#42 PABRIK KIMIA


Pabrik Kimia..

Di sebuah kawasan industri terpencil di pinggiran kota, tersembunyi di antara rawa-rawa berlumpur dan hutan mangrove yang mulai mati, berdirilah reruntuhan sebuah Pabrik Kimia. Bangunan itu dulu megah, dengan tangki-tangki raksasa yang kini berkarat, pipa-pipa besi yang bocor, dan dinding beton yang retak-retak, dilapisi noda hijau kehitaman yang berbau asam. Pabrik itu ditutup paksa sekitar 20 tahunan yang lalu, setelah skandal pencemaran lingkungan yang parah—limbah kimia beracun mengalir ke sungai, membunuh ikan, meracuni warga, dan meninggalkan tanah di sekitarnya tandus hingga kini. Namun, di balik penutupan itu, warga desa terdekat berbisik tentang rahasia kelam: pekerja yang tewas akibat paparan zat berbahaya tak pernah benar-benar pergi, dan malam hari sering kali membawa cahaya aneh serta bayangan-bayangan mengerikan yang berkeliaran di reruntuhan.

Seorang jurnalis investigasi bernama Dita, 32 tahun, memutuskan untuk mengungkap misteri itu. Ia wanita tangguh—rambut pendek, mata tajam, dan selalu membawa kamera, buku catatan, serta alat rekam suara di tasnya. Dita dikenal karena laporan-laporannya yang berani tentang korupsi dan kerusakan lingkungan, dan kasus Pabrik ini adalah obsesinya selama dua tahun terakhir. Ia tiba di lokasi pada sore hari, membawa motor tua yang bising, dan memarkirnya di tepi pagar besi yang roboh separuh. Kabut tebal menyambutnya, membawa bau asam yang menyengat dan sesuatu yang lebih gelap—seperti daging yang membusuk dalam cairan kimia. Warga terdekat memperingatkannya, “Jangan masuk malam hari Mbak. Mereka ga suka orang asing,” tapi Dita hanya tersenyum kecil, menganggap itu cuma takhayul.

Malam pertama dimulai dengan langkah hati-hati. Dita menyalakan senter dan kamera, masuk melalui celah pagar, dan mulai menjelajah area utama—ruangan luas penuh puing, tangki-tangki besar yang bocor, dan drum-drum kimia tua yang berlabel “Bahaya: Korosif.” Udara terasa berat, dipenuhi uap asam yang mengiritasi tenggorokannya, dan lantai betonnya lengket, berlumur cairan hijau kehitaman yang tampak bergerak perlahan seperti lendir hidup. Ia menyalakan alat rekam suara, dan dalam keheningan, ia menangkap suara samar—derit pipa, tetesan cairan, dan bisikan pelan yang terdengar seperti rintihan penuh derita. “Ada yang hidup di sini?” gumamnya, tapi hanya angin yang menjawab, membawa bau busuk yang semakin kuat.

Pukul sepuluh malam, kejadian aneh pertama terjadi. Dita sedang memotret sebuah tangki besar ketika lampu senternya berkedip-kedip, dan cahaya hijau pucat muncul dari dalam tangki—samah, berpendar, seperti lampu neon yang rusak. Ia mendekat, dan suara rintihan itu berubah menjadi jeritan pelan yang terputus-putus, diikuti oleh bunyi seperti kulit yang meleleh. “Halo?” panggilnya, tapi tiba-tiba tangki itu bergetar hebat, dan cairan hijau meluncur keluar dari celah pipa, menyentuh sepatunya—panas, lengket, dan membakar karet hingga berasap. Dita mundur, jantungnya berdegup kencang, tapi ia bersumpah melihat sesuatu di dalam tangki—sebuah tangan pucat, meleleh, mencoba meraih keluar sebelum tenggelam lagi.

Pukul sebelas, penampakan pertama muncul. Dita sedang merekam di ruang pengolahan limbah ketika ia mendengar langkah basah—seperti kaki yang berjalan di lumpur—dari arah koridor gelap. Ia mengarahkan senter, dan di ujung cahaya, sebuah sosok berdiri—tinggi, kurus, dengan tubuh yang termutasi mengerikan. Kulitnya hijau kehitaman, meleleh seperti lilin cair, dan tangannya memanjang, ujung-ujungnya berbentuk cakar yang berlumur cairan beracun. Wajahnya tak lagi manusiawi—mata menyala hijau dalam lobang tengkorak, mulutnya menganga lebar dengan gigi-gigi tajam yang meneteskan lendir, dan dari dadanya mengalir cairan kimia yang berbau asam dan darah. “Kau tak seharusnya ada di sini,” bisiknya, suaranya serak dan bergema, dan sosok itu melangkah mendekat, meninggalkan jejak lendir yang membakar lantai.

Dita menjerit, lari ke arah pintu utama, tapi pintu itu terkunci rapat meski ia tak menguncinya. Ia berlari ke koridor lain, tapi labirin pabrik seolah hidup—jalan-jalan berubah, dinding-dinding bergerak, dan suara langkah basah mengikuti dari segala arah. Ia tersandung ke sebuah ruang penyimpanan drum, dan di sana ia menemukan buku catatan tua di bawah tumpukan pipa—halaman-halaman kuning penuh noda hijau, tulisan tangan buram terbaca: “Zat X-13 bocor. Pekerja terpapar, kulit mereka meleleh, tulang mereka larut. Perusahaan tutup mata, limbah dicampur dengan tubuh mereka. Mereka tak mati—mereka jadi sesuatu yang lain.” Di halaman terakhir, ada coretan panik: “Limbah mengawetkan mereka. Jangan masuk.”

Pukul tengah malam, horor mencapai puncaknya. Dita bersembunyi di balik sebuah tangki, napasnya tersengal, tapi sosok-sosok termutasi mulai muncul dari dinding dan lantai—puluhan pekerja yang mati, tubuh mereka menyatu dengan limbah kimia. Ada yang tanpa kaki, merangkak dengan tangan-tangan meleleh; ada yang kepalanya retak, otaknya terlihat berpendar hijau; dan ada yang tubuhnya penuh luka terbuka, cairan beracun mengalir seperti darah. Mata mereka menyala hijau, menatap Dita dengan amarah yang tak terucapkan, dan suara rintihan mereka bercampur dengan tawa serak yang mengguncang jiwa. “Kau akan jadi seperti kami,” bisik mereka serentak, dan cairan hijau meluncur dari pipa-pipa, menjerat kakinya seperti jaring beracun.

Dita berjuang, memukul sosok terdekat dengan kamera, tapi kulitnya larut saat disentuh, dan lendir itu membakar tangannya hingga melepuh. Ia lari ke ruang reaktor utama—tempat tangki raksasa berdiri, penuh genangan limbah yang berpendar hijau. Di sana, ia melihat sumbernya—sebuah tangki bocor yang mengeluarkan cairan beracun, dan di dalamnya, puluhan tangan pucat bergerak, mencoba keluar. Sosok terbesar muncul dari tangki—mungkin kepala pekerja, tubuhnya dua kali ukuran manusia, kulitnya meleleh hingga tulang terlihat, dan dari punggungnya tumbuh tentakel hijau yang bergerak liar. “Kami dijaga oleh limbah,” bisiknya, dan tentakel itu meluncur, menjerat leher Dita, menariknya ke dalam genangan.

Dita menjerit, tapi cairan itu masuk ke mulutnya—panas, asam, dan membakar tenggorokannya. Dalam detik-detik terakhir, ia merasa tubuhnya larut, kulitnya meleleh, dan matanya menyala hijau saat arwah pekerja menariknya ke dalam tangki. Cahaya hijau memenuhi ruangan, dan suara jeritannya tenggelam dalam bunyi gemericik limbah yang mengental.

Pagi harinya, motor Dita ditemukan di tepi pagar oleh warga desa, tapi tak ada jejak dirinya. Kamera dan alat rekamnya tergeletak di ruang reaktor, rekaman terakhir menunjukkan wajahnya pucat, berteriak ke lensa, “Ini bukan kecelakaan!” sebelum sosok-sosok termutasi menutupi layar. Tangki utama penuh genangan limbah yang kini lebih hijau, dan di dalamnya, sebuah tangan pucat baru muncul—milik Dita, meleleh tapi bergerak, menyatu dengan arwah pekerja lain.

Malam-malam berikutnya, warga melaporkan cahaya hijau yang lebih terang dari reruntuhan, diikuti oleh suara rintihan dan langkah basah yang semakin sering terdengar. Sosok-sosok termutasi kini berkeliaran lebih jauh, meninggalkan jejak lendir beracun di tanah, dan bau limbah serta darah tak pernah hilang. Dita tak lagi menjadi jurnalis—ia kini bagian dari entitas mengerikan yang menjaga Pabrik Kimia itu, menanti jiwa baru yang berani mengungkap rahasia kelam limbah beracun itu.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG