pelan. Angin malam bertiup dingin, membawa aroma bunga kamboja yang ditaburkan di atas makam, dan suara jangkrik berdengung di kejauhan, menciptakan irama yang sepi namun menyesakkan. Setelah warga bubar, Budi kembali ke rumah ibunya sendirian, duduk di beranda dengan lampu minyak yang ia nyalakan di sampingnya. Cahaya kuning redup memantulkan bayangan di dinding kayu, dan untuk sesaat, ia mendengar suara samar—seperti tangisan pelan—dari arah sungai di belakang rumah.

“Siapa itu?” tanyanya keras, suaranya menggema di udara malam yang sunyi, tapi tak ada jawaban. Ia bangkit, melangkah ke tepi beranda, dan menatap kegelapan di arah sungai—airnya mengalir pelan, permukaannya hitam pekat di bawah langit tanpa bintang. Tangisan itu lenyap secepat ia muncul, digantikan oleh suara angin yang menderu lembut, tapi ada sesuatu di udara—bau air sungai yang lembap, bercampur aroma samar yang tak ia kenali, seperti bunga kamboja yang sudah layu. Budi menggeleng, mengusap wajahnya dengan tangan yang sedikit gemetar. “Mungkin cuma angin,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri, tapi perasaan tak nyaman itu tetap menempel di dadanya seperti bayangan yang tak mau pergi.

 Bab 2: Suara di Malam Hari

Keesokan paginya, Budi terbangun dengan tubuh yang terasa seperti ditarik ke bawah oleh beban tak terlihat. Matanya terbuka perlahan, cahaya pagi yang lembut menyelinap melalui celah-celah jendela kayu yang sudah lapuk, menerangi kamar kecil ibunya yang penuh aroma kayu tua dan debu halus yang beterbangan di udara. Ia tidur di kasur busa tipis yang dulu menjadi tempat ibunya beristirahat, selimut lusuh yang penuh bau tanah masih menempel di kulitnya, dan untuk sesaat, ia merasa seperti anak kecil lagi—terbangun di pagi hari dengan suara ibunya yang memanggil dari dapur. Namun, keheningan yang kini mengisi rumah itu mengingatkannya bahwa ibunya telah tiada, dan rasa sesak yang tak ia kenali kembali menjalar di dadanya.

Ia bangkit dengan susah payah, tubuhnya terasa lemas akibat tidur yang terganggu oleh mimpi aneh yang tak bisa ia ingat dengan jelas—hanya kilasan samar tentang sungai yang gelap, air yang bergoyang pelan seperti bernapas, dan suara tangisan yang terputus-putus seperti angin yang berbisik di telinga. Budi mengusap wajahnya dengan tangan yang sedikit gemetar, mencoba mengusir sisa-sisa mimpi itu, dan berjalan ke dapur kecil di sudut rumah. Dapur itu sederhana—dindingnya dari bambu anyaman yang sudah menghitam, sebuah tungku kayu tua yang penuh abu, dan meja kecil yang penuh goresan dari pisau ibunya saat memotong sayuran. Ia menemukan kopi bubuk tua di dalam kaleng berkarat di lemari, menyeduhnya dengan air yang ia panaskan di atas tungku, dan membawa cangkir itu ke beranda depan.

Di luar, udara pagi terasa sejuk, membawa aroma rumput basah dan tanah merah yang masih lembap akibat hujan semalam. Sawah luas terbentang di depan rumah, hijau keemasan di bawah sinar matahari yang baru muncul dari balik awan tipis, dan pohon-pohon kelapa di kejauhan bergoyang pelan ditiup angin, daun-daunnya mengeluarkan suara gesekan halus yang biasanya menenangkan. Budi duduk di kursi kayu tua di beranda, menyesap kopi hitam yang pahit menyebar di lidahnya, dan menatap pemandangan itu dengan mata kosong. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama—warga desa mulai berdatangan, langkah mereka pelan di jalan setapak dari tanah merah, membawa bakul-bakul nasi, kendi air, dan piring-piring berisi makanan sebagai tanda belasungkawa.

“Pagi Budi,” sapa Bu RT, wanita tua yang malam sebelumnya menatapnya dengan penuh penilaian. Ia mengenakan kebaya cokelat lusuh dan kain batik yang sudah pudar, tangannya memegang bakul nasi yang ia letakkan di beranda dengan bunyi kecil. “Ini dari kami, buat kamu. Ibumu orang baik Bud. Banyak yang sayang sama dia,” katanya, suaranya lembut tapi ada nada yang terasa seperti sindiran halus. Budi mengangguk, mencoba tersenyum meski bibirnya terasa kaku. “Terima kasih Bu. Aku… aku nggak nyangka bakal cepet gini,” jawabnya, suaranya serak dan penuh keraguan, mencoba mencari kata-kata yang tepat meski ia tahu tak ada yang bisa membenarkan kelalaiannya.

“Ya Tuhan kalau bukan karena kemauan Bud,” kata Pak Sarto, yang muncul dari belakang Bu RT dengan langkah lambat, tongkat bambunya mengetuk tanah dengan bunyi kecil yang teratur. Ia duduk di tangga beranda tanpa permen, wajahnya penuh kerutan dan matanya menatap Budi dengan sorot tajam yang membuatnya tak nyaman. “Aku ke sini tadi malam, bawa sayur buat ibumu. Dia cuma duduk di kursi ini, pegang kain kecil yang katanya dari kamu waktu kecil. Dia bilang, ‘Budi pasti pulang Pak.’ Tapi ya… ternyata cuma harapan,” lanjutnya, nadanya pelan tapi penuh beban, membuat Budi menunduk, tangannya mencengkeram cangkir kopi erat-erat hingga jarinya memutih.

“Aku sibuk di Jakarta Pak. Kerjaan nggak ada habisnya, proyek sama bosku… aku nggak bisa pulang tiap saat,” balas Budi, suaranya datar, mencoba membela diri meski ia tahu alasan itu rapuh seperti daun kering yang mudah hancur. Bu RT menggeleng pelan, menghela napas panjang. “Ibumu nggak minta banyak Bud. Cuma lihat kamu sesekali, dengar suaramu di telepon. Dua tahun terakhir dia sakit, nggak bilang apa-apa ke kamu, takut ganggu. Tapi dia nunggu sampe akhir,” katanya, suaranya penuh iba tapi ada nada menusuk yang membuat Budi merasa seperti anak kecil yang ditegur. Ia tak bisa menjawab, hanya diam, menatap kopi yang kini terasa dingin di tangannya, rasa jengkel dan bersalah bercampur di dadanya seperti air sungai yang keruh.

Warga lain datang dan pergi, meninggalkan makanan dan ucapan belasungkawa, tapi tatapan mereka penuh bisikan yang Budi benci—“Dia nggak pernah urus ibunya,” “Kasihan Marni, mati sendirian.” Ia mencoba mengabaikannya, fokus pada kopi dan pemandangan sawah, tapi kata-kata itu terus bergema di kepalanya seperti suara yang tak bisa ia matikan. Siang berlalu dengan cepat, matahari naik tinggi di langit, membakar udara hingga terasa panas dan lengket, dan Budi menghabiskan waktu dengan membersihkan beranda, menyapu daun-daun kering yang berjatuhan, mencoba mengalihkan pikiran dari rasa tak nyaman yang semakin membesar.

Malam tiba dengan langit yang gelap, diselimuti awan tebal yang menutupi bintang-bintang, dan angin malam bertiup dingin, membawa bau tanah basah dan rumput yang segar. Budi duduk di ruang tamu kecil, menyalakan lampu minyak tua yang ia temukan di lemari ibunya, cahayanya kuning redup menciptakan bayangan samar di dinding kayu yang penuh serat tua. Ia mengambil koran lama dari tumpukan di sudut ruangan, mencoba membaca untuk menenangkan pikiran, tapi huruf-huruf itu tampak kabur di matanya yang lelah. Tiba-tiba, suara tangisan pelan memecah keheningan—seperti isakan anak kecil, tapi dengan nada yang familiar, seperti suara ibunya saat ia kecil, memintanya pulang dari sungai saat hari gelap.

“Siapa di sana?” tanyanya keras, suaranya menggema di ruangan sunyi, jantungnya berdegup kencang saat ia bangkit dari kursi. Tak ada jawaban, hanya angin yang menderu pelan di luar, tapi tangisan itu terus terdengar, samar namun jelas, datang dari arah belakang rumah—dari tepi sungai yang hanya terpisah oleh halaman kecil penuh rumput liar dan pohon pisang tua. Budi mengambil senter kecil dari tasnya, tangannya gemetar saat menyalakannya, dan melangkah ke pintu belakang dengan hati-hati, sepatunya menginjak lantai tanah yang dingin dan sedikit berderit.

Cahaya senter menyapu halaman belakang, menerangi rumput basah yang berkilau oleh embun malam, pohon pisang yang daunnya lebar bergoyang ditiup angin, dan beberapa batu kecil yang tersebar di tanah. Ia berjalan perlahan menuju tepi sungai, udara semakin dingin dan lembap, bau air sungai yang khas mengisi hidungnya—aroma tanah basah dan lumut yang tumbuh di tepian. Air sungai mengalir pelan, permukaannya hitam pekat seperti cermin yang memantulkan kegelapan malam, dan tangisan itu berhenti seketika saat ia mendekat, digantikan oleh suara air yang mengalir lembut seperti napas yang teratur. Namun, di tepi sungai, cahaya senter menangkap sesuatu—sebuah mainan kayu kecil, perahu-perahuan yang ia buat bersama ibunya saat kecil, tergeletak di lumpur, basah dan penuh lumut hijau tua meski ia yakin benda itu sudah hilang bertahun-tahun lalu.

“Ini… nggak mungkin,” gumamnya, suaranya bergetar saat ia berlutut dan mengambil mainan itu dengan tangan yang gemetar, jari-jarinya merasakan kayu yang dingin dan licin oleh air. Ia memutar-mutar benda itu di tangannya, mencoba mencari logika—mungkin anak desa yang bermain di sungai dan meninggalkannya di sini? Tapi bentuknya terlalu persis—goresan kecil di sisinya, tempat ia pernah memotongnya dengan pisau tua ibunya, masih ada, meski pudar oleh waktu. “Apa yang terjadi di sini?” tanyanya pada diri sendiri, suaranya hilang di udara malam, matanya menyapu sungai yang kini sunyi, tapi perasaan takut yang samar mulai merayap di punggungnya, seperti ada mata yang mengawasinya dari kegelapan.

Budi kembali ke dalam rumah dengan langkah cepat, pintu belakang ia tutup rapat dan kunci dengan palang kayu tua, mainan perahu itu ia letakkan di meja kecil di ruang tamu. Ia duduk lagi, menatap benda itu dengan pikiran kacau, lampu minyak berkedip-kedip di sampingnya seperti akan padam. “Mungkin aku cuma capek,” katanya pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri, tapi tangisan samar yang ia dengar tadi malam, dan mainan yang muncul dari sungai, terasa seperti panggilan dari masa lalu yang ia coba lupakan—panggilan yang tak akan pergi begitu saja.

 Bab 3: Kenangan yang Hidup

Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui celah-celah dinding kayu yang sudah rapuh, membentuk garis-garis terang di lantai tanah rumah ibunya yang penuh debu. Budi terbangun dengan kepala yang terasa berat, tidurnya terganggu oleh suara tangisan samar yang ia dengar malam sebelumnya dan penemuan perahu kayu kecil yang kini tergeletak di meja kecil di ruang tamu. Ia duduk di tepi kasur busa tua, tangannya mengusap wajah untuk mengusir sisa kantuk, tapi matanya yang merah dan cekung mencerminkan kegelisahan yang tak bisa ia tepis. Udara pagi terasa sejuk, membawa aroma rumput basah dan tanah merah yang khas desa, namun ada sesuatu yang berbeda—bau samar air sungai yang lembap, seperti mengintai dari belakang rumah, menyelimuti ruangan dengan kelembapan yang tak wajar.

Budi bangkit dengan langkah gontai, kakinya menginjak lantai tanah yang dingin, dan berjalan ke dapur untuk menyeduh kopi lagi. Tungku kayu tua itu ia nyalakan dengan beberapa ranting kering yang ia temukan di sudut dapur, apinya kecil dan berderit saat menyala, menciptakan asap tipis yang naik ke atap genteng yang penuh lumut. Ia menuang air panas ke dalam cangkir besi tua, mencampurnya dengan kopi bubuk yang sudah sedikit berjamur di kalengnya, dan membawa cangkir itu ke beranda depan. Di luar, sawah terbentang luas di bawah langit yang cerah, burung pipit kecil beterbangan di antara padi yang mulai menguning, dan angin pagi menggoyangkan daun-daun kelapa dengan suara gesekan yang lembut. Budi duduk di kursi kayu tua, menyesap kopi yang pahit menyebar di lidahnya, dan menatap perahu kayu di tangannya—goresan kecil di sisinya masih jelas, tanda pisau tua ibunya saat ia membantunya membuat mainan itu bertahun-tahun lalu.

“Aku harus ngapain sama rumah ini?” gumamnya pelan, suaranya serak saat ia mencoba memikirkan langkah berikutnya. Ia awalnya berniat menjual rumah itu—mengurusnya sebentar, lalu kembali ke Jakarta dan melanjutkan hidupnya yang sibuk. Tapi setelah tangisan malam tadi dan penemuan perahu itu, ada keraguan yang mulai tumbuh di hatinya, seperti akar kecil yang mencoba menembus tanah keras. Ia memutuskan untuk membersihkan rumah, mencoba mengalihkan pikiran dari keanehan yang ia alami. Ia mengambil sapu lidi dari sudut beranda, menyapu lantai tanah yang penuh debu dan daun kering yang masuk melalui celah pintu, lalu berjalan ke dapur untuk mencuci piring-piring tua yang bertumpuk di bak kayu—piring-piring yang ibunya gunakan untuk menyajikan nasi dan sayur sederhana yang ia tolak saat kecil karena menginginkan makanan kota.

Saat ia membuka lemari tua di ruang tamu, sebuah kotak kayu kecil yang penuh goresan jatuh dari rak atas, berderit saat menyentuh lantai dan membuka sendiri. Isinya adalah tumpukan kertas kuning yang sudah rapuh, beberapa foto hitam-putih yang buram, dan kain-kain kecil yang ibunya tenun dengan tangan. Budi berlutut, mengambil kertas-kertas itu dengan hati-hati, dan matanya tertuju pada sebuah surat yang ia kenali—surat yang ia kirim dari Jakarta sepuluh tahun lalu, satu-satunya surat yang ia tulis setelah pindah ke kota. Tulisannya masih jelas meski tinta mulai memudar: “Bu, aku baik-baik aja di sini. Kerjaan lancar, nanti aku pulang bawa ibu ke Jakarta, tinggal bareng aku. Tunggu ya.” Di bawahnya, dengan tulisan tangan ibunya yang gemetar, ada catatan kecil: “Budi, kapan kamu pulang? Ibu kangen.”

Budi menatap surat itu dengan tangan yang gemetar, jari-jarinya mencengkeram kertas hingga sedikit kusut, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, air mata kecil menggenang di matanya. “Aku bohong Bu,” katanya pelan, suaranya pecah oleh rasa bersalah yang selama ini ia kubur dalam-dalam—janji kosong yang ia buat untuk menenangkan ibunya, tapi tak pernah ia tepati. Ia meletakkan surat itu di meja, mencoba menenangkan napas yang tersengal, tapi pikirannya kacau—gambar ibunya yang menunggu di beranda, memegang kain kecil, dan memanggil namanya setiap hari, kini terasa seperti bayangan yang hidup di kepalanya.

Siang itu, beberapa warga datang lagi, membawa makanan dan cerita tentang ibunya. Bu RT muncul dengan bakul berisi pisang goreng yang masih hangat, aroma manisnya bercampur bau minyak yang khas. “Ini buat kamu Bud. Ibumu suka pisang goreng, dulu dia sering bikin buat aku,” katanya, tersenyum kecil tapi matanya penuh kerutan menatap Budi dengan penuh perhatian. “Makasih Bu,” jawab Budi, suaranya pelan, mencoba tersenyum meski bibirnya terasa kaku. “Ibumu orang baik loh. Tiap hari ke sawah, bantu aku nanam padi, meski kakinya udah lelah. Dia bilang, ‘Budi bakal suka lihat sawah ini kalo pulang,’” lanjut Bu RT, nadanya lembut tapi ada nada yang terasa seperti menekan, membuat Budi menunduk, tangannya mencengkeram lutut.

“Dia sakit lama ya Bu?” tanyanya tiba-tiba, suaranya serak, mencoba mencari tahu apa yang ia lewatkan selama ini. Bu RT mengangguk pelan, menghela napas panjang. “Dua tahun terakhir Bud. Awalnya cuma batuk, trus badannya lemas, nggak kuat jalan jauh. Aku bilang ke dia, ‘Marni, telepon Budi, minta pulang.’ Tapi dia cuma geleng, bilang, ‘Dia sibuk, nanti aku yang ganggu.’ Dia takut jadi beban,” katanya, suaranya penuh iba, dan Budi merasa dadanya seperti ditusuk pisau—setiap kata terasa seperti cermin yang memantulkan kelalaiannya.

Pak Sarto, yang duduk di tangga beranda dengan tongkatnya, menimpali dengan suara bergetar. “Terakhir aku ketemu dia, tiga hari sebelum meninggal, dia duduk di sini, pegang suratmu itu. Aku tanya, ‘Marni, kenapa nggak telepon Budi?’ Dia cuma senyum, bilang, ‘Nggak apa-apa Pak. Budi pasti punya alasan.’ Ternyata dia cuma nunggu Bud,” katanya, matanya menatap Budi dengan sorot tajam yang penuh penilaian. Budi tak bisa menjawab, hanya mengangguk pelan, tangannya mencengkeram cangkir kopi yang kini dingin, rasa bersalah itu kini hidup, menggerogoti pikirannya seperti air sungai yang meresap ke kayu lapuk.

Malam tiba dengan langit yang mendung tebal, angin bertiup lebih kencang, membawa udara dingin yang menusuk kulit dan suara daun kelapa yang bergesekan seperti bisikan yang tak jelas. Budi duduk di ruang tamu, lampu minyak menyala redup di sampingnya, mencoba membaca koran lama untuk menenangkan pikiran, tapi tangisan itu kembali terdengar—lebih jelas dan lebih dekat, seperti isakan ibunya yang memanggil dari tepi sungai. “Budi… pulang…” suara itu dingin dan penuh kesedihan, terdengar dari arah belakang rumah, membuat bulu kuduknya berdiri. “Siapa di sana?” tanyanya keras, suaranya menggema di ruangan sunyi, tapi tak ada jawaban, hanya angin yang menderu dan suara itu yang terus bergema.

Dengan napas tersengal, ia mengambil senter dari tasnya, tangannya gemetar saat menyalakannya, dan melangkah ke halaman belakang. Cahaya senter menyapu rumput liar yang basah oleh embun malam, pohon pisang yang daunnya bergoyang seperti tangan yang melambai, dan tepi sungai yang kini terlihat lebih gelap, airnya hitam pekat seperti tinta yang hidup. Di lumpur tepian, ia menemukan lebih banyak benda—sebuah bola karet kecil yang ia mainkan di sungai saat kecil, sebuah kalung manik-manik yang ia buat untuk ibunya di ulang tahunnya yang kelima, dan selembar kain kecil yang ibunya gunakan untuk menyeka keningnya saat ia demam. Semua benda itu basah, penuh lumut dan lumpur, seperti baru diambil dari dasar sungai yang dalam, meski ia yakin benda-benda itu sudah hilang atau hancur bertahun-tahun lalu.

“Apa ini? Siapa yang naruh di sini?” katanya pelan, suaranya bergetar saat ia mengumpulkan benda-benda itu dengan tangan gemetar, jantungnya berdetak kencang seperti genderang di dadanya. Ia berlutut di tepi sungai, senter di tangannya menyapu permukaan air, dan tiba-tiba suara itu muncul lagi—“Budi… pulang…”—dingin dan penuh kerinduan, terdengar dari dalam air. Cahaya senter menangkap bayangan samar di permukaan sungai—wajah ibunya, pucat dan basah, rambutnya menempel di kulit seperti rumput air, dan matanya penuh air mata merah yang mengalir perlahan seperti darah. “Ibu?!” teriaknya, suaranya pecah oleh ketakutan, tapi ia tersentak mundur, tersandung rumput basah, dan senter jatuh dari tangannya, padam di tanah dengan bunyi kecil.

Tangisan itu berhenti seketika, digantikan oleh suara air yang mengalir pelan, tapi udara malam terasa lebih dingin, dan bau air sungai kini bercampur aroma samar bunga kamboja yang biasa ditaburkan di kuburan. Budi bangkit dengan kaki gemetar, mengumpulkan benda-benda itu dengan tergesa-gesa, dan berlari kembali ke dalam rumah, pintu belakang ia tutup rapat dengan palang kayu yang berderit. Ia duduk di lantai ruang tamu, menatap benda-benda itu di meja dengan mata penuh ketakutan dan kebingungan, lampu minyak berkedip-kedip seperti akan padam. “Ini… ini nggak masuk akal,” katanya pada diri sendiri, suaranya serak, tapi di dalam hati, ia tahu—kenangan yang ia abaikan selama ini mulai hidup kembali, dan sungai itu menyimpan sesuatu yang tak akan membiarkannya melupakannya.

 Bab 4: Bayangan di Dalam Rumah

Malam itu terasa lebih gelap dari sebelumnya, langit tertutup awan tebal yang menelan bintang-bintang, dan angin bertiup kencang melalui celah-celah dinding kayu rumah ibunya, mengeluarkan suara menderu yang seperti keluhan panjang. Budi duduk di kursi kayu tua di ruang tamu, lampu minyak di sampingnya menyala redup, apinya berkedip-kedip seperti akan padam setiap kali angin masuk. Cahaya kuning yang lemah menciptakan bayangan samar di dinding yang penuh serat tua, dan udara dingin membawa bau tanah basah dari halaman belakang, bercampur aroma samar bunga kamboja yang kini terasa lebih kuat, seperti mengintai dari sudut-sudut ruangan. Di atas meja kecil di depannya, benda-benda dari tepi sungai—perahu kayu, bola karet, kalung manik-manik, dan kain kecil—tergeletak seperti peninggalan masa lalu yang hidup kembali, basah dan penuh lumut meski ia sudah mengelapnya dengan kain tua.

Budi tak bisa tidur, matanya merah dan cekung, tangannya gemetar saat memegang cangkir kopi yang sudah dingin. Bayangan ibunya di permukaan sungai malam tadi—wajah pucat dengan rambut basah dan mata penuh air mata merah—terus bergema di pikirannya, seperti gambar yang terpatri di balik kelopak matanya. “Ini cuma halusinasi… aku terlalu capek,” katanya pada diri sendiri, suaranya serak dan penuh keraguan, mencoba menyangkal apa yang ia lihat dan dengar. Tapi tangisan itu, suara ibunya yang memanggil “Budi… pulang…” dengan nada dingin dan penuh kesedihan, terasa terlalu nyata untuk diabaikan. Rasa bersalah yang selama ini ia kubur mulai merayap ke permukaan, menggerogoti pikirannya seperti air sungai yang perlahan mengikis tepian tanah—ia tahu ia telah menelantarkan ibunya, membiarkannya sendirian hingga akhir hayatnya, dan kini masa lalu itu kembali menuntut perhatiannya.

Ia bangkit dengan langkah pelan, kakinya menginjak lantai tanah yang dingin dan sedikit berderit, dan berjalan ke dapur untuk mencuci cangkir itu, berharap rutinitas sederhana bisa menenangkan pikiran. Dapur kecil itu tampak lebih suram malam itu, dinding bambu anyaman yang sudah menghitam oleh waktu tampak seperti menutupinya dari dunia luar, dan tungku kayu tua di sudut ruangan penuh abu yang berderit saat angin menerpanya. Ia membuka keran air dari ember besar di sudut, suara tetesan air yang mengenai cangkir logam mengisi keheningan, tapi pikirannya tetap kacau—surat ibunya yang ia temukan, kata-kata warga tentang ibunya yang menunggunya, dan benda-benda dari sungai yang tak masuk akal. “Aku harus cari tahu apa yang terjadi,” gumamnya, suaranya hilang di udara dingin, tangannya mencuci cangkir dengan gerakan mekanis, seperti mencoba membersihkan rasa bersalah yang menempel di hatinya.

Pagi harinya, matahari terbit dengan cahaya yang lembut, menyelinap melalui jendela kayu yang buram dan menerangi ruang tamu dengan garis-garis terang yang penuh debu beterbangan. Budi duduk di beranda, menatap sawah yang hijau keemasan di bawah langit biru yang mulai cerah, cangkir kopi baru di tangannya masih mengepulkan uap tipis. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah Pak Sarto, tetangga tua yang dulu sering membantunya dan ibunya saat ia kecil—membawakan kayu bakar, memperbaiki atap yang bocor, atau sekadar duduk di beranda sambil bercerita tentang masa lalu desa. Budi ingin mencari tahu apakah ada yang aneh dengan sungai itu, atau apakah ia hanya kehilangan akal sehat akibat kelelahan dan rasa bersalah yang menumpuk.

Ia berjalan menyusuri jalan setapak dari tanah merah, sepatunya yang sudah kotor oleh lumpur desa meninggalkan jejak kecil yang segera memudar di bawah sinar matahari. Rumah Pak Sarto berdiri sederhana di tengah kampung, dindingnya dari bambu anyaman yang mulai rapuh, atapnya dari daun kelapa kering yang sudah menghitam, dan beranda kecil di depannya penuh goresan dari tongkat tua yang ia gunakan. Pak Sarto duduk di sana, mengenakan sarung cokelat tua dan kaos oblong yang longgar di tubuhnya yang kurus, tangannya memegang tongkat bambu penuh ukiran sederhana. Matanya cekung menatap Budi dengan sorot tajam, wajahnya penuh kerutan seperti peta kehidupan yang panjang dan penuh cerita.

“Pagi Pak,” sapa Budi, suaranya pelan saat ia mendekat, tangannya mencengkeram tas kecil yang ia bawa dari rumah. Pak Sarto mengangguk pelan, mengisyaratkan Budi untuk duduk di bangku kayu kecil di sampingnya dengan gerakan tangan yang lambat. “Pagi Bud. Apa kabar? Keliatan capek,” katanya, suaranya bergetar oleh usia tapi ada nada penuh perhatian yang membuat Budi merasa sedikit lega. “Iya Pak. Aku… aku nggak tidur nyenyak tadi malam,” jawab Budi, duduk dengan hati-hati, kursi itu berderit di bawah beratnya, dan ia menatap Pak Sarto dengan mata penuh keraguan.

“Aku mau tanya Pak,” lanjutnya, suaranya serak saat ia mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Sungai di belakang rumah… ada yang bilang apa tentang tempat itu? Aku… aku denger suara aneh tadi malam, kayak tangisan. Trus aku nemu benda-benda lama aku di tepi sungai—mainan, kain, barang-barang yang udah aku pikir hilang.” Pak Sarto menatapnya dengan alis berkerut, tangannya mencengkeram tongkat lebih erat, dan untuk sesaat, ia diam, seperti memilih kata-kata dengan hati-hati. “Sungai itu… tempat arwah yang disia-siakan berkumpul Bud,” katanya akhirnya, nadanya pelan tapi penuh peringatan, matanya menatap ke arah sawah seperti melihat sesuatu yang jauh. “Orang-orang yang ditinggal keluarganya, yang mati tanpa perhatian, roh mereka nggak tenang di sana. Ibumu sering ke sungai itu, duduk di tepi, nunggu kamu pulang. Dia bilang, ‘Budi pasti balik suatu hari.’ Tapi kamu nggak pernah datang.”

Budi menelan ludah, tangannya mencengkeram lutut erat-erat hingga jarinya memutih, kata-kata Pak Sarto seperti pisau yang menusuk dadanya lebih dalam dari sebelumnya. “Aku nggak tahu dia nunggu sampe gitu Pak. Aku pikir… aku pikir dia baik-baik aja,” balasnya, suaranya bergetar oleh rasa bersalah yang kini tak bisa ia sangkal lagi. Pak Sarto menggeleng pelan, menghela napas panjang yang berderit seperti kayu tua yang bergesekan. “Ibumu nggak bilang apa-apa Bud. Dia takut ganggu kamu. Tapi aku lihat dia tiap hari, duduk di tepi sungai, pegang kain kecil yang katanya dari kamu. Dia bilang, ‘Sungai ini bakal bawa Budi pulang.’ Ternyata… mungkin dia bawa sesuatu yang lain sekarang,” katanya, nadanya berat, matanya menatap Budi dengan sorot yang penuh campuran rasa kasihan dan peringatan.

“Apa maksudnya Pak?” tanya Budi, suaranya hampir hilang oleh ketegangan yang menjalar di punggungnya, jantungnya berdetak kencang seperti akan meloncat dari dadanya. Pak Sarto menatapnya lama, lalu menggeleng lagi. “Hati-hati, Bud. Sungai itu… dia hidup. Kalau kamu denger tangisan, lihat barang-barang lama, mungkin ibumu minta sesuatu. Jangan abaikan lagi,” katanya, suaranya dingin dan penuh kepastian, membuat Budi merasa dingin menusuk meski matahari bersinar terang di atas kepalanya.

Budi kembali ke rumah ibunya dengan pikiran kacau, langkahnya pelan di jalan setapak, tas kecil di pundaknya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ia duduk di beranda sebentar, menatap sawah dengan mata kosong, mencoba mencerna kata-kata Pak Sarto, tapi rasa takut dan bersalah itu kini bercampur menjadi satu, seperti air sungai yang keruh dan tak bisa ia lihat dasarnya. Malam itu, ia duduk lagi di ruang tamu, lampu minyak menyala redup, mencoba membaca koran untuk mengalihkan pikiran, tapi tangisan itu muncul lagi—kali ini dari dalam rumah, bukan sungai. Isakan pelan itu bergema dari dapur, seperti suara ibunya yang menangis di malam-malam saat ia kecil, membuat bulu kuduknya berdiri.

“Siapa di sana?!” teriaknya, suaranya menggema di ruangan sunyi, tapi tak ada jawaban, hanya tangisan itu yang terus terdengar, samar namun menusuk. Dengan langkah ragu, ia mengambil senter dari meja, tangannya gemetar saat menyalakannya, dan berjalan ke dapur dengan napas tersengal. Cahaya senter menyapu dinding bambu yang penuh retakan, tungku kayu yang abunya bergoyang ditiup angin, dan meja kecil yang penuh goresan. Di atas meja itu, ia menemukan sebuah mangkuk kecil yang ibunya gunakan untuk menyajikan sayur bayam—mangkuk yang ia yakin sudah ia cuci pagi tadi—kini penuh air sungai yang keruh, bau tanah basah menyengat dari dalamnya, dan beberapa helai daun bayam basah terapung di permukaannya seperti baru diambil dari air.

“Budi… pulang…” suara ibunya terdengar lagi, kali ini dari belakangnya, dingin dan penuh kesedihan, membuatnya tersentak dan menoleh dengan cepat. Cahaya senter menyapu sudut ruangan, tapi tak ada siapa pun—hanya bayangan samar di sudut dapur, tinggi dan diam seperti ibunya yang berdiri menatapnya, sebelum lenyap saat lampu minyak berkedip dan padam sejenak. “Bu?! Apa yang kamu mau?!” tanyanya keras, suaranya pecah oleh ketakutan dan keputusasaan, tapi keheningan kembali menyelimuti ruangan, hanya suara angin yang menderu dan aroma bunga kamboja yang semakin kuat. Budi mundur perlahan, tangannya mencengkeram senter erat-erat, dan duduk di lantai ruang tamu dengan napas tersengal, matanya menatap mangkuk itu di meja dengan penuh kebingungan dan teror—bayangan ibunya kini ada di dalam rumah, dan ia tahu ia tak bisa lagi melarikan diri dari apa yang ia abaikan selama ini.

 Bab 5: Cermin yang Berbicara

Malam itu terasa seperti malam yang tak berujung, kegelapan menyelimuti rumah ibunya dengan awan tebal yang menutupi langit, dan angin bertiup kencang melalui celah-celah dinding kayu, membawa suara menderu yang seperti jeritan pelan dari kejauhan. Budi duduk di lantai ruang tamu, punggungnya bersandar pada kursi kayu tua yang berderit setiap kali ia bergerak, lampu minyak di sampingnya menyala redup, apinya berkedip-kedip seperti denyut jantung yang melemah. Cahaya kuning lemah itu menciptakan bayangan panjang di dinding yang penuh serat tua, dan udara dingin membawa bau tanah basah yang kini bercampur aroma bunga kamboja yang semakin menyengat, seperti asap yang naik dari kuburan di malam sunyi. Di atas meja kecil di depannya, benda-benda dari sungai—perahu kayu, bola karet, kalung manik-manik, kain kecil—dan mangkuk sayur bayam yang penuh air keruh tergeletak seperti saksi bisu dari masa lalu yang tak mau ia hadapi.

Budi tak tidur selama dua malam berturut-turut, matanya merah dan cekung, tangannya gemetar saat mencengkeram cangkir kopi yang sudah dingin dan tak lagi ia minum. Bayangan ibunya di dapur malam sebelumnya—tinggi, diam, dan lenyap saat lampu minyak berkedip—terus menghantui pikirannya, seperti bayangan yang menempel di setiap sudut pandangannya. Tangisan itu kini datang setiap beberapa jam, kadang dari sungai, kadang dari dalam rumah, seperti suara ibunya yang menangis di malam-malam saat ia kecil, memanggilnya pulang dari sawah atau sungai dengan nada penuh kerinduan. “Aku nggak gila… ini cuma capek,” katanya pada diri sendiri, suaranya serak dan penuh penyangkalan, tapi kata-kata itu terasa kosong, seperti angin yang berlalu tanpa jejak. Rasa bersalah yang ia tolak selama ini kini menjadi nyata, menekan dadanya seperti beban batu yang tak bisa ia angkat.

Ia bangkit dengan langkah pelan, kakinya terasa berat saat menginjak lantai tanah yang dingin dan berderit, dan berjalan ke dapur untuk mencuci wajah, berharap air dingin bisa mengusir kegelisahan yang menyelimuti pikirannya. Dapur kecil itu tampak lebih gelap dari biasanya, dinding bambu anyaman yang sudah menghitam oleh waktu seperti menutupinya dari dunia luar, dan tungku kayu tua di sudut penuh abu yang bergoyang ditiup angin, mengeluarkan suara kecil seperti bisikan yang tak jelas. Ia mengambil ember air dari sudut, tangannya gemetar saat menuang air ke dalam baskom logam yang sudah berkarat, dan mencuci wajahnya dengan gerakan cepat, air dingin mengalir di kulitnya seperti es yang menusuk. “Aku harus tenang… ini cuma imajinasi,” gumamnya, suaranya hilang di udara dingin, tapi bayangan ibunya, benda-benda dari sungai, dan kata-kata Pak Sarto tentang arwah yang tak tenang terus bergema di kepalanya.

Pagi harinya, matahari terbit dengan cahaya yang pucat, menyelinap melalui jendela kayu yang buram dan menerangi ruang tamu dengan garis-garis terang yang penuh debu beterbangan. Budi duduk di beranda, menatap sawah yang hijau keemasan di bawah langit yang masih diselimuti awan tipis, cangkir kopi baru di tangannya mengepulkan uap yang segera hilang di udara pagi yang dingin. Ia mencoba menenangkan pikiran, tapi benda-benda itu—perahu, bola, kalung, kain, dan sekarang mangkuk—terus muncul di pikirannya seperti kenangan yang hidup, menuntut perhatian yang tak pernah ia berikan saat ibunya masih ada. Ia memutuskan untuk berjalan ke rumah Bu RT, berharap bisa berbicara dengan seseorang yang mungkin tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi, atau setidaknya menawarkan sedikit kelegaan dari kegelisahan yang semakin membesar.

Jalan setapak dari tanah merah terasa licin di bawah sepatunya yang sudah kotor, lumpur menempel di solnya seperti mencoba menahannya kembali ke rumah ibunya. Rumah Bu RT berdiri sederhana di dekat sawah, dindingnya dari kayu yang sudah lapuk, atapnya dari genteng tua yang penuh retakan, dan beranda kecil di depannya dipenuhi pot tanaman yang daunnya mulai menguning. Bu RT sedang menyapu halaman dengan sapu lidi, daun-daun kering berderit di bawah sapuannya, dan ia menoleh saat Budi mendekat, matanya penuh kerutan menatapnya dengan sorot penuh perhatian. “Pagi Bud. Keliatan pucat, kamu sakit?” tanyanya, suaranya lembut tapi ada nada khawatir yang membuat Budi merasa sedikit lega.

“Pagi Bu. Aku… aku nggak tidur nyenyak,” jawab Budi, suaranya serak saat ia duduk di bangku kayu kecil di beranda, kursi itu berderit di bawah beratnya. “Aku denger suara aneh Bu. Tangisan… dari sungai, trus tadi malam dari dapur. Aku nemu barang-barang lama aku—mainan, kain, sampe mangkuk ibu yang ada air sungai di dalamnya. Apa… apa yang lagi terjadi?” lanjutnya, tangannya mencengkeram lutut erat-erat, matanya penuh keraguan dan ketakutan saat menatap Bu RT. Wanita tua itu berhenti menyapu, meletakkan sapu lidi di dinding, dan duduk di sampingnya dengan napas panjang yang bergetar.

“Ibumu sering cerita tentang sungai itu Bud,” katanya, suaranya pelan tapi penuh beban, matanya menatap ke arah sawah seperti melihat masa lalu. “Dia bilang sungai itu tempat dia simpan kenangan sama kamu—waktu kecil kamu main di sana, bikin perahu kayu, kasih dia kalung manik-manik. Dia duduk di tepi sungai tiap sore, nunggu kamu pulang, pegang kain kecil yang katanya dari kamu. Aku pikir dia cuma kangen, tapi sekarang… mungkin dia bawa kenangan itu balik buat kamu.” Budi menelan ludah, dadanya terasa sesak, kata-kata Bu RT seperti cermin yang memantulkan kelalaiannya dengan jelas. “Tapi kenapa sekarang Bu? Kenapa setelah dia… setelah dia pergi?” tanyanya, suaranya bergetar oleh campuran ketakutan dan rasa bersalah.

Bu RT menggeleng pelan, tangannya mencengkeram lengan Budi dengan lembut. “Mungkin dia nggak tenang Bud. Dia nunggu kamu bertahun-tahun, nggak bilang apa-apa biar kamu nggak susah. Tapi roh yang disia-siakan… mereka balik, minta apa yang nggak mereka dapet waktu hidup. Hati-hati ya. Jangan takut, tapi jangan abaikan,” katanya, nadanya penuh peringatan, matanya menatap Budi dengan sorot yang penuh iba. Budi mengangguk pelan, tangannya mencengkeram lutut lebih erat, tapi pikirannya kacau—ia tahu ia tak bisa lagi menyangkal apa yang terjadi, tapi ia tak tahu bagaimana menghadapinya.

Malam itu, Budi kembali ke rumah ibunya dengan langkah gontai, udara semakin dingin dan lembap, angin menderu membawa bau air sungai yang kini terasa lebih kuat, seperti menyelimuti rumah dengan kabut tak terlihat. Ia duduk di ruang tamu sebentar, menatap benda-benda itu di meja dengan mata kosong, lalu bangkit dan berjalan ke kamar ibunya—sebuah ruangan kecil di sudut rumah, dindingnya dari kayu yang penuh retakan, dan kasur busa tua yang masih menyimpan bau kain tenun ibunya. Di sudut kamar, ada cermin kecil dengan bingkai kayu yang buram, permukaannya penuh bintik hitam seperti noda waktu, dan Budi berdiri di depannya, ingin mencuci muka untuk menyegarkan pikiran yang semakin kacau.

Ia mengambil air dari ember di samping kasur, menuangnya ke tangannya, dan membasuh wajahnya dengan gerakan pelan, air dingin mengalir di kulitnya seperti es yang menusuk tulang. Ia menatap bayangannya di cermin, wajahnya pucat, matanya merah, dan garis-garis lelah di dahinya lebih jelas dari sebelumnya. Tapi tiba-tiba, ia tersentak—bayangan di cermin berubah, bukan wajahnya sendiri yang ia lihat, melainkan wajah ibunya. Wajah itu pucat, rambutnya basah menempel di kulit seperti rumput air, dan matanya penuh air mata merah yang mengalir perlahan seperti darah, menetes ke cermin dengan bunyi kecil yang tak masuk akal. “Budi… kenapa kamu nggak pulang?” suara ibunya keluar dari cermin, pelan tapi menusuk seperti angin dingin yang masuk ke tulang, membuat Budi mundur hingga punggungnya menyentuh dinding kayu yang kasar.

“Ibu?! Aku… aku minta maaf!” katanya, suaranya pecah oleh air mata yang akhirnya tumpah, tangannya mencoba menyentuh cermin tapi berhenti di udara, gemetar oleh ketakutan dan penyesalan. Wajah ibunya di cermin tak berubah, hanya menatapnya dengan kesedihan yang tak terucapkan, air mata merah itu terus mengalir seperti sungai kecil yang tak pernah berhenti. “Aku salah Bu… aku nggak tahu ibu nunggu sampe gitu… aku janji bakal pulang, tapi aku bohong,” lanjutnya, suaranya hilang oleh tangis yang tak bisa ia tahan, lututnya lemas hingga ia jatuh berlutut di lantai tanah yang dingin. Untuk sesaat, ia merasa ada tangan yang memegang pundaknya dari belakang—dingin dan basah, seperti air sungai yang menetes ke lantai, jari-jarinya lembut tapi penuh beban.

Ia berbalik dengan cepat, senter di tangannya menyapu ruangan, tapi tak ada siapa pun—hanya aroma bunga kamboja yang semakin kuat mengisi kamar, dan suara tangisan yang kini berhenti, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Budi duduk di lantai, menutup wajah dengan tangan, dan menangis seperti anak kecil—penyesalan yang selama ini ia kubur kini hidup, menghantuinya dengan wajah ibunya yang ia sia-siakan, dan cermin itu tetap dingin, seperti pintu yang membukanya ke masa lalu yang tak bisa ia ubah. “Aku harus lakuin sesuatu… aku nggak bisa gini terus,” katanya pada diri sendiri, suaranya serak dan penuh tekad, matanya menatap cermin dengan sorot yang penuh campuran ketakutan dan harapan—ia tahu ia harus menghadapi ibunya, atau apa pun yang kini ada di rumah ini, sebelum ia benar-benar kehilangan dirinya sendiri.

Bab 6: Permintaan Terakhir

Malam itu terasa lebih berat dari malam-malam sebelumnya, seperti seluruh desa ditelan oleh kegelapan yang tebal dan tak berujung. Langit tertutup awan hitam yang bergulung, menutupi bintang dan bulan, dan angin bertiup kencang melalui celah-celah rumah kayu ibunya, mengeluarkan suara menderu yang seperti tangisan panjang dari kejauhan. Budi duduk di lantai kamar ibunya, punggungnya bersandar pada dinding kayu yang kasar dan dingin, napasnya tersengal setelah tangisannya yang pecah di depan cermin. Lampu minyak di sudut ruangan menyala redup, apinya berkedip-kedip seperti akan padam, menciptakan bayangan yang bergoyang di dinding seperti sosok-sosok yang bergerak pelan. Cermin kecil dengan bingkai kayu buram itu masih berdiri di sudut, permukaannya penuh bintik hitam yang tampak seperti mata yang menatapnya, dan udara dingin membawa bau air sungai yang lembap, bercampur aroma bunga kamboja yang kini terasa seperti kabut yang menyelimuti ruangan.

Budi tak bisa lagi menyangkal apa yang terjadi—tangisan yang berpindah dari sungai ke dalam rumah, benda-benda masa kecilnya yang muncul dari lumpur, bayangan ibunya di dapur, dan wajahnya di cermin dengan air mata merah seperti darah. Semuanya adalah panggilan dari ibunya, roh yang tak tenang karena ia telah menelantarkannya selama bertahun-tahun. “Aku nggak bisa lari lagi… aku harus akhiri ini,” katanya pada diri sendiri, suaranya serak dan penuh tekad, matanya menatap cermin dengan sorot yang penuh campuran ketakutan dan harapan. Ia bangkit dengan langkah lelet, kakinya gemetar saat menginjak lantai tanah yang dingin, dan berjalan ke ruang tamu untuk mengambil semua benda yang telah muncul—perahu kayu, bola karet, kalung manik-manik, kain kecil, dan mangkuk sayur bayam yang masih basah oleh air sungai.

Hujan gerimis mulai turun, tetesannya mengenai atap genteng dengan irama pelan yang seperti detak jantung yang lemah, dan angin membawa udara dingin yang menusuk kulit. Budi membuka pintu belakang dengan tangan gemetar, suara engsel yang berkarat mengeluarkan derit kecil yang menggema di keheningan malam. Ia melangkah ke halaman belakang, sepatunya tenggelam di rumput liar yang basah, dan cahaya senter di tangannya menyapu pohon pisang tua yang daunnya bergoyang seperti tangan yang melambai dalam kegelapan. Di tepi sungai, air mengalir pelan, permukaannya hitam pekat seperti cermin yang hidup, dan bau tanah basah menyengat hidungnya, bercampur aroma bunga kamboja yang kini terasa lebih kuat, seperti panggilan dari dunia lain.

Ia berlutut di tepi sungai, lumpur dingin meresap ke celananya, dan meletakkan benda-benda itu di tanah dengan hati-hati—perahu kayu kecil dengan goresan pisau ibunya, bola karet yang dulu ia lempar ke air, kalung manik-manik yang ia buat untuk ulang tahun ibunya, kain kecil yang pernah menyeka keningnya saat demam, dan mangkuk sayur bayam yang penuh kenangan malam-malam sederhana bersama ibunya. “Bu, aku minta maaf,” katanya, suaranya serak dan penuh penyesalan, air mata kecil mengalir di wajahnya yang basah oleh gerimis. “Aku salah. Aku nggak pernah dengerin ibu, nggak pernah pulang. Aku bohong pas bilang bakal bawa ibu ke Jakarta. Kalau ada yang bisa aku lakuin buat ibu tenang, bilang sekarang,” lanjutnya, tangannya mencengkeram lumpur erat-erat, jantungnya berdetak kencang seperti akan meloncat dari dadanya.

Tangisan itu muncul lagi, lebih keras dari sebelumnya, seperti isakan ibunya yang penuh kesedihan dan kerinduan, bergema dari dalam sungai. Permukaan air bergoyang pelan meski angin tak cukup kencang, dan bayangan ibunya muncul—bukan hanya wajah, tapi seluruh tubuhnya, berdiri di tengah sungai dengan kain putih yang basah menempel di kulitnya yang pucat, rambutnya menjuntai seperti rumput air, dan matanya penuh air mata merah yang menetes ke air dengan bunyi kecil yang tak wajar. “Budi… kasih aku bunga… sama seperti dulu,” katanya, suaranya dingin tapi penuh kerinduan, mengingatkan Budi pada hari-hari kecil saat ia memetik bunga kamboja untuk ibunya di tepi sungai, meletakkannya di tangannya dengan senyum kecil yang selalu membuat ibunya tertawa.

“Bu… aku ingat,” jawab Budi, suaranya pecah oleh tangis yang tak bisa ia tahan, matanya menatap bayangan itu dengan penuh penyesalan dan cinta yang terlambat ia sadari. Ia tersentak, bangkit dengan kaki gemetar, dan berlari ke pohon kamboja di halaman rumah, daun-daunnya basah oleh hujan dan angin, bunga-bunganya putih bersih dengan aroma yang menyengat. Ia memetik beberapa bunga dengan tangan gemetar, jari-jarinya licin oleh air hujan, dan berlari kembali ke tepi sungai, napasnya tersengal oleh campuran ketakutan dan harapan. “Ini buat kamu Bu,” katanya, suaranya serak saat ia berlutut lagi dan meletakkan bunga-bunga itu di permukaan air, tangannya gemetar saat menyentuh air yang dingin seperti es.

Air sungai menelan bunga-bunga itu dengan gerakan pelan, seperti tangan tak terlihat yang menariknya ke dalam, dan bayangan ibunya tersenyum kecil—senyum yang lembut dan damai, sesuatu yang tak pernah ia lihat di wajahnya selama bertahun-tahun. “Budi… aku sayang kamu,” katanya, suaranya kini lebih hangat, meski masih dingin seperti angin malam, dan tubuhnya perlahan memudar, kain putihnya meleleh ke dalam air seperti kabut yang hilang. Tangisan itu berhenti, digantikan oleh keheningan yang damai, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Budi merasa ringan—seperti beban yang selama ini menekannya telah terangkat, meninggalkan hanya angin malam yang bertiup pelan dan suara air sungai yang mengalir tenang.

Budi duduk di tepi sungai untuk beberapa saat, menatap air yang kini tenang, air mata bercampur hujan membasahi wajahnya. “Aku janji Bu. Aku bakal jadi anak yang lebih baik… aku bakal ingat ibu,” katanya, suaranya pelan tapi penuh tekad, tangannya mencengkeram lumpur seperti mencoba memegang kenangan yang tersisa. Ia bangkit dengan langkah lelet, kembali ke rumah dengan tubuh basah kuyup, dan duduk di beranda, menatap sawah yang gelap di kejauhan. Lampu minyak di dalam rumah masih menyala redup, tapi kini terasa hangat, seperti kehadiran ibunya yang akhirnya menemukan kedamaian.

Pagi harinya, matahari terbit dengan cahaya lembut, menyelinap melalui jendela kayu dan menerangi rumah dengan garis-garis terang yang penuh debu beterbangan. Budi duduk di beranda dengan cangkir kopi, menatap sungai yang kini terlihat biasa—airnya mengalir tenang, permukaannya memantulkan langit biru yang cerah, dan tak ada lagi benda aneh atau tangisan yang terdengar. Pak Sarto datang dengan langkah lambat, tongkatnya mengetuk tanah dengan bunyi kecil, dan duduk di sampingnya tanpa permintaan. “Pagi Bud. Keliatan lebih tenang,” katanya, suaranya bergetar oleh usia tapi penuh perhatian.

“Pagi Pak. Iya… aku ketemu ibu tadi malam,” jawab Budi, suaranya pelan tapi penuh kepastian, matanya menatap sungai dengan sorot yang damai. “Aku kasih dia bunga kamboja, kayak dulu. Dia bilang dia sayang aku, trus… dia pergi.” Pak Sarto mengangguk pelan, tangannya mencengkeram tongkat lebih erat, dan untuk sesaat, ia tersenyum kecil. “Bagus Bud. Ibumu cuma minta dikenang. Sekarang dia tenang, tapi kamu yang harus inget—jangan sia-siakan yang masih ada,” katanya, nadanya penuh bijak, matanya menatap Budi dengan sorot yang penuh harapan.

Budi mengangguk, menyesap kopi dengan tangan yang kini stabil, dan menatap sungai dengan mata penuh tekad. “Aku nggak bakal lupa lagi Pak. Aku janji,” katanya, suaranya teguh, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa seperti pulang—bukan hanya ke desa ini, tapi ke dirinya sendiri yang telah lama ia tinggalkan.

Bab 7: Sungai yang Tenang

Pagi itu, sinar matahari terbit dengan lembut, menyelinap melalui celah-celah jendela kayu yang buram dan menerangi rumah ibunya dengan garis-garis terang yang hangat, penuh debu beterbangan yang tampak seperti tarian kecil di udara. Budi duduk di beranda dengan cangkir kopi yang mengepulkan uap tipis, tangannya kini stabil setelah malam panjang yang penuh tangis dan penebusan. Udara pagi terasa segar, membawa aroma rumput basah dan tanah merah yang khas desa, dan angin sepoi-sepoi menggoyangkan daun-daun kelapa di kejauhan dengan suara gesekan yang lembut. Sawah terbentang luas di depan rumah, hijau keemasan di bawah langit biru yang cerah, dan burung pipit kecil beterbangan di antara padi, menciptakan irama hidup yang sederhana namun damai.

Budi menatap sungai di belakang rumah, airnya mengalir tenang dengan permukaan yang memantulkan langit pagi seperti cermin yang jernih. Tak ada lagi bayangan aneh, tak ada benda-benda masa kecil yang muncul dari lumpur, dan tak ada tangisan yang menggema di malam hari—hanya keheningan yang damai, seperti ibunya akhirnya menemukan ketenangan yang ia cari. Malam sebelumnya, saat ia memberikan bunga kamboja dan mendengar kata-kata terakhir ibunya—“Budi… aku sayang kamu”—telah mengubah segalanya. Beban yang selama ini menekan dadanya, rasa bersalah yang menggerogoti pikirannya seperti air sungai yang mengikis tepian, kini hilang, digantikan oleh rasa lega yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

Ia memutuskan untuk tidak menjual rumah ibunya. “Ini rumahnya… dan sekarang rumahku juga,” gumamnya pelan, suaranya penuh tekad saat ia menyesap kopi yang pahit menyebar di lidahnya. Ia bangkit, mengambil sapu lidi dari sudut beranda, dan mulai menyapu lantai tanah yang penuh debu dan daun kering yang masuk semalam. Ia berjalan ke dapur, mencuci piring-piring tua yang bertumpuk di bak kayu, dan memperbaiki tungku kayu yang abunya masih hangat. Dengan tangan yang kini lebih terampil, ia memaku genteng yang bocor di atap, suara palu yang mengenai kayu menggema di udara pagi, dan mengganti papan dinding yang lapuk dengan kayu baru yang ia minta dari Pak Sarto. Rumah itu, yang selama ini ia anggap sebagai masa lalu yang ingin ia lupakan, kini menjadi tempat untuk mengenang ibunya—sebuah janji bisu bahwa ia tak akan mengabaikan lagi apa yang pernah ia miliki.

Siang itu, warga desa mulai berdatangan, langkah mereka pelan di jalan setapak dari tanah merah, membawa bakul-bakul nasi dan piring-piring berisi makanan sebagai tanda dukungan. Bu RT muncul dengan sepiring pisang goreng yang masih hangat, aroma manisnya bercampur bau minyak yang khas, dan duduk di beranda dengan senyum kecil. “Pagi Bud. Rumahnya keliatan lebih rapi sekarang,” katanya, suaranya lembut tapi penuh perhatian, matanya menatap Budi dengan sorot yang hangat. “Pagi Bu RT. Iya… aku pikir aku bakal stay di sini lebih lama. Nggak jadi jual rumahnya,” jawab Budi, suaranya pelan tapi teguh, tangannya menerima piring itu dengan anggukan kecil sebagai tanda terima kasih.

“Bagus Bud. Ibumu pasti seneng kamu di sini,” kata Bu RT, nadanya penuh kelegaan, tangannya mencengkeram lengan Budi dengan lembut. “Aku ketemu dia tadi malam Bu,” lanjut Budi, matanya menatap sungai dengan sorot yang damai. “Aku kasih bunga kamboja, kayak dulu waktu kecil. Dia bilang dia sayang aku, trus… dia pergi. Aku ngerasa dia tenang sekarang.” Bu RT mengangguk pelan, menghela napas panjang yang bergetar. “Marni orang baik Bud. Dia cuma minta dikenang. Sekarang kamu yang harus jaga apa yang dia tinggalin,” katanya, suaranya penuh bijak, matanya menatap Budi dengan harapan yang tulus.

Pak Sarto datang tak lama setelah itu, tongkatnya mengetuk tanah dengan bunyi kecil yang teratur, dan duduk di tangga beranda dengan langkah lambat. “Keliatan beda Bud. Nggak pucet lagi,” katanya, suaranya bergetar oleh usia tapi ada nada jenaka yang membuat Budi tersenyum kecil. “Iya Pak. Aku ngerasa lebih baik sekarang. Sungai itu… nggak serem lagi,” jawab Budi, suaranya penuh kepastian, tangannya mencengkeram cangkir kopi dengan tenang. “Bagus. Ibumu udah tenang, tapi sungai itu tetep hidup Bud. Banyak cerita di sana, banyak roh yang nunggu. Kamu udah selesai sama ibumu, tapi hati-hati sama yang lain,” kata Pak Sarto, nadanya penuh peringatan, matanya menatap sungai dengan sorot yang tak bisa dibaca.

Budi mengangguk, menatap sungai dengan mata penuh refleksi. Ia mengambil cuti panjang dari pekerjaannya di Jakarta, memilih untuk tinggal di desa lebih lama, membantu warga menanam padi di sawah, memperbaiki jembatan kecil yang rusak, dan mendengarkan cerita tentang ibunya yang selama ini ia lewatkan. Setiap malam, ia berjalan ke tepi sungai, membawa bunga kamboja dari pohon di halaman, dan meletakkannya di permukaan air dengan tangan yang kini tak lagi gemetar. “Buat kamu Bu,” gumamnya pelan, suaranya hilang di angin malam, dan air sungai menelan bunga itu dengan gerakan lembut, seperti ibunya yang mengangguk dari dunia lain.

Namun, warga desa kadang berbisik tentang sungai itu—tentang tangisan lain yang terdengar di malam sunyi, samar dan jauh, seperti isakan orang-orang yang masih menunggu keluarga mereka pulang. “Aku denger lagi tadi malam Bud. Bukan ibumu, tapi yang lain,” kata Pak Sarto suatu sore, duduk di beranda dengan cangkir teh di tangannya, matanya menatap sungai dengan sorot penuh misteri. “Mungkin orang lain yang nggak ketemu damainya,” jawab Budi, suaranya tenang tapi ada nada penasaran, tangannya mencengkeram lutut dengan santai. “Mungkin Pak. Tapi aku nggak takut lagi. Kalau mereka butuh sesuatu, aku bakal dengerin. Nggak kayak dulu.”

Pak Sarto tersenyum kecil, mengangguk pelan. “Kamu udah belajar Bud. Itu yang penting,” katanya, nadanya penuh kebanggaan, tangannya mencengkeram tongkat dengan erat. Budi menatap sungai yang kini tenang, permukaannya memantulkan matahari sore yang merona merah, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa utuh—bukan hanya sebagai anak ibunya, tapi sebagai bagian dari desa ini, dari kenangan yang ia peluk kembali. Ia belajar satu hal yang akan ia bawa seumur hidup: keluarga adalah harta yang tak ternilai, dan penyesalan selalu datang terlambat saat mereka telah tiada.

Sungai itu tetap mengalir, membawa cerita-cerita lama dan baru, kenangan dan pelajaran yang tersembunyi di bawah permukaannya yang jernih. Budi berjanji pada dirinya sendiri untuk tak pernah melupakannya lagi, dan setiap malam, saat angin membawa bau bunga kamboja yang samar, ia tahu ibunya masih ada di suatu tempat—tenang, damai, dan akhirnya pulang.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG