#68 CERITA HOROR TAMBAL BAN
TAMBAL BAN.
Hujan mengguyur jalan
desa dengan deras, menciptakan genangan-genangan gelap yang memantulkan cahaya
bulan purnama yang sesekati muncul dari balik awan hitam. Andi (28 tahun),
seorang karyawan warung makan yang baru pindah ke daerah ini, menggigil
kedinginan di atas motornya. Jaket tipisnya sudah basah kuyup, menempel dingin
di kulitnya.
"Sialan!" umpatnya ketika
ban belakang motornya masuk ke lubang besar yang tersembunyi di balik genangan
air. Suara "byur" diikuti desisan panjang—ban
langsung kempes.
Andi turun dari motor,
mengutuk dalam hati. Ia mengeluarkan ponselnya, tapi tidak ada sinyal. Di
sekelilingnya hanya ada sawah gelap dan pepohonan yang bergoyang-goyang seperti
tangan-tangan raksasa di kegelapan.
"Aku harus mencari
tempat berteduh," pikirnya.
Tiba-tiba, dari
kejauhan, sebuah cahaya kuning redup berkedip-kedip. Andi menyipitkan
mata—sebuah pondok kecil dengan papan reyot bertuliskan *"Tambal Ban
- 24 Jam"* tergantung miring.
"Aneh," gumamnya. "Siapa
yang buka tambal ban jam segini di tengah sawah?"
Tapi kakinya sudah
bergerak menuju pondok itu, didorong oleh kebutuhan untuk berteduh dan
memperbaiki ban motornya.
Pondok itu lebih mirip
gubuk darurat ketimbang bengkel tambal ban. Dindingnya anyaman bambu
yang sudah lapuk, atapnya seng bolong-bolong yang bocor di beberapa tempat. Bau
menyengat menusuk hidung Andi begitu ia mendekat—campuran antara karet
terbakar, oli busuk, dan sesuatu yang lebih tajam... seperti daging yang sudah
membusuk.
Andi menghela napas,
menepuk-nepuk bahunya yang basah sebelum mengetuk pintu kayu yang reyot.
"Tok... tok...
tok..."
Tak ada jawaban.
Andi sudah siap mengetuk
lagi ketika tiba-tiba—
"Krek..."
Pintu terbuka perlahan,
mengeluarkan bunyi engsel yang berderit. Seorang lelaki tua muncul dari balik
pintu, tubuhnya bongkok seperti pohon tua yang terbengkokkan oleh angin.
Kulitnya keriput dan keabu-abuan, seperti kulit kayu yang sudah mati. Tapi yang
membuat Andi bergidik adalah matanya—hitam pekat, tak berkedip,
seperti mata ikan mati yang mengambang di air keruh.
"Mau tambal ban
Bang?" Suara lelaki itu serak, seperti gesekan ban kasar di
aspal.
Andi mengangguk,
berusaha menyembunyikan gelisahnya. "Iya Pak. Kebetulan banget
masih buka."
Lelaki tua itu
tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang hitam, renggang, dan
runcing, seperti gigi predator tua. "Kami selalu buka..." Ia
berhenti sejenak, matanya menatap tajam ke arah Andi. "...untuk
yang masih hidup."
Udara tiba-tiba terasa
lebih dingin. Andi ingin segera pergi, tapi hujan di luar semakin deras, dan
ban motornya masih kempes.
"Ayo masuk," kata lelaki tua
itu sambil membuka pintu lebih lebar.
Saat Andi melangkah
masuk, matanya menangkap gerakan aneh di balik tirai bambu yang memisahkan
ruang depan dengan bagian dalam pondok. Sesosok putih bergoyang
pelan di balik anyaman bambu, seperti digerakkan oleh angin—tapi tak ada angin
malam ini.
Lelaki tua itu mengikuti
pandangan Andi, lalu tersenyum lagi. "Ah, itu cuma bajuku yang
sedang dijemur," katanya cepat. Tapi suaranya terlalu tinggi,
terlalu tidak alami.
Andi ingin percaya, tapi
ketika kilat menyambar di luar, ia bisa melihat dengan jelas—bayangan di
balik tirai itu memiliki bentuk manusia... dan sedang bergoyang-goyang sendiri.
Di dalam pondok, udara terasa lebih
pengap. Lampu minyak di tengah ruangan menciptakan bayangan-bayangan aneh yang
menari-nari di dinding. Andi duduk di bangku kayu yang reyot sambil menunggu
ban motornya diperbaiki.
"Dari mana
Bang?" tanya lelaki tua itu tiba-tiba sambil membongkar ban motor
Andi.
"Da-Dari kota Pak.
Baru pindah ke sini," jawab Andi, matanya terus mengawasi tirai bambu.
Lelaki itu
mengangguk. "Hati-hati di jalan ini Bang. Banyak yang hilang...
terutama di malam hujan seperti ini."
"Hilang?"
"Iya," lelaki itu
berhenti bekerja sejenak, menatap Andi dengan mata yang tiba-tiba terlihat
lebih gelap. "Tapi mereka biasanya kembali... dalam bentuk
lain."
Sebelum Andi sempat
bertanya lebih lanjut, suara "plak... plak..." seperti
kain basah dipukulkan ke lantai terdengar dari balik tirai.
Lelaki tua itu langsung
berdiri, wajahnya berubah. "Jangan lihat ke sana!" desisnya
panik.
Tapi sudah terlambat.
Andi menoleh—dan di
balik celah tirai, ia melihat sepasang mata putih yang
menatapnya langsung... dan sebuah senyuman lebar yang terlalu lebar untuk wajah
manusia.
Andi tidak bisa berhenti
memikirkan apa yang baru saja ia lihat. Apakah itu hanya bayangan? Atau...
Saat ia merogoh
koceknya, tirai bambu itu bergerak lagi, kali ini lebih kencang.
Dan Andi yakin—ia mendengar suara tertawa kecil dari baliknya.
Suara yang sama sekali tidak manusiawi.
Udara di dalam pondok tambal ban terasa semakin pengap. Andi
duduk di bangku kayu yang reyot, tangannya erat menggenggam ponsel yang masih
tak mendapat sinyal. Suara hujan di atap seng bocor menciptakan irama tidak
menentu—plink...
plonk... plink—seperti jari-jari tak kasat mata yang sedang
mengetuk-ngetuk.
Dari balik tirai bambu, sesekali terdengar suara gesekan,
seperti kain kasar bergesekan dengan lantai kayu. Andi memaksakan diri untuk
tidak menoleh, fokusnya tertuju pada lelaki tua yang sedang membenahi ban
motornya.
"Masih lama Pak?" tanya
Andi, berusaha menahan gemetar di suaranya.
Lelaki itu mengangkat kepalanya perlahan. Di bawah cahaya lampu
minyak yang berkedip, wajahnya terlihat lebih keriput dari sebelumnya. "Sabarlah
Bang. Banmu kena sobekan tajam. Harus ditambal dengan hati-hati."
Suara "plak... plak..." yang tadi terdengar
semakin jelas dari balik tirai. Andi mengalihkan pandangannya ke jendela kecil
di sampingnya. Melalui kaca yang kotor, ia bisa melihat ke arah belakang
pondok—sepetak kebun kecil dengan beberapa pohon pisang yang daunnya
bergoyang-goyang diterpa angin.
Lalu, ia melihatnya.
Sesosok pocong bergantung di
salah satu pohon pisang.
Kain kafannya basah oleh hujan, menempel erat pada tubuh yang
terlihat kaku. Yang membuat Andi membeku adalah wajah pocong
itu—kain kafan yang seharusnya menutupi seluruh wajah ternyata
terbuka sebagian, memperlihatkan sepasang mata yang terbuka lebar. Mata itu hitam
pekat, tapi memantulkan cahaya bulan seperti mata kucing.
Dan pocong itu... sedang menatapnya.
"Jangan lihat itu Bang."
Suara tiba-tiba di samping telinganya membuat Andi nyaris
melompat. Lelaki tua itu kini berdiri di sebelahnya, wajahnya hanya berjarak
beberapa inci. Napasnya berbau busuk, seperti daging yang sudah membusuk di
bawah terik matahari.
"Dia cuma mau numpang lewat," bisik lelaki itu, matanya tak berkedip. "Tapi
kadang-kadang... dia suka mengajak orang ikut."
Andi ingin bertanya, tapi lidahnya terasa kaku. Ia menoleh
kembali ke jendela—
"Krak!"
Kilat menyambar, menerangi seluruh kebun belakang dalam sekejap.
Pocong itu sudah menghilang.
Yang tersisa hanya dahan pohon pisang yang bergoyang-goyang,
seperti baru saja dilepaskan dari beban berat.
Tapi saat Andi mengalihkan pandangannya ke bawah, ke arah lantai
di dekat motornya, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya berhenti mengalir—
Jejak kaki kecil berlumpur.
Jejak itu mengarah dari bawah pohon pisang... langsung
menuju pintu bengkel.
Dan yang paling mengerikan—jejak itu baru saja
terbentuk, lumpurnya masih basah, meneteskan air ke lantai
kayu.
"Pak... itu—"
Lelaki tua itu mengangkat tangannya, menghentikan Andi di tengah
kalimat. "Sudah
kubilang, jangan pedulikan itu." Matanya menyipit,
memperhatikan jejak kaki itu dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. "Dia
hanya penasaran. Tapi kalau kau terlalu banyak memperhatikannya..."
Suara gesekan dari balik tirai bambu tiba-tiba berhenti. Seluruh
pondok menjadi sunyi, hanya suara hujan yang masih terdengar.
Lelaki tua itu mendekatkan mulutnya ke telinga Andi, berbisik
dengan suara yang tiba-tiba berubah—menjadi lebih dalam, lebih berat, seperti
suara banyak orang yang berbicara bersamaan:
"...dia akan mengira kau mengajaknya bermain."
Di luar, angin tiba-tiba berhembus kencang, membuat seluruh
pondok berderak. Lampu minyak padam selama sepersekian detik—
Dan ketika cahaya kembali, jejak kaki itu sudah berada satu
langkah lebih dekat.
Kini, Andi bisa melihat tetesan air yang lebih gelap dari
lumpur di antara jejak-jejak itu.
Tetesan yang berbau seperti air kuburan.
Lampu minyak yang
berkedip-kedip akhirnya stabil kembali, memancarkan cahaya kuning pucat yang
justru membuat bayangan-bayangan di pojok ruangan terlihat lebih hidup. Andi
dengan gemetar mengeluarkan uang dari dompetnya, tangannya sedikit bergetar
saat menyerahkan lima belas ribu rupiah kepada lelaki tua itu.
"Selesai, Bang.
Lima belas ribu," kata si tukang ban sambil mengulurkan tangannya yang
berbintik-bintik hitam. Kukunya panjang dan kotor, seperti cakar binatang yang
sudah lama tidak dipotong.
Andi baru saja akan
mengucapkan terima kasih ketika—
"Hihihihihi!"
Suara tertawa melengking
tiba-tiba menggema dari atas pohon di luar. Bukan suara manusia, tapi juga
bukan suara hewan—terlalu tinggi, terlalu nyaring, seperti kaca yang pecah
digosokkan ke papan tulis.
Wajah lelaki tua itu
langsung berubah. Kulitnya yang sudah pucat menjadi semakin putih, seperti
mayat yang baru saja dikeluarkan dari kubur. Matanya yang hitam pekat membelalak,
memperlihatkan jaringan merah di sudut-sudutnya.
"Cepat pergi!" desisnya panik,
suaranya parau dan bergetar. "Dia lapar malam ini!"
Sebelum Andi sempat
bertanya atau bahkan bergerak, sesuatu yang jauh lebih menakutkan terjadi.
"Wush!"
Semua lampu minyak di
warung itu padam sekaligus, seperti ditiup oleh nafas tak terlihat. Kegelapan
total menyergap mereka, lebih pekat dari malam di luar. Andi bahkan tidak bisa
melihat tangannya sendiri di depan wajahnya.
Dingin.
Sangat dingin.
Udara tiba-tiba menjadi
beku, seperti Andi terjebak di dalam ruang pendingin. Napasnya mengeluarkan
kabut putih meski di dalam ruangan.
Lalu, ia merasakannya.
Sesuatu yang dingin menyentuh
lehernya.
Bukan sentuhan angin
atau tetesan air. Ini adalah sentuhan jari-jari—terlalu panjang,
terlalu kurus untuk milik manusia—yang perlahan merayap dari belakang lehernya
ke arah tenggorokan. Kuku-kuku tajamnya menggores kulit Andi dengan lembut,
seperti pisau bedah yang siap menyayat.
"Sesssss..."
Suara desisan di
telinganya, berbau tanah kuburan yang lembap dan daging membusuk. Bau itu
begitu kuat sampai Andi hampir muntah.
"Jangan
bergerak," bisik suara lelaki tua itu dari suatu tempat dalam
kegelapan. "Dia sedang memilih."
Andi membeku, jantungnya
berdebar kencang sampai-sampai ia yakin makhluk itu bisa mendengarnya.
Jari-jari dingin itu sekarang sudah melingkari tenggorokannya, tidak menekan
tapi jelas-jelas siap untuk mencekik.
"Hihihihihi!"
Tertawa itu kembali
terdengar, tapi kali ini berasal dari dalam ruangan—tepat di
belakang Andi.
Lampu minyak tiba-tiba
menyala kembali dengan nyala yang terlalu terang, membutakan mata Andi sejenak.
Ketika matanya
menyesuaikan, ia melihat:
Lelaki tua itu berdiri di sudut, wajahnya penuh terror,
menunjuk ke sesuatu di belakang Andi.
Di lantai, jejak-jejak kaki berlumpur sekarang membentuk lingkaran
sempurna di sekeliling Andi.
Di kaca jendela yang buram, terpantul bayangan di belakang
Andi—sesosok wanita dengan rambut panjang menutupi wajah, tangan
kanannya yang berkuku panjang sedang melingkari leher Andi,
sementara tangan kirinya...
Tangan kirinya menembus
jendela,
seolah kaca itu tidak ada, menggapai-gapai ke arah lelaki tua itu.
"Pergi
SEKARANG!" teriak lelaki tua itu, suaranya pecah ketakutan.
Andi tidak perlu disuruh
dua kali. Dengan gerakan cepat, ia melepaskan diri dari cengkeraman dingin
itu—entah bagaimana makhluk itu membiarkannya pergi—dan melompat ke arah
motornya.
Saat ia menyalakan mesin
dan memacu motornya keluar dari pondok, ia mendengar suara tertawa itu
lagi—kali ini berasal dari jok belakang.
Dan di spion motornya,
sebelum ia membelok ke jalan raya, Andi melihat pondok tambal ban itu
sudah tertutup rapat, dengan papan "TUTUP" berayun-ayun...
Ditulis dengan huruf yang menetes
seperti darah.
Matahari pagi menyinari
jalan desa dengan kehangatan yang menipu. Burung-burung berkicau riang seolah
malam sebelumnya tidak terjadi apa-apa. Sebuah motor Honda tua terparkir miring
di pinggir jalan, ban belakangnya masih kempes dan berlumpur.
Bapak Sutrisno, polisi
desa yang sudah berusia 50 tahun, mengerutkan kening saat mendekati motor
itu. "Motor siapa ini?" gumamnya sambil memeriksa
plat nomor. Tangannya yang keriput membuka kompartemen jok motor—dan sesuatu
langsung membuat darahnya berhenti mengalir.
Sebuah tas kain kecil berwarna coklat
tua tergeletak di dalam. Tas itu basah dan berbau anyir, seperti baru
dikeluarkan dari kubangan air kotor. Dengan sarung tangan, Bapak Sutrisno
membuka tas itu perlahan.
Isinya:
Sehelai rambut panjang yang masih basah, melekat
erat pada kain kafan kotor yang sobek di beberapa bagian.
Rambut itu terlalu panjang untuk milik laki-laki, dan ketika disentuh,
terasa... hidup, seperti masih menempel pada kulit kepala
seseorang.
Segenggam lumpur hitam yang masih basah. Bapak
Sutrisno tidak perlu menciumnya untuk tahu asalnya—bau tanah kuburan yang khas
itu terlalu familiar baginya setelah puluhan tahun bertugas di desa ini.
Sebuah
ban serep tua yang sudah lapuk dan berjamur. Yang membuat Bapak Sutrisno
gemetar adalah tulisan yang tertera di sisi ban:
"Untuk Santi - 1983"
"Tidak
mungkin..." bisiknya, wajahnya tiba-tiba pucat.
Dari kejauhan, Pak Lurah
yang sedang lewat mendekat. "Ada apa Pak Polisi?"
Bapak Sutrisno
menatapnya dengan mata penuh horror. "Ini... ini motor
siapa?"
Pak Lurah melihat ke
arah motor, lalu tiba-tiba mundur selangkah. "Itu... itu mirip
motor Andi, anak baru yang kerja di warung makan itu. Tapi kenapa—"
"1983," potong Bapak
Sutrisno, suaranya bergetar. "Kau ingat kasus Santi, kan?"
Wajah Pak Lurah langsung
berubah. "Jangan bilang..."
"Iya. Gadis yang
hilang tahun 1983 setelah motornya kempes di jalan ini. Mereka hanya
menemukan... kain kafannya."
Suara derikan tiba-tiba
membuat mereka berdua menoleh. Ban serep tua itu bergerak sendiri,
menggelinding perlahan dari tas sebelum berhenti tepat di kaki Pak Lurah.
Dan ketika mereka
melihat lebih dekat—
Tulisan di ban itu sudah
berubah.
Kini tertulis:
"Giliran Andi -
2023"
Di kejauhan, di ujung
jalan di mana pondok tambal ban berdiri, asap hitam tiba-tiba
mengepul dari atapnya—tapi tidak ada api yang terlihat.
Dan jika seseorang
mendengarkan dengan sangat seksama, mereka mungkin bisa mendengar:
Suara tertawa perempuan...
Dan suara motor tua yang
mogok.
Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar