#65 CERITA HOROR TUKANG PARKIR
TUKANG PARKIR.
Pak
Udin sudah lima tahun menjadi penjaga parkir di minimarket 24 jam itu. Baginya,
pekerjaan ini adalah pertukaran antara jam-jam malam yang sepi dengan rupiah
yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Malam biasanya tenang. Hanya ada suara
mesin pendingin minimarket yang bergemuruh dan sesekali deru motor dari
pelanggan yang mampir membeli rokok atau kopi.
Di
jam-jam genting antara pukul 02:00 dan 04:00 dini hari, jalanan di depan
minimarket hampir tidak berpenghuni. Hanya Pak Udin yang berdiri di bawah lampu
jalan yang berkelap-kelip, dan Indra, karyawan minimarket muda yang sibuk
menata barang.
Malam
itu, sekitar pukul 02:30, sebuah mobil berhenti. Penumpangnya adalah seorang
pria paruh baya yang terlihat terburu-buru. Setelah pria itu masuk, Pak Udin
tiba-tiba mencium aroma yang tidak asing: wangi kembang melati yang
menusuk hidung, seolah ada yang baru saja meletakkan sesajen di dekatnya.
Padahal, tidak ada. Pak Udin celingukan, mencari sumber bau. Di ujung parkiran,
dekat pohon nangka tua yang rimbun, ia melihat samar-samar ada bayangan seperti
wanita berambut panjang, melambai-lambai.
"Paling
cuma perasaan," gumam Pak Udin. Dia menggosok matanya. Saat ia melihat
lagi, bayangan itu sudah tidak ada.
Sesaat
kemudian, pria paruh baya itu keluar, terburu-buru seperti saat datang. Pak
Udin menyapanya, "Malam Pak." Pria itu tidak menjawab. Wajahnya pucat
pasi, seperti baru melihat hantu. Ia segera masuk ke mobil dan tancap gas,
meninggalkan Pak Udin dalam kebingungan.
"Orang
aneh," pikir Pak Udin. Namun, ia tidak bisa mengusir rasa aneh di hatinya.
Aroma melati itu masih menempel di udara, dan ia merasa ada mata yang
mengawasinya dari balik kegelapan pohon nangka tua itu. Malam itu, Pak Udin
merasa rutinitasnya tidak lagi terasa tenang. Ada sesuatu yang baru, sesuatu
yang mengintai dari kegelapan.
Keesokan
malamnya, Pak Udin sudah merasa tidak nyaman sejak awal shift. Ia
menceritakan kejadian semalam pada Indra.
"Mungkin
Bapak lagi capek aja," kata Indra sambil tersenyum. "Wangi melati di
kota itu banyak. Parfum, sabun, pewangi mobil."
"Beda
nak Indra. Wanginya aneh, menusuk. Terus, aku lihat bayangan..."
Indra
hanya tertawa kecil. "Ah Mbah Udin ini ada-ada saja. Makanya, kalau malam
jangan terlalu serius. Nanti gampang diajak ngobrol sama yang tidak
kelihatan."
Pak
Udin tidak lagi melanjutkan. Dia tahu percuma berdebat. Namun, malam itu, kejadian
aneh kembali terulang. Tepat pukul 02:45, aroma melati kembali muncul, lebih
kuat dari sebelumnya. Kali ini, tidak hanya Pak Udin yang menciumnya. Indra
yang sedang menyapu lantai di dalam minimarket tiba-tiba berhenti.
"Mbah,
Bapak nyemprotin pewangi ruangan ya?" tanya Indra dari balik pintu kaca.
"Tidak
Nak. Dari luar."
Indra
keluar, ikut mencium wangi yang aneh itu. Di saat yang bersamaan, terdengar
suara. Bukan suara angin, bukan suara mobil. Suara itu adalah kekek-an yang
pelan, tapi jelas. Kekek-an yang terdengar seperti tawa, tapi tanpa
kebahagiaan. Kekek-an itu datang dari pohon nangka tua.
"Dengar
tidak Nak?" bisik Pak Udin.
Dan
Indra mendengarnya. Wajahnya yang tadinya santai kini berubah tegang. Kekek-an
itu tidak menghilang. Ia bergema di udara, naik turun, membuat bulu kuduk
mereka berdiri.
"Itu...
itu bukan suara orang," bisik Indra, suaranya bergetar.
Lalu,
kekek-an itu perlahan berubah menjadi tangisan yang melengking panjang,
seolah ada seorang wanita yang sedang menahan penderitaan. Tangisan itu
menggema di seluruh area parkir, seolah melingkari mereka berdua. Tanpa pikir
panjang, Indra langsung menarik Pak Udin masuk, mengunci pintu kaca, dan
menutupnya dengan tirai. Mereka berdua bersembunyi di dalam, menunggu tangisan
itu berhenti, berharap malam akan segera berakhir.
Ketakutan
itu tidak berhenti di malam itu saja. Setiap malam, tepat di jam yang sama,
teror itu kembali. Wangi melati dan kekek-an menyeramkan dari pohon nangka tua
sudah menjadi rutinitas baru bagi Pak Udin dan Indra. Keduanya sudah tidak lagi
berani berdiam diri di luar. Mereka lebih memilih menunggu di dalam minimarket,
berharap sosok itu tidak bisa masuk.
Namun,
hantu kuntilanak dikenal sebagai sosok yang tidak terikat oleh pintu atau jendela.
Suatu malam, saat Indra sedang menata rak minuman di belakang kasir dan Pak
Udin duduk di bangku dekat pintu, Pak Udin merasakan hawa dingin yang menusuk.
Ia menoleh ke belakang. Di pantulan pintu kaca minimarket, ia
melihatnya.
Seorang
wanita berambut panjang, dengan gaun putih yang lusuh, sedang melayang di
belakangnya. Wajahnya tidak terlihat jelas, hanya rambut yang menutupi. Namun,
Pak Udin tahu itu adalah dia. Jantungnya serasa berhenti. Ia menoleh dengan
cepat, dan di belakangnya, tidak ada siapa-siapa. Hanya rak-rak makanan ringan
yang tersusun rapi.
Ia
kembali melihat ke pantulan. Sosok itu masih di sana. Kali ini, ia terlihat
lebih dekat, tepat di bahunya. Kepalanya miring, menatap lurus ke arah Pak
Udin, seolah bisa melihat pantulan itu dengan jelas. Di mata pantulan itu,
Pak Udin melihat ada air mata darah yang mengalir.
Pak
Udin berteriak. Indra yang mendengar teriakan itu segera menghampiri.
"Ada
apa Mbah?"
Pak
Udin menunjuk ke pintu kaca. "Itu... dia..."
Indra
menatap ke pantulan. Tidak ada apa-apa. Hanya pantulan dirinya dan Pak Udin
yang ketakutan.
"Tidak
ada apa-apa Mbah," kata Indra, mencoba menenangkan.
Namun,
di saat itu juga, Indra melihatnya. Di pantulan kaca, di balik tubuh Pak Udin,
ada sosok wanita berambut panjang itu. Ia tersenyum. Bukan senyuman yang
cantik, melainkan senyuman yang mengerikan. Senyum yang penuh dendam. Dan di
wajahnya, darah mengalir dari matanya, membasahi gaun putihnya. Indra terdiam.
Ia tidak berani berteriak.
"Siapa
dia Mbah?" bisik Indra, suaranya sangat pelan.
"Aku
tidak tahu," jawab Pak Udin, suaranya serak. "Tapi kita harus mencari
tahu. Kita tidak bisa terus-menerus dikurung di sini."
Pak
Udin dan Indra memutuskan untuk mencari tahu. Mereka bertanya kepada warga
sekitar, para pedagang kaki lima yang sudah lama berjualan di sana. Akhirnya,
dari seorang tukang kopi yang sudah puluhan tahun mangkal, mereka mendengar
sebuah kisah tragis.
"Dulu,
sekitar sepuluh tahun lalu, minimarket ini belum buka 24 jam," cerita
tukang kopi itu. "Ada seorang karyawan namanya Maya. Anaknya ramah,
cantik. Banyak yang suka."
"Lalu
kenapa?" tanya Indra penasaran.
"Kabarnya,
dia jatuh cinta sama seorang mandor di sini. Mandornya sudah punya istri, tapi
Maya tidak tahu. Suatu hari, Maya ketahuan hamil. Dia minta pertanggungjawaban,
tapi mandor itu menolak. Maya depresi berat. Di malam hari, setelah minimarket
tutup, dia ditemukan gantung diri di pohon nangka tua itu. Sejak itu, sering
ada penampakan."
Hati
Pak Udin dan Indra mencelos. Pohon nangka tua. Karyawan minimarket. Kejadian
yang tragis. Semuanya cocok. Kuntilanak yang menghantui mereka adalah Maya.
Arwahnya tidak tenang karena ia mati dalam penderitaan dan dendam.
"Siapa
nama mandornya?" tanya Pak Udin.
"Namanya
Pak Budi," jawab tukang kopi itu. "Sekarang sudah tidak ada kabar.
Pindah ke mana, tidak tahu. Tapi konon, dia meninggalkan satu barang penting di
sini."
Tukang
kopi itu menunjuk ke arah tumpukan puing-puing bekas renovasi di belakang minimarket.
"Kata orang, dia meninggalkan foto Maya di sana. Sebagai kenangan. Itu
juga yang membuat arwah Maya terikat di sini, karena fotonya tidak dimakamkan
bersamanya."
Pak
Udin dan Indra saling berpandangan. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka
harus menemukan foto itu, lalu menguburnya dengan layak agar arwah Maya bisa
tenang.
Malam
itu, di jam yang sama, wangi melati kembali tercium. Kekek-an kembali
terdengar. Namun kali ini, Pak Udin dan Indra tidak lagi bersembunyi. Mereka
berdua, dengan berbekal senter, berjalan ke arah pohon nangka tua.
"Maya!"
teriak Pak Udin. "Kami tahu ceritamu! Kami di sini untuk membantumu!"
Tiba-tiba,
suara tangisan yang melengking keras terdengar. Tidak lagi dari pohon,
melainkan dari dalam minimarket. Lampu di dalam minimarket mulai
berkedip-kedip. Pintu-pintu kulkas terbuka dan tertutup sendiri. Botol-botol
minuman jatuh dari rak. Kuntilanak itu marah, seolah tidak percaya pada ucapan
mereka.
"Kami
tahu kau ingin foto itu! Kami akan mencarinya!" teriak Indra.
Mereka
berdua berjalan menuju tumpukan puing di belakang minimarket. Hawa di sana
sangat dingin. Aroma melati menusuk. Di salah satu tumpukan puing, mereka
menemukan sebuah kotak kardus yang sudah lapuk. Di dalamnya, ada sebuah foto.
Foto seorang wanita muda yang cantik, tersenyum ceria, dengan rambut panjang
tergerai. Itu adalah Maya.
Tiba-tiba,
suara tangisan itu menghilang. Suasana menjadi hening. Hening yang menakutkan.
Di hadapan mereka, di antara tumpukan puing-puing, sosok kuntilanak itu muncul.
Ia melayang, tepat di atas mereka. Wajahnya yang dulu tertutup rambut kini
terlihat jelas. Wajah yang cantik, tapi dengan air mata darah yang mengalir. Ia
tidak lagi tertawa atau menangis. Ia hanya menatap foto itu.
"Ini
fotomu Maya. Kami akan menguburkannya," kata Pak Udin, suaranya serak
karena takut.
Kuntilanak
itu menunduk. Ia tidak mengangguk, tapi senyumnya yang mengerikan perlahan
berubah. Sebuah senyum yang tulus, penuh rasa terima kasih. Pak Udin dan Indra
merasa ada hawa yang berbeda. Hawa yang tidak lagi dingin dan menakutkan,
melainkan sejuk dan damai.
Namun,
tiba-tiba, kuntilanak itu menoleh ke arah toko, menunjuk ke dalam dengan jari
telunjuknya yang kurus. Ia lalu menghilang, seolah lenyap ditelan udara.
Pak
Udin dan Indra saling berpandangan. "Apa maksudnya?" bisik Indra.
Mereka
kembali ke dalam minimarket. Mereka melihat sekeliling. Tidak ada yang aneh.
Semua kembali normal. Sampai akhirnya, mata Indra tertuju pada sesuatu: sebuah
laci yang terbuka di bawah kasir. Laci itu berisi uang. Dan di bawah tumpukan
uang, ada sebuah gelang perak kecil yang usang.
Itu
adalah gelang yang sama yang dipakai Maya di dalam foto.
"Gelang
itu... milik Maya. Kenapa ada di sini?" bisik Indra.
Mereka
berdua menyadari, Maya tidak hanya ingin fotonya dikubur. Ia juga ingin gelang
itu ditemukan. Gelang itu mungkin adalah bukti dari siapa yang bertanggung
jawab atas kehamilannya, atau bahkan kematiannya. Mungkin itu adalah hadiah
dari Pak Budi, sang mandor. Dan mungkin, hantu kuntilanak itu tidak hanya
menuntut penguburan yang layak, tapi juga sebuah pengakuan. Sebuah pengakuan
dari seseorang yang mungkin masih bekerja di sekitar sana.
Keesokan
harinya, Pak Udin dan Indra membawa gelang perak itu ke kantor polisi. Mereka
menceritakan semua yang mereka alami dan temukan. Kisah mereka dianggap aneh,
tapi barang bukti itu cukup untuk memulai investigasi. Polisi berhasil
menemukan Pak Budi, sang mantan mandor, yang ternyata masih tinggal di kota
itu. Dari interogasi, terungkap bahwa Pak Budi masih menyimpan rasa bersalah
yang mendalam. Gelang itu adalah miliknya, ia berikan kepada Maya. Dan ia tidak
hanya menolak bertanggung jawab, tetapi juga mengancam Maya.
Pak
Budi akhirnya mengakui semua perbuatannya. Arwah Maya, yang terikat pada gelang
itu dan fotonya, kini akhirnya bisa tenang setelah kebenaran terungkap.
Pak
Udin dan Indra tidak lagi merasa takut bekerja di sana. Aroma melati tidak
pernah kembali, dan suara tawa serta tangisan tidak pernah terdengar lagi.
Pohon nangka tua itu kini terasa seperti pohon biasa, tidak lagi menyimpan
misteri yang menakutkan.
Mereka
berdua akhirnya menguburkan foto Maya dan gelang perak itu di samping pohon
nangka. Sebuah penanda kecil, untuk mengenang arwah yang telah menemukan
kedamaiannya.
Malam
itu, Pak Udin duduk di bangkunya, menghirup udara malam yang sejuk, tanpa aroma
melati. Indra keluar, menyajikan kopi hangat untuknya.
"Mbah...
menurutmu, apa yang paling menakutkan dari semua ini?" tanya Indra.
Pak
Udin tersenyum, menatap ke arah pohon nangka yang sunyi. "Yang paling
menakutkan Nak, bukanlah hantunya. Tapi kenyataan bahwa hantu itu adalah
korban. Dia tidak menakut-nakuti karena ingin, tapi karena ia tidak punya pilihan.
Ia hanya butuh seseorang untuk mendengar kisahnya."
Indra
mengangguk. Dia tahu, mulai sekarang, setiap kali ia melihat pohon nangka itu,
ia tidak akan merasa takut. Ia akan merasa sedih. Sedih untuk seorang gadis
bernama Maya, yang akhirnya bisa pulang, setelah bertahun-tahun lamanya.
Malam
kembali hening. Kini, hening yang menyelimuti minimarket itu adalah hening yang
damai, bukan lagi hening yang menakutkan. Kisah tragis itu telah usai, dan
arwah yang penasaran itu, akhirnya, bisa beristirahat.
Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar