#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG
SUNDEL BOLONG.
Sore
itu, udara di pinggir sungai terasa sejuk, namun lembap. Ratih, seorang ibu
muda yang sedang mencuci pakaian, duduk di sebuah batu besar yang rata. Gerakan
tangannya teratur, mengucek pakaian satu per satu, sementara pikirannya
melayang memikirkan putranya, Budi, yang sedang bermain di rumah. Ia sudah
terbiasa dengan rutinitas ini. Sungai yang mengalir tenang, suara gemericik
air, dan kicauan burung di pepohonan menjadi melodi yang menenangkan setiap
harinya.
Namun,
ketenangan sore itu mendadak terusik. Matanya menangkap sesuatu yang tidak
biasa. Di antara tumpukan batu dan ranting-ranting pohon yang tersangkut di
tepian, ia melihat sebuah kotak kayu usang berwarna cokelat gelap. Kotak
itu tampak sudah tua, permukaannya ditumbuhi lumut dan sedikit retak. Rasa
penasaran yang tak terbendung mendorongnya untuk berdiri dan mendekati kotak
itu.
"Kotak
apa ini?" gumam Ratih pada dirinya sendiri.
Ia
mengambil kotak itu, membersihkan lumpur yang menempel, lalu dengan hati-hati
membuka penutupnya yang sudah rapuh. Seketika, aroma aneh tercium, bukan aroma
lumpur atau kayu basah, melainkan bau wangi melati yang sangat kuat,
menusuk indra penciumannya. Di dalam kotak, terbungkus rapi dalam selembar kain
batik yang kusam dan hampir lapuk, ia menemukan dua benda. Sebuah sisir kayu
kuno dengan ukiran yang rumit dan sebuah konde yang terbuat dari
sanggul rambut palsu yang sudah kusam dan menguning.
Saat
jari-jari Ratih menyentuh sisir dan konde itu, sensasi dingin yang aneh merambat
dari ujung jarinya hingga ke seluruh tubuh. Bulu kuduknya merinding, dan ia
merasakan hawa dingin yang menusuk, seolah-olah ada seseorang yang berdiri di
belakangnya. Ia menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa. Angin bertiup kencang,
membuat dedaunan bergesekan, namun ia tidak merasakan itu. Yang ia rasakan
hanyalah kedinginan yang aneh dan mencekam.
Ia
kembali menatap sisir dan konde di tangannya. Tiba-tiba, dari balik semak
belukar yang rimbun di seberang sungai, terdengar suara. Bukan suara gemericik
air atau kicauan burung, melainkan tawa melengking yang menusuk telinga.
Tawa itu terdengar seperti gabungan antara tawa anak-anak dan tangisan wanita
yang pilu. Ratih tersentak, menjatuhkan kotak itu, dan berdiri kaku.
Ia
menoleh ke arah sumber suara. Di sana, di antara rerimbunan semak, perlahan
muncul sesosok wanita berambut panjang, terurai sampai menyentuh pinggang. Ia
mengenakan gaun putih yang kotor dan compang-camping. Gaun itu menutupi
tubuhnya, tapi Ratih bisa melihat sesuatu yang mengerikan di punggungnya.
Sebuah lubang besar yang menganga, dipenuhi dengan belatung yang bergerak-gerak
di dalamnya. Wajah wanita itu pucat pasi, matanya melotot, dan bibirnya
tertarik membentuk sebuah senyuman yang mengerikan.
Wanita
itu melayang, bergerak mendekat tanpa suara. Dengan tatapan yang kosong, ia
mengangkat tangannya yang kurus dan pucat, lalu menunjuk ke arah sisir dan
konde yang ada di tangan Ratih. Itu adalah Sundel Bolong. Ia tidak
mengeluarkan suara, tapi isyaratnya sudah sangat jelas. Ia menginginkan
benda-benda itu kembali. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh Ratih. Ia
tahu, ia telah melakukan kesalahan besar.
Sejak
sore yang mengerikan di pinggir sungai itu, hidup Ratih tidak lagi mengenal
kata tenang. Malam-malam yang sebelumnya hening kini dipenuhi dengan
suara-suara aneh. Setiap kali jam menunjukkan pukul 11 malam, sebuah aroma
tajam bunga melati menusuk indra penciumannya, seolah ada sesajen yang
baru diletakkan di dalam rumah. Lalu, diikuti dengan suara tawa melengking
yang terdengar jauh namun menusuk hingga ke tulang. Tawa itu kadang seperti
tangisan, kadang seperti ejekan, membuat bulu kuduknya merinding setiap kali
mendengarnya.
Ratih
berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah halusinasi. Namun, teror itu tidak
berhenti di luar rumah. Sundel Bolong yang ditemuinya di sungai kini seperti
penguntit yang setia. Ratih sering merasakan hawa dingin yang aneh di
dalam rumah, terutama di dekat jendela atau pintu. Pada suatu malam, saat ia
sedang menidurkan putranya, Budi, ia melihat bayangan putih melintas di balik
jendela kamar. Bayangan itu sangat cepat, hanya sesaat, tapi ia tahu itu bukan
bayangan biasa.
"Bu,
itu... itu ada teman," celetuk Budi, putranya yang berusia lima tahun,
sambil menunjuk ke arah jendela.
Ratih
terkesiap. "Teman siapa Nak?" tanyanya, suaranya tercekat.
Budi
hanya tersenyum polos. "Teman mama. Cantik, tapi matanya merah."
Jantung
Ratih serasa berhenti. Ia tahu, Budi melihat sosok yang sama yang dilihatnya di
sungai. Namun, ia berusaha menenangkan diri. "Tidak ada teman siapa-siapa
Nak. Ayo, tidur," katanya sambil memeluk Budi erat-erat.
Suami
Ratih, Dika, yang bekerja hingga larut malam, awalnya tidak percaya
dengan cerita Ratih. Ia menganggap Ratih hanya terlalu lelah dan terlalu
terpengaruh oleh cerita-cerita seram.
"Mungkin
kamu terlalu banyak memikirkan benda-benda itu, Sayang. Sudahlah, buang saja
sisir dan konde itu," kata Dika, mencoba merasionalisasi.
Namun,
Dika mulai merasakan keanehan itu sendiri. Suatu malam, ia terbangun karena
haus. Saat ia berjalan ke dapur, ia melihat bayangan putih samar
melintas di balik jendela ruang tamu. Ia menggosok matanya, mengira itu
hanyalah ilusi. Tapi kemudian, ia mendengar suara bisikan halus di
telinganya, memanggil namanya dengan nada yang dingin.
"Di...ka...
Di...ka..."
Dika
menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa. Hawa dingin yang aneh merambat di
belakangnya. Ia akhirnya percaya. Malam itu, ia duduk di samping Ratih yang
ketakutan.
"Aku
juga merasakannya Ratih. Dia ada di sini," bisik Dika, wajahnya pucat.
Ratih
akhirnya menceritakan semuanya, dari awal ia menemukan kotak di sungai hingga
ia melihat Sundel Bolong itu menunjuk ke arahnya. "Aku yakin, benda-benda
itu yang mengikatnya. Dia ingin sisir dan konde itu kembali," kata Ratih
sambil memegang erat tangan Dika.
"Lalu,
kenapa dia tidak mengambilnya saja?" tanya Dika, bingung.
"Aku
tidak tahu. Tapi aku merasa, dia tidak bisa mengambilnya. Atau mungkin, dia
ingin kita yang mengembalikannya," jawab Ratih, tatapannya kosong.
Mereka
berdua menyadari bahwa mereka telah terseret ke dalam sebuah misteri yang jauh
lebih dalam dari sekadar cerita seram. Benda-benda kuno itu bukan hanya penyebab
teror, melainkan kunci dari sebuah takdir yang harus mereka selesaikan. Dan
mereka tahu, mereka tidak bisa lari. Mereka harus menghadapi Sundel Bolong itu,
atau hidup mereka akan terus dihantui.
Pagi
itu, setelah malam yang penuh teror, Ratih dan Dika memutuskan bahwa mereka
tidak bisa lagi tinggal diam. Teror yang mereka rasakan semakin nyata, dan
mereka tahu satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah dengan menghadapi
Sundel Bolong itu. Ratih mengeluarkan sisir dan konde yang ia temukan dari
dalam lemari. Benda-benda itu terlihat biasa saja, tapi hawa dingin yang
menusuk masih terasa.
"Kita
harus cari tahu Mas. Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia terus mengikuti
kita?" tanya Ratih, suaranya bergetar.
Dika
mengangguk setuju. "Kita tanya ke Pak Mursid. Dia yang paling tahu sejarah
desa ini."
Mereka
pun bergegas menemui Pak Mursid, seorang sesepuh desa yang tinggal di ujung
jalan. Awalnya, Pak Mursid hanya tersenyum maklum, menganggap cerita mereka
sebagai isapan jempol. Namun, ketika Ratih menunjukkan sisir dan konde
itu, senyum di wajahnya lenyap. Matanya menatap benda-benda itu dengan tatapan
yang penuh rasa takut dan duka.
"Ini...
ini milik almarhumah Sinta," bisik Pak Mursid, suaranya serak. "Sudah
lama sekali, puluhan tahun lalu."
Pak
Mursid kemudian menceritakan sebuah legenda yang hampir terlupakan. Sinta
adalah seorang penari ronggeng yang sangat terkenal dan dicintai warga
desa. Ia dikenal memiliki paras yang cantik dan kebaikan hati yang luar biasa.
Namun, Sinta tewas secara tragis, dibunuh oleh seseorang yang cemburu dan
dendam kepadanya. Ia dibunuh saat sedang berjalan di pinggir sungai, dan
jasadnya ditemukan keesokan harinya.
"Warga
desa memakamkannya dengan layak," lanjut Pak Mursid. "Tapi, ada yang
bilang arwahnya tidak pernah tenang. Ia masih terikat dengan benda-benda
kesayangannya ini."
"Jadi
Sundel Bolong yang kami lihat itu... Sinta?" tanya Dika, tak percaya.
Pak
Mursid mengangguk. "Ya. Dia sering muncul di sungai, tempat dia dibunuh.
Tapi, dia bukan hantu pendendam. Dia hanya ingin benda-benda miliknya
kembali."
Ratih
merasa sedikit lega, tapi ketakutannya belum sepenuhnya hilang. "Lalu,
bagaimana cara kami mengembalikannya Pak? Dia... dia sangat mengerikan,"
kata Ratih.
Pak
Mursid menarik napas dalam-dalam. "Untuk mengembalikan benda yang dicari
oleh roh, kalian harus melakukan sebuah ritual. Ritual ini berbahaya, karena
kalian harus kembali ke tempat dia tewas, ke pinggir sungai itu."
"Kapan
kami harus melakukannya?" tanya Dika.
"Tepat
di malam bulan purnama. Malam ini," jawab Pak Mursid, membuat Ratih
dan Dika terkesiap. "Pada saat bulan purnama, kekuatan spiritualnya akan
mencapai puncaknya, dan kalian bisa berkomunikasi dengannya. Kalian harus
mengembalikan sisir dan konde itu ke tempat kalian menemukannya, di atas
bebatuan."
Pak
Mursid memandang mereka berdua dengan tatapan prihatin. "Tapi ingat, ini
sangat berbahaya. Sundel Bolong itu akan merasa marah karena kalian sudah lama
menyimpan barang-barangnya. Kalian harus berani, dan jangan pernah lari. Jika
kalian berhasil, dia akan tenang. Jika gagal... entahlah. Ada risiko kalian
akan menjadi bagian dari legenda rumah ini."
Dika
dan Ratih pulang dengan hati yang diliputi kecemasan. Mereka memandang sisir
dan konde itu, benda-benda yang dulunya mereka anggap tidak berarti, kini
menjadi kunci dari hidup dan mati mereka. Malam ini, mereka harus kembali ke
tempat di mana teror itu dimulai. Malam ini, mereka harus menghadapi Sundel
Bolong itu, bukan lagi sebagai orang yang ketakutan, melainkan sebagai orang
yang berani.
Malam
itu, bulan purnama bersinar terang, memancarkan cahaya perak yang suram di atas
desa. Cahaya itu menerangi jalan setapak yang dilalui Ratih dan Dika menuju
sungai. Hati mereka berdebar kencang, setiap langkah terasa berat, dan udara
terasa sangat dingin. Ratih memegang erat kotak berisi sisir dan konde
itu, tangannya gemetar. Dika berjalan di sampingnya, memegang obor, wajahnya
tegang.
"Kamu
yakin Mas?" bisik Ratih, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku
takut."
Dika
mengangguk, berusaha meyakinkan. "Kita harus yakin Sayang. Ini
satu-satunya cara."
Sesampainya
di pinggir sungai, mereka berhenti. Gemericik air yang biasanya menenangkan,
kini terdengar seperti bisikan-bisikan dingin yang mengancam. Tepat di bawah
cahaya bulan purnama, aroma bunga melati yang sangat kuat menusuk indra
penciuman mereka. Aroma itu tidak wangi, tapi memuakkan, seolah berasal dari
bunga yang sudah layu dan membusuk.
"Dia
datang," bisik Dika, suaranya tercekat.
Dari
arah hutan di seberang sungai, terdengar tawa melengking yang sama
seperti yang mereka dengar setiap malam. Tawa itu tidak lagi terdengar jauh,
melainkan sangat dekat, seolah berada tepat di belakang mereka. Mereka berdua
berpegangan erat, memejamkan mata. Namun, tawa itu mendadak berhenti.
Keheningan yang tiba-tiba itu jauh lebih menakutkan dari tawa itu sendiri.
Ratih
memberanikan diri membuka matanya. Di seberang sungai, di atas sebuah bebatuan,
sesosok wanita berambut panjang dengan gaun putih kotor berdiri di bawah
sorotan bulan. Sundel Bolong itu tidak lagi melayang. Ia berjalan di
atas air, bergerak perlahan mendekati mereka, kakinya tidak menyentuh
permukaan. Wajahnya yang pucat dan mata cekungnya kini terlihat lebih jelas,
namun tatapannya tidak lagi penuh amarah. Kali ini, matanya terlihat penuh
kesedihan dan kerinduan yang mendalam.
"Sinta,"
bisik Ratih, teringat cerita Pak Mursid.
Sundel
Bolong itu berhenti beberapa meter di hadapan Ratih, tatapannya terfokus pada
kotak yang dipegang Ratih. Ia tidak mengeluarkan suara, tapi tatapan matanya
mengisyaratkan sebuah permohonan.
Ratih
melirik Dika, mengambil napas dalam-dalam, dan berjalan ke bebatuan tempat ia
pertama kali menemukan kotak itu. Ia membuka kotak, mengambil sisir dan konde
itu, lalu meletakkannya di atas batu.
"Ini...
ini milikmu, Sinta," kata Ratih, suaranya bergetar namun tegas. "Kami
mengembalikannya."
Tepat
saat Ratih selesai bicara, Sundel Bolong itu bergerak. Ia mengangkat tangannya
yang kurus dan pucat. Perlahan, ia meraih sisir dan konde itu dari atas batu.
Saat tangannya menyentuh benda-benda itu, tubuhnya bersinar, dan ia memancarkan
cahaya putih yang lembut. Senyum di wajahnya, yang tadinya mengerikan, perlahan
berubah menjadi senyum yang tulus, senyum penuh rasa syukur yang
mendalam. Seolah beban yang selama ini ditanggungnya telah terangkat.
Sekilas,
Ratih dan Dika melihat bayangan wajah seorang wanita muda yang cantik, bukan
sosok Sundel Bolong yang mengerikan. Bayangan itu menatap mereka dengan tatapan
terima kasih yang tulus, lalu perlahan menghilang bersamaan dengan hilangnya
aroma melati yang menusuk. Keheningan malam kembali damai. Mereka berdua merasa
lega, berpikir bahwa teror yang mereka alami akhirnya berakhir.
Keheningan
yang damai di pinggir sungai terasa seperti karunia tak terhingga bagi Ratih
dan Dika. Mereka pulang dengan perasaan lega yang luar biasa. Beban berat yang
menindih bahu mereka selama ini seolah terangkat. Mereka yakin, teror sudah
berakhir. Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka bisa
tidur nyenyak, tanpa dihantui aroma melati atau tawa melengking.
Beberapa
hari berlalu, hidup terasa kembali normal. Namun, keanehan kecil mulai muncul.
Suatu sore, Dika sedang membersihkan gudang yang dipenuhi tumpukan barang bekas
peninggalan pemilik rumah sebelumnya. Di antara tumpukan kayu lapuk dan
kain-kain usang, ia menemukan sebuah kotak kecil yang terbuat dari logam
berkarat. Di dalamnya, terselip sebuah surat kuno yang sudah menguning,
ditulis dengan tulisan tangan yang indah namun buram.
Ratih
dan Dika membacanya bersama-sama. Surat itu adalah pengakuan dosa dari seorang
lelaki. Isinya menceritakan kisah tragis tentang seorang suami yang buta oleh
cemburu. Ia merasa istrinya, seorang penari ronggeng bernama Sinta,
mengkhianatinya. Dalam kegelapan, ia membunuh istrinya sendiri, lalu
menguburkan jasadnya di belakang rumah. Yang paling mengejutkan, di akhir surat
itu, tertulis sebuah kalimat:
"Dan rumah ini, yang kini kami sebut 'rumah', sebenarnya
berdiri di atas makamnya."
Jantung
Ratih dan Dika seolah berhenti berdetak. Mereka menatap satu sama lain, wajah
mereka pucat pasi. Selama ini, mereka mengira rumah mereka berdiri di dekat
sungai. Tetapi surat ini mengatakan sebaliknya. Mereka tinggal tepat di atas
makam Sinta, Sundel Bolong itu.
"Sinta...
dia tidak tewas di sungai," bisik Ratih, suaranya tercekat. "Dia
tewas di sini. Dan dia dikuburkan di sini."
Tiba-tiba,
Budi, yang sedang bermain di halaman belakang, berteriak. "Papa! Mama! Ini
ada teman baru!"
Ratih
dan Dika segera berlari ke halaman belakang. Budi berdiri di samping sebuah
gundukan tanah yang ditumbuhi bunga kamboja kering. Di samping Budi, berdiri
seorang pria paruh baya dengan wajah pucat dan senyum yang dingin. Pria itu
mengenakan pakaian kerja kuno dan menatap Dika dengan tatapan yang kosong.
"Dika...
Ratih... Aku tunggu kalian di dalam. Makan malam sudah siap," katanya,
suaranya berat dan mengancam. Pria itu menunjuk ke arah rumah mereka.
Ratih
dan Dika kini menyadari kebenaran yang mengerikan. Sundel Bolong yang mereka
temui di sungai bukanlah hantu jahat. Ia hanyalah roh penasaran yang
ingin meminta bantuan. Ia sengaja menampakkan diri di pinggir sungai, di tempat
ia dibunuh, untuk menarik perhatian mereka dan mengarahkan mereka pada
benda-benda kesayangannya. Ia ingin Ratih dan Dika mengetahui kisah yang
sebenarnya, bahwa ia tidak bisa tenang karena jasadnya terkunci di bawah rumah
itu.
Teror
yang mereka alami selama ini bukanlah dari Sundel Bolong. Teror yang
sesungguhnya berasal dari pemilik rumah terdahulu, sang suami yang membunuh
Sinta, dan kini rohnya yang jahat kembali untuk menjebak mereka. Dengan kata
lain, teror yang sebenarnya baru saja dimulai. Mereka berhasil menenangkan satu
roh, tapi kini mereka harus menghadapi roh jahat lain yang jauh lebih
berbahaya, yang tidak akan pergi begitu saja.
Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar