#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀



Bab 1: Malam yang Sunyi dan Tradisi yang Mencekam

Desa Cempaka, sebuah permukiman yang terletak di kaki gunung yang diselimuti kabut, menyimpan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi: ronda malam. Setiap malam, warga desa secara bergantian berpatroli mengelilingi desa, menjaga keamanan dan ketertiban. Tradisi ini, yang awalnya bertujuan untuk melindungi desa dari bahaya, kini telah menjadi sumber ketakutan bagi banyak warga.

Malam itu, giliran Pak Karto, seorang tetua desa yang dihormati, Pak Jono, seorang petani yang kuat dan pemberani, dan tiga pemuda desa, Andi, Budi, dan Candra, untuk melaksanakan ronda. Mereka berkumpul di pos ronda, sebuah bangunan kecil yang terletak di pusat desa, di bawah naungan pohon beringin yang rindang. Suasana malam itu terasa sangat sunyi, hanya suara jangkrik yang bersahutan dan lolongan anjing liar yang memecah keheningan.

"Malam ini terasa sangat sepi," kata Pak Karto, memecah keheningan yang mencekam. "Biasanya, suara-suara dari hutan terdengar sampai sini, tapi malam ini sunyi senyap."

"Iya Pak," jawab Andi, seorang pemuda yang dikenal pemberani, namun malam ini suaranya terdengar sedikit bergetar. "Mungkin karena bulan sedang tidak bersinar terang, jadi binatang-binatang lebih memilih bersembunyi."

"Atau mungkin juga karena... kau tahu sendiri, cerita-cerita yang beredar," sahut Budi, seorang pemuda yang penakut, suaranya hampir berbisik. "Cerita tentang... mereka."

Candra, pemuda yang paling pendiam di antara mereka, hanya mengangguk setuju. Ia tidak berani bersuara, karena ia juga merasakan ketakutan yang sama.

"Sudahlah, jangan membuat suasana semakin tegang," kata Pak Jono, mencoba menenangkan para pemuda. "Cerita-cerita itu hanya karangan orang-orang tua zaman dulu. Tidak ada yang perlu ditakutkan."

Meskipun Pak Jono berkata demikian, ia sendiri merasakan sedikit keraguan di hatinya. Ia telah mendengar banyak cerita tentang kejadian-kejadian aneh yang terjadi saat ronda malam, dan ia tidak yakin apakah semua itu hanya karangan belaka.

"Baiklah, mari kita mulai patroli," kata Pak Karto, mengambil tongkat rotannya. "Kita tidak boleh membiarkan rasa takut menguasai kita."

Mereka memulai patroli mereka, menyusuri jalan-jalan desa yang gelap dan sepi. Lampu-lampu jalan yang redup hanya memberikan sedikit penerangan, membuat bayangan-bayangan di sekitar mereka tampak menakutkan. Suasana malam itu terasa semakin mencekam, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari balik kegelapan.

"Lihat itu," bisik Budi, menunjuk ke arah hutan kecil di ujung desa. "Seperti ada yang berdiri di sana."

Mereka berlima berhenti dan menatap ke arah hutan. Di tengah kegelapan, mereka melihat sosok hitam yang tampak seperti manusia. Sosok itu berdiri tegak, menatap ke arah mereka.

"Siapa itu?" tanya Candra, suaranya bergetar.

"Aku tidak tahu," jawab Pak Karto, matanya menatap tajam ke arah sosok itu. "Tapi, kita harus memeriksanya."

Mereka berlima berjalan perlahan mendekati hutan, mencoba untuk tidak membuat suara. Sosok itu tidak bergerak, tetap berdiri tegak di tempatnya. Saat mereka semakin dekat, mereka bisa melihat bahwa sosok itu adalah seorang wanita. Ia mengenakan pakaian putih panjang yang berkibar tertiup angin.

"Siapa kau?" tanya Pak Jono, mencoba untuk bersikap berani.

Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya menatap mereka dengan tatapan kosong, membuat mereka semakin ketakutan.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Andi, mencoba untuk bersikap tegas.

Tiba-tiba, wanita itu mengeluarkan suara tangisan yang memilukan, membuat bulu kuduk mereka merinding. Mereka berlima saling berpandangan, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Bab 2: Tangisan yang Membekukan Darah dan Hutan yang Berbisik

Kelima pasang mata tertuju pada sosok wanita berpakaian putih yang berdiri di ujung hutan. Suara tangisnya yang memilukan memecah kesunyian malam, merambat ke tulang sumsum, dan membekukan darah mereka.

"Siapa dia?" bisik Candra, suaranya bergetar hebat. "Kenapa dia menangis?"

"Entahlah," sahut Pak Karto, matanya menyipit, mencoba mengamati sosok itu lebih jelas. "Tapi, ada yang tidak beres dengan wanita itu."

"Kita harus pergi dari sini," kata Budi, suaranya hampir tak terdengar. "Aku merasa tidak enak."

"Tunggu dulu," cegah Pak Jono, tangannya terangkat. "Kita tidak bisa meninggalkan seseorang dalam kesusahan."

"Tapi Pak," bantah Andi, "bagaimana kalau dia berbahaya?"

"Kita tidak akan tahu kalau tidak memeriksanya," jawab Pak Jono, melangkah maju. "Aku akan bicara dengannya."

Dengan langkah hati-hati, Pak Jono mendekati wanita itu. Suara tangisnya semakin jelas, terdengar seperti ratapan yang tak berujung.

"Nona," panggil Pak Jono, suaranya lembut. "Apakah Anda baik-baik saja?"

Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepala, rambutnya yang panjang menutupi wajahnya.

"Nona," panggil Pak Jono lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Kami di sini untuk membantu Anda."

Perlahan, wanita itu mengangkat kepalanya. Wajahnya pucat pasi, matanya merah dan bengkak, dan air mata masih mengalir di pipinya. Namun, ada sesuatu yang aneh dengan matanya. Tatapannya kosong, seolah-olah jiwanya telah pergi.

"Tolong aku," bisiknya, suaranya serak dan bergetar. "Mereka mengambilnya."

"Siapa yang mengambil apa?" tanya Pak Jono, bingung.

"Anakku," jawab wanita itu, tangisnya kembali pecah. "Mereka mengambil anakku."

"Siapa mereka?" tanya Pak Karto, yang kini ikut mendekat.

Wanita itu menggelengkan kepalanya, air mata membasahi pipinya. "Aku tidak tahu," isaknya. "Mereka datang dari hutan."

"Dari hutan?" ulang Andi, matanya membelalak. "Maksudmu... mereka yang ada di dalam sana?"

Wanita itu mengangguk, tangisnya semakin menjadi. "Mereka jahat," isaknya. "Mereka akan mengambil semua anak."

"Tenang Nona," kata Pak Jono, mencoba menenangkan wanita itu. "Kami akan membantu Anda mencari anak Anda."

"Tidak," cegah wanita itu, suaranya bergetar. "Jangan masuk ke dalam hutan. Mereka akan mengambil kalian juga."

"Tapi, kami tidak bisa membiarkan anak Anda diambil," kata Pak Karto. "Kami akan mencari mereka."

Wanita itu menatap mereka dengan tatapan memohon. "Jangan," isaknya. "Tolong, jangan."

Tiba-tiba, wanita itu terdiam. Ia menoleh ke arah hutan, matanya membelalak ketakutan.

"Mereka datang," bisiknya, suaranya bergetar. "Lari!"

Sebelum mereka sempat bereaksi, wanita itu berlari ke dalam hutan, menghilang di balik kegelapan. Mereka berlima saling berpandangan, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

"Apa yang terjadi?" tanya Candra, suaranya bergetar.

"Aku tidak tahu," jawab Pak Karto, matanya menatap ke arah hutan. "Tapi, aku merasa kita harus pergi dari sini."

Mereka berlima berbalik dan berjalan cepat kembali ke pos ronda. Suasana malam itu terasa semakin mencekam, seolah-olah hutan itu sendiri sedang mengawasi mereka. Angin bertiup kencang, membawa suara bisikan-bisikan aneh yang terdengar seperti nama mereka dipanggil.

Bab 3: Jembatan Tua dan Bisikan Angin Malam

Rasa takut yang mencekam menyelimuti kelima warga desa saat mereka meninggalkan hutan kecil yang misterius itu. Langkah mereka tergesa-gesa, berusaha menjauhkan diri dari suara tangisan yang masih terngiang di telinga. Suasana malam semakin kelam, seolah-olah kegelapan itu sendiri ikut mengejar mereka.

"Apa yang sebenarnya terjadi di sana?" bisik Candra, suaranya bergetar. "Siapa wanita itu?"

"Entahlah," jawab Pak Karto, matanya menatap lurus ke depan. "Tapi, aku yakin ada sesuatu yang tidak beres di hutan itu."

"Aku setuju," sahut Andi, wajahnya pucat pasi. "Aku merasa seperti ada sesuatu yang jahat di sana."

Mereka terus berjalan dalam diam, hanya suara langkah kaki dan deru angin malam yang menemani. Saat mereka melewati jembatan tua yang melintasi sungai kecil di tengah desa, tiba-tiba mereka merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.

"Tunggu," kata Pak Jono, menghentikan langkah mereka. "Aku merasa ada yang aneh."

Mereka berlima berhenti di tengah jembatan, mengamati sekeliling. Suasana di jembatan itu terasa sangat sunyi, seolah-olah waktu telah berhenti. Angin malam berbisik pelan, membawa suara-suara aneh yang terdengar seperti gumaman tak jelas.

"Lihat itu," bisik Budi, menunjuk ke arah ujung jembatan. "Seperti ada yang berdiri di sana."

Di tengah kegelapan, mereka melihat sosok pria tua berdiri di ujung jembatan. Pria itu mengenakan pakaian lusuh dan compang-camping, wajahnya penuh luka dan memar. Tatapannya kosong, seolah-olah jiwanya telah pergi.

"Siapa itu?" tanya Candra, suaranya bergetar.

"Aku tidak tahu," jawab Pak Karto, matanya menyipit, mencoba mengamati sosok itu lebih jelas. "Tapi, kita harus berhati-hati."

Mereka berlima berjalan perlahan mendekati pria tua itu, mencoba untuk tidak membuat suara. Suasana di jembatan itu semakin mencekam, seolah-olah ada sesuatu yang jahat sedang mengintai mereka.

"Tuan," panggil Pak Jono, suaranya lembut. "Apakah Anda baik-baik saja?"

Pria tua itu tidak menjawab. Ia hanya menatap mereka dengan tatapan kosong, membuat mereka semakin ketakutan.

"Tuan," panggil Pak Jono lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Kami di sini untuk membantu Anda."

Tiba-tiba, pria tua itu mengeluarkan suara geraman yang mengerikan, dan ia melompat ke arah mereka. Mereka berlima terkejut dan berlari tunggang langgang, meninggalkan jembatan tua itu.

"Apa yang terjadi?" tanya Andi, terengah-engah.

"Aku tidak tahu," jawab Pak Karto, wajahnya pucat pasi. "Tapi, aku yakin kita harus segera kembali ke pos ronda."

Mereka berlima berlari sekuat tenaga, berusaha menjauhkan diri dari jembatan tua yang menakutkan itu. Suara geraman pria tua itu masih terngiang di telinga mereka, membuat mereka semakin ketakutan.

Bab 4: Pos Ronda yang Terkunci dan Bayangan yang Menghantui

Langkah kaki mereka menggema di jalanan desa yang sepi, deru napas memburu memecah keheningan malam. Kelima warga desa itu berlari sekuat tenaga, berusaha menjauhkan diri dari jembatan tua yang menakutkan. Suara geraman pria tua itu masih terngiang di telinga mereka, membuat bulu kuduk merinding.

"Cepat, kita harus segera sampai di pos ronda!" seru Pak Karto, suaranya terengah-engah. "Di sana kita akan aman."

"Tapi, bagaimana jika mereka mengikuti kita?" tanya Andi, matanya menatap waspada ke belakang.

"Kita kunci saja pintunya," sahut Pak Jono, mencoba menenangkan. "Pos ronda cukup kuat untuk menahan mereka."

Mereka tiba di pos ronda, bangunan kecil yang tampak seperti benteng di tengah desa. Tanpa membuang waktu, mereka masuk ke dalam dan menutup pintu. Pak Jono segera mengunci pintu dari dalam, memastikan tidak ada yang bisa masuk.

"Akhirnya, kita aman," kata Budi, menghela napas lega. "Aku tidak tahan lagi dengan semua ini."

"Jangan senang dulu," tegur Pak Karto, matanya menatap tajam ke sekeliling. "Kita belum tahu apa yang akan terjadi."

Suasana di dalam pos ronda terasa tegang. Mereka berlima duduk berdekatan, saling berpelukan untuk menghangatkan diri dan menenangkan pikiran. Suara napas mereka yang terengah-engah terdengar begitu jelas dalam keheningan pos ronda.

"Aku merasa seperti kita sedang diawasi," bisik Candra, matanya menatap waspada ke sudut-sudut ruangan.

"Jangan mengada-ada," sahut Andi, mencoba menenangkan. "Itu hanya perasaanmu saja."

Tiba-tiba, mereka mendengar suara ketukan pelan di pintu. Mereka berlima terdiam, jantung mereka berdegup kencang.

"Siapa itu?" bisik Budi, suaranya bergetar.

"Aku tidak tahu," jawab Pak Jono, matanya menatap tajam ke arah pintu.

Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Mereka berlima saling berpandangan, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

"Buka pintunya," kata suara serak dari luar. "Kami ingin bicara."

"Siapa kalian?" tanya Pak Karto, mencoba untuk bersikap tegas.

"Kami teman kalian," jawab suara itu. "Kami ingin membantu kalian."

"Bohong!" seru Andi. "Kalian bukan teman kami!"

"Buka saja pintunya," kata suara itu, kali ini terdengar mengancam. "Atau kalian akan menyesal."

Mereka berlima terdiam, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka tahu mereka tidak bisa membiarkan orang-orang itu masuk, tetapi mereka juga tidak tahu bagaimana cara menghentikan mereka.

Tiba-tiba, mereka mendengar suara geraman yang mengerikan dari luar. Mereka berlima terkejut dan mundur menjauh dari pintu.

"Mereka bukan manusia!" bisik Candra, matanya membelalak ketakutan.

"Kita harus lari!" seru Budi, mendorong teman-temannya ke belakang.

Mereka berlima berlari ke sudut ruangan, mencoba untuk bersembunyi. Suara geraman itu semakin keras, dan mereka bisa mendengar suara cakaran di pintu.

"Mereka akan masuk!" teriak Dewi, air matanya mulai mengalir.

"Kita harus mencari jalan keluar lain!" seru Andi, matanya menatap sekeliling.

Mereka berlima mulai mencari jalan keluar, tetapi mereka tidak menemukan apa pun. Pintu dan jendela pos ronda terkunci rapat, dan tidak ada jalan keluar lain.

"Kita terjebak!" bisik Rina, suaranya tercekat di tenggorokan.

"Jangan menyerah," kata Pak Karto, mencoba untuk memberikan semangat. "Kita pasti akan menemukan cara untuk keluar dari sini."

Tiba-tiba, lampu di dalam pos ronda padam. Mereka berlima terdiam, terperangkap dalam kegelapan. Suara geraman itu semakin dekat, dan mereka bisa merasakan kehadiran makhluk-makhluk itu di sekitar mereka.

"Kita akan mati di sini," bisik Candra, suaranya bergetar.

Bab 5: Misteri yang Menggantung dan Jejak yang Hilang

Kegelapan pekat menyelimuti pos ronda, hanya suara napas terengah-engah yang memecah keheningan. Kelima warga desa itu terperangkap dalam ketakutan, menunggu makhluk-makhluk itu menerobos masuk. Suara geraman dan cakaran di pintu semakin keras, seolah-olah makhluk-makhluk itu sedang menguji kekuatan pintu.

"Kita akan mati di sini," bisik Candra, suaranya bergetar hebat. "Tidak ada jalan keluar."

"Jangan menyerah," sahut Pak Karto, meskipun suaranya terdengar lemah. "Kita harus tetap berusaha."

"Tapi bagaimana?" tanya Andi, matanya menatap sekeliling dalam kegelapan. "Tidak ada yang bisa kita lakukan."

Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Mereka berlima terdiam, jantung mereka berdegup kencang.

"Siapa itu?" bisik Budi, suaranya hampir tak terdengar.

"Aku tidak tahu," jawab Pak Jono, matanya menatap tajam ke arah pintu.

Langkah kaki itu semakin dekat, dan mereka bisa mendengar suara napas yang berat dan kasar. Tiba-tiba, pintu pos ronda terbuka lebar. Mereka berlima terkejut dan mundur menjauh dari pintu.

Di ambang pintu, mereka melihat sosok wanita berpakaian putih dan pria tua berpakaian lusuh berdiri berdampingan. Wajah mereka pucat pasi, mata mereka merah menyala, dan mulut mereka menganga lebar. Mereka mengeluarkan suara geraman yang mengerikan, membuat kelima warga desa itu menjerit ketakutan.

"Lari!" teriak Pak Karto, mendorong teman-temannya untuk melarikan diri.

Mereka berlima berlari tunggang langgang, keluar dari pos ronda dan menyebar ke segala arah. Makhluk-makhluk itu mengejar mereka, dengan langkah yang cepat dan kuat. Mereka berlari sekuat tenaga, tetapi mereka tahu mereka tidak akan bisa melarikan diri selamanya.

Andi berlari ke arah hutan, berharap bisa bersembunyi di sana. Namun, saat ia memasuki hutan, ia melihat sosok wanita berpakaian putih berdiri di tengah jalan setapak. Wanita itu menatapnya dengan tatapan kosong, membuat Andi berhenti ketakutan.

"Tolong aku," bisik wanita itu, suaranya serak dan mengerikan. "Mereka mengambil anakku."

"Siapa yang mengambil anakmu?" tanya Andi, suaranya bergetar.

"Mereka," jawab wanita itu, menunjuk ke arah kegelapan hutan. "Mereka jahat. Mereka akan mengambil semua anak."

Sebelum Andi sempat bertanya lebih lanjut, wanita itu menghilang di balik pepohonan. Andi terdiam, bingung dan ketakutan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Sementara itu, Budi berlari ke arah jembatan tua, berharap bisa menyeberanginya dan melarikan diri. Namun, saat ia tiba di jembatan, ia melihat sosok pria tua berdiri di tengah jembatan. Pria itu menatapnya dengan tatapan kosong, membuat Budi berhenti ketakutan.

"Tolong aku," bisik pria itu, suaranya serak dan mengerikan. "Mereka membunuhku."

"Siapa yang membunuhmu?" tanya Budi, suaranya bergetar.

"Mereka," jawab pria itu, menunjuk ke arah desa. "Mereka jahat. Mereka akan membunuh semua orang."

Sebelum Budi sempat bertanya lebih lanjut, pria itu melompat ke arahnya. Budi menjerit ketakutan dan berlari kembali ke desa.

Pak Karto, Pak Jono, dan Candra berlari ke arah rumah-rumah warga, berharap bisa mencari perlindungan. Namun, saat mereka tiba di rumah-rumah warga, mereka melihat pintu dan jendela rumah-rumah itu terkunci rapat. Mereka berteriak-teriak meminta tolong, tetapi tidak ada yang menjawab.

"Mereka semua sudah pergi," bisik Pak Karto, suaranya bergetar. "Desa ini sudah dikuasai oleh mereka."

Mereka bertiga terdiam, putus asa dan ketakutan. Mereka tahu mereka tidak punya tempat untuk bersembunyi. Mereka tahu mereka akan mati.

Keesokan harinya, warga desa menemukan kelima orang yang ronda malam itu tergeletak tak sadarkan diri di jalanan desa. Mereka ditemukan dalam keadaan pucat pasi dan ketakutan. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu, dan tidak ada yang tahu siapa sebenarnya wanita berpakaian putih dan pria tua berpakaian lusuh itu.

Setelah kejadian itu, warga desa tidak pernah lagi berani untuk ronda malam. Mereka percaya bahwa desa mereka dihantui oleh makhluk-makhluk mengerikan, dan mereka tidak ingin bertemu dengan makhluk-makhluk itu.

Misteri tentang kejadian malam itu tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu, dan tidak ada yang tahu siapa sebenarnya wanita berpakaian putih dan pria tua berpakaian lusuh itu.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG