#67 CERITA HOROR PENUMPANG TERAKHIR


 

PENUMPANG TERAKHIR.

Kota malam itu terasa seperti kota yang asing bagi Dani. Di usianya yang baru menginjak 30 tahun, ia mengendarai motor bututnya, sebuah Yamaha tua yang mesinnya kadang berderit seperti keluhan kecil di tengah kesunyian. Jalanan di pinggiran kota mulai sepi, hanya sesekali dilewati truk atau mobil yang lampunya menyapu aspal basah. Kabut tipis melayang rendah, menyelimuti lampu jalan yang berkedip-kedip seperti mata yang lelah. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menyusup melalui jaket tipis Dani, membuatnya menggigil meski ia sudah terbiasa berkendara hingga larut. Ada sesuatu di malam ini yang terasa salah, seperti bisikan tak terucap yang menggantung di udara.Dani bukan orang yang mudah takut. Sebagai anak tunggal yang dibesarkan di kampung pinggiran kota, ia sudah terlatih menghadapi kerasnya hidup. Namun, sejak kehilangan pekerjaannya sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan logistik tiga bulan lalu, hidupnya terasa seperti berjalan di tepi jurang. PHK itu datang tanpa peringatan, dan tabungannya kini menipis. Ia harus membayar sewa kamar kos yang sempit di bilangan kota kecil, plus biaya pengobatan ibunya yang menderita diabetes kronis. Ojek online menjadi penyelamatnya, meski setiap malam ia harus melawan rasa lelah dan ketakutan akan jalanan sepi yang sering dipenuhi cerita-cerita aneh dari sesama driver.Malam ini, Dani sudah hampir menyerah setelah berjam-jam berkeliling tanpa pesanan yang layak. Ia berhenti sejenak di bawah pohon beringin besar di pinggir jalan, menyalakan sebatang rokok untuk menenangkan pikiran. Asap rokok bercampur dengan kabut, menciptakan lingkaran putih yang samar di udara. Saat ia menghirup napas dalam-dalam, ponselnya berbunyi—notifikasi dari aplikasi ojek online. Ia meraih ponsel dengan tangan yang sedikit gemetar karena dingin, berharap ini adalah pesanan terakhir sebelum ia bisa pulang dan merebahkan tubuhnya yang pegal di kasur tipis di kos.Nama penumpang di aplikasi itu sederhana: “Sari”. Lokasi penjemputan berada di daerah pinggiran kota, sebuah tempat yang jarang dilalui ojol, dekat komplek pemakaman tua bernama Taman Bahagia. Alamatnya membuat Dani mengerutkan kening: Jalan Buntu No. 0. Ia menggosok matanya, berpikir mungkin ia salah baca. Siapa yang menulis alamat seperti itu? Tidak ada nomor rumah “0” di dunia nyata bukan? Tapi iming-iming bayaran malam yang sedikit lebih tinggi membuatnya mengabaikan firasat buruk. “Cepat selesai, cepat pulang,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan hatinya yang mulai gelisah.Perjalanan menuju lokasi penjemputan terasa lebih lama dari yang seharusnya. Jalanan semakin sempit, berubah menjadi gang-gang kecil yang dipenuhi potholes dan genangan air sisa hujan sore tadi. Lampu jalan di sini jarang, banyak yang mati atau hanya berkedip lemah, menciptakan bayangan-bayangan aneh di dinding bangunan tua yang berdiri di kanan-kiri. Bau tanah basah dan lumut menyengat hidung Dani, bercampur dengan aroma samar sesuatu yang busuk, seperti sampah yang dibiarkan terlalu lama. Di kejauhan, ia bisa melihat pagar besi berkarat yang mengelilingi komplek pemakaman Taman Bahagia. Batu-batu nisan tampak samar di balik kabut, seperti siluet orang-orang yang berdiri diam, mengawasi. Dani memperlambat laju motornya saat sampai di ujung gang yang menjadi titik penjemputan. Ia memeriksa aplikasi sekali lagi untuk memastikan. Jalan Buntu No. 0. Lokasi tepat. Tapi di depannya, hanya ada tembok tua yang ditumbuhi lumut, tanpa pintu atau bangunan yang jelas. Gang itu berakhir begitu saja, diblokir oleh tembok yang seolah menandakan bahwa tidak ada jalan keluar. Tidak ada tanda-tanda penumpang, tidak ada suara langkah kaki, hanya desau angin yang melewati celah-celah pagar pemakaman, membawa suara seperti isakan pelan yang nyaris tak terdengar.Dani mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi nomor penumpang. Nada sambung terdengar, tapi setelah beberapa detik, panggilan terputus dengan pesan otomatis: “Nomor yang Anda tuju tidak aktif atau berada di luar jangkauan.” Ia mengerutkan kening, merasa bulu kuduknya berdiri. “Mungkin salah titik,” gumamnya, meski ia tahu aplikasi ini jarang salah menentukan lokasi. Ia menoleh ke sekeliling, berharap melihat seseorang muncul dari balik bayangan. Tapi gang itu kosong, hanya ada pohon pisang liar yang daun-daunnya bergoyang pelan, seolah digerakkan oleh tangan tak terlihat.Tiba-tiba, ponselnya bergetar keras di tangannya, membuatnya tersentak. Notifikasi baru muncul di layar aplikasi, tanpa suara notifikasi yang biasa. Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat jantung Dani berdegup kencang: “Saya sudah di belakang Anda.” Dani membalikkan tubuhnya dengan cepat, helmnya hampir terlepas karena gerakan tiba-tiba. Matanya menyapu kegelapan gang, tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya bayangan pohon pisang yang bergoyang di bawah cahaya lampu jalan yang berkedip, menciptakan ilusi gerakan di sudut matanya. Ia menahan napas, mencoba mendengar sesuatu—langkah kaki, suara napas, apa saja. Tapi hanya ada keheningan yang menekan, dipecah oleh suara jangkrik yang tiba-tiba terdengar terlalu keras. “Siapa itu?!” panggilnya, suaranya bergema di gang sempit, tapi tidak ada jawaban. Ia menoleh ke cermin spion motornya, berharap melihat sesuatu, tapi cermin itu hanya memantulkan kegelapan. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mencoba membatalkan pesanan di aplikasi. Tapi tombol “Batalkan” tidak merespons, seolah aplikasi itu membeku. Layar ponselnya berkedip sebentar, dan untuk sesaat, Dani bersumpah ia melihat wajah pucat samar di layar sebelum kembali ke tampilan normal.Rasa tidak nyaman kini berubah menjadi ketakutan yang nyata. Dani menstarter motornya, suara mesin yang berderit terasa seperti satu-satunya hal yang nyata di malam itu. Ia melaju keluar dari gang, tidak peduli jika pesanan itu belum selesai. Saat ia melirik ke belakang sekali lagi, ia merasa ada sepasang mata yang menatapnya dari kegelapan di ujung gang, di balik bayangan pagar pemakaman. Matanya mungkin hanya bermain trik, tapi perasaan itu—perasaan bahwa sesuatu mengawasinya—mengikuti sampai ia tiba di kosnya, jauh di ujung kota.

Keesokan malam, Dani duduk di atas motornya di bawah lampu neon sebuah warung makan pinggir jalan, menyeruput kopi hitam pahit yang sudah mulai dingin. Malam itu terasa lebih berat dari biasanya, seolah bayangan kejadian semalam di gang dekat pemakaman Taman Bahagia masih menempel di pikirannya. Ia belum bisa melupakan pesan aneh di aplikasi, “Saya sudah di belakang Anda,” dan perasaan dingin yang menggigit ketika ia melaju meninggalkan gang itu. Dani mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya kelelahan atau trik pikirannya setelah seharian bekerja. Namun, di sudut hatinya, ada keraguan yang terus menggerogoti, seperti suara kecil yang berbisik bahwa sesuatu tidak beres.Ponselnya bergetar di saku jaketnya, mengagetkannya hingga kopi hampir tumpah. Ia mengeluarkan ponsel dengan tangan yang sedikit gemetar, berharap itu hanya pesanan biasa dari pelanggan yang ingin pulang dari kantor atau warteg. Tapi saat ia membuka aplikasi, jantungnya serasa terhenti. Nama yang sama muncul di layar: “Sari”. Lokasi penjemputan sama persis—Jalan Buntu No. 0, di gang sempit dekat pemakaman tua. Dani menatap layar ponselnya lama, jari-jarinya ragu di atas tombol “Terima”. Ia tahu ia seharusnya menolak. Firasat buruk dari malam sebelumnya masih terasa segar, tapi tagihan listrik kos yang belum dibayar dan botol obat ibunya yang hampir habis membuatnya tidak punya pilihan. “Satu pesanan lagi,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Ia menekan tombol “Terima” dan menstarter motornya, meski dadanya terasa sesak.Perjalanan menuju gang itu terasa seperti dejavu. Jalanan Kota yang biasanya ramai kini sepi, hanya ditemani suara mesin motornya yang berderit dan deru angin yang membawa aroma tanah basah. Kabut malam ini lebih tebal, menyapu lampu jalan yang berkedip lemah, menciptakan siluet-siluet aneh di trotoar. Saat ia memasuki gang sempit menuju Jalan Buntu No. 0, udara terasa semakin dingin, seolah suhu turun drastis begitu ia mendekati pagar berkarat pemakaman Taman Bahagia. Bau lumut dan sesuatu yang samar-samar manis, seperti bunga kamboja yang layu, menyengat hidungnya. Dani memperlambat laju motornya, matanya menyapu kegelapan, mencari tanda-tanda penumpang.Di ujung gang, di bawah bayang-bayang pohon pisang yang daun-daunnya bergoyang pelan, berdiri seorang wanita. Ia tampak muda, mungkin seusia Dani, mengenakan baju putih sederhana yang tampak usang, dengan ujung-ujung kain yang sedikit robek menggantung di pinggir tubuhnya. Rambutnya panjang dan hitam, menjuntai hingga menutupi sebagian wajahnya, seperti tirai yang menyembunyikan ekspresinya. Cahaya lampu jalan yang redup membuatnya tampak hampir tidak nyata, seolah ia adalah bagian dari kabut itu sendiri. Dani menelan ludah, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ia mendekati wanita itu perlahan, memaksa bibirnya membentuk senyum meski bulu kuduknya berdiri. “Mbak Sari?” panggilnya, suaranya terdengar serak di tengah keheningan.Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, gerakannya kaku, lalu menunjuk ponsel Dani, seolah mengacu pada alamat di aplikasi. Dani melirik layar ponselnya: tujuan adalah sebuah rumah tua di daerah terpencil dekat hutan kota, sebuah kawasan yang dikenal sebagai tempat pembuangan sampah dan bangunan-bangunan terbengkalai. “Ke sana ya Mbak?” tanya Dani, berusaha terdengar ramah meski perutnya mulas. Wanita itu tidak merespons, hanya melangkah mendekat dan naik ke kursi belakang motornya dengan gerakan yang terlalu mulus, hampir tanpa suara. Dani merasa helm penumpang yang ia berikan terasa aneh saat ia menyerahkannya—terlalu ringan, seolah ia hanya memegang udara.Sepanjang perjalanan, Dani mencoba fokus pada jalanan yang semakin gelap dan berlubang. Hutan kota di kejauhan tampak seperti dinding hitam yang menjulang, hanya diterangi sesekali oleh lampu motornya. Wanita di belakangnya diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dani merasa udara di sekitarnya semakin dingin, meski malam itu seharusnya hangat dan lembap. Ia melirik cermin spion, berharap melihat wajah penumpangnya untuk menenangkan diri, tapi apa yang ia lihat membuat jantungnya hampir berhenti. Kursi belakang tampak kosong, hanya ada kegelapan yang samar, seolah wanita itu tidak ada di sana. Ia mengedipkan mata keras-keras, berpikir itu hanya ilusi karena kelelahan, tapi cermin itu tetap menunjukkan hal yang sama. Namun, ia bisa merasakan bobot di belakangnya—ringan, tapi nyata, seperti ada sesuatu yang menempel di punggungnya.“Mbak, rumahnya jauh ya?” tanya Dani, suaranya gemetar saat ia mencoba mengisi keheningan yang menekan. Ia tidak benar-benar mengharapkan jawaban, hanya ingin mendengar suaranya sendiri untuk mengusir rasa takut yang mulai merayap. Wanita itu bergumam, suaranya rendah dan serak, seperti angin yang melewati celah-celah kayu tua. “Cepat… dia menunggu.” Kata-kata itu terdengar samar, hampir tidak manusiawi, membuat Dani merinding hingga ke tulang. “Siapa yang menunggu Mbak?” tanyanya, tapi tidak ada jawaban. Hanya desau napas pelan yang terdengar di belakangnya, atau mungkin itu hanya imajinasinya.Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa seperti berjam-jam meski hanya tiga puluh menit, mereka tiba di tujuan: sebuah rumah kayu tua yang berdiri sendirian di pinggir hutan kota. Bangunan itu tampak seperti reruntuhan, dengan dinding-dinding yang melengkung dan atap yang sebagian ambruk. Jendela-jendelanya gelap, beberapa pecah, dan pintu depan yang terbuat dari kayu lapuk tampak setengah terbuka, mengayun pelan meski tidak ada angin. Dani mematikan mesin motornya, berharap wanita itu segera turun. “Sampai Mbak,” katanya, suaranya nyaris berbisik.Tapi saat ia menoleh, kursi belakang sudah kosong. Helm penumpang tergeletak di jok, seolah tidak pernah dipakai. Dani menoleh ke arah rumah, berharap melihat wanita itu berjalan menuju pintu, tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya kegelapan dan suara dedaunan yang bergesekan di hutan. Jantungnya berdegup kencang saat ia memeriksa aplikasi. Status pesanan berubah menjadi “Selesai”, tapi kolom pembayaran kosong—tidak ada transaksi, tidak ada catatan. Ia mencoba menghubungi nomor Sari, tapi seperti malam sebelumnya, nomor itu tidak aktif.Malam itu, Dani kembali ke kosnya dengan pikiran yang kacau. Ia mencoba tidur, tapi setiap kali memejamkan mata, ia merasa ada seseorang yang berdiri di ujung ranjangnya. Dalam mimpi yang akhirnya menyeretnya ke dalam kegelapan, ia melihat wanita itu—Sari—berdiri di sudut kamarnya yang sempit. Rambutnya masih menutupi wajah, tapi matanya, yang kini terlihat jelas, kosong dan hitam seperti lubang tanpa dasar, menatap langsung ke arahnya. “Kamu akan kembali,” bisiknya, dan suara itu terdengar seperti berasal dari dalam kepala Dani sendiri.

Dani duduk di sudut kamar kosnya yang sempit, diterangi hanya oleh lampu neon yang berkedip-kedip di langit-langit. Dinding plester yang sudah mengelupas dan bau apek dari kasur tua membuat ruangan itu terasa lebih pengap dari biasanya. Malam sebelumnya, pengalaman dengan penumpang bernama Sari masih menghantui pikirannya seperti bayangan yang enggan pergi. Ia tidak bisa melupakan sensasi dingin yang menusuk saat wanita itu naik ke motornya, atau cermin spion yang seolah menunjukkan kursi belakang kosong. Dan yang paling mengganggu, kata-kata samar yang diucapkannya: “Cepat… dia menunggu.” Siapa “dia”? Dani mencoba mengusir pertanyaan itu, tapi pikirannya terus kembali ke rumah tua di pinggir hutan, dengan pintu yang mengayun pelan dan jendela-jendela yang seperti mata kosong.Pagi itu, setelah hanya tidur beberapa jam yang dipenuhi mimpi buruk tentang wajah pucat dan mata hitam, Dani memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding yang dingin, dan membuka ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat di layar, mencari informasi tentang Jalan Buntu No. 0 di mesin pencari. Ia mencoba berbagai kata kunci—“Jalan Buntu Kota”, “pemakaman Taman Bahagia”, bahkan “alamat aneh ojek online”—tapi hasilnya nihil. Hanya artikel-artikel tidak relevan tentang kecelakaan lalu lintas atau sejarah pemakaman kota yang muncul. Tidak ada jejak alamat itu, seolah gang sempit itu tidak pernah ada di peta. Dani mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang salah. Aplikasi ojek online biasanya akurat dengan koordinat GPS, tapi alamat ini terasa seperti lubang hitam digital.Dengan rasa frustrasi, Dani membuka grup WhatsApp para driver ojek yang ia ikuti, sebuah komunitas bernama “Ojol Kota Barat”. Grup itu biasanya ramai dengan candaan, keluhan tentang penumpang pelit, atau tips menghindari razia polisi. Tapi kali ini, Dani mengetik dengan hati-hati, ragu apakah ia ingin ceritanya dianggap serius atau justru jadi bahan olok-olok. “Ada yang pernah dapat pesanan dari Jalan Buntu No. 0, dekat Taman Bahagia? Atau penumpang aneh yang… nggak normal?” tulisnya, lalu menahan napas saat ia menekan tombol kirim.Pesan itu langsung memicu beberapa balasan. Seorang driver bernama Andi membalas dengan emoji tertawa, “Haha, Dani kena prank apa kena setan?” Driver lain menimpali dengan cerita tentang penumpang mabuk atau alamat salah. Tapi di antara candaan itu, sebuah pesan dari driver senior bernama Pak Budi membuat Dani terdiam. “Hati-hati Dan,” tulis Pak Budi. “Ada penumpang yang bukan manusia. Aku pernah dengar cerita dari driver lain, pesanan dari alamat aneh kayak gitu biasanya bawa sial. Kalau dapat lagi, tolak saja. Jangan main-main sama yang gitu.” Dani menatap pesan itu lama, jantungnya berdetak lebih cepat. Pak Budi bukan tipe orang yang suka bercanda tentang hal-hal seperti ini. Ia sudah mengemudi ojek selama hampir dua dekade, dan cerita-ceritanya tentang jalanan Kota selalu dianggap serius oleh para driver muda.Dani mencoba membalas, “Serius Pak? Pernah ngalamin apa?” Tapi sebelum Pak Budi sempat menjawab, ponsel Dani bergetar lagi. Notifikasi baru dari aplikasi ojek online. Nama yang muncul di layar membuatnya membeku: “Sari”. Lokasi penjemputan sama—Jalan Buntu No. 0. Dani menatap layar ponselnya, merasa seperti ada tangan dingin yang meremas dadanya. Ia ingin menolak, ingin menghapus aplikasi itu dari hidupnya. Tapi pikiran tentang tagihan rumah sakit ibunya dan sewa kos yang menumpuk membuatnya ragu. “Ini cuma kebetulan,” katanya pada diri sendiri, meski suaranya sendiri terdengar tidak meyakinkan. Ia ingin membuktikan bahwa ini hanya halusinasi karena kelelahan, atau mungkin kesalahan sistem aplikasi. Dengan jari yang gemetar, ia menekan tombol “Terima”.Malam itu, saat ia melaju kembali ke gang sempit dekat pemakaman Taman Bahagia, udara terasa lebih berat dari sebelumnya. Kabut tebal menyelimuti jalan, membuat lampu motornya hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan. Bau tanah basah dan kamboja layu kembali menyengat, bercampur dengan aroma samar sesuatu yang busuk, seperti daging yang dibiarkan membusuk. Dani memperlambat motornya saat mendekati ujung gang, matanya menyapu kegelapan. Di sana, di bawah bayang-bayang pohon pisang yang daun-daunnya bergoyang seperti tangan yang melambai, wanita itu berdiri lagi. Baju putihnya tampak lebih lusuh malam ini, ujung-ujung kainnya basah seolah ia baru saja berjalan melalui genangan air. Rambut panjangnya masih menutupi wajah, tapi kali ini Dani bersumpah ia melihat secercah mata di balik helaian rambut itu—hitam, kosong, seperti sumur tanpa dasar.Dani menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Mbak Sari?” panggilnya, suaranya nyaris tenggelam dalam desau angin. Wanita itu tidak menjawab, hanya melangkah mendekat dengan gerakan yang terlalu mulus, seperti meluncur di atas tanah. Ia naik ke kursi belakang motor, dan seketika Dani merasa hawa dingin menusuk tulangnya, seolah udara di sekitarnya membeku. Malam itu panas dan lembap, tapi dingin yang ia rasakan bukanlah dingin biasa—ia terasa seperti merambat dari dalam dirinya, membuat giginya gemeretak. Helm penumpang yang ia berikan terasa ringan, hampir seperti tidak ada apa-apa di tangannya.Sepanjang perjalanan menuju alamat tujuan—rumah tua di pinggir hutan kota—Dani berusaha fokus pada jalanan yang gelap dan berlubang. Tapi ia tidak bisa mengabaikan sensasi aneh di belakangnya. Bobot penumpang terasa ada, tapi terlalu ringan, seperti ia mengangkut bayangan. Ia melirik cermin spion, dan lagi-lagi kursi belakang tampak kosong, hanya ada kegelapan yang bergoyang mengikuti gerakan motor. “Kamu sudah terlalu jauh masuk,” bisik wanita itu tiba-tiba, suaranya rendah dan serak, seperti campuran angin yang bertiup melalui celah-celah kayu tua dan derit pintu yang berkarat. Dani tersentak, hampir kehilangan kendali atas motornya. “Apa maksudnya Mbak?” tanyanya, suaranya bergetar. Ia menoleh sedikit, berharap melihat wajah wanita itu, tapi rambut panjang itu masih menutupi, dan ia hanya mendengar tawa pelan—suara yang tidak manusiawi, seperti gesekan daun kering di malam yang sunyi.Saat mereka tiba di rumah tua itu, pemandangan di depan Dani membuat bulu kuduknya berdiri. Bangunan kayu itu tampak lebih menyeramkan malam ini, dengan dinding-dinding yang melengkung seperti tulang rusuk raksasa dan jendela-jendela yang pecah, memantulkan cahaya lampu motornya seperti mata yang mengintip. Pintu depan rumah itu terbuka sendiri, mengeluarkan derit panjang yang memecah keheningan. Wanita itu turun dari motor tanpa suara, melangkah menuju pintu dengan gerakan yang lambat dan aneh, seperti boneka yang ditarik oleh tali tak terlihat. Dani menahan napas, matanya terpaku pada pintu yang kini terbuka lebar. Di dalam kegelapan rumah, ia melihat sesuatu—bayangan tinggi tanpa wajah, hanya siluet hitam pekat yang seolah menyerap cahaya di sekitarnya. Sosok itu berdiri diam, tapi Dani merasa ada mata yang menatapnya, menembus jiwanya.Tanpa berpikir panjang, Dani memutar gas motornya dan melaju secepat yang ia bisa, meninggalkan rumah tua itu. Jantungnya berdegup kencang, napasnya tersengal, dan keringat dingin membasahi dahi meski udara malam terasa membeku. Ia tidak berani menoleh ke belakang, takut bayangan itu mengikuti. Saat akhirnya tiba di kosnya, Dani buru-buru masuk dan mengunci pintu, meski ia tahu kunci itu tidak akan banyak membantu jika sesuatu benar-benar mengejarnya. Di dalam kamar yang gelap, ia memeriksa helm penumpang yang ia bawa. Jantungnya hampir berhenti saat ia melihat goresan-goresan aneh di permukaan helm—garis-garis dalam dan tidak beraturan, seperti bekas cakar sesuatu yang bukan manusia. Ia melempar helm itu ke sudut kamar, berharap itu hanya imajinasinya, tapi suara tawa pelan dari wanita itu masih bergema di kepalanya.

Dani tidak lagi merasa aman, bahkan di jalanan Kota yang biasanya ramai. Setiap kali ia mengendarai motornya di malam hari, ia merasa ada sesuatu yang mengintai, seperti bayangan yang selalu berada di sudut matanya, hilang begitu ia mencoba menoleh. Jalanan kosong yang dulu hanya membuatnya lelah kini terasa mengancam. Beberapa kali, saat melaju di gang-gang sepi atau di bawah jembatan layang yang gelap, ia mendengar suara langkah kaki—pelan, teratur, seperti seseorang berjalan tepat di belakang motornya. Suara itu terdengar jelas di antara deru mesin, tapi setiap kali ia melambat dan menoleh, tidak ada siapa-siapa. Hanya aspal basah yang berkilau di bawah lampu jalan dan kabut tipis yang seolah menari di udara. Dani mulai mempertanyakan kewarasannya, bertanya-tanya apakah kelelahan dan stres telah membuatnya berhalusinasi. Tapi suara itu terasa terlalu nyata, terlalu dekat, seperti seseorang—orang lain—berjalan di sampingnya, hanya terpisah oleh lapisan realitas yang tipis.Yang lebih mengganggu adalah aplikasi ojek online di ponselnya. Aplikasi itu mulai bertingkah aneh sejak kejadian dengan penumpang bernama Sari. Pesanan dari “Sari” muncul hampir setiap malam, selalu dengan alamat yang sama: Jalan Buntu No. 0. Yang membuat Dani merinding adalah fakta bahwa pesanan itu kadang muncul saat ia sengaja mematikan aplikasi atau bahkan saat ponselnya dalam mode offline. Notifikasi itu datang tanpa suara, hanya getaran pelan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Layar ponselnya akan menyala sendiri, menampilkan nama “Sari” dalam huruf-huruf yang seolah berkedip lebih lambat dari biasanya. Dua malam lalu, dalam kepanikan, Dani mencoba menghapus aplikasi itu sepenuhnya. Ia duduk di kamar kosnya, jari-jarinya bergerak cepat di layar, menghapus cache, data, dan akhirnya aplikasi itu sendiri. Ia bahkan mematikan ponselnya dan mencabut baterainya, berharap itu akan memutus apa pun yang sedang terjadi. Tapi keesokan paginya, saat ia menyalakan ponsel, aplikasi itu ada lagi, terpasang rapi di layar utama, dengan ikon yang terasa seperti menatapnya. Notifikasi terbaru dari “Sari” sudah menunggu: “Saya sudah di belakang Anda.”Dani merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang tidak bisa ia tinggalkan. Tidur menjadi sesuatu yang ia hindari, karena setiap kali memejamkan mata, ia melihat kilasan wajah pucat Sari, rambut panjangnya yang menutupi mata kosong, atau bayangan tinggi tanpa wajah yang ia lihat di rumah tua itu. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang tidak masuk akal: cermin di kamar kosnya yang seolah memantulkan bayangan tambahan saat ia berpaling, atau suara derit pelan dari helm penumpang yang ia simpan di sudut kamar, meski tidak ada angin yang bisa menggerakkannya. Dani tahu ia tidak bisa terus begini. Ia membutuhkan bantuan, seseorang yang bisa memahami apa yang ia alami tanpa menganggapnya gila.Pagi itu, setelah hanya tidur tiga jam yang dipenuhi mimpi buruk, Dani menghubungi sahabatnya, Rina. Mereka sudah berteman sejak SMA, dan meski hidup telah membawa mereka ke jalan yang berbeda, Rina selalu menjadi orang yang Dani cari saat ia butuh tempat berlindung. Rina bekerja sebagai pegawai kantoran, tapi di waktu luangnya, ia dikenal sebagai paranormal amatir—seseorang yang mempelajari dunia gaib dari buku-buku tua dan cerita-cerita yang ia dengar dari kliennya. Dani mengendarai motornya ke kafe kecil di bilangan Kemang, tempat Rina biasa menghabiskan akhir pekan. Kafe itu kecil, dengan meja-meja kayu yang usang dan aroma kopi yang bercampur dengan bau kertas tua dari buku-buku yang tersusun di rak sudut. Rina sudah menunggu di sana, mengenakan kaus sederhana dan syal berwarna merah yang selalu ia pakai, katanya untuk “menangkal energi negatif”.Dani duduk di depan Rina, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, dan menceritakan semuanya: pesanan aneh dari Sari, gang dekat pemakaman, rumah tua di pinggir hutan, suara langkah kaki, dan aplikasi yang seolah hidup sendiri. Suaranya bergetar saat ia menggambarkan bayangan tanpa wajah yang ia lihat di dalam rumah tua itu, dan goresan-goresan seperti cakar di helm penumpangnya. Rina mendengarkan dengan serius, alisnya berkerut, jari-jarinya memainkan liontin kecil di lehernya—sebuah jimat yang ia bilang diberikan oleh seorang dukun di kampungnya. “Dan, ini bukan kebetulan,” kata Rina, suaranya rendah dan penuh perhatian. “Kamu mungkin sudah ‘dijem duit’.”“Apa maksudnya?” tanya Dani, merasa perutnya mual. Ia pernah mendengar istilah itu dari cerita-cerita di kampung, tapi selalu menganggapnya sebagai dongeng.Rina mencondongkan tubuh ke depan, matanya menatap Dani dengan intensitas yang membuatnya tidak nyaman. “Dijem duit itu kayak ikatan gaib. Ada entitas—bisa hantu, jin, atau apa pun—yang mengikatmu lewat sesuatu yang kamu terima, kayak pesanan di aplikasi itu. Kamu sudah masuk ke wilayah mereka, Dan, dan sekarang mereka nggak mau lepasin kamu.” Rina menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, “Rumah tua yang kamu ceritain, itu kunci. Kita harus cari tahu apa yang terjadi di sana.”Dani ingin menolak, ingin bilang bahwa ini semua omong kosong, tapi goresan di helmnya, suara langkah kaki, dan aplikasi yang tidak bisa dihapus membuatnya tidak bisa mengelak. Rina menyarankan mereka pergi ke perpustakaan kota, tempat yang menyimpan arsip koran-koran lama dan dokumen sejarah kota. “Kalau rumah itu punya cerita, kita mungkin bisa temukan petunjuk di sana,” katanya. Dani setuju, meski hatinya berat. Ia tidak yakin ingin tahu apa yang ada di balik semua ini, tapi ia juga tahu ia tidak bisa terus hidup dalam ketakutan.Sore itu, mereka tiba di perpustakaan kota, sebuah bangunan tua dengan langit-langit tinggi dan bau kertas tua yang menyengat. Rak-rak kayu dipenuhi buku-buku berdebu dan tumpukan koran yang menguning. Dengan bantuan seorang pustakawan tua yang tampak bosan, mereka menemukan arsip koran dari tahun 1980-an. Setelah berjam-jam mencari, Rina menemukan sebuah artikel kecil di sebuah koran lokal, terselip di halaman belakang. Judulnya sederhana: “Wanita Muda Hilang Setelah Ritual di Rumah Tua.” Artikel itu menceritakan tentang seorang wanita bernama Sari, berusia 25 tahun, yang menghilang tanpa jejak setelah mengikuti ritual gaib di sebuah rumah tua di pinggir hutan kota. Ritual itu, menurut artikel, dilakukan untuk memanggil entitas yang dipercaya bisa memberikan kekayaan, tapi sesuatu berjalan salah. Rumah itu dikatakan terkutuk sejak saat itu, dan orang-orang yang masuk ke sana sering melaporkan pengalaman aneh—suara, bayangan, atau perasaan “ditarik” oleh sesuatu di dalamnya. Artikel itu berakhir dengan catatan bahwa rumah itu kini ditinggalkan, dianggap angker oleh warga setempat.Dani merasa jantungnya berdegup kencang saat membaca nama “Sari” di artikel itu. Gambar buram yang menyertai artikel menunjukkan seorang wanita dengan rambut panjang, tapi wajahnya terlalu kabur untuk dikenali. “Ini dia, kan?” tanya Dani, suaranya hampir berbisik. Rina hanya mengangguk, wajahnya pucat. “Kamu nggak cuma dapat penumpang, Dan. Kamu sudah masuk ke dalam permainan mereka.” Dani menatap artikel itu, merasa seperti ada tangan dingin yang merayap di punggungnya. Ia tahu ia tidak bisa mengabaikan ini lagi, tapi pertanyaan yang lebih menakutkan muncul di pikirannya: apa yang “menarik”nya, dan bagaimana cara ia lepas dari cengkeramannya?

Dani berdiri di depan cermin kecil di kamar kosnya, menatap pantulan wajahnya yang pucat dan lingkaran hitam di bawah matanya. Hari-hari terakhir telah menguras tenaganya, baik fisik maupun mental. Suara langkah kaki yang mengikuti di jalanan kosong, aplikasi ojek yang hidup sendiri, dan mimpi-mimpi tentang wanita bernama Sari telah membuatnya merasa seperti tikus yang terperangkap dalam labirin tanpa jalan keluar. Artikel yang ia temukan bersama Rina di perpustakaan kota—tentang Sari yang menghilang setelah ritual gagal di rumah tua—terus berputar di pikirannya. Ia tahu ia tidak bisa terus lari dari ketakutannya. Jika ia ingin bebas, ia harus menghadapi apa pun yang menunggunya di rumah tua di pinggir hutan kota. “Ini harus selesai,” gumamnya pada diri sendiri, meski suaranya bergetar oleh keraguan.Malam itu, Dani duduk di lantai kamarnya, menyiapkan diri dengan apa yang ia pikir bisa melindunginya. Rina telah mengajarkannya beberapa doa sederhana yang katanya bisa menangkal energi negatif—ayat-ayat pendek yang ia ulang-ulang hingga terasa seperti mantra. Ia juga memberi Dani sebotol kecil air suci, cairan bening dalam botol bekas air mineral yang dikatakan telah didoakan oleh seorang kyai di kampung Rina. Dani tidak yakin apakah ia percaya pada hal-hal seperti ini, tapi botol itu terasa seperti jangkar di tengah badai ketakutannya. Ia memasukkannya ke dalam saku jaket, bersama dengan sebuah senter kecil dan pisau lipat yang ia temukan di laci tua. “Buat jaga-jaga,” katanya pada diri sendiri, meski ia tahu pisau itu mungkin tidak berguna melawan sesuatu yang bukan manusia.Saat ponselnya bergetar dengan notifikasi dari aplikasi ojek, Dani sudah tahu apa yang akan ia lihat. Nama “Sari” muncul di layar, dengan alamat yang sama: Jalan Buntu No. 0. Kali ini, ia tidak ragu. Ia menekan tombol “Terima” dengan jari yang dingin, merasa seperti menandatangani kontrak dengan sesuatu yang tidak ia pahami. Perjalanan menuju gang dekat pemakaman Taman Bahagia terasa seperti mimpi buruk yang berulang. Kabut malam itu lebih tebal dari sebelumnya, menyelimuti jalanan seperti kain kafan yang menutupi dunia. Lampu motornya hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan, dan suara mesin terdengar lemah, seolah ditelan oleh keheningan yang tidak wajar. Bau tanah basah dan kamboja layu kembali menyengat, bercampur dengan aroma samar sesuatu yang membusuk, seperti daging yang ditinggalkan terlalu lama di bawah sinar bulan.Di ujung gang, seperti yang ia duga, Sari berdiri di bawah bayang-bayang pohon pisang yang daun-daunnya bergoyang pelan, seolah digerakkan oleh tangan tak terlihat. Baju putihnya tampak lebih kotor malam ini, dengan noda-noda gelap yang seolah merembes dari kain itu sendiri. Rambut panjangnya menjuntai, menutupi wajah, tapi Dani bisa merasakan tatapan dari balik helaian rambut itu—dingin, menusuk, seperti jarum yang menembus jiwanya. Ia tidak memanggilnya kali ini, hanya memperlambat motor dan menunggu. Sari melangkah mendekat, gerakannya lambat dan aneh, seperti boneka yang ditarik oleh tali tak terlihat. Ia naik ke kursi belakang tanpa suara, dan seketika udara di sekitar Dani menjadi membeku, membuat napasnya tersengal dan uap putih keluar dari mulutnya meski malam itu seharusnya panas.Perjalanan ke rumah tua di pinggir hutan kota terasa seperti menyelam ke dalam kegelapan yang hidup. Jalanan semakin sempit, dikelilingi oleh pepohonan yang ranting-rantingnya mencakar udara seperti tangan-tangan yang putus asa. Dani mencengkeram setang motornya erat-erat, berusaha mengabaikan sensasi dingin yang merayap di punggungnya. Sari tidak berbicara, tapi Dani bisa mendengar napasnya—atau sesuatu yang menyerupai napas—pelan, serak, seperti angin yang bertiup melalui celah-celah kayu tua. Ia tidak berani melirik cermin spion, takut melihat kursi belakang kosong lagi, atau lebih buruk, sesuatu yang bukan Sari.Saat mereka tiba di rumah tua, pemandangan itu lebih menyeramkan dari yang Dani ingat. Bangunan kayu itu berdiri seperti kerangka raksasa yang membusuk, dengan dinding-dinding yang melengkung dan atap yang ambruk di beberapa bagian. Jendela-jendelanya pecah, memantulkan cahaya lampu motor dalam kilasan-kilasan aneh, seperti mata yang berkedip dalam kegelapan. Pintu depan terbuka lebar, mengeluarkan derit panjang yang terdengar seperti jeritan pelan. Sari turun dari motor, melangkah menuju pintu tanpa menoleh. “Masuk,” bisiknya, suaranya seperti desis yang bergema di kepala Dani. Ia ingin menolak, ingin memutar motornya dan melarikan diri, tapi kakinya bergerak sendiri, seolah ditarik oleh kekuatan yang tidak ia pahami. Ia menggenggam botol air suci di saku jaketnya, berharap itu bisa memberinya keberanian.Di dalam rumah, udara terasa tebal dan pengap, penuh dengan bau debu, kayu lapuk, dan sesuatu yang manis namun membusuk, seperti bunga yang dibiarkan membusuk. Dani menyalakan senternya, cahayanya gemetar di tangannya yang bergetar. Ruangan yang ia masuki luas dan gelap, dengan lantai kayu yang berderit di setiap langkah. Tapi yang membuat jantungnya hampir berhenti adalah dinding-dinding yang dipenuhi cermin tua, puluhan cermin dengan bingkai berkarat dan kaca yang buram. Tidak ada dua cermin yang sama—beberapa bulat, beberapa persegi, beberapa retak di sudut—tapi semuanya memantulkan bayangan yang salah. Dani melihat dirinya di cermin terdekat, tapi pantulannya terdistorsi: wajahnya terlalu pucat, matanya terlalu besar, dan di belakangnya, ada bayangan lain yang bukan miliknya—siluet tinggi tanpa wajah, hanya kegelapan yang bergerak.Tiba-tiba, Sari muncul di tengah ruangan, berdiri di bawah sinar bulan yang masuk melalui jendela pecah. Wajahnya kini jelas untuk pertama kalinya—pucat seperti mayat, dengan kulit yang seolah retak di beberapa tempat, dan mata hitam kosong yang tidak memantulkan cahaya. Rambutnya tidak lagi menutupi wajah, tapi Dani berharap itu tidak pernah terjadi. “Kamu sudah dipilih,” katanya, suaranya rendah dan bergema, seperti berasal dari dalam dinding rumah itu sendiri. “Dia ingin pengganti.” Dani merasa tenggorokannya tercekat, kata-kata itu seperti pisau yang menusuk pikirannya. “Siapa… siapa dia?” tanyanya, suaranya serak.Sebelum Sari bisa menjawab, cermin-cermin di sekitarnya mulai bergetar, mengeluarkan suara gemeretak seperti kaca yang akan pecah. Dari salah satu cermin, bayangan tinggi tanpa wajah yang Dani lihat sebelumnya melangkah keluar, seolah melangkah dari dunia lain ke dalam ruangan. Sosok itu tidak memiliki wajah, hanya kegelapan pekat yang seolah menyerap cahaya di sekitarnya. Tangannya—jika itu bisa disebut tangan—terulur, mencengkeram udara, dan Dani merasa napasnya sesak, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menarik jiwanya ke dalam cermin. Tubuhnya terasa berat, kakinya tidak bisa bergerak, dan pandangannya mulai kabur, seolah ia sedang ditelan oleh kegelapan.Dengan sisa keberanian yang ia miliki, Dani merogoh saku jaketnya, mengeluarkan botol air suci, dan melemparkannya ke cermin terdekat. Botol itu pecah, cairannya membasahi kaca, dan seketika ruangan dipenuhi suara jeritan memekakkan telinga—bukan jeritan manusia, tapi suara yang seperti campuran angin kencang dan kaca yang hancur. Cermin-cermin lain mulai retak, satu per satu, dan Sari menghilang dalam kilasan bayangan, wajah pucatnya terdistorsi oleh rasa sakit yang tidak manusiawi. Tapi sosok tanpa wajah itu tetap berdiri, tidak terpengaruh oleh air suci. Ia bergerak mendekat, dan suara bisikan yang dalam dan dingin mengisi kepala Dani: “Kamu tidak akan pernah lepas.”Dani tersandung ke belakang, kakinya tersangkut di lantai yang tidak rata, dan ia jatuh ke lantai. Dengan napas tersengal, ia merangkak menuju pintu, tidak berani menoleh ke belakang. Suara jeritan masih bergema di telinganya, tapi bisikan sosok tanpa wajah itu lebih keras, lebih nyata, seperti janji yang tidak bisa diluputkan. Ia berhasil mencapai motornya, menstarter mesin dengan tangan yang gemetar, dan melaju secepat mungkin, meninggalkan rumah tua itu dalam kegelapan. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa apa pun yang ada di dalam rumah itu belum selesai dengannya.

Dani duduk di tepi ranjang sempit di kamar barunya, sebuah ruangan kecil di sudut kota kecil di kota lain, jauh dari hiruk-pikuk kota yang pernah menjadi rumahnya. Cahaya lampu neon yang redup menyelinap melalui celah-celah jendela kayu yang sudah lapuk, menciptakan bayangan-bayangan panjang di dinding plester yang mengelupas. Ia telah selamat dari malam mengerikan di rumah tua itu, dari cermin-cermin yang memantulkan bayangan yang bukan miliknya, dari sosok tanpa wajah yang bisikannya masih bergema di kepalanya seperti kutukan: “Kamu tidak akan pernah lepas.” Tapi selamat bukan berarti bebas. Dani tidak lagi sama. Sesuatu dalam dirinya telah retak, seperti kaca cermin yang ia pecahkan di rumah tua itu, meninggalkan pecahan-pecahan tajam yang tidak bisa disatukan kembali.Hari-hari setelah konfrontasi itu terasa seperti kabut yang tidak pernah hilang. Dani berhenti menjadi pengemudi ojek online sehari setelah ia kembali dari rumah tua. Ia tidak bisa lagi menyentuh motor bututnya tanpa merasakan dingin yang menusuk, tanpa mendengar suara tawa pelan Sari yang seolah terperangkap di dalam mesin. Ia menjual motor itu dengan harga murah kepada seorang tetangga di kos lamanya, berharap itu akan memutus ikatan apa pun yang masih mengikatnya pada malam-malam mengerikan itu. Ia mengemasi barang-barangnya—hanya beberapa pakaian, foto ibunya, dan sedikit tabungan yang tersisa—dan pindah ke kota kecil ini, sebuah tempat yang ia pilih karena tidak ada kenangan tentang kota, tentang gang sempit dekat pemakaman Taman Bahagia, atau tentang rumah tua di pinggir hutan. Ia ingin memulai hidup baru, melupakan apa yang telah terjadi, tapi sebagian dirinya tahu bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diluputkan begitu saja.Kamar barunya sederhana, hampir kosong, dengan hanya sebuah ranjang tua, meja kecil, dan sebuah lemari kayu yang berderit setiap kali dibuka. Ia mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga toko kelontong kecil, sebuah pekerjaan yang membosankan tapi aman, jauh dari jalanan gelap dan aplikasi ojek yang telah menjadi mimpi buruknya. Tapi malam-malam di kota kecil ini tidak membawa kedamaian yang ia harapkan. Setiap malam, saat dunia di luar menjadi sunyi dan hanya suara jangkrik yang terdengar, Dani mendengar sesuatu yang lain—suara motor menyala sendiri di luar rumahnya. Bunyinya khas, seperti derit mesin Yamaha tuanya yang ia jual, tapi lebih dalam, lebih berat, seperti suara yang datang dari tempat yang tidak seharusnya ada. Ia pernah membuka jendela dengan hati-hati, mengintip ke kegelapan, tapi tidak pernah ada motor di sana, hanya halaman kecil yang dipenuhi rumput liar dan bayangan pohon yang bergoyang di bawah sinar bulan.Yang lebih mengerikan adalah ponselnya. Sebelum meninggalkan kota, Dani telah membuang ponsel lamanya ke sebuah sungai kecil di pinggiran kota, berharap itu akan memutus hubungannya dengan aplikasi ojek yang terus menghantuinya. Ia membeli ponsel baru, sebuah model murah dengan layar yang sudah sedikit retak, dan bersumpah untuk tidak pernah lagi menginstal aplikasi itu. Tapi pada malam ketiga di kota baru ini, saat ia sedang mencoba tidur, ponselnya bergetar di atas meja. Ia membuka mata, jantungnya berdegup kencang, dan melihat layar ponsel menyala dengan sendirinya. Aplikasi ojek online itu ada di sana, ikonnya berkedip pelan seperti mata yang menatapnya. Dani tidak pernah mengunduhnya, tapi aplikasi itu terpasang rapi di layar utama, seolah tidak pernah pergi.Dengan tangan yang gemetar, ia membuka aplikasi itu, berharap itu hanya kesalahan sistem atau mimpi yang terasa terlalu nyata. Tapi di sana, di daftar pesanan, nama yang ia takuti muncul lagi: “Sari”. Alamat penjemputan kali ini bukan Jalan Buntu No. 0, melainkan alamat yang membuat darahnya membeku—rumah kecil yang ia sewa sekarang, lengkap dengan nomor pintu dan nama jalan yang baru ia hafal. Dani menjatuhkan ponsel ke lantai, napasnya tersengal. Ia mencoba menghapus aplikasi itu lagi, tapi setiap pagi, aplikasi itu kembali, dan pesanan dari Sari terus muncul, seperti undangan yang tidak bisa ia tolak.Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Dani duduk di tepi ranjang, menatap ponsel yang bergetar di atas meja. Notifikasi baru dari Sari muncul, dengan pesan yang sama: “Saya sudah di belakang Anda.” Ia tidak berani menoleh ke jendela, takut melihat bayangan pucat dengan rambut panjang atau sosok tanpa wajah yang menunggu di luar. Ia mencoba berdoa, mengulang ayat-ayat yang diajarkan Rina, tapi kata-kata itu terasa kosong, seperti mantra yang kehilangan kekuatannya. Suara motor di luar semakin keras, diiringi oleh desis pelan yang terdengar seperti tawa—tawa yang sama yang ia dengar dari Sari di gang sempit itu.Dani menutup mata, mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya imajinasinya, bahwa ia bisa melupakan dan melanjutkan hidup. Tapi di dalam kegelapan di balik kelopak matanya, ia melihat rumah tua itu lagi—cermin-cermin yang retak, bayangan yang bergerak, dan sosok tanpa wajah yang bisikannya seperti janji abadi. Ia tahu, jauh di dalam hatinya, bahwa ia tidak akan pernah benar-benar bebas. Sesuatu telah mengikatnya, dan rumah kecil ini, kota kecil ini, bukanlah tempat untuk melarikan diri—melainkan panggung baru untuk mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.

Di sebuah kota kecil di pinggiran kota lain, jauh dari gemerlap kota, malam terasa seperti selimut yang menekan. Jalan-jalan sempit yang biasanya ramai dengan pedagang kaki lima kini sepi, hanya diterangi oleh lampu jalan yang berkedip lemah, menciptakan bayangan-bayangan yang bergoyang seperti siluet makhluk yang tak terlihat. Aroma tanah basah bercampur dengan bau asap knalpot yang masih tersisa di udara, meski malam sudah larut. Di sudut sebuah warung kopi yang sudah tutup, seorang pengemudi ojek online baru bernama Arif duduk di atas motornya, menunggu pesanan berikutnya. Arif, seorang pemuda berusia 24 tahun dengan jaket lusuh dan helm yang sedikit retak, baru dua bulan bekerja sebagai driver ojek online. Ia pindah ke kota ini untuk mencari kehidupan yang lebih tenang setelah kegagalan usaha kecilnya di kampung halaman. Namun, malam ini, ada sesuatu di udara yang membuatnya gelisah, seperti firasat buruk yang tidak bisa ia jelaskan.Ponselnya bergetar di saku jaketnya, memecah keheningan. Arif mengeluarkannya dengan tangan yang sedikit kaku karena udara malam yang dingin, berharap ini adalah pesanan terakhir sebelum ia bisa pulang ke kontrakannya yang sempit. Layar ponsel menyala, menampilkan notifikasi dari aplikasi ojek online. Nama penumpangnya sederhana: “Dani”. Alamat penjemputan membuat alisnya berkerut: Jalan Tanpa Nama No. 0. Arif memiringkan kepala, mencoba memahami alamat itu. Ia sudah cukup mengenal kota kecil ini, tapi tidak pernah mendengar jalan dengan nama seperti itu. “Mungkin salah input,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri. Bayaran untuk pesanan ini terlihat lumayan, dan Arif, yang masih berjuang membayar utang usahanya, tidak ingin melewatkan kesempatan. Dengan sedikit ragu, ia menekan tombol “Terima” dan menstarter motornya, suara mesin yang berderit terdengar nyaring di tengah keheningan.Perjalanan menuju alamat itu terasa aneh sejak awal. GPS di aplikasi membawanya melalui jalan-jalan yang semakin sempit dan gelap, jauh dari pusat kota yang biasanya ramai. Pohon-pohon beringin tua berdiri di pinggir jalan, ranting-rantingnya membentuk kanopi yang menghalangi cahaya bulan, membuat dunia di sekitarnya tampak seperti terperangkap dalam kegelapan abadi. Kabut tebal mulai muncul, melayang rendah di atas aspal, seolah menelan cahaya lampu motornya. Aroma kamboja layu menyengat hidungnya, bercampur dengan bau samar sesuatu yang busuk, seperti sampah yang dibiarkan terlalu lama. Arif merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa ini hanya efek dari kelelahan setelah seharian mengemudi.Saat ia sampai di lokasi yang ditunjukkan aplikasi, jantungnya berdegup lebih kencang. Tidak ada jalan bernama Jalan Tanpa Nama No. 0. Di depannya hanya ada sepetak tanah kosong yang dikelilingi oleh semak-semak liar dan pohon-pohon yang batangnya melengkung seperti tulang rusuk raksasa. Tidak ada rumah, tidak ada bangunan, hanya kegelapan yang ditutupi kabut tebal yang seolah hidup, bergerak perlahan seperti asap yang bernapas. Arif memeriksa ponselnya lagi, berharap ada kesalahan koordinat, tapi aplikasi menunjukkan bahwa ia sudah berada di tempat yang benar. Ia mencoba menghubungi nomor penumpang, tetapi seperti yang ia takutkan, nada sambung terputus dengan pesan otomatis: “Nomor yang Anda tuju tidak aktif atau berada di luar jangkauan.”Arif menoleh ke sekeliling, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan. Tapi yang ia dengar hanya keheningan yang menekan, dipecah oleh suara daun-daun yang bergesekan di angin, seperti bisikan yang tidak jelas. Ia mematikan mesin motornya, berharap bisa mendengar sesuatu—langkah kaki, suara penumpang, apa saja. Tapi saat keheningan menyelimuti, sebuah suara tawa pelan terdengar dari kegelapan, samar namun jelas, seperti suara seorang wanita yang bercampur dengan desau angin. Arif merasa jantungnya hampir berhenti. Ia menyalakan lampu motornya, menyapu cahaya ke arah semak-semak, tapi tidak ada apa-apa di sana—hanya kabut yang semakin tebal, seperti dinding yang menutupnya dari dunia luar.“Dani?” panggilnya, suaranya serak dan nyaris tenggelam dalam udara dingin. Tidak ada jawaban, hanya tawa itu lagi, lebih jelas sekarang, datang dari arah yang tidak bisa ia tentukan. Arif merasa ada sesuatu yang bergerak di sudut matanya, sebuah bayangan yang melintas di antara pohon-pohon, tapi saat ia menoleh, bayangan itu hilang. Ponselnya bergetar lagi, membuatnya tersentak. Notifikasi baru muncul di layar aplikasi: “Saya sudah di belakang Anda.” Arif membalikkan tubuhnya dengan cepat, helmnya hampir terlepas karena gerakan tiba-tiba. Tapi di belakangnya, hanya ada kabut dan kegelapan. Tidak ada Dani, tidak ada siapa-siapa. Hanya suara tawa itu, yang kini terdengar lebih dekat, lebih dalam, seperti berasal dari dalam dirinya sendiri.Dengan tangan yang gemetar, Arif menstarter motornya, berniat melarikan diri dari tempat itu. Tapi saat ia melaju, ia merasa ada bobot ringan di kursi belakang, seperti ada seseorang—orang lain—yang naik tanpa ia sadari. Ia tidak berani melirik cermin spion, takut melihat apa yang mungkin ada di sana. Suara tawa itu mengikuti, bergema di kepalanya, dan di kejauhan, di balik kabut, ia bersumpah ia melihat siluet tinggi tanpa wajah, berdiri diam di tengah jalan, menatapnya dengan kegelapan yang tak terucapkan.

 -- TAMAT -- 

Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG