#60 CERITA HOROR: LOPER KORAN KONTRAKAN ANGKER


 

Loper Koran Kontrakan Angker

Prolog

Di tengah rutinitas harian yang monoton, kadang terselip kisah-kisah yang melampaui nalar. Bagi Adi, seorang loper koran muda yang giat, hidupnya adalah serangkaian jadwal yang ketat: bangun sebelum subuh, mengambil tumpukan koran, dan mengantarkannya ke setiap sudut kota. Namun, di antara semua rute yang ia lalui, ada satu titik yang selalu memicu rasa merinding di punggungnya: sebuah rumah kontrakan tua di ujung jalan yang sepi. Rumah itu tampak kosong dan tidak terawat, tetapi anehnya, setiap hari ia harus mengantar satu eksemplar koran ke sana.

Kisah tentang rumah kontrakan itu sudah menjadi urban legend di kalangan warga sekitar. Desas-desus tentang penampakan, suara-suara aneh, dan aura yang mencekam membuat orang-orang menjauhinya. Adi, yang semula skeptis dan hanya berfokus pada pekerjaannya, lambat laun akan terseret ke dalam misteri yang mengikat rumah itu. Setiap ketukan pintu, setiap lembar koran yang terkirim, menjadi jembatan yang menghubungkannya dengan teror yang sudah lama terkubur.

Bab 1: Rutinitas yang Mengganggu

Pagi buta, ketika embun masih membasahi daun-daun dan udara dingin menusuk tulang, Adi sudah memulai rutinitas hariannya. Ia mengayuh sepeda bututnya yang berderit pelan, membelah keheningan jalanan subuh, dengan tas koran yang penuh menggantung di pundaknya. Rutenya dimulai dari pusat kota yang mulai menggeliat hingga ke perumahan yang lebih sepi dan asri. Selama dua tahun menjadi loper koran, semuanya berjalan normal, monoton, dan teratur. Namun, ada satu titik di dalam rutenya yang selalu memicu rasa merinding: sebuah rumah kontrakan tua yang terletak di ujung jalan buntu, diapit oleh pohon-pohon rindang.

Rumah itu terlihat berbeda dan mencolok di antara rumah-rumah lain. Catnya sudah mengelupas di mana-mana, memperlihatkan lapisan semen yang lapuk. Jendelanya tertutup rapat oleh tirai kusam yang usang, dan halaman depannya dipenuhi rumput liar yang tumbuh tinggi dan tak terawat. Menurut cerita yang beredar, rumah itu sudah lama kosong, lebih dari sepuluh tahun. Tetapi anehnya, setiap hari Adi harus mengantar satu eksemplar koran ke sana, sebuah pesanan dari alamat misterius yang sudah ada di daftar pelanggannya sejak ia mengambil alih rute ini. Yang lebih aneh lagi, koran itu selalu hilang saat Adi datang keesokan harinya, padahal tak pernah ada tanda-tanda kehadiran manusia di sana.

"Adi, kamu harus hati-hati kalau lewat sana," kata Pak Harun, seorang pedagang warung kopi langganannya, suatu pagi sambil menyeruput kopinya. "Rumah itu angker. Banyak yang bilang sering ada penampakan. Anak kecil, katanya."

Adi hanya tersenyum skeptis, meletakkan koran di atas meja. "Ah, cuma cerita, Pak. Saya cuma mau kerja kok, cari rezeki. Mana mungkin hantu baca koran?" tawanya ringan, mencoba mengusir pikiran-pikiran aneh.

Namun, hari itu, rutinitasnya sedikit terganggu. Saat ia meletakkan koran di teras rumah kontrakan itu, ia melihat sebuah jejak kaki yang samar di debu teras. Jejak itu kecil, seperti jejak kaki anak-anak, dan hanya ada satu. Adi mengerutkan dahi, bingung. Siapa yang datang ke sini? Dan kenapa hanya ada satu jejak, bukan sepasang? Ia menoleh ke sekeliling, mencari kemungkinan, tapi tidak ada jawaban.

Ia mengabaikannya, melanjutkan perjalanan, namun di benaknya, rasa penasaran itu mulai tumbuh. Firasat aneh yang selama ini ia tepis kini mulai terasa nyata.

Bab 2: Kertas Koran dan Jejak Kaki Kecil

Beberapa hari kemudian, keanehan di rumah kontrakan tua itu semakin menjadi-jadi. Rutinitas Adi yang biasanya monoton kini diwarnai rasa penasaran yang bercampur dengan ketakutan. Setiap kali ia datang, ia tidak hanya menemukan koran yang sudah hilang, tetapi juga jejak kaki kecil itu selalu ada di tempat yang berbeda, seolah-olah ada yang sengaja bermain petak umpet dengannya. Kadang jejak itu terlihat di depan pintu, kadang di dekat jendela, seolah mengundang Adi untuk melihat ke dalam, mengintip misteri yang terkunci di balik dinding-dinding lapuk itu.

Suatu pagi, setelah meletakkan koran seperti biasa, rasa penasaran Adi tak bisa lagi dibendung. Ia memutuskan untuk memberanikan diri. Sambil menelan ludah, ia berbisik pelan ke arah pintu depan, "Halo? Ada orang di dalam?"

Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam dan hembusan angin yang menerbangkan daun kering. Adi menunggu beberapa saat, namun tak ada respons. Ia menghela napas, berpikir mungkin ia terlalu berimajinasi.

Saat ia berbalik, hendak melangkah pergi, sebuah suara tawa anak-anak yang pelan dan lirih terdengar dari dalam rumah. Tawa itu terdengar aneh, bukan tawa gembira yang ceria, melainkan tawa yang dipenuhi kesedihan dan keputusasaan. Bulu kuduk Adi meremang, ia merasakan hawa dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya. Tanpa pikir panjang, ia segera melompat ke sepedanya dan mengayuh dengan cepat, meninggalkan rumah itu dengan tergesa-gesa.

Malam harinya, saat sedang mengikat tumpukan koran untuk rute esok, ia dikejutkan oleh sesuatu yang ganjil. Sebuah surat lusuh terselip di antara tumpukan korannya yang baru. Surat itu terbuat dari kertas koran yang sama, dengan tulisan tangan yang terlihat bergetar dan tidak beraturan, seperti tulisan tangan anak-anak.

Dengan tangan gemetar, ia membuka lipatan kertas itu dan membaca isinya.

"Tolong... jangan tinggalkan aku di sini... Mereka bilang aku sudah mati... padahal aku masih ada..."

Surat itu tidak memiliki alamat, tidak memiliki nama pengirim. Hanya tulisan tangan itu. Adi tahu, ia tidak sedang berhalusinasi. Ini adalah pesan dari dalam rumah kontrakan itu, pesan dari sesuatu yang bukan manusia, dari entitas yang kini mencoba berkomunikasi dengannya.

Bab 3: Teror di Balik Pintu

Keesokan harinya, Adi datang ke rumah kontrakan itu dengan perasaan campur aduk: takut yang luar biasa bercampur dengan rasa penasaran yang tak bisa ia bendung. Ia tahu ia tidak bisa lagi lari dari misteri ini. Ia memutuskan untuk mencoba berkomunikasi secara langsung. Setelah meletakkan koran seperti biasa di teras yang berdebu, ia mengambil selembar kertas dan pulpen dari tas loper korannya. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia menuliskan pesan singkat:

"Siapa kamu? Kenapa kamu ada di sana?"

Ia meletakkan kertas itu tepat di atas koran dan segera pergi, tak berani berlama-lama di tempat itu. Ia mengayuh sepedanya dengan cepat, namun pikirannya terus kembali pada rumah tua itu.

Malam harinya, Adi tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh sosok anak kecil tak terlihat yang mengiriminya pesan. Siapa dia? Apa yang terjadi padanya? Ia mencoba mencari jawaban dari berbagai sudut, namun tidak ada yang masuk akal. Hingga akhirnya, ia tertidur dengan perasaan gelisah yang tak terlukiskan.

Pagi berikutnya, saat ia kembali ke rumah kontrakan, jantungnya berdebar kencang. Ia segera menuju teras. Pesan yang ia tulis sudah tidak ada, digantikan oleh pesan baru, terbuat dari kertas koran yang sama, dengan tulisan tangan yang bergetar.

"Aku Jaka... mereka bilang aku sakit... lalu mereka pergi... aku sendirian..."

Adi terkejut. "Jaka..." nama itu terngiang-ngiang di telinganya. Nama itu terasa begitu nyata dan sedih. Ada sebuah kisah tragis di balik nama itu.

Saat ia hendak pergi, tiba-tiba ia mendengar suara pintu depan yang berderit pelan. Ia menoleh, napasnya tertahan di tenggorokan. Pintu itu terbuka sedikit, cukup untuk memperlihatkan kegelapan pekat di dalamnya. Sebuah tangan kecil yang pucat dan kurus perlahan-lahan keluar dari celah pintu, mencoba menggapai koran dan pesan yang ia letakkan. Di pergelangan tangan kecil itu, terdapat gelang manik-manik berwarna merah yang terlihat kusam.

Adi mematung di tempatnya. Ia ingin berteriak, ia ingin lari, tapi kakinya seolah terpaku di aspal. Tangan kecil itu berhasil menggapai koran dan pesan yang ia tulis, menariknya ke dalam. Setelah itu, pintu itu tertutup kembali dengan derit yang mengerikan dan tiba-tiba.

Adi tak bisa bergerak, ketakutan mencengkeram seluruh tubuhnya. Itu bukan imajinasinya, bukan halusinasi akibat kurang tidur. Ia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Tangan itu, gelang manik-manik itu, dan pesan-pesan itu adalah bukti nyata bahwa ia telah berkomunikasi dengan entitas dari dunia lain.

Bab 4: Mengungkap Misteri Jaka

Ketakutan Adi akhirnya mengalahkan rasa penasarannya. Peristiwa di pintu itu terlalu nyata untuk diabaikan. Ia tak bisa lagi mengayuh sepeda dengan tenang, dan bayangan tangan kecil dengan gelang manik-manik merah terus menghantuinya. Dengan perasaan campur aduk antara takut dan simpati, ia memutuskan untuk mencari jawaban dari orang yang paling ia percaya: Pak Harun, pedagang warung kopi langganannya.

Pagi itu, di warung kopi Pak Harun, Adi menceritakan semuanya: tentang jejak kaki kecil, tawa sedih, dan pesan-pesan misterius di koran. Wajah Pak Harun yang biasanya ceria kini terlihat serius dan prihatin. Ia mengangguk-angguk, mendengarkan setiap kata dengan saksama.

"Jadi, kamu dapat pesan... dari anak kecil di sana?" tanya Pak Harun, memastikan.

Adi mengangguk, "Iya, Pak. Dan dia menyebut namanya... Jaka."

Mendengar nama itu, mata Pak Harun membulat. Ia menghela napas panjang, menatap Adi dengan tatapan yang penuh makna. "Jaka... itu nama anak dari pemilik kontrakan dulu, Di," katanya, suaranya pelan dan bergetar, seolah kembali ke masa lalu. "Sudah lama sekali, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Anak itu sakit-sakitan dari kecil. Orang tuanya sudah putus asa. Lalu, suatu hari, kami dengar kabar kalau anak itu meninggal di dalam rumah itu."

"Tapi, ada yang aneh, Di," lanjut Pak Harun, mendekatkan dirinya ke Adi. "Sejak anaknya meninggal, orang tuanya tiba-tiba pindah, tanpa pamit ke warga. Semua barang-barang mereka ditinggalkan begitu saja. Rumah itu jadi kosong mendadak."

"Kenapa, Pak? Apa mereka tidak sedih?" tanya Adi, tidak mengerti.

"Itu dia... ada rumor yang beredar, Di," bisik Pak Harun. "Katanya... orang tuanya tidak rela anaknya meninggal. Mereka tidak bisa menerima kenyataan itu. Mereka masih menganggap Jaka itu masih hidup. Jadi mereka menguncinya di dalam rumah itu, lalu mereka pergi, entah ke mana. Mereka berharap Jaka akan tetap berada di sana, di rumah itu, sendirian, seperti boneka kesayangan yang tidak bisa mereka lepaskan."

Adi terdiam, terperosok ke dalam kengerian yang lebih dalam dari sekadar cerita hantu. Semua potongan puzzle di benaknya kini tersambung. Jejak kaki kecil, tawa sedih yang lirih, dan pesan-pesan putus asa di koran—semuanya bukan berasal dari hantu yang ingin menakutinya, melainkan dari jiwa seorang anak kecil yang ditinggalkan, dikunci, sampai akhirnya... terperangkap.

Malam harinya, Adi tidak bisa tidur. Teror Jaka bukan lagi soal hantu, melainkan soal anak kecil yang sendirian, menuntut pertolongan. Ia membayangkan betapa kesepian dan putus asanya Jaka selama bertahun-tahun. Rasa takutnya kini berganti dengan rasa iba yang mendalam. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan Jaka sendirian lagi. Malam itu, ia memutuskan untuk berani. Ia akan membantu Jaka, membebaskan jiwanya yang terperangkap.


Bab 5: Pembebasan dan Akhir Rutinitas

Pagi berikutnya, Adi datang ke rumah kontrakan itu. Kali ini, ia tidak lagi membawa koran, melainkan sebuah kunci cadangan yang ia dapatkan dari Pak Harun. Dengan napas gemetar, ia menatap pintu yang usang itu. Ia tahu, di balik pintu itu, bukan teror yang menunggunya, melainkan sebuah jiwa yang membutuhkan pertolongan. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia memasukkan kunci itu ke lubang kunci pintu depan. Kunci itu berputar dengan suara klik yang menggema di keheningan pagi.

"Jaka... ini Adi. Aku datang untuk membantumu," bisiknya, suaranya parau dan penuh keyakinan.

Pintu itu terbuka dengan derit yang sangat panjang dan memekakkan telinga, seolah enggan untuk terbuka setelah bertahun-tahun terkunci. Di dalam, rumah itu terlihat gelap, pengap, dan berdebu tebal, penuh dengan sarang laba-laba yang menjuntai. Sinar matahari pagi yang masuk dari pintu membuat debu-debu itu terlihat menari-nari di udara.

Adi melangkah masuk dengan hati-hati. Di tengah ruangan, ia melihat sebuah kursi kecil dan meja yang sudah lapuk, dengan tumpukan koran-koran lama yang menguning. Di atas tumpukan koran itu, tergeletak gelang manik-manik merah yang sama persis dengan yang ia lihat kemarin.

Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang menusuk di sekitarnya, lebih pekat dari dinginnya udara pagi. Tawa lirih yang sedih kembali terdengar, namun kali ini ada nada kelegaan yang mendalam di dalamnya, seolah sebuah beban berat telah terangkat.

"Terima kasih, Adi..." bisik sebuah suara anak-anak, pelan sekali, namun terdengar begitu nyata di telinga Adi. "Kau membebaskanku..."

Adi tak bisa melihat sosoknya, namun ia tahu Jaka ada di sana. Ia menghela napas lega, air matanya menetes. Ia telah membebaskan jiwa anak kecil yang terperangkap dalam kesendirian itu. Ia mendekat, mengambil gelang manik-manik itu dan meletakkannya di atas tumpukan koran, sebagai tanda perpisahan terakhir. "Pergilah, Jaka. Kamu sudah bebas," bisiknya pelan.

Sejak saat itu, Adi tak pernah lagi mengantar koran ke rumah kontrakan itu. Dan keesokan harinya, rumah itu akhirnya benar-benar kosong. Tak ada lagi koran yang hilang, tak ada lagi jejak kaki kecil, dan tak ada lagi tawa sedih yang mengganggu.

Adi kembali ke rutinitasnya, namun kini ia membawa sebuah pelajaran berharga: bahwa di balik setiap rutinitas, ada kisah yang menunggu untuk diungkap. Kadang, rezeki seorang loper koran tidak hanya berupa uang, tetapi juga kesempatan untuk menolong sebuah jiwa yang terperangkap.

Epilog

Kisah Jaka dan rumah kontrakan tua itu menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Adi. Pengalaman itu mengubah pandangannya tentang pekerjaan, tentang hidup, dan tentang hal-hal yang tidak terlihat. Ia masih menjadi loper koran yang setia, dengan tas penuh koran menggantung di pundaknya, namun setiap kali melewati jalan buntu yang dulu mencekam itu, ia akan menoleh, mengenang anak kecil yang pernah ia tolong.

Beberapa bulan setelah insiden itu, rumah kontrakan tua itu akhirnya dirobohkan. Reruntuhan yang berdebu dan tumpukan puing-puing digantikan oleh sebuah taman kecil yang asri. Rumput-rumput hijau tumbuh subur, dan beberapa pohon ditanam. Warga sekitar, termasuk Pak Harun, sering datang ke sana untuk bersantai di sore hari.

Suatu subuh, saat Adi melewati taman itu, ia memutuskan untuk berhenti sejenak. Ia duduk di salah satu bangku taman, menikmati keheningan pagi. Tiba-tiba, ia merasakan hembusan angin sejuk yang berbeda dari angin biasa. Di tengah taman, di dekat sebuah pohon rindang, ia merasa seperti melihat bayangan anak kecil yang sedang bermain, berlari-lari riang. Bayangan itu samar, nyaris tak terlihat, namun Adi bisa merasakannya.

"Jaka... kamu baik-baik saja sekarang?" bisik Adi pelan, sebuah senyum kecil terukir di wajahnya.

Ia tidak mendengar jawaban, namun kali ini, tawa yang terdengar bukanlah tawa sedih yang lirih, melainkan tawa riang yang penuh kebahagiaan, bergaung di keheningan subuh. Tawa itu terdengar begitu bebas, begitu lepas, seolah sebuah jiwa yang terkurung akhirnya menemukan kedamaian yang sejati.

Adi menghela napas lega. Ia tahu, ia telah melakukan hal yang benar. Pengalaman itu memberinya pelajaran berharga bahwa terkadang, rezeki seorang loper koran tidak hanya berupa uang, tetapi juga kesempatan untuk menolong sebuah jiwa yang terperangkap. Ia kembali ke rutinitasnya, namun kini dengan perasaan damai, membawa serta kenangan manis tentang seorang anak kecil yang teringat olehnya, bukan sebagai hantu, melainkan sebagai seorang teman yang berhasil ia bebaskan.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG