#33 PERJALANAN HOROR SOPIR AMBULAN MALAM HARI
Penumpang
Terakhir
Bab 1: Panggilan Malam
Malam itu
terasa lebih gelap dari biasanya di pos jaga ambulans Rumah Sakit Sehat, sebuah
bangunan tua di pinggiran kota yang dikelilingi pepohonan rindang dan jalanan
sepi. Hujan deras mengguyur tanpa henti, tetesannya membentur atap seng pos
jaga dengan ritme yang monoton, menciptakan suara gemericik yang bercampur
dengan deru angin. Darno, seorang sopir ambulans berusia 35 tahun, duduk di kursi
plastik yang sudah reyot, kakinya terangkat ke meja kecil di depannya. Cahaya
lampu neon di langit-langit berkedip-kedip, memantulkan bayangan wajahnya yang
lelah ke dinding penuh retakan. Jam dinding bulat di atas pintu menunjukkan
pukul 23.45, jarum detiknya bergerak lambat seperti mengejek waktu yang terasa
tak berujung.
Darno
menguap lebar, matanya perih setelah seharian bekerja. Hari ini adalah shift
yang berat—ia sudah tiga kali bolak-balik mengantar pasien, mulai dari seorang
ibu yang melahirkan di jalan hingga seorang kakek yang pingsan di pasar. Jaket
seragamnya yang berwarna biru tua masih basah di bagian pundak, sisa hujan dari
perjalanan terakhir yang ia lakukan sore tadi. Rambutnya yang mulai menipis
sedikit berantakan, dan tangannya yang kasar—penuh bekas luka kecil dari
bertahun-tahun mengemudi—menggenggam cangkir plastik berisi kopi hitam yang
baru ia seduh. Aroma kopi murahan itu menguar di udara, bercampur dengan bau
apek dari karpet tua yang menutupi lantai pos jaga.
Ia
menyeruput kopi perlahan, mencoba menghangatkan tubuhnya yang kedinginan.
“Hujan gini, semoga nggak ada panggilan lagi,” gumamnya pada diri sendiri,
suaranya serak karena kelelahan dan sedikit asap rokok yang ia hisap tadi sore.
Darno sudah lima tahun bekerja sebagai sopir ambulans di rumah sakit ini. Ia
terbiasa dengan jadwal tak menentu, suara sirene yang memekakkan telinga, dan
wajah-wajah penuh ketakutan dari keluarga pasien. Tapi malam ini terasa
berbeda—ada rasa gelisah yang menggerogoti dadanya, seperti firasat buruk yang
tak bisa ia jelaskan.
Tiba-tiba,
telepon kuno di meja berdering keras, memecah keheningan dengan nada yang tajam
dan mendesak. Darno tersentak, kopi di cangkirnya hampir tumpah ke celana. Ia
meletakkan cangkir dengan tergesa, lalu meraih gagang telepon dengan tangan
yang sedikit gemetar—bukan karena takut, tapi karena dingin yang menusuk
tulang. “Halo, ambulans Rumah Sakit Sehat,” sapanya, mencoba menjaga nada tetap
tenang meski jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Di ujung sana, suara wanita
terdengar—pelan, tergesa, dan penuh kepanikan. “Tolong… ada kecelakaan di Jalan
Rawa. Cepat, dia masih bernapas,” katanya, kata-katanya terputus-putus seperti
terengah. Suara hujan di latar belakang telepon terdengar lebih keras, seolah
wanita itu berdiri di tengah badai.
Darno
mengerutkan kening, tangannya otomatis meraih pulpen dan secarik kertas dari
laci meja. “Ibu, tenang dulu. Dia luka parah? Ada berapa orang?” tanyanya,
berusaha mendapatkan informasi lebih jelas. Tapi sebelum wanita itu menjawab,
sambungan tiba-tiba terputus—hanya ada bunyi statis yang samar, lalu hening.
Darno menatap gagang telepon sejenak, alisnya berkerut lebih dalam. “Halo?
Halo?” panggilnya lagi, tapi tak ada respons. Ia meletakkan gagang dengan
gerakan cepat, lalu mencatat alamat yang disebutkan—Jalan Rawa—di kertas itu
dengan tulisan tangan yang buru-buru. Ia tahu jalan itu: rute tua yang jarang
dilewati, dikelilingi sawah dan pohon-pohon besar, sering jadi bahan cerita
seram di kalangan sopir lokal.
Darno
berdiri, mengambil kunci ambulans dari gantungan di dinding. Jaketnya ia
kenakan kembali, meski masih sedikit lembap, dan ia memeriksa tas medis darurat
yang selalu tersedia di pos jaga—perban, oksigen portabel, alat tensi, semuanya
ada. “Semoga cuma kecelakaan biasa,” pikirnya, tapi firasat buruk itu masih
menggelayut di pikirannya seperti kabut. Ia melangkah keluar dari pos jaga,
hujan langsung membasahi wajahnya saat ia berlari kecil menuju ambulans yang
diparkir di halaman. Pintu samping kendaraan ia buka untuk memastikan ranjang
pasien kosong dan bersih, lalu ia masuk ke kursi sopir.
Mesin
ambulans menyala dengan deru rendah, lampu sirene menyala merah dan biru,
memantulkan cahaya ke genangan air di aspal. Darno menggosok tangannya untuk
menghilangkan dingin, lalu memutar setir ke arah gerbang rumah sakit. Hujan
semakin deras, wiper ambulans bergerak cepat tapi tak cukup untuk membersihkan
kaca dari tetesan air yang tebal. Jalanan di depannya tampak gelap, hanya
diterangi oleh lampu kendaraan dan kilatan petir sesekali di langit. “Jalan
Rawa… semoga cepet sampai,” gumamnya lagi, suaranya tenggelam oleh suara hujan
dan sirene. Ia tak tahu bahwa panggilan malam itu akan menjadi awal dari
sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada sekadar kecelakaan biasa.
Bab 2: Jalan yang Sunyi
Ambulans
melaju perlahan di Jalan Rawa, roda-roda besarnya menggilas genangan air yang
memantulkan cahaya sirene merah dan biru ke kegelapan malam. Hujan masih
mengguyur deras, tetesannya membentur kaca depan seperti ribuan jari kecil yang
mengetuk tanpa henti. Wiper ambulans bekerja penuh, bergerak bolak-balik dengan
suara gesekan yang monoton, tapi tak cukup untuk membersihkan pandangan Darno
sepenuhnya. Kabut tipis mulai turun dari langit, menyelimuti jalan tua itu
seperti selimut kelabu yang hidup, membuat lampu depan hanya menerangi beberapa
meter ke depan sebelum cahayanya ditelan kegelapan.
Jalan Rawa
bukan rute yang asing bagi Darno. Ia pernah melewatinya beberapa kali dalam
lima tahun bekerja sebagai sopir ambulans—biasanya untuk mengantar pasien dari
desa terpencil atau mengangkut korban kecelakaan kecil. Jalannya sempit, diapit
oleh sawah luas di sisi kiri dan barisan pohon jati tua di sisi kanan,
ranting-rantingnya menjuntai rendah hingga hampir menyentuh atap ambulans.
Pohon-pohon itu tampak seperti siluet raksasa dalam kegelapan, dahan-dahannya
bergoyang pelan ditiup angin, seolah berbisik satu sama lain. Darno menggenggam
setir lebih erat, tangannya yang kasar terasa dingin meski kabin ambulans cukup
hangat dibandingkan udara luar.
Ia
memperlambat laju kendaraan, matanya menyapu sisi jalan dengan cermat, mencari
tanda-tanda kecelakaan yang disebutkan penelepon—mobil yang terguling, motor
yang ringsek, atau setidaknya jejak ban di lumpur. Tapi jalan itu kosong, hanya
ada genangan air yang berkilauan dan ranting-ranting patah yang tersapu hujan
ke tengah aspal. “Mana orangnya?” gumamnya pelan, suaranya tenggelam oleh deru
mesin dan bunyi sirene yang menusuk telinga. Ia melirik jam di dasbor—00.15.
Sudah hampir setengah jam sejak panggilan itu, dan setiap detik yang berlalu
membuatnya semakin gelisah. Jika korban benar-benar masih hidup seperti yang
dikatakan wanita di telepon, waktu sangat berharga.
Darno
mengeluarkan ponselnya dari saku jaket, mencoba menghubungi nomor yang
memanggil tadi. Layar ponsel menyala redup, sinyalnya hanya satu bar—khas
daerah terpencil seperti ini. Ia menekan tombol panggil, tapi yang terdengar
hanyalah nada sibuk yang berulang, seperti jeritan kecil yang tak pernah
dijawab. “Aneh banget,” pikirnya, alisnya berkerut. Ia meletakkan ponsel di
kursi penumpang, lalu kembali fokus ke jalan. Hujan mulai mereda sedikit, tapi
kabut malah semakin tebal, menutupi sawah di sisi kiri hingga tampak seperti
lautan putih yang tak berujung.
Tiba-tiba, ambulans
melintasi sebuah jembatan kecil dari kayu yang sudah tua, papan-papannya
berderit keras di bawah beban kendaraan. Darno merasa getaran itu sampai ke
tulang punggungnya, dan untuk sesaat, ia mendengar suara lain—seperti ketukan
pelan dari belakang ambulans, dari bagian ranjang pasien yang seharusnya
kosong. Ia menoleh cepat ke spion tengah, tapi kabin belakang tampak gelap dan
sunyi, hanya diterangi samar oleh lampu kecil di dalam. “Mungkin cuma ranting
yang nyangkut,” pikirnya, meski bulu kuduknya mulai berdiri. Ia menarik napas
dalam, mencium bau samar yang aneh—bau tanah basah yang tak seharusnya ada di
dalam ambulans yang tertutup rapat.
Darno
melanjutkan perjalanan, matanya kini lebih waspada. Jalan Rawa terkenal di
kalangan sopir lokal karena cerita-cerita aneh—penampakan di malam hari, suara
tangisan dari sawah, atau bayangan yang melintas di jalan kosong. Ia biasanya
menganggap itu cuma bualan untuk menakut-nakuti anak baru, tapi malam ini
cerita itu terasa terlalu nyata. Ia menggoyang kepala, mencoba mengusir pikiran
itu. “Fokus, Darno. Ada orang yang butuh bantuan,” katanya pada diri sendiri,
suaranya lebih keras untuk mengalahkan rasa takut yang mulai merayap.
Di kejauhan,
melalui kabut yang mulai menipis, ia melihat sesuatu—seorang pria berdiri di
pinggir jalan, tubuhnya basah kuyup oleh hujan, tangannya terangkat lemah
seperti meminta tolong. Cahaya lampu ambulans menerangi sosok itu
sekilas—pakaiannya compang-camping, wajahnya tertunduk, dan rambut hitamnya
menempel di dahi seperti rumput laut. Darno menginjak rem perlahan, ambulans
berhenti dengan suara ban yang bergesek di aspal basah. Jantungnya berdegup
lebih cepat, campuran lega dan curiga. “Akhirnya ketemu,” pikirnya, lalu
mematikan sirene agar suara hujan lebih jelas.
Ia membuka
jendela samping sedikit, angin dingin langsung menyelinap masuk bersama tetesan
air. “Pak, Bapak yang kecelakaan? Bisa jalan?” panggilnya, suaranya sedikit
bergetar karena udara dingin. Pria itu tak menjawab, hanya melangkah perlahan
menuju pintu samping ambulans yang Darno buka dengan cepat. Hujan membasahi
lengan Darno saat ia membantu pria itu masuk, tangannya merasakan kulit yang
terlalu dingin—lebih dingin dari yang seharusnya, bahkan untuk seseorang yang
kehujanan. Pria itu terhuyung, lalu duduk di ranjang pasien tanpa suara,
kepalanya tetap tertunduk. Darno menutup pintu, mencium bau aneh yang tiba-tiba
mengisi kabin—bau tanah basah bercampur sesuatu yang membusuk, seperti lumpur
dari kuburan tua. Ia menggosok hidungnya, mencoba mengabaikan firasat buruk
yang kini semakin kuat di dadanya.
Bab 3: Penumpang yang Dingin
Pintu
samping ambulans tertutup dengan bunyi klik yang keras, memutus suara hujan
yang bergemuruh di luar. Darno berdiri sejenak di dalam kabin, air hujan
menetes dari lengan jaketnya ke lantai karet yang licin. Udara di dalam terasa
lebih dingin dari yang seharusnya, meski pemanas ambulans masih menyala pelan
dari perjalanan sebelumnya. Ia menggosok tangannya yang basah, mencoba
menghilangkan sensasi dingin yang masih tertinggal dari kulit pria yang baru
saja ia bantu masuk. Pria itu kini duduk di ranjang pasien, tubuhnya terhuyung
seolah tak punya tenaga, kepalanya tertunduk hingga rambut hitam basahnya
menutupi wajah. Darno meliriknya sekilas, lalu bergegas kembali ke kursi sopir,
berusaha fokus pada tugasnya.
Saat ia
duduk dan menggenggam setir, bau aneh menyelinap ke hidungnya—bau tanah basah
yang kini lebih kuat, bercampur dengan sesuatu yang membusuk, seperti daun tua
yang dibiarkan membelapuk di genangan air. Darno mengerutkan hidung, matanya
melirik ke spion tengah yang memantulkan bagian belakang ambulans. Cahaya lampu
kecil di kabin pasien menyala redup, menerangi pria itu dengan samar. Kulitnya
pucat seperti lilin, rambut hitamnya menempel di dahi karena hujan, dan matanya
tertutup rapat, seolah ia pingsan atau terlalu lemah untuk sadar. Darah
mengalir pelan dari luka di kepalanya—garis merah yang membelah kulit pucat
itu—tapi anehnya, tak ada tetesan yang jatuh ke ranjang atau lantai. Darah itu
seperti menempel di wajahnya, kental dan tak bergerak.
“Pak, bisa
dengar saya? Apa yang kejadian?” tanya Darno, suaranya sengaja dibuat keras
untuk membangunkan pria itu, sekaligus mengusir rasa takut yang mulai merayap
di dadanya. Tak ada jawaban. Hanya napas pelan yang hampir tak terdengar,
seperti hembusan angin yang tersangkut di tenggorokan. Darno menoleh cepat,
memastikan pria itu masih bernapas. Tubuhnya tak bergerak, tangannya terkulai
lemas di sisi ranjang, dan pakaiannya—kemeja lusuh yang robek di lengan—basah
kuyup hingga menempel di kulit. “Mungkin syok,” pikirnya, mencoba mencari
logika. Ia meraih tas medis darurat dari kursi penumpang, mengeluarkan senter
kecil dan alat tensi untuk memeriksa kondisinya.
Darno
berjalan ke bagian belakang, langkahnya pelan agar ambulans tak bergoyang
terlalu keras. Ia menyalakan senter, mengarahkan cahaya ke wajah pria itu. Luka
di kepalanya lebih jelas sekarang—sayatan dalam yang membentang dari dahi ke
pelipis, dagingnya terbuka sedikit dan darahnya tampak lebih hitam daripada
merah. Tapi yang membuat Darno mengerutkan kening adalah kulitnya—terlalu
pucat, hampir keabu-abuan, dan terasa dingin saat ia menyentuh pergelangan
tangan untuk memeriksa denyut nadi. Denyutnya ada, tapi lemah, seperti detak
jam yang hampir mati. “Pak, Bapak dengar saya nggak? Kita ke rumah sakit
sekarang,” katanya lagi, suaranya lebih tegas meski ada getaran kecil yang tak
bisa ia sembunyikan.
Pria itu
tetap diam, tapi saat Darno membungkuk untuk memasang alat tensi, ia mendengar
suara samar dari belakangnya—seperti bisikan yang terbawa angin, pelan tapi
jelas: “Ke rumah… bawa aku ke rumah.” Darno tersentak, senternya hampir jatuh
dari tangan. Ia menoleh cepat ke arah pria itu, tapi kepalanya masih tertunduk,
matanya tertutup, dan mulutnya tak bergerak. “Apa tadi itu?” gumamnya, matanya
menyapu kabin ambulans yang kosong kecuali mereka berdua. Suara hujan di luar
terdengar lebih keras sekarang, seperti ribuan suara kecil yang berbisik
bersamaan, tapi bisikan tadi terasa berbeda—lebih dekat, lebih pribadi.
Darno
menggosok lehernya, bulu kuduknya berdiri. “Mungkin aku salah denger,”
pikirnya, meski hatinya tak yakin. Ia kembali ke kursi sopir, tangannya gemetar
saat memutar kunci kontak. Mesin ambulans menyala dengan deru rendah, dan ia
menyalakan sirene lagi, lampu merah-biru memantul ke kaca spion, menciptakan
bayangan yang bergoyang di dalam kabin. Ia melirik ke spion sekali lagi—pria
itu masih dalam posisi sama, tapi ada sesuatu yang aneh. Bayangannya di kaca
tampak lebih tinggi dari seharusnya, dan untuk sesaat, Darno merasa melihat
matanya terbuka—hitam pekat, menatap langsung ke arahnya. Ia mengedip cepat,
dan bayangan itu kembali normal, hanya pria pucat yang terkulai.
“Harus cepet
ke rumah sakit,” katanya pada diri sendiri, suaranya bergetar saat ia menginjak
pedal gas. Ambulans melaju kembali ke dalam kabut dan hujan, ban-ban besarnya
menggilas genangan air dengan suara percikan yang keras. Tapi di tengah
perjalanan, ia mendengar suara itu lagi—lebih jelas kali ini, seperti berasal
dari tepat di belakang kursinya: “Ke rumah.” Darno menahan napas, tangannya
mencengkeram setir hingga buku-buku jarinya memutih. Ia tak berani menoleh
lagi, tapi bau busuk itu kini lebih menyengat, meresap ke dalam jaketnya, ke
dalam kulitnya. Ia tahu ada yang salah dengan penumpang ini, tapi ia tak bisa
berhenti—tugasnya adalah menyelamatkan, bukan melarikan diri.
Di luar,
kilatan petir menyambar langit, menerangi jalan sejenak. Darno melihat sesuatu
di pinggir jalan—bayangan samar seorang wanita berdiri di tengah sawah,
wajahnya tertutup rambut basah, tangannya menunjuk ke arah ambulans. Tapi saat
ia berkedip, bayangan itu lenyap, meninggalkan hanya kegelapan dan hujan.
Jantungnya berdegup lebih kencang, dan ia mempercepat laju ambulans, berharap
bisa segera sampai ke rumah sakit—atau setidaknya keluar dari Jalan Rawa yang
semakin terasa seperti labirin tanpa akhir.
Bab 4: Rute yang Berubah
Ambulans
melaju di Jalan Rawa, ban-ban besarnya menggilas aspal basah dengan suara
percikan yang bergema di tengah hujan yang kini mulai mereda. Lampu sirene
merah dan biru berkedip-kedip, memantulkan cahaya ke kabut tipis yang masih
menyelimuti jalan, menciptakan ilusi seperti dunia di balik cermin yang retak.
Darno duduk tegang di kursi sopir, tangannya mencengkeram setir dengan kuat
hingga buku-buku jarinya memutih. Bau busuk yang mengisi kabin—bau tanah basah
bercampur sesuatu yang membusuk—semakin menyengat, meresap ke dalam jaketnya
dan membuatnya sulit bernapas lega. Ia mencoba fokus pada rute kembali ke Rumah
Sakit Sehat, sebuah perjalanan lurus yang seharusnya hanya memakan waktu lima
belas menit dari titik ini.
Tapi malam
itu, sesuatu terasa salah. Darno menyadari pemandangan di luar jendela ambulans
tak lagi sama. Sawah luas yang biasanya membentang di sisi kiri jalan sudah tak
terlihat, digantikan oleh barisan rumah-rumah tua yang terbengkalai.
Bangunan-bangunan itu terbuat dari kayu lapuk, atapnya penuh lubang, dan
jendela-jendelanya gelap seperti mata kosong yang menatapnya. Pohon jati di
sisi kanan juga menghilang, berganti dengan pagar besi berkarat yang berdiri
miring, beberapa bagiannya roboh ke tanah. Darno mengerutkan kening, matanya
menyipit mencoba mengenali rute ini. “Ini bukan Jalan Rawa,” gumamnya, suaranya
pelan tapi penuh kebingungan.
Ia melirik
GPS di dasbor, alat kecil yang biasanya menjadi penutup mata baginya di
malam-malam gelap seperti ini. Tapi layarnya hanya menunjukkan garis-garis acak
yang berkedip-kedip, seperti televisi rusak yang tak bisa menangkap siaran.
Darno mengetuk-ngetuk layar itu dengan jari, berharap itu hanya gangguan sinyal
sementara, tapi tak ada perubahan. “Alat ini kenapa sih?” pikirnya, rasa
gelisah di dadanya semakin membesar. Hujan kini hanya gerimis, tapi kabut malah
semakin tebal, menutupi jalan di depan seperti dinding putih yang bergerak.
Lampu ambulans hanya menerangi beberapa meter ke depan, dan bayangan
rumah-rumah tua itu tampak bergoyang di tepi cahaya, seolah hidup.
Darno
menghentikan ambulans sejenak di pinggir jalan, mesin tetap menyala dengan deru
rendah. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Harus balik. Ini
salah arah,” katanya pada diri sendiri, suaranya bergetar sedikit. Ia melirik
ke spion tengah, ingin memastikan kondisi penumpangnya sebelum memutar balik.
Apa yang ia lihat membuat napasnya tersendat—pria itu kini duduk tegak di
ranjang pasien, tak lagi terkulai seperti sebelumnya. Matanya terbuka lebar,
hitam pekat tanpa pupil, menatap langsung ke arah Darno melalui kaca spion.
Wajahnya tetap pucat, luka di kepalanya masih berdarah hitam, tapi ekspresinya kosong,
seperti topeng yang tak punya jiwa.
“Ke rumah,”
kata pria itu, suaranya lebih jelas kali ini, dingin dan menusuk seperti angin
yang keluar dari lubang bawah tanah. Darno tersentak, tangannya hampir
menjatuhkan setir. Ia menoleh cepat ke belakang, jantungnya berdegup kencang
hingga terasa di tenggorokan. “Rumah yang mana, Pak?! Rumah sakit deket kok!”
teriaknya, suaranya keras untuk menyembunyikan ketakutan yang membuncah. Pria
itu tak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangkat tangan kanannya yang kurus
dan pucat, menunjuk ke arah kiri—ke sebuah jalan kecil yang tiba-tiba muncul di
sisi jalan, sempit dan gelap, dikelilingi pepohonan kering yang tak pernah ia
lihat sebelumnya.
Darno
menatap jalan itu, bulu kuduknya berdiri. “Nggak ada jalan kayak gini di sini,”
pikirnya, tapi tangannya bergerak sendiri, memutar setir ke arah yang ditunjuk
pria itu. Ia merasa seperti ditarik, seperti ada tali tak terlihat yang
mengikat pikirannya, memaksanya menuruti perintah itu. Ambulans melaju perlahan
ke jalan kecil itu, ban-ban besarnya menggilas kerikil dan ranting kering
dengan suara berderit yang tajam. Pepohonan di sisi jalan tampak lebih tua dan
lebih rapat, dahan-dahannya menjuntai rendah hingga menggores atap ambulans,
menciptakan suara gesekan yang seperti cakaran.
Di dalam
kabin, bau busuk itu semakin kuat, hampir membuat Darno mual. Ia melirik ke
spion lagi—pria itu masih menatapnya, matanya tak berkedip, tangannya kini
turun ke pangkuan tapi jari-jarinya bergerak pelan, seperti sedang menghitung
sesuatu. “Pak, Bapak baik-baik aja? Kita ke dokter dulu ya,” kata Darno,
suaranya gemetar saat ia mencoba kembali menguasai situasi. Tapi pria itu hanya
mengulang, “Ke rumah,” dengan nada yang lebih dalam, lebih memerintah, seolah
tak ada ruang untuk penolakan.
Jalan kecil
itu terasa tak berujung. Darno melihat ke luar jendela, mencoba mencari
tanda-tanda yang familiar—papan nama, tiang listrik, apa saja—tapi hanya ada
kegelapan dan bayangan pohon-pohon tua yang tampak semakin menutup di sekitar
ambulans. Tiba-tiba, ia mendengar suara lain dari belakang—seperti ketukan
pelan di dinding kabin, diikuti gesekan kecil, seperti kain yang diseret di
lantai. Ia menoleh cepat, tapi pria itu tak bergerak, hanya duduk diam dengan
tatapan kosong. “Apa itu tadi?” gumamnya, tangannya menggosok leher yang terasa
dingin. Ia mencium bau darah sekarang, bercampur dengan bau busuk itu, meski
luka pria itu tak lagi tampak menetes.
Kilatan
petir menyambar langit, menerangi jalan sejenak. Darno melihat sesuatu di
kejauhan—sebuah rumah tua di ujung jalan, berdiri sendirian di tengah lahan
kosong. Atapnya bocor, dinding kayunya penuh lumut, dan jendela-jendelanya
gelap seperti lubang hitam. Ambulans berhenti perlahan di depan rumah itu,
mesinnya mati sendiri meski Darno tak menyentuh kunci kontak. Ia menoleh ke
belakang, ingin memastikan penumpangnya—tapi pria itu tak lagi duduk tegak. Ia
terkulai lagi, matanya tertutup, seperti saat pertama masuk. Tapi Darno tahu,
sesuatu telah berubah, dan rumah di depannya ini bukan tujuan yang ia inginkan.
Bab 5: Penumpang yang Hilang
Ambulans
berhenti dengan sendirinya di depan rumah tua itu, mesinnya mati tanpa suara,
meninggalkan keheningan yang hanya dipotong oleh gerimis ringan yang masih
jatuh dari langit. Lampu sirene merah dan biru terus berkedip, menerangi
halaman depan rumah dengan cahaya yang bergoyang, menciptakan bayangan-bayangan
aneh di dinding kayu yang lapuk. Rumah itu berdiri sendirian di tengah lahan
kosong, atap sengnya penuh lubang dan berkarat, dindingnya ditutupi lumut hijau
kehitaman yang merambat seperti urat-urat tua. Jendela-jendelanya gelap,
beberapa kacanya pecah, dan angin malam yang dingin bersiul melalui
celah-celah, membawa bau apek yang bercampur dengan aroma tanah basah. Di
halaman, rumput liar tumbuh setinggi lutut, dan sebuah pohon besar yang sudah
mati berdiri di sudut, ranting-rantingnya kering dan bengkok seperti tangan-tangan
yang mencakar udara.
Darno duduk
diam di kursi sopir, tangannya masih mencengkeram setir meski mesin sudah tak
lagi hidup. Jantungnya berdegup kencang, napasnya tersengal, dan keringat
dingin membasahi dahi meski udara malam begitu dingin. Ia melirik ke spion
tengah, ingin memastikan kondisi penumpangnya. Apa yang ia lihat membuatnya
membeku—ranjang pasien kosong. Pria itu hilang, tak ada jejak tubuh pucat atau
rambut basah yang tadi ada di sana. Pintu samping ambulans masih tertutup
rapat, tak ada tanda-tanda dibuka, tapi bau busuk yang tadi mengisi kabin kini
lebih menyengat, seperti asap yang merayap ke dalam paru-parunya. Darno
menggosok matanya, berharap itu hanya halusinasi, tapi ranjang itu tetap
kosong, hanya ada noda samar di kain putihnya—noda hitam yang tampak seperti
darah kering.
“Ke mana dia
pergi?” gumamnya, suaranya serak dan penuh ketakutan. Ia menoleh ke jendela,
matanya tertarik pada rumah tua di depan. Lampu ambulans menerangi pintu depan
yang sudah lapuk, kayunya retak dan catnya mengelupas, bergoyang pelan seolah
baru saja disentuh. Darno menarik napas dalam, mencium bau darah yang kini
bercampur dengan bau busuk itu, dan sebuah firasat buruk menusuk dadanya. Ia
tahu ia harus pergi—meninggalkan tempat ini secepat mungkin—tapi ada dorongan
aneh yang membuatnya membuka pintu ambulans dan melangkah keluar.
Hujan
gerimis membasahi wajahnya saat ia berdiri di halaman, sepatunya tenggelam
sedikit ke dalam tanah berlumpur yang lembek. Angin menderu pelan, membawa
suara samar dari dalam rumah—tangisan pelan yang terputus-putus, bercampur
bisikan yang tak jelas, seperti banyak suara yang berbicara sekaligus. Darno
menggenggam senter kecil dari saku jaketnya, menyalakannya dengan tangan
gemetar. Cahaya senter menyapu halaman, menangkap bayangan pohon mati yang
tampak seperti sosok manusia untuk sesaat sebelum ia menyadari itu hanya ilusi.
“Ini gila,” pikirnya, tapi kakinya tetap melangkah menuju pintu, seperti
ditarik oleh kekuatan yang tak bisa ia lawan.
Pintu kayu
itu ia dorong perlahan, deritnya menggema panjang ke dalam ruangan yang gelap.
Bau busuk menyergap lebih kuat sekarang, bercampur dengan aroma kayu lapuk dan
sesuatu yang manis seperti bunga layu. Cahaya senter menerangi ruang tamu kecil
yang penuh debu—meja kayu tua yang patah salah satu kakinya, kursi-kursi
terbalik, dan dinding penuh coretan tak jelas yang tampak seperti tulisan
tangan yang tergesa. Di sudut ruangan, sebuah lemari tua berdiri miring,
pintunya sedikit terbuka, dan dari dalamnya terdengar suara gesekan pelan, seperti
kain yang diseret. Darno menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. “Halo?
Ada orang di sini?” panggilnya, suaranya bergetar dan memantul di dinding
kosong.
Tak ada
jawaban, tapi tangisan itu terdengar lagi—lebih jelas sekarang, seperti suara anak
kecil yang jauh di dalam rumah. Darno melangkah lebih jauh, senternya menyapu
lantai yang penuh serpihan kayu dan kotoran. Di tengah ruangan, ia melihat
sesuatu—jejak kaki basah di lantai, jejak yang sama seperti yang ia lihat di
ambulans tadi, menuju ke sudut ruangan yang paling gelap. Ia mengikuti jejak
itu, napasnya semakin pendek, hingga cahaya senter menangkap sosok yang ia
kenal—pria itu berdiri di sudut, wajahnya kini jelas di bawah cahaya. Kulitnya
pucat seperti mayat, luka di kepalanya masih berdarah hitam, dan matanya hitam
pekat, menatap Darno dengan ekspresi kosong yang tak manusiawi.
“Terima
kasih… sudah antar aku pulang,” kata pria itu, suaranya dingin dan bergema
seperti dari dalam sumur tua. Darno tersentak, senternya jatuh ke lantai dan
berguling, cahayanya kini mengarah ke dinding. Dalam kegelapan yang tersisa, ia
melihat tubuh pria itu perlahan memudar, seperti asap yang tersapu angin,
hingga lenyap sepenuhnya. Tapi suara tangisan itu masih ada, kini lebih keras,
dan Darno merasa ada sesuatu yang dingin menyentuh pundaknya—tangan yang tak
terlihat. Ia berteriak, berlari keluar dari rumah dengan langkah tergesa,
tersandung di ambang pintu hingga jatuh ke lumpur di halaman.
Darno
merangkak kembali ke ambulans, tubuhnya gemetar hebat. Ia masuk dan menyalakan
mesin dengan tangan yang basah oleh lumpur dan keringat, lalu melaju
meninggalkan rumah tua itu tanpa menoleh lagi. Jalan kecil yang tadi ia lewati
kini membawanya langsung kembali ke Jalan Rawa, seolah rute aneh itu tak pernah
ada. Ketika ia akhirnya sampai di Rumah Sakit Sehat, langit sudah mulai terang,
dan hujan benar-benar berhenti. Ia duduk di pos jaga, napasnya masih tersengal,
dan menceritakan semuanya pada seorang perawat tua yang kebetulan bertugas pagi
itu.
Perawat itu
mendengarkan dengan wajah pucat, tangannya memegang gelas teh yang bergetar. “Jalan
Rawa?” katanya pelan, matanya menatap kosong ke dinding. “Dua puluh tahun lalu,
ada kecelakaan mobil di sana. Sopirnya selamat, tapi penumpangnya—pria
muda—tewas di tempat. Tubuhnya ditemuin di rumah tua di ujung jalan kecil,
katanya dia minta pulang sebelum mati. Dari situ, orang bilang dia selalu nyari
tumpangan buat balik ke sana.” Darno menatap perawat itu, wajahnya memucat
lebih dalam. Ia tak bisa bicara, hanya mengangguk lemah, mencium bau busuk yang
masih menempel di jaketnya.
Sejak malam
itu, setiap kali Darno mengemudi ambulans melewati Jalan Rawa, ia mendengar
bisikan samar dari kursi belakang—“Ke rumah”—meski ranjang pasien selalu
kosong. Suatu hari, ia menemukan noda darah hitam di ranjang ambulans, meski ia
yakin tak ada pasien yang ia antar hari itu. Ia mulai menghindari shift malam,
tapi bisikan itu kadang terdengar bahkan di siang hari, dan di sudut matanya,
ia sering melihat bayangan pria pucat itu berdiri di pinggir jalan, tangannya
terangkat lemah, menunggu untuk diantar pulang lagi.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
%20(14).png)
Komentar
Posting Komentar