#27 INTERVIEW KERJA HOROR 👀
Bayangan di
Lantai Tiga
Bab 1: Panggilan Lowongan
Rudi duduk
di sudut kamar kontrakannya yang sempit, ditemani lampu meja tua yang cahayanya
redup dan berkedip-kedip. Dinding kamar penuh retakan, dan bau apek dari kasur
tipis di lantai menyelinap ke hidungnya. Dua bulan menganggur telah
menggerogoti semangatnya. Tabungan yang tersisa di dompet lusuhnya tinggal
beberapa lembar ribuan, cukup mungkin untuk seminggu makan mi instan. Di
mejanya, setumpuk tagihan listrik dan sewa menatapnya seperti ancaman bisu. Ia
menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya—satu-satunya harapan yang masih
tersisa.
Layar ponsel
menyala, memperlihatkan situs lowongan kerja yang sudah ia jelajahi ratusan
kali. Jari-jarinya menggulir layar dengan gerakan lambat, hampir tanpa harapan,
hingga matanya tertumbuk pada sebuah iklan baru: “Dibutuhkan staf administrasi,
gaji kompetitif, Kantor Pemasaran Graha Sentosa, Jalan Melati No. 17. Walk-in
interview, Senin pukul 09.00.” Rudi mengerjap, membaca ulang kalimat itu. Gaji
kompetitif. Walk-in interview. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Ini
bukan lowongan biasa yang meminta puluhan dokumen atau pengalaman
bertahun-tahun. Ini terasa… mudah. Terlalu mudah, mungkin.
Ia
mencondongkan tubuh ke depan, alisnya berkerut. “Graha Sentosa,” gumamnya
pelan, mencoba mengingat apakah ia pernah mendengar nama itu sebelumnya. Jalan
Melati terdengar samar di ingatannya—mungkin jalan kecil di pinggir kota, tapi
ia tak yakin. Rudi membuka peta digital di ponselnya dan mengetik alamat itu.
Lokasinya muncul: sebuah titik di kawasan yang agak jauh dari pusat kota, dekat
kawasan tua yang jarang ia kunjungi. “Lumayan jauh, tapi kalau beneran dapat
kerja, worth it lah,” pikirnya.
Malam itu,
ia duduk di meja kecilnya yang penuh coretan pena, menyiapkan CV. Printer tua
milik temen sekamarnya, Budi, sudah rusak, jadi ia menulis tangan beberapa
salinan tambahan dengan hati-hati. Pulpennya hampir habis tinta, membuatnya
harus menggores lebih keras hingga tangannya pegal. Selesai menulis, ia berdiri
dan berjalan ke cermin kecil yang tergantung miring di dinding. Wajahnya tampak
lusuh—rambut acak-acakan, lingkaran hitam di bawah mata, dan kaus oblongnya
sudah mulai berlubang di bagian pundak. “Besok harus rapi. Ini kesempatan
terakhir,” katanya pada bayangannya sendiri, suaranya serak karena kelelahan.
Tiba-tiba,
ponselnya bergetar di meja. Rudi berbalik cepat, hampir tersandung kursi
plastik yang reyot. Layar menunjukkan panggilan dari nomor tak dikenal. Ia
mengangkatnya dengan ragu. “Halo? Siapa ini?” tanyanya, nada suaranya bercampur
curiga. Di ujung sana, hanya ada dengung statis yang pelan, seperti suara angin
di lorong kosong. “Halo? Bisa dengar saya?” ulangnya, lebih keras. Tak ada
jawaban, tapi dengung itu berubah menjadi desis samar, hampir seperti bisikan
yang tak jelas. Rudi mematikan panggilan itu dengan cepat, jantungnya berdegup
tak nyaman. “Mungkin salah sambung,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Ia kembali
duduk, mencoba fokus pada rencana besok. Jaket terbaiknya—satu-satunya yang tak
sobek—ia gantung di dinding agar tak kusut. Sepatu kulit imitasi yang sudah
mulai mengelupas di ujung ia semir dengan sisa lilin yang ia temukan di laci.
Setiap gerakannya penuh tekad, tapi ada rasa gelisah yang tak bisa ia tepis.
“Rudi, kamu harus optimis. Ini cuma interview biasa,” katanya pada diri sendiri,
mencoba tersenyum. Tapi senyumnya terasa kaku, seperti topeng yang dipaksakan.
Saat ia
akhirnya merebahkan diri di kasur, malam sudah larut. Angin malam menderu pelan
di luar, membuat jendela kayu tua di kamarnya bergetar. Matanya perlahan
terpejam, tapi sebelum tidur benar-benar menjemput, ia terbangun oleh suara
samar—langkah kaki pelan di luar pintu. “Budi? kamu pulang cepet?” panggilnya,
duduk tegak dengan mata mengantuk. Tak ada jawaban. Ia bangkit, membuka pintu
dengan hati-hati, dan mengintip ke lorong gelap. Kosong. Hanya bayangan lampu
jalan yang bergoyang di dinding lorong.
Rudi menutup
pintu, mengunci rapat, dan kembali ke kasur. “Imajinasi doang,” gumamnya, meski
tangannya sedikit gemetar. Ia tak tahu bahwa malam itu adalah awal dari sesuatu
yang jauh lebih gelap daripada sekadar interview kerja. Di ponselnya yang
tergeletak di meja, layar menyala sebentar tanpa disentuh, menampilkan pesan
singkat dari nomor tak dikenal: “Kami tunggu besok.” Pesan itu hilang sebelum
ia sempat melihatnya.
Bab 2: Bangunan Tua
Senin pagi,
matahari baru saja terbit ketika Rudi tiba di Jalan Melati No. 17. Udara pagi
terasa sejuk, tapi ada aroma aneh yang tercium—campuran tanah basah dan sesuatu
yang busuk, seperti kayu yang sudah lama lapuk. Di depannya berdiri bangunan
tiga lantai yang tampak seperti peninggalan zaman dulu. Dindingnya kusam,
ditutupi lumut hijau kehitaman yang merambat seperti urat-urat tua.
Jendela-jendela di lantai atas pecah, beberapa hanya menyisakan bingkai kosong
yang menganga. Pintu depan kayu sedikit terbuka, mengeluarkan derit pelan
setiap kali angin menyentuhnya. Halaman depan dipenuhi rumput liar yang tumbuh
setinggi lutut, dan sebuah pohon beringin kering berdiri di sudut,
ranting-rantingnya menjuntai seperti lengan-lengan yang terkulai.
Rudi berdiri
di trotoar, memandang bangunan itu dengan alis berkerut. Tak ada plang
bertuliskan “Graha Sentosa” atau tanda-tanda kantor modern seperti yang ia
bayangkan—tak ada logo perusahaan, tak ada mobil karyawan, bahkan tak ada suara
mesin pendingin ruangan yang biasa terdengar di gedung perkantoran. Jaketnya
terasa terlalu tipis untuk melawan angin pagi yang dingin, dan ia menggosok
tangannya untuk menghangatkan diri. “Ini beneran tempatnya, nggak sih?” gumamnya
pada diri sendiri, suaranya pelan seolah takut didengar oleh sesuatu di dalam
bangunan itu.
Ia
mengeluarkan ponselnya, memeriksa kembali alamat di situs lowongan kerja. Jalan
Melati No. 17. Benar. Tapi keraguan mulai menggerogoti pikirannya. Bangunan ini
lebih mirip gudang tua yang ditinggalkan daripada kantor pemasaran. Namun, ia
sudah jauh-jauh datang, dan bayangan tagihan di mejanya mendorongnya untuk
tetap melangkah. “Mungkin kantornya di dalam. Atau di lantai atas,” katanya,
mencoba meyakinkan diri. Ia menarik napas dalam, lalu melangkah melewati rumput
liar menuju pintu depan.
Saat kakinya
menginjak anak tangga pertama menuju pintu, ia mendengar suara samar—seperti
desis angin, tapi lebih teratur, hampir seperti napas. Ia berhenti, menoleh ke
sekitar. Jalanan di belakangnya kosong, hanya ada seorang tukang sapu jauh di
ujung jalan yang sibuk dengan pekerjaannya. Rudi menggeleng, menganggap itu
hanya imajinasinya. Pintu kayu itu ia dorong perlahan, dan deritnya menggema
panjang ke dalam ruangan yang gelap. Bau apek menyergap hidungnya—bau debu tua
bercampur jamur. Cahaya matahari dari luar hanya mampu menerangi beberapa meter
ke dalam, memperlihatkan lantai beton yang retak dan dinding penuh coretan tak
jelas.
“Halo? Ada
orang?” panggilnya, suaranya terdengar keras di tengah keheningan. Tak ada
jawaban, hanya gema suaranya sendiri yang memantul di dinding kosong. Ia
melangkah lebih jauh, sepatunya meninggalkan jejak di lapisan debu tebal yang
menutupi lantai. Cahaya dari pintu mulai memudar, digantikan oleh kegelapan
yang semakin pekat. Di ujung lorong, ia melihat tangga berkarat yang menuju
lantai atas, anak-anak tangganya penuh karat dan beberapa tampak goyah. Di
dinding sebelah kiri, ada sebuah pintu kecil yang tertutup rapat, gagangnya
berkarat parah seolah tak pernah disentuh bertahun-tahun.
Rudi
berhenti sejenak, memandang ke arah tangga. Jantungnya berdegup lebih cepat,
tapi ia tak bisa menjelaskan kenapa. “Masa iya kantor beneran di sini? Nggak
ada tanda-tanda orang sama sekali,” katanya pelan, nadanya bercampur ragu.
Tiba-tiba, dari ujung koridor yang gelap, ia melihat sesuatu bergerak—bayangan
kecil, cepat, seperti siluet seseorang yang melintas. Ia tersentak, hampir
menjatuhkan map berisi CV di tangannya. “Siapa itu? Halo?” panggilnya lagi,
kali ini lebih keras. Ia melangkah mendekat, tapi bayangan itu lenyap seolah
ditelan kegelapan.
Ia berdiri
diam, menatap ke ujung lorong yang kini kosong. Angin dari luar masuk melalui
celah pintu, membawa suara desis yang sama seperti tadi. Rudi menggosok lehernya,
merasa bulu kuduknya berdiri. “Mungkin cuma tikus,” pikirnya, meski ia tahu
bayangan itu terlalu besar untuk sekadar tikus. Ia melirik ponselnya
lagi—sinyal hanya satu bar, dan jam menunjukkan pukul 08.45. Waktu interview
semakin dekat. “Udah terlanjur sampe sini. Coba cek lantai atas aja,” gumamnya,
mencoba membangkitkan keberanian.
Dengan
langkah hati-hati, ia mendekati tangga. Setiap pijakan membuat debu
berterbangan, dan bau logam karat dari tangga menyatu dengan udara dingin yang
entah kenapa terasa semakin menusuk. Ia memegang pegangan tangga, tangannya
langsung kotor oleh serpihan karat yang terkelupas. Di tengah lorong, ia
mendengar suara lagi—kali ini seperti ketukan pelan, berulang, dari arah pintu
kecil yang tertutup tadi. Rudi menoleh, tapi tak berani mendekat. “Ini beneran
aneh. Tapi aku harus lanjut,” katanya pada diri sendiri, suaranya bergetar
sedikit.
Ia menarik
napas dalam, lalu mulai menaiki tangga, satu per satu, menuju lantai yang lebih
gelap di atasnya. Di belakangnya, pintu kecil di lorong itu bergerak sedikit,
membuka celah tipis tanpa ia sadari, dan sesuatu di dalam kegelapan mulai
mengawasinya.
Bab 3: Petunjuk di Lantai Dua
Rudi menaiki
tangga berkarat dengan hati-hati, setiap langkahnya disertai derit logam tua
yang bergema di ruangan kosong. Udara terasa semakin dingin, menyelinap melalui
jaket tipisnya hingga membuat kulitnya merinding. Cahaya matahari dari lantai
bawah tak lagi mencapai tangga tengah, dan kegelapan mulai menyelimuti
pandangannya. Ia mengeluarkan ponselnya, menyalakan senter kecil yang cahayanya
lemah, hanya cukup untuk menerangi beberapa anak tangga di depannya. Bau logam
karat bercampur dengan aroma lembap yang aneh—seperti kain basah yang dibiarkan
terlalu lama—menguar di udara.
Saat ia
sampai di lantai dua, kakinya menginjak lantai beton yang berderit pelan,
seolah struktur bangunan itu sendiri mengeluh di bawah beban. Senter ponselnya
menyapu ruangan, memperlihatkan pemandangan yang lebih jelas namun tak kalah
membingungkan. Ini adalah ruangan luas yang tampak seperti bekas kantor:
meja-meja kayu tua berderet tak beraturan, beberapa terbalik dengan kaki patah,
sementara yang lain masih berdiri miring, ditutupi debu tebal berwarna abu-abu.
Kursi-kursi plastik dan kayu berserakan, beberapa masih dalam posisi duduk
seolah ditinggalkan tergesa-gesa. Di sudut ruangan, tumpukan kertas-kertas
kuning dan sobek bertumpuk di lantai, beberapa terbawa angin samar yang entah
dari mana asalnya.
Rudi
melangkah perlahan, senternya bergerak dari satu sudut ke sudut lain. Cahaya
itu menangkap bayangan-bayangan aneh di dinding—lekukan dan garis yang tampak
seperti siluet manusia, tapi ketika ia mengarahkan cahaya langsung ke sana,
hanya dinding kosong yang terlihat. “Ini kantor apa kuburan sih?” gumamnya,
suaranya terdengar kecil di tengah ruangan yang sunyi. Ia mencoba menenangkan
diri, tapi detak jantungnya malah semakin cepat. Di salah satu meja, ia melihat
sebuah mesin tik tua yang berkarat, tombol-tombolnya tertutup sarang laba-laba.
Di sampingnya, sebuah gelas kaca pecah tergeletak, sisa cairan cokelat di
dalamnya sudah mengering menjadi noda lengket.
Ia mendekati
salah satu meja yang masih utuh, permukaannya penuh goresan dan coretan tinta
yang tak terbaca. Di atasnya, ada secarik kertas yang tampak berbeda—lebih
bersih dibandingkan kertas-kertas lain yang sudah rapuh. Rudi mengambilnya
dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu mengarahkan senter ke tulisan di sana:
“Walk-in interview, lantai tiga.” Tulisannya rapi, ditulis dengan tinta hitam
yang masih pekat, seolah baru ditulis beberapa jam lalu. Ia mengerjap, membaca
ulang kalimat itu. “Lantai tiga? Jadi beneran ada interview di sini?” katanya
pada diri sendiri, nadanya bercampur lega dan curiga.
Ia memutar
kertas itu, mencari tanda-tanda lain—nama perusahaan, tanggal, apa saja—tapi
tak ada. Hanya kalimat singkat itu. Rudi melirik ke arah tangga menuju lantai
tiga yang terlihat di ujung ruangan. Tangga itu lebih sempit dari yang ia naiki
tadi, dengan pegangan besi yang bengkok dan karatnya tampak lebih parah.
Kegelapan di atas sana terlihat pekat, seperti menelan cahaya senternya. “Masa
iya orang bikin interview di tempat kayak gini? Tapi kertas ini… kayak baru
banget,” gumamnya, memutar-mutar kertas itu di tangannya. Ia merasa ada yang
aneh, tapi harapan untuk mendapat kerja mendorongnya untuk terus maju.
Tiba-tiba,
dari sudut ruangan, ia mendengar suara pelan—seperti gesekan kayu di lantai,
diikuti bunyi kecil seperti kertas yang jatuh. Rudi tersentak, senternya
langsung menyapu ke arah suara. Di sudut, sebuah kursi tua yang tadi terbalik
kini berdiri tegak, seolah seseorang baru saja mengangkatnya. Di bawahnya,
beberapa lembar kertas kuning bertebaran, padahal ia yakin tak ada angin yang
cukup kuat untuk menggerakkannya. “Halo? Ada orang di sini?” panggilnya,
suaranya lebih keras kali ini, tapi tetap bergetar. Tak ada jawaban, hanya
keheningan yang kembali menyelimuti ruangan.
Ia melangkah
mendekat ke kursi itu, napasnya mulai tersengal. Senter ponselnya gemetar di
tangannya, membuat bayangan di dinding ikut bergoyang. Ketika ia sampai di
dekat kursi, ia melihat ada bekas tangan di debu tebal yang menutupi
sandarannya—bekas yang terlalu jelas, dengan lima jari yang terlihat sempurna,
seolah seseorang baru saja memegangnya. “Ini apa lagi? Ada yang mainin aku ya?”
katanya, nadanya mulai panik. Ia menoleh ke sekitar, tapi ruangan itu tetap
kosong. Hanya ada meja-meja tua, kursi-kursi rusak, dan kertas-kertas yang kini
terdiam di lantai.
Rudi mundur
beberapa langkah, kembali ke meja tempat ia menemukan kertas tadi. Ia
memasukkan kertas itu ke dalam map CV-nya, tangannya masih gemetar. “Udah,
lanjut aja ke lantai tiga. Mungkin orang-orangnya nunggu di atas,” katanya,
mencoba meyakinkan diri. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ada yang salah dengan
tempat ini. Udara terasa semakin berat, dan setiap langkahnya seperti diawasi
oleh sesuatu yang tak terlihat. Ia melirik ke arah jendela yang pecah di sisi
ruangan—cahaya matahari pagi masih terlihat di luar, tapi entah kenapa tak
mampu menerangi lantai dua sepenuhnya.
Sebelum ia
bergerak ke tangga, ia mendengar suara lagi—kali ini lebih jelas, seperti
langkah kaki pelan dari arah tangga yang ia naiki tadi. Ia membalikkan tubuh,
mengarahkan senter ke bawah. “Siapa di sana? Halo?” panggilnya, tapi cahaya
senternya hanya menangkap debu yang beterbangan di udara. Langkah itu berhenti
sejenak, lalu terdengar lagi, lebih cepat, seolah mendekat. Rudi mundur,
punggungnya menyentuh meja di belakangnya. Tapi tiba-tiba, suara itu lenyap,
meninggalkan keheningan yang lebih mencekam dari sebelumnya.
Dengan napas
tersengal, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga. “Aku harus selesaiin ini.
Aku butuh kerja,” katanya keras-keras, seolah suaranya bisa mengusir rasa
takut. Ia melangkah menuju tangga sempit itu, senternya menerangi anak tangga
pertama yang penuh karat. Di belakangnya, kursi tua di sudut ruangan bergoyang
pelan lagi, tapi Rudi tak menoleh—ia tak ingin tahu apa yang ada di sana.
Bab 4: Wawancara di Lantai Tiga
Rudi menaiki
tangga sempit menuju lantai tiga dengan langkah yang semakin lambat, seolah
kakinya menolak untuk terus maju. Setiap anak tangga mengeluarkan suara
berderit yang tajam, logam karatnya bergesekan di bawah berat tubuhnya. Udara
di sini jauh lebih dingin dari lantai sebelumnya, menyelinap melalui jaketnya
dan membuat giginya gemeretak. Cahaya senter ponselnya terasa semakin lemah,
hanya mampu menerangi lingkaran kecil di depannya, sementara kegelapan di
sekitarnya tampak hidup—bergerak dan bergoyang di sudut matanya. Bau lembap
yang ia cium di lantai dua kini bercampur dengan aroma aneh, seperti bau kertas
terbakar yang samar, meski tak ada tanda-tanda api.
Ketika ia
akhirnya sampai di atas, ia berdiri di ambang lantai tiga, napasnya tersengal.
Ia mengarahkan senter ke sekeliling, dan cahaya itu memperlihatkan ruangan yang
jauh lebih gelap dan sempit dibandingkan lantai dua. Dinding-dindingnya penuh
retakan, beberapa bagian ditutupi noda hitam yang tampak seperti jamur—orang
mungkin bisa salah mengira itu sebagai bayangan manusia yang membeku. Di
langit-langit, sebuah lampu neon tua tergantung miring, kawatnya terlepas dan
berkedip lemah, menciptakan efek strobo yang membuat bayangan di ruangan
bergoyang seperti menari. Di ujung ruangan, ada meja panjang yang terlihat
lebih utuh dibandingkan perabot di lantai bawah, dengan tiga kursi kayu tua di
belakangnya, kosong dan diam seperti menunggu.
Rudi
melangkah masuk, sepatunya meninggalkan jejak di lantai yang ditutupi debu dan
serpihan kayu kecil. “Ini beneran tempat interview? Nggak ada orang sama
sekali,” gumamnya, suaranya bergetar di tengah keheningan yang mencekam. Ia
mendekati meja panjang itu, senternya menyapu permukaannya. Meja itu penuh
goresan dalam, seperti bekas cakar atau pisau yang digoreskan berulang-ulang,
tapi di tengahnya ada selembar kertas kosong yang terlihat bersih—terlalu
bersih untuk tempat seperti ini. Rudi meletakkan map CV-nya di atas meja,
tangannya sedikit gemetar, lalu menarik salah satu kursi di depan meja untuk
duduk. Kursi itu berderit keras saat ia duduk, dan ia merasa ada sesuatu yang
lengket di sandarannya—ia tak berani memeriksanya.
Hening
menyelimuti ruangan, hanya suara angin yang menderu pelan melalui celah-celah
jendela yang pecah di sisi ruangan. Lampu neon di atas terus berkedip, setiap
kedipan membuat bayangan mejanya memanjang dan menyusut di dinding. Rudi
melirik jam di ponselnya—08.55. Lima menit lagi menuju waktu interview.
“Mungkin mereka telat. Atau aku yang salah tempat?” katanya pada diri sendiri,
mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin kencang. Ia menarik napas
dalam, mencium bau aneh itu lagi—lebih kuat sekarang, seperti campuran asap dan
sesuatu yang membusuk.
Tiba-tiba,
ia mendengar langkah kaki pelan dari arah tangga yang ia naiki tadi. Suaranya
teratur, berat, seperti seseorang yang berjalan dengan penuh tujuan. Rudi
berdiri cepat, map CV-nya hampir jatuh dari tangan. “Halo, selamat pagi. Saya
Rudi, pelamar untuk posisi staf administrasi,” panggilnya, suaranya dipaksakan
agar terdengar tegas meski ada nada gugup yang tak bisa disembunyikan. Langkah
itu mendekat, tapi tak ada yang muncul dari kegelapan tangga. Ia mengarahkan
senter ke arah sana, tapi cahaya itu hanya menangkap debu yang beterbangan di
udara, berputar seperti diputar oleh angin tak terlihat.
Kemudian,
dari tengah ruangan—bukan dari tangga—terdengar suara serak yang dalam, seperti
gesekan logam tua bercampur napas. “Duduk.” Rudi tersentak, senternya jatuh ke
lantai dan berguling, cahayanya kini mengarah ke dinding kosong. “Siapa itu? Di
mana Anda?” tanyanya, nadanya panik sambil memungut ponselnya dengan tangan
gemetar. Tak ada jawaban, tapi udara terasa semakin berat, seperti ada tekanan
tak terlihat yang menekan pundaknya. Ia menurut, duduk kembali di kursi dengan
napas tersengal, matanya berusaha menembus kegelapan di depannya.
Dari
bayangan di ujung ruangan, tiga sosok perlahan muncul. Mereka bergerak tanpa
suara, seperti melayang di atas lantai, dan duduk di kursi-kursi di belakang
meja. Cahaya lampu neon yang berkedip sesekali menerangi mereka, tapi wajah
mereka tetap kabur—seperti gambar yang buram atau terhapus, tak ada garis yang
jelas kecuali mata mereka: hitam pekat, dalam, menatap Rudi tanpa berkedip.
Rudi merasa tenggorokannya kering, tangannya mencengkeram map CV di
pangkuannya. “Ini… ini interview-nya ya? Saya bawa CV saya,” katanya, suaranya
hampir hilang di tengah ketakutan yang mulai merayap.
Sosok di
tengah mengangguk pelan, gerakannya kaku seperti boneka rusak. Lampu neon
berkedip lagi, dan untuk sesaat, Rudi melihat sesuatu di tangan sosok
itu—sebuah pena tua dengan tinta merah yang menetes ke meja, meski tak ada
kertas di depannya. “Kalian dari Graha Sentosa kan? Aku cuma mau pastiin,”
tanya Rudi, mencoba mencari logika di tengah situasi yang semakin tak masuk
akal. Sosok di kiri memiringkan kepala, dan suara gesekan kecil terdengar—seperti
tulang yang bergeser. Tak ada jawaban, tapi tatapan mereka semakin tajam,
menusuk hingga Rudi merasa seperti telanjang di depan mereka.
Lampu neon
berkedip lebih cepat sekarang, dan bayangan tiga sosok itu memanjang di
dinding, terdistorsi menjadi bentuk yang tak wajar—kepala terlalu besar, lengan
terlalu panjang. Rudi menelan ludah, mencium bau busuk yang kini lebih kuat,
seolah berasal dari mereka. “Aku… aku cuma mau kerja. Kalau ini bukan
tempatnya, aku bisa pergi,” katanya, nadanya memohon sambil melirik ke arah
tangga. Tapi sebelum ia bisa berdiri, sosok tengah mengangkat
tangan—jari-jarinya kurus dan pucat, dengan kuku hitam yang melengkung—dan
ruangan tiba-tiba terasa lebih kecil, seperti dinding-dindingnya merapat.
“Kami mulai
sekarang,” kata sosok tengah, suaranya bergema seperti banyak orang berbisik
bersamaan, bercampur desis yang menusuk telinga. Rudi terdiam, matanya terpaku
pada mereka, menyadari bahwa ia tak punya pilihan lain selain duduk dan
menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Bab 5: Pertanyaan yang Mengerikan
Rudi duduk
kaku di kursi kayu tua, tangannya mencengkeram map CV hingga kertas di dalamnya
berkerut. Cahaya lampu neon di atas kepalanya terus berkedip, setiap kedipan
memperlihatkan tiga sosok di depannya dengan lebih jelas—tapi juga lebih
mengerikan. Wajah mereka tetap kabur, seperti bayangan yang terdistorsi oleh
air, tapi mata hitam mereka terasa hidup, menembus kegelapan dan menatap
langsung ke dalam dirinya. Ruangan terasa semakin dingin, napas Rudi membentuk
uap putih kecil yang menggantung di udara sebelum lenyap. Bau busuk yang samar
kini semakin menyengat—bau seperti daging yang membusuk dicampur asap tua,
seolah sesuatu di ruangan ini sudah lama mati namun tetap berada di sini.
Sosok
tengah—yang tampak sebagai pemimpin—mengangkat kepalanya perlahan, gerakannya
kaku seperti boneka yang ditarik tali. “Ceritakan tentang diri Anda,” katanya,
suaranya bergema seperti paduan banyak orang berbicara bersamaan, bercampur
desis angin yang menusuk telinga. Nada itu tak alami, terlalu dalam dan terlalu
bergetar, membuat tulang punggung Rudi merinding. Ia menelan ludah,
tenggorokannya terasa kering seperti ditutupi debu. “Aku… nama saya Rudi. Umur
27 tahun. Aku pernah kerja sebagai admin di perusahaan kecil selama dua tahun,
tapi mereka bangkrut, jadi aku cari kerja lagi,” jawabnya, suaranya tergagap
dan terputus-putus. Ia mencoba menjaga nada tetap profesional, tapi ketakutan
membuat kata-katanya terdengar lemah.
Saat ia
berbicara, udara di sekitarnya terasa semakin berat, seperti ada tangan tak
terlihat yang menekan pundaknya. Sosok di sebelah kiri—yang lebih
pendiam—mengeluarkan pena tua dari saku jasnya yang compang-camping. Pena itu
berkarat, tapi tinta merah yang menetes dari ujungnya terlihat segar,
meninggalkan noda kecil di meja yang langsung meresap ke kayu. Ia mulai
mencatat sesuatu di udara—tanpa kertas—dengan gerakan tangan yang lambat dan
terputus-putus, seperti menulis di permukaan tak kasat mata. Rudi memandangnya,
matanya melebar. “Itu… itu untuk apa? Kalian nyatet jawaban aku?” tanyanya,
nadanya bercampur bingung dan takut. Sosok itu tak menjawab, hanya terus
“menulis,” dan setiap gerakan penanya disertai suara gesekan kecil yang mirip
tulang bergesekan.
Sosok di
kanan tiba-tiba tersenyum—mulutnya melebar terlalu jauh, melampaui batas wajah
manusia, memperlihatkan deretan gigi hitam yang tajam dan tak beraturan,
seperti pecahan kaca yang dicat gelap. Senyum itu tak wajar, terlalu lemah dan
terlalu dingin, membuat Rudi mundur sedikit di kursinya. Lampu neon berkedip
lagi, dan untuk sesaat, ia melihat bayangan sosok itu di dinding—kepala yang
terlalu besar, dengan mulut terbuka lebar seperti sedang menjerit. “Kalian
beneran dari Graha Sentosa kan? Aku cuma mau pastiin ini interview beneran,”
katanya, suaranya hampir memohon, mencari pegangan logika di tengah situasi
yang semakin tak masuk akal.
Sosok tengah
mengangguk lagi, kali ini lebih cepat, dan suara kecil seperti tawa pelan
terdengar dari mulutnya—tapi tak ada ekspresi di wajah kabur itu. “Kami suka
Anda,” katanya, kata-kata itu bergema lebih lama dari yang seharusnya, seolah
dinding ruangan ikut mengulanginya. “Tapi kami butuh komitmen Anda… selamanya.”
Kalimat terakhir itu terdengar lebih tajam, seperti pisau yang menggores udara.
Rudi merasa jantungnya berhenti sejenak. “Selamanya? Maksudnya apa? Ini kontrak
kerja biasa kan?” tanyanya, nadanya panik sambil melirik ke arah tangga,
mencari jalan keluar.
Sebelum ia
bisa mendapatkan jawaban, lampu neon di atas tiba-tiba mati total. Gelap
menyelimuti ruangan seperti selimut tebal, menelan semua bentuk dan bayangan.
Rudi mendengar suara kursi bergeser mendekat—bukan satu, tapi tiga—dari arah
yang berbeda. Napas berat terasa di lehernya, dingin dan lembap, seperti
hembusan dari lubang bawah tanah. “Tunggu! Jangan deket-deket! Aku cuma mau
kerja!” teriaknya, berdiri dengan cepat hingga kursinya jatuh ke belakang.
Tangan dingin menyentuh pundaknya, jari-jarinya kurus dan licin, mencengkeram
erat seolah tak ingin ia pergi. Ia meronta, tapi cengkeraman itu semakin kuat,
dan suara bisikan samar mulai terdengar di telinganya—bukan satu suara, tapi
puluhan, berulang-ulang: “Kamu milik kami.”
Rudi
menjerit, melepaskan diri dengan sekuat tenaga, dan berlari membabi buta ke
arah tangga. Kakinya tersandung sesuatu—mungkin kursi atau puing di lantai—tapi
ia tak peduli. Ia merangkak turun, tangannya mencengkeram pegangan tangga yang
berkarat hingga kulitnya tergores. Di belakangnya, ia mendengar langkah-langkah
berat yang mengikuti, lambat tapi pasti, disertai suara gesekan seperti kain
tua yang diseret di lantai. “Tolong! Ada yang denger aku nggak?!” teriaknya
lagi, meski ia tahu tak ada orang lain di bangunan ini. Cahaya senter ponselnya
yang jatuh tadi masih menyala di lantai tiga, menerangi tiga sosok yang kini
berdiri di ambang tangga, menatapnya dengan mata hitam yang tak berkedip.
Ia terus
berlari, menuruni tangga dengan napas tersengal, hingga akhirnya sampai di
lantai bawah. Ia tak berhenti, langsung merangkak keluar melalui pintu depan
yang masih terbuka. Udara pagi di luar terasa hangat dibandingkan dinginnya
lantai tiga, tapi tubuhnya masih gemetar hebat. Ia menoleh ke belakang—bangunan
itu berdiri diam, sunyi, seperti tak pernah disentuh oleh apa yang baru saja ia
alami. Namun, di jendela lantai tiga, ia melihat bayangan samar tiga sosok itu,
berdiri berjajar, menatapnya tanpa gerakan.
Rudi
terduduk di trotoar, tangannya memegang dada yang berdegup kencang. “Apa yang
barusan aku masukin? Itu bukan interview,” katanya pada diri sendiri, suaranya
serak dan penuh ketakutan. Ia tak tahu bahwa apa yang ia tinggalkan di lantai
tiga belum selesai dengannya—dan bahwa mereka akan terus memanggilnya kembali.
Bab 6: Kebenaran yang Tersembunyi
Rudi
terduduk di trotoar di depan bangunan tua itu, napasnya tersengal-sengal
seperti habis berlari maraton. Udara pagi yang seharusnya segar terasa berat di
paru-parunya, bercampur aroma tanah basah dan rumput liar yang menyengat.
Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin membasahi dahi dan punggungnya, meski
angin pagi berhembus pelan melalui jaket tipisnya. Ia menatap bangunan di
depannya—dinding kusam, jendela-jendela pecah, dan pintu depan yang masih
terbuka sedikit, bergoyang pelan seolah mengundangnya kembali masuk. Cahaya
matahari yang mulai tinggi tak mampu menghapus bayangan gelap yang masih ia
rasakan, seperti ada sesuatu yang menempel di kulitnya dari lantai tiga.
Ia menggosok
wajahnya dengan tangan yang masih bergetar, mencoba menenangkan diri. “Aku
harus pergi dari sini. Apa pun itu tadi, aku nggak mau balik lagi,” katanya
pada diri sendiri, suaranya serak dan patah-patah. Ia berdiri perlahan,
lututnya terasa lemas seperti karet yang meleleh, dan melirik ke sekitar. Jalan
Melati tampak sepi—hanya ada beberapa pohon tua yang berdiri di pinggir jalan,
ranting-rantingnya bergoyang pelan seolah mengangguk padanya. Di kejauhan, ia
mendengar suara sapu yang bergesekan dengan aspal, dan matanya menangkap sosok
tukang sapu yang ia lihat sebelum masuk tadi, masih bekerja di ujung jalan.
Rudi
berjalan tertatih menuju tukang sapu itu, map CV-nya masih ia genggam erat
meski sudutnya sudah kusut. Pria tua itu mengenakan topi caping lusuh dan
seragam oranye yang pudar, wajahnya penuh kerutan dan matanya sayu seperti
orang yang terlalu lama menatap dunia. Ia berhenti menyapu saat Rudi mendekat,
menatapnya dengan alis sedikit terangkat. “Pak, tanya dong. Itu bangunan apa
sih? Katanya kantor, tapi kok… nggak ada orang?” tanya Rudi, nadanya bercampur
bingung dan takut. Pria tua itu memandangnya sejenak, lalu melirik ke arah
bangunan tua itu dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara rasa jijik
dan ketakutan yang tersembunyi.
“Kantor di
bangunan itu?” jawab pria tua itu, suaranya pelan tapi berat, seperti orang
yang tak ingin terlalu banyak bicara. “Itu udah kosong puluhan tahun Nak. Dulu
sih iya, katanya ada kantor pemasaran, namanya… apa ya, Graha Sentosa mungkin.
Tapi semua karyawannya hilang dalam semalam. Nggak ada yang tahu kemana.” Ia
menggenggam sapunya lebih erat, seolah cerita itu membangkitkan ingatan yang
ingin ia kubur. Rudi merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Hilang?
Maksudnya apa Pak? Kecelakaan gitu?” tanyanya, berharap ada penjelasan logis
yang bisa menenangkan pikirannya.
Pria tua itu
menggeleng pelan, matanya kini menatap bangunan itu dengan tatapan kosong.
“Bukan kecelakaan. Kata orang-orang, malam itu ada yang denger suara aneh dari
dalam—teriakan, ketukan, langkah kaki. Paginya, kantor kosong. Meja-meja masih
ada barang, tapi orangnya… lenyap. Polisi dateng, tapi nggak nemu apa-apa. Dari
situ, nggak ada yang berani masuk lagi. Katanya, mereka masih ‘bekerja’ di
sana, nunggu orang baru buat gantiin.” Ia berhenti bicara, lalu meludah ke
tanah seolah membuang sesuatu dari mulutnya. “Kamu masuk tadi ya? Liat apa di
dalam?” tanyanya, nadanya tiba-tiba tajam.
Rudi menelan
ludah, ingatan tentang tiga sosok di lantai tiga kembali membanjiri
pikirannya—mata hitam pekat, suara serak, dan tangan dingin yang
mencengkeramnya. “Saya… saya cuma mau interview kerja. Ada iklan di internet.
Tapi di dalam ada… ada yang aneh. Orang-orang, tapi nggak jelas wajahnya.
Mereka bilang saya diterima, tapi saya langsung kabur,” katanya, suaranya
gemetar saat menceritakan kembali. Pria tua itu mengangguk pelan, seolah tak
terkejut. “kamu beruntung bisa keluar Nak. Banyak yang bilang, yang masuk ke
situ nggak selalu pulang. Kamu bawa apa dari dalam?” tanyanya lagi, matanya
kini menatap map di tangan Rudi.
Rudi melirik
map CV-nya, tiba-tiba menyadari sesuatu. Ia membukanya dengan tangan gemetar,
dan di antara kertas-kertasnya, ia menemukan secarik kertas yang tak ia
masukkan sebelumnya—kertas yang ia temukan di lantai dua, bertuliskan “Walk-in interview,
lantai tiga.” Tapi sekarang, ada tambahan tulisan di bawahnya dengan tinta
merah yang tampak basah: “Kami sudah memilihmu.” Jantungnya hampir berhenti.
“Ini… ini nggak aku bawa! Kapan ini masuk ke sini?” katanya keras-keras,
nadanya panik sambil menunjukkan kertas itu pada pria tua.
Pria tua itu
mundur selangkah, wajahnya pucat. “Buang itu Nak! Jangan bawa pulang apa pun
dari situ!” katanya, suaranya bergetar sebelum ia buru-buru kembali menyapu,
seolah ingin menjauh dari Rudi dan kertas itu. Rudi menatap kertas itu sejenak,
lalu melemparkannya ke trotoar dengan tangan gemetar. Angin pagi meniup kertas
itu perlahan ke arah bangunan, seolah ditarik kembali ke tempat asalnya.
Rudi
berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Jalan Melati, langkahnya tergesa-gesa
seolah dikejar sesuatu. Ia naik ke motornya yang diparkir di ujung jalan,
tangannya masih gemetar saat memutar kunci. “Aku nggak bakal balik lagi. Udah,
lupain aja,” katanya pada diri sendiri, mencoba menghibur diri meski suaranya
tak meyakinkan. Di belakangnya, bangunan tua itu berdiri diam, tapi dari
jendela lantai tiga, bayangan samar tiga sosok muncul lagi, berdiri berjajar,
menatap kepergiannya dengan mata yang tak pernah berkedip.
Saat ia
sampai di rumah, tubuhnya masih gemetar. Ia melemparkan diri ke kasur, mencoba
melupakan apa yang terjadi. Malam itu, ia bermimpi kembali ke lantai tiga,
duduk di kursi yang sama, dengan tiga sosok itu menatapnya. “Kamu sudah
diterima,” bisik mereka, suara mereka bergema di kepalanya hingga ia terbangun
dengan keringat dingin. Keesokan paginya, ia membuka map CV-nya untuk membakar
semua kenangan dari hari itu—tapi di dalamnya, kertas dengan tulisan merah itu
ada lagi, utuh, seolah tak pernah ia buang.
Bab 7: Panggilan yang Tak Berhenti
Rudi kembali
ke kamar kontrakannya sore itu dengan tubuh yang terasa seperti ditarik oleh
gravitasi berlipat ganda. Setiap langkahnya berat, seolah lantai tiga bangunan
tua itu masih menempel di kakinya, menariknya kembali ke Jalan Melati. Ia
menjatuhkan diri ke kasur tipisnya, bau apek dari kain tua itu menyelinap ke
hidungnya, tapi ia terlalu lelah untuk peduli. Jaketnya yang basah keringat ia
lempar ke sudut kamar, dan map CV-nya—bersama kertas misterius itu—ia simpan di
meja kecil yang penuh coretan. Cahaya senja masuk melalui jendela kayu yang
retak, memanjangkan bayangan meja hingga ke dinding, dan untuk sesaat, bayangan
itu tampak seperti siluet tiga sosok yang ia temui di lantai tiga.
Ia menutup
mata, mencoba mengusir ingatan tentang wajah kabur, mata hitam pekat, dan suara
serak yang bergema di kepalanya. “Udah selesai. Aku nggak bakal balik ke sana,”
katanya pada diri sendiri, suaranya serak dan lemah, lebih seperti mantra untuk
menenangkan diri ketimbang keyakinan sejati. Tapi setiap kali ia mencoba
rileks, sensasi tangan dingin yang mencengkeram pundaknya di lantai tiga
kembali terasa—seperti bayangan yang tak mau pergi, menempel di kulitnya. Ia
menggosok pundaknya tanpa sadar, merasa ada bekas lengket di sana meski tak ada
apa-apa saat ia memeriksanya di cermin kecil yang tergantung miring.
Malam tiba
lebih cepat dari yang ia harapkan. Angin malam menderu di luar, membuat jendela
kayu tua bergetar dan mengeluarkan suara ketukan pelan yang tak beraturan. Rudi
duduk di kasur, menyalakan lampu meja yang cahayanya redup dan berkedip seperti
lampu neon di lantai tiga. Ia mengambil ponselnya, berharap bisa mengalihkan
pikiran dengan menonton video atau apa saja—tapi sinyalnya lemah, dan layar
terus menunjukkan notifikasi pesan tak dikenal yang muncul tiba-tiba: “Jangan
lupa hari pertama kerjamu.” Rudi membeku, jarinya gemetar di atas tombol hapus.
“Ini apa lagi? Aku udah hapus semua pesan aneh kemarin,” gumamnya, nadanya
panik sambil buru-buru mematikan ponsel.
Tiba-tiba,
terdengar ketukan di pintu kamarnya—pelan, tapi teratur, seperti seseorang yang
tak terburu-buru. Rudi menoleh cepat, jantungnya berdegup kencang. “Budi? kamu
pulang cepet ya?” panggilnya, berharap itu temen sekamarnya yang memang sering
pulang larut. Tak ada jawaban, hanya ketukan itu lagi—tiga kali, jeda, lalu
tiga kali lagi. Ia bangkit dari kasur, kakinya terasa dingin saat menyentuh
lantai, dan berjalan perlahan menuju pintu. Ia mengintip melalui celah kecil di
kayu—lorong gelap di luar tampak kosong, tapi bayangan samar tiga sosok berdiri
di ujung lorong, diam, menatapnya dengan kepala sedikit miring. “Siapa di
luar?! Kalau nggak jawab, aku nggak buka!” teriaknya, suaranya bergetar hebat.
Ketukan berhenti, dan bayangan itu lenyap seolah ditelan kegelapan.
Rudi mundur,
punggungnya menempel ke dinding dingin. Ia tak berani membuka pintu, tapi rasa
takut membuatnya terus memeriksa—melalui celah jendela, melalui lubang
kunci—dan setiap kali, lorong tampak kosong. “Ini cuma halusinasi. Aku cape doang,”
katanya keras-keras, mencoba meyakinkan diri meski tangannya masih gemetar. Ia
kembali ke kasur, menarik selimut hingga menutupi kepala, berharap tidur bisa
menghapus semuanya. Tapi malam itu, mimpinya lebih buruk dari kenyataan—ia
duduk kembali di lantai tiga, kursi kayunya lengket dan dingin, dengan tiga
sosok itu menatapnya. “Kamu sudah diterima,” bisik mereka, suara mereka bergema
di kepalanya seperti ribuan jarum kecil yang menusuk.
Ia terbangun
dengan teriakan kecil, keringat dingin membasahi kausnya. Jam di ponsel
menunjukkan pukul 03.00 pagi. Rudi duduk tegak, napasnya tersengal, dan
mendengar suara samar dari luar—langkah kaki pelan, seperti yang ia dengar di
bangunan tua itu, berjalan di lorong menuju pintunya. “Ini nggak bener. Aku
harus ngomong sama orang,” katanya, memutuskan untuk mencari bantuan. Pagi
harinya, ia pergi ke warung kopi dekat kontrakan, tempat ia sering nongkrong
bersama temen sekamarnya, Budi, yang kebetulan ada di sana.
Budi, pria
kurus dengan rambut acak-acakan, duduk di bangku kayu sambil menyeruput kopi
hitam. Ia melirik Rudi yang tampak pucat dan lingkaran hitam di matanya lebih
gelap dari biasanya. “Kamu kenapa, Rud? Kayak abis ketemu setan,” tanya Budi,
nadanya setengah bercanda. Rudi duduk di depannya, tangannya memegang gelas
kosong yang ia pesan tapi tak disentuh. “Aku… aku kemarin ke tempat aneh, Bud.
Jalan Melati No. 17. Katanya ada interview kerja, tapi di dalam… ada yang nggak
beres. Orang-orang, tapi bukan orang. Mereka bilang aku diterima, tapi aku
kabur. Sekarang… kayaknya mereka ngejar aku,” ceritanya, suaranya pelan tapi
penuh ketakutan.
Budi
mengerutkan kening, lalu tertawa kecil. “kamu serius? Jalan Melati? Itu kan
tempat tua yang katanya angker. kamu percaya iklan kerja dari mana sih?”
tanyanya, tapi tawanya memudar saat melihat ekspresi serius Rudi. “Dari situs
lowongan biasa. Tapi sekarang iklannya hilang. Dan ini…” Rudi mengeluarkan
kertas bertulisan “Kami sudah memilihmu” dari saku jaketnya, menunjukkannya
pada Budi. Tinta merah itu tampak lebih gelap hari ini, seperti darah yang
belum kering. Budi mundur sedikit di kursinya. “Buang itu Rud! kamu bawa pulang
apa sih dari sana?” katanya, nadanya tegas tapi ada ketakutan di matanya.
Rudi
mengangguk, lalu merobek kertas itu di depan Budi, mencoba membuktikan bahwa ia
bisa melepaskan diri. Tapi malam itu, saat ia melewati Jalan Melati dalam
perjalanan pulang dari warung—meski ia sengaja memilih rute lain—ia mendengar
suara serak memanggil namanya dari kejauhan. “Rudi… kami tunggu…” bisik suara
itu, terbawa angin malam. Ia mempercepat langkah, tapi ponselnya bergetar lagi
dengan notifikasi yang sama: “Jangan lupa hari pertama kerjamu.” Ketika ia
sampai di kamar, ia menemukan potongan kertas yang ia robek tadi malam utuh
kembali di atas meja, dengan tambahan kalimat baru di bawahnya: “Kamu tak bisa
lari.”
Sejak itu,
setiap malam, ketukan di pintu kembali terdengar, dan bayangan tiga sosok itu
muncul di lorong, semakin dekat setiap harinya. Rudi tahu, cepat atau lambat,
ia harus menghadapi Graha Sentosa lagi—atau mereka akan menjemputnya,
membawanya kembali ke lantai tiga untuk selamanya.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
%20(8).png)
Komentar
Posting Komentar