#61 TUMPANGAN HOROR TENGAH MALAM
Tumpangan Tengah Malam
Setiap
orang punya pilihan, dan Faris adalah pemuda yang selalu mengandalkan
pilihannya sendiri. Ia bukan pemuda yang suka merepotkan orang lain. Pilihan
itulah yang membawanya pada sebuah perjalanan yang mengubah segalanya. Malam
itu, motornya mogok dalam perjalanan pulang dari desa tetangga. Meskipun
temannya, Joko, menawarkan diri untuk mengantar, Faris menolak dengan
halus. Ia tahu Ibu Joko sedang sakit, dan ia tak ingin menambah beban. Ia
memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki, menempuh jalan yang sudah ia
hafal di luar kepala. Namun, ia tak menyadari bahwa malam itu, jalannya akan
dihiasi oleh kehadiran tak kasat mata.
Keputusannya
untuk menolak tawaran Joko bukanlah sebuah kesalahan, melainkan sebuah takdir
yang membawanya pada perjumpaan yang mengerikan. Faris berpikir ia sedang
menolong orang, padahal ia sedang menolong dirinya sendiri dari teror yang
sudah lama menunggu.
Malam itu,
Faris memulai perjalanan pulangnya dengan perasaan yang campur aduk. Jam
sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan motornya terpaksa ia titipkan di
rumah temannya, Joko. Jalan setapak yang biasa ia lewati saat siang hari
kini terasa lebih panjang dan gelap. Lampu-lampu rumah penduduk sudah padam,
dan hanya cahaya rembulan yang samar-samar menerangi jalannya, menciptakan
bayangan aneh di sekelilingnya. Dengan perasaan yang agak takut, ia
memberanikan diri, melangkah maju.
"Ah,
paling cuma sebentar," gumam Faris, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Paling lima belas menit juga sampai di rumah."
Ia
berjalan cepat, langkahnya tergesa-gesa, berharap ada lalu lintas yang
lalu-lalang, entah motor atau mobil, yang bisa membuatnya merasa lebih tenang.
Ia menatap ke depan, lalu sesekali menoleh ke belakang, berharap ada cahaya
lampu kendaraan yang muncul. Namun, harapan tinggal harapan. Tidak ada satu pun
kendaraan yang lewat. Hanya ada suara jangkrik yang nyaring dan gemerisik
daun yang diterpa angin malam, menambah keheningan dan kengerian di jalanan
itu.
Setelah
separuh perjalanan, saat Faris mulai merasa putus asa dan lelah, tiba-tiba
sebuah cahaya terang muncul dari arah jembatan yang baru saja ia lewati.
Itu adalah cahaya lampu depan sebuah mobil pickup. Jantung Faris
berdebar kencang, namun kali ini bukan karena takut, melainkan karena rasa lega
yang luar biasa. Akhirnya, ada teman seperjalanan.
Mobil pickup
itu melaju pelan, lalu berhenti tepat di depannya. Faris mendekat, dan ia
melihat dua orang di dalam kabin: seorang sopir paruh baya dengan wajah
ramah dan seorang wanita muda yang duduk di sebelahnya. Keduanya
tersenyum kepadanya, seolah mengerti kesulitan yang ia alami.
"Alhamdulillah," bisik Faris dalam hati, merasa bersyukur atas
pertolongan yang datang di waktu yang tepat.
Faris merasa sangat lega
saat mobil pickup itu berhenti di depannya, mengikis habis rasa takut
yang sempat ia rasakan. Ia menatap sopir dan wanita di sebelahnya, merasa
bersyukur atas kebaikan yang tak terduga di tengah malam yang sunyi.
"Mau
kemana Nak?" tanya si sopir, suaranya ramah dan menenangkan. Ia memiliki
senyum hangat di wajahnya yang sedikit keriput.
"Saya
mau pulang Pak. Ke desa seberang," jawab Faris, menunjuk ke arah jalan
yang ia tuju.
Sopir itu
mengangguk, lalu menatap wanita di sebelahnya. Wanita itu juga tersenyum.
"Ya sudah, ayo naik. Kita satu arah kok," ajaknya dengan ramah.
"Jalan kaki malam-malam begini bahaya."
Tanpa
pikir panjang, Faris segera naik ke bak belakang mobil pickup. Ia
duduk di sana, bersandar pada kabin, merasa nyaman dan aman. Mobil pun melaju
dengan pelan, membelah malam yang sunyi. Faris menghela napas lega, bersyukur
ia tidak perlu berjalan kaki lagi.
Namun,
setelah beberapa lama, Faris mulai merasa ada yang aneh. Jalan yang mereka
lalui terasa asing. Seharusnya, mereka sudah tiba di desanya, atau setidaknya
di gerbang desa. Namun, ia tidak mengenali pohon-pohon yang rindang,
rumah-rumah yang lewat, atau sawah yang terbentang di sekitarnya. Perasaan
tidak enak mulai merayapi hatinya. Ia mencoba mengintip ke depan, namun sopir
dan wanita itu tidak menoleh, hanya lurus menatap jalanan di depan.
Tiba-tiba,
mobil pickup itu berhenti di sebuah perempatan jalan yang gelap
dan asing. Tidak ada lampu, tidak ada rumah, hanya kegelapan yang pekat. Faris
turun dari bak belakang, berniat bertanya.
"Pak,
kita mau kemana? Ini bukan jalan ke desa saya," tanya Faris, berjalan
cepat menuju kabin sopir.
Namun,
saat ia sampai di sana, yang ia temukan hanyalah kabin yang kosong.
Tidak ada sopir, tidak ada wanita. Hanya jok kosong, setir yang membisu, dan
pintu yang tertutup rapat. Jantung Faris berdegup kencang, menampar-nampar
dadanya, seolah ingin keluar.
Faris mematung, menatap
kabin mobil pickup yang kosong, seolah tak percaya pada apa yang
dilihatnya. Jantungnya terasa berhenti berdetak, dan darahnya seolah membeku.
Ia berbalik, menatap mobil itu dari depan hingga belakang. Mobil itu tampak
tua, berkarat di sana-sini, dan tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia. Tidak
mungkin ia salah melihat. Sopir dan wanita itu tadi ada di sana, di depan,
tersenyum ramah padanya.
"Tidak
mungkin... ini tidak mungkin..." bisik Faris, ketakutan mencengkeram
seluruh tubuhnya.
Ia tidak
bisa lagi memikirkan hal logis. Ia hanya tahu ia harus lari, sejauh mungkin
dari mobil dan tempat ini. Ia mulai berlari, meninggalkan mobil itu di tengah
perempatan jalan yang gelap dan asing. Ia berlari sekuat tenaga, tidak peduli
ke mana arahnya, yang penting lari dari kenyataan yang mengerikan ini.
Di tengah
jalan yang gelap, saat ia menoleh ke depan, ia melihat sesuatu yang membuatnya
berhenti secara tiba-tiba. Di depannya, di tengah jalan, berdiri sosok sopir
dan wanita itu. Wajah mereka kini terlihat pucat pasi, dengan darah
kental mengalir dari mata dan mulut mereka, menodai pakaian mereka yang
lusuh. Mata mereka kosong, hitam legam, dan di bibir mereka tersungging senyum
yang mengerikan dan tak wajar.
Faris
terbelalak, ingin berteriak sekeras-kerasnya, namun suaranya tercekat di
tenggorokan. Ia mencoba berbalik, lari ke arah lain, namun ia mendengar suara
tawa melengking yang sangat keras di belakangnya, tawa yang menusuk telinga
dan menggema di seluruh perempatan jalan.
Faris berbalik, dan ia
melihat dua sosok itu kini terbang melayang di atasnya, dengan wajah
penuh darah dan senyum mengerikan. Mereka tidak lagi berdiri di tanah,
melainkan melayang di udara, mengitarinya dengan gerakan lambat, seolah ingin
bermain-main dengan ketakutannya yang sudah di puncak. Tawa melengking yang
menusuk telinga kembali terdengar, memenuhi seluruh perempatan jalan yang sunyi.
"Mau
kemana Nak?" tanya si sopir, suaranya kini terdengar parau dan serak,
bukan lagi suara ramah yang ia dengar di awal.
"Mau
kemana? Kamu mau kemana?" sambung si wanita, tawanya melengking dan
mengiris telinga. "Kami akan menemanimu..."
Faris
jatuh berlutut, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir,
dan tubuhnya bergetar tak terkendali. Ia tidak bisa lari, kakinya seolah tak
mampu lagi menopang tubuhnya. Ia tidak bisa melawan. Ia hanya bisa pasrah,
menerima nasib buruk yang telah menimpanya.
Tawa
melengking itu semakin keras, menggema di seluruh perempatan jalan yang sunyi,
di antara suara jangkrik dan gemerisik daun. Faris tidak bisa lagi menahannya.
Pandangannya mulai kabur, dan ia merasakan hawa dingin yang menusuk
hingga ke sumsum tulang, hawa dingin yang bukan berasal dari udara malam. Ia
pun jatuh pingsan, tak sadarkan diri, terperangkap dalam kengerian yang tak
bisa ia jelaskan.
Pagi
harinya, saat sinar matahari mulai menyinari perempatan jalan yang sunyi,
seorang warga yang sedang melintas menemukan Faris tergeletak tak
sadarkan diri di pinggir jalan. Wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya dipenuhi
keringat dingin. Warga itu segera memanggil bantuan dari warga lainnya.
Faris pun
dibawa ke salah satu rumah warga dan dibaringkan di ranjang. Setelah beberapa
saat, ia sadar. Ia langsung duduk, matanya membelalak, mencari tahu di mana ia
berada. Dengan suara terbata-bata, ia menceritakan semua yang ia alami: tentang
mobil pickup yang berhenti, tumpangan yang ia dapatkan, hingga kabin
kosong dan wajah penuh darah yang mengintainya. Namun, tak ada yang
memercayainya. Mereka hanya menganggap ia terlalu takut dan berhalusinasi.
"Nak,
kamu cuma tersesat," kata seorang warga paruh baya, mengusap bahu Faris.
"Daerah ini memang agak angker, banyak cerita seram. Mungkin kamu terlalu
capek dan ketakutan, jadi berhalusinasi."
"Tapi...
saya tidak bohong Pak. Mereka benar-benar ada," ujar Faris, matanya
berkaca-kaca.
"Ya,
ya. Kami percaya," kata warga itu, mencoba menenangkan. "Tapi kamu
beruntung, kami menemukanmu di sana. Kalau tidak, entah apa yang akan
terjadi."
Faris
hanya bisa terdiam. Ia tahu ia tidak berhalusinasi. Ia mengingat setiap detail:
wajah ramah sopir, tumpangan yang ia dapatkan, kabin kosong, hingga wajah penuh
darah yang mengintainya. Namun, ia tidak punya bukti. Tak ada mobil pickup
di sana, dan tak ada yang percaya ceritanya.
Akhirnya,
dengan bantuan warga, Faris berhasil diantar pulang ke desanya. Ia pun tiba di
rumahnya dengan selamat, namun dengan trauma yang mendalam. Ia tidak
akan pernah melupakan tumpangan yang ia dapatkan malam itu, tumpangan dari sepasang
arwah penasaran yang tersesat di jalanan, mencari teman dalam kesepian
mereka yang abadi.
Kisah Faris
menjadi urban legend yang diceritakan dari mulut ke mulut di desanya.
Sejak malam yang mengerikan itu, Faris tidak pernah lagi berani pulang larut
malam, terutama dengan berjalan kaki. Ia telah belajar sebuah pelajaran
berharga: bahwa di setiap jalanan yang sepi, ada kisah-kisah yang menunggu
untuk diceritakan, dan tidak semua kisah itu berakhir bahagia.
Suatu
malam, saat ia sedang duduk di teras rumahnya, seorang pemuda tetangga datang
menghampirinya. "Bang Faris, saya dengar cerita abang dari warga. Apa
benar?" tanya pemuda itu, matanya penuh rasa penasaran.
Faris
mengangguk, menatap ke arah jalan yang gelap. "Cerita itu benar. Jangan
pernah pulang sendirian di malam hari. Jangan pernah terima tumpangan dari
orang yang tidak kamu kenal."
Pemuda itu
terlihat serius. "Jadi, mobil pickup tua itu benar-benar ada?"
"Mobil
pickup tua itu, yang menghilang di tengah malam, kini menjadi bagian
dari cerita horor di perempatan jalan yang asing itu," jawab Faris,
suaranya pelan. "Aku tahu, aku beruntung bisa selamat. Tapi aku juga tahu,
aku tidak akan pernah benar-benar bebas dari trauma malam itu."
Terutama di malam-malam yang sunyi, Faris
masih mendengar tawa melengking yang menggema di telinganya, tawa
melengking yang bukan berasal dari dunia ini. Tawa itu mengingatkannya pada
tumpangan yang ia dapatkan dari dunia lain, tumpangan dari sepasang arwah
penasaran yang tersesat di jalanan, mencari teman dalam kesepian mereka yang
abadi. Hingga kini, setiap kali Faris melewati perempatan jalan itu, ia selalu
menyempatkan diri untuk berhenti sejenak, memanjatkan doa, dan berharap agar
tidak ada lagi pemuda lain yang mengalami nasib yang sama seperti dirinya.
-- TAMAT --
Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar