#64 CERITA HOROR PERLINTASAN KERETA
PERLINTASAN KERETA.
Mbah
Slamet sudah hafal setiap suara di perlintasan kereta itu. Desingan angin yang
membelai tiang palang, derit kayu dari pos kecilnya, hingga suara jangkrik yang
beradu melodi di kegelapan. Baginya, suara-suara itu adalah bagian dari
rutinitas yang menenangkan. Malam ini, seperti puluhan malam sebelumnya, ia
duduk di bangku tua, menyandarkan punggungnya yang letih, menunggu kereta
barang terakhir lewat.
Di
luar, hujan gerimis baru saja berhenti. Aroma tanah basah dan rel yang dingin
memenuhi udara. Mbah Slamet menyesap kopi pahitnya, menatap ke arah rel yang
memanjang seperti dua garis hitam tanpa akhir. Lampu posnya yang kekuningan
hanya mampu menerangi area sejauh beberapa meter, meninggalkan sisa perlintasan
dan hutan di sekitarnya dalam kegelapan pekat.
Pukul
dua dini hari, seharusnya sudah tiba waktunya untuk kereta barang terakhir.
Namun, yang datang bukanlah suara gemuruh mesin, melainkan suara yang asing.
Bukan derit, bukan desingan, melainkan gesekan kain yang diseret di atas
batu krikil. Suara itu begitu pelan, tapi menusuk keheningan. Mbah Slamet
menegakkan duduknya.
"Paling
cuma angin," gumamnya, mencoba mengabaikan. Namun, suara itu tidak
menghilang. Gesekan itu diikuti dengan suara lompatan-lompatan kecil, tapi
berat, dari arah hutan di seberang rel. Lompatan itu tidak beraturan,
seperti seseorang yang kesulitan bergerak. Mbah Slamet mematikan rokoknya.
Jantungnya mulai berdetak tak normal.
Sebuah
bayangan putih pucat, samar-samar, muncul di batas cahaya. Bayangan itu diam,
membelakangi pos Mbah Slamet, tepat di samping rel. Mbah Slamet tahu apa yang
dia lihat. Selama puluhan tahun menjaga perlintasan, dia selalu mendengar
cerita, tapi tak pernah membayangkan akan berhadapan langsung.
Keringat
dingin membanjiri punggungnya. Bau tanah basah kini bercampur dengan bau kembang
melati yang aneh, seolah ada altar sesajen yang baru saja diletakkan di
sana. Bayangan putih itu mendadak melompat ke tengah rel, lalu berhenti.
Menghadap ke arah datangnya kereta.
Tiba-tiba,
dari kejauhan, suara peluit kereta yang melengking panjang memecah
keheningan malam. Mbah Slamet tersentak. Dia seharusnya menarik tuas palang
pintu. Namun, tubuhnya membeku. Matanya terpaku pada sosok pocong yang diam di
tengah rel.
Lampu
kereta yang terang benderang menyapu kegelapan, menerangi sosok itu. Mbah
Slamet bisa melihat detailnya dengan jelas. Kain kafan yang kotor, terikat di
kepala dan kaki. Wajahnya yang menghitam, matanya melotot, dan sebuah senyuman
mengerikan yang menganga. Senyum yang bukan senyum, melainkan ekspresi
penderitaan yang membekas.
Tepat
saat kereta melintas, pocong itu melompat. Bukan ke samping, melainkan ke atas,
seolah mencoba melampaui palang pintu yang sudah Mbah Slamet turunkan secara
otomatis. Lalu, seperti asap yang hilang ditiup angin, sosok itu lenyap. Kereta
barang melintas, suara dan getarannya memenuhi malam, tapi Mbah Slamet tidak
merasakan apa-apa. Pikirannya kosong, hanya tersisa gambaran senyum mengerikan
itu.
Itu bukan senyum, itu jeritan tanpa suara...
bisik Mbah Slamet dalam hati. Dia tahu, malam itu bukan sekadar penampakan. Itu
adalah sebuah pertanda. Pertanda bahwa teror di perlintasan ini baru saja
dimulai, dan kali ini, entah mengapa, dia merasa dirinya terlibat di dalamnya.
Keesokan
harinya, Mbah Slamet tak bisa tidur. Kepalanya terasa berat, dan senyum pocong
itu terus berputar di benaknya. Di tengah kegelisahannya, seorang pemuda muncul
di depan pos.
"Mbah
Slamet!" sapanya ceria. "Masih betah aja di sini?"
Itu
Danang, cucunya yang tinggal di kota. Danang adalah seorang mahasiswa teknik
yang selalu skeptis terhadap hal-hal mistis. Kunjungannya biasanya selalu
diwarnai perdebatan ringan tentang logika vs. takhayul.
"Mbah
kok pucat? Kayak habis lihat setan aja," canda Danang, tak menyadari
betapa tepatnya ucapannya.
Mbah
Slamet hanya mengangguk. "Ya, begitulah. Malam ini Mbah butuh teman. Kamu
temani Mbah di sini."
Danang
heran, tapi ia mengangguk setuju. Malam harinya, saat Danang sedang asyik
bermain gim di ponsel, Mbah Slamet menceritakan kejadian semalam. Danang
mendengarkan dengan serius, tapi di wajahnya Mbah Slamet bisa melihat keraguan.
"Mbah,
mungkin Mbah terlalu capek. Atau itu cuma halusinasi. Bisa jadi cahaya dari
kereta yang bikin efek aneh," kata Danang mencoba memberi penjelasan
logis.
"Ini
beda Nang. Rasanya beda," Mbah Slamet bersikeras. "Bau kembang
melati... senyumnya itu..."
Danang
menggeleng pelan. "Ya sudah. Kita lihat nanti malam. Kalau dia muncul
lagi, aku sendiri yang akan percaya."
Janji
itu menjadi tantangan. Mbah Slamet merasa bebannya sedikit berkurang, tapi di
sisi lain, ia juga khawatir jika Danang harus melihat apa yang ia lihat. Malam
itu, mereka berdua menjaga perlintasan. Mbah Slamet hanya bisa berdoa dalam
hati agar malam ini tenang.
Namun,
sekitar pukul dua, tepat di jam yang sama seperti malam sebelumnya, alarm
berbunyi. Bukan dari telepon, tapi dari suara desir pasir yang aneh,
seolah ada yang menyeret beban berat di atas rel. Danang langsung meletakkan
ponselnya.
"Mbah,
dengar?" bisik Danang.
Mbah
Slamet mengangguk. Dia merasakan hawa dingin yang sama, bau kembang melati yang
sama. Danang, yang tadinya skeptis, kini tampak tegang. Mereka berdua menatap
ke luar jendela.
Di
batas cahaya, kali ini mereka melihatnya bersama-sama. Sebuah sosok putih yang
melompat-lompat, bergerak ke arah palang pintu. Namun, kali ini, sosok itu
tidak diam. Dia melompat ke arah palang pintu yang sudah diturunkan, lalu
menghilang, seolah menembusnya. Seolah melompat di atas garis batas yang tak
kasat mata.
"Itu...
bukan halusinasi," bisik Danang, suaranya tercekat.
Pocong
itu muncul lagi, kini di sisi lain perlintasan, di depan palang pintu yang
satunya. Dia tidak melompat. Dia hanya berdiri, menghadap pos Mbah Slamet,
seolah menuntut sesuatu. Di kepalanya, Mbah Slamet melihat ada secarik kain
lusuh yang bukan bagian dari kafan.
"Dia
... dia ingin sesuatu," kata Mbah Slamet dengan suara gemetar. Dia ingat
petuah orang tua: hantu yang datang dua kali di tempat yang sama memiliki
pesan yang belum tersampaikan.
Mbah
Slamet dan Danang saling berpandangan. Ketakutan mereka kini bercampur dengan
rasa penasaran yang mendalam. Mereka tahu, ini bukan lagi tentang horor,
melainkan tentang sebuah misteri yang harus mereka pecahkan.
Pagi
harinya, Danang tidak lagi skeptis. "Mbah, kita harus cari tahu. Siapa
pocong itu? Kenapa dia muncul di sini?"
Mereka
mulai bertanya kepada para sesepuh di desa terdekat. Mereka mengunjungi kantor
desa, mencari arsip lama. Dari seorang kakek tua yang bekerja di sana, mereka
mendengar kisah tentang seorang pemuda bernama Jono.
"Jono...
dia dulu buruh bangunan. Anaknya baik, tapi agak temperamental," cerita
kakek itu. "Lima tahun lalu, dia ditemukan meninggal di rel ini. Katanya
kecelakaan. Tergelincir saat mau lewat."
"Apakah
dia dimakamkan di sini?" tanya Danang.
"Tidak.
Jasadnya dibawa ke kota. Tapi anehnya... kain kafannya cuma diikat di bagian
kepala dan kaki. Bagian tengahnya tidak," lanjut kakek itu.
Mbah
Slamet dan Danang saling bertatapan. Ikatan yang tidak lengkap. Itu sesuai
dengan apa yang mereka lihat.
"Kenapa
begitu?" tanya Mbah Slamet.
"Ah,
tidak tahu persis. Kabarnya, kain kafannya robek di bagian tengah. Tapi ada
juga yang bilang, mungkin untuk mempercepat prosesi," jawab kakek itu,
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Mereka
pun bergegas menuju tempat kecelakaan Jono. Sebuah jembatan kereta tua di atas
sungai yang keruh. Di sana, mereka melihat ada tumpukan batu yang sudah
ditumbuhi lumut. Danang menyentuh salah satu batu itu, dan tangannya tiba-tiba
terasa dingin. Dingin yang menusuk, sama seperti hawa yang ia rasakan semalam.
Mbah
Slamet menatap sekeliling. "Nang, coba perhatikan. Ada yang tidak beres di
sini."
Danang
memeriksa tanah di sekitar rel. Ada bekas-bekas aneh yang tertutup rumput liar.
"Ini bukan bekas kecelakaan Mbah. Ini... bekas ceceran darah yang sudah
kering. Banyak sekali."
Mbah
Slamet teringat senyum mengerikan yang ia lihat. Senyum yang berteriak. Mereka
berdua menyadari sesuatu yang mengerikan: Jono tidak meninggal karena
kecelakaan. Dia dibunuh. Dan rohnya, yang terbungkus kain kafan yang
tidak sempurna, tidak bisa tenang. Dia terikat di perlintasan ini, meminta
keadilan.
Malam
itu, teror yang mereka hadapi jauh lebih parah. Mbah Slamet dan Danang berada
di dalam pos, mencoba menyatukan semua informasi yang mereka dapatkan. Mereka
tahu siapa pocong itu. Kini, mereka harus mencari tahu siapa pembunuhnya.
Tiba-tiba,
lampu di pos itu mati. Gelap total. Mbah Slamet refleks menyalakan senter.
Sorotan senter menyorot ke jendela, dan di sana, mereka melihat wajah pocong
itu, menempel di kaca, dengan mata yang melotot. Dia tidak tersenyum, tapi
berteriak tanpa suara.
Danang
berteriak ketakutan, menjatuhkan senter. Dalam kegelapan, mereka hanya bisa
mendengar suara lompatan-lompatan yang semakin cepat, mengelilingi pos. Lalu,
sebuah suara parau terdengar, seolah datang dari dalam dinding.
"Ka... ka... kain... ku..."
Suara
itu terdengar berulang-ulang, menyeramkan, dan penuh penderitaan. Mbah Slamet
tahu apa maksudnya. Jono butuh kain kafannya yang robek. Ia butuh jasadnya dibungkus
dengan sempurna agar bisa beristirahat dengan tenang.
Danang,
yang gemetar, tiba-tiba teringat satu hal. "Mbah, secarik kain yang tadi
malam kita lihat. Itu mungkin petunjuk!"
Mereka
berusaha tenang, menyalakan senter, dan menatap ke luar. Pocong itu sudah tidak
ada. Tapi, di atas palang pintu, tergantung selembar kain yang sudah usang.
Kain itu bukan kain kafan. Kain itu adalah secarik kain serbet dengan
inisial bordir yang samar-samar terlihat: "H.S".
Danang
langsung teringat. "H.S... H.S... itu inisial Pak Herman Solihin!"
Pak
Herman Solihin adalah seorang tokoh masyarakat yang disegani di desa mereka.
Mbah Slamet terkejut. Tidak mungkin orang yang begitu dihormati bisa menjadi
pembunuh. Namun, petunjuk dari pocong itu terlalu jelas untuk diabaikan. Danang
teringat cerita Jono adalah buruh bangunan, dan Pak Herman Solihin adalah
seorang kontraktor. Ada kemungkinan, mereka berdua pernah berseteru tentang
pekerjaan atau gaji.
Malam
semakin larut, dan mereka tahu, mereka tidak bisa menunggu sampai besok. Mereka
harus bertindak. Mereka harus mencari kebenaran, sekarang juga, di malam yang
penuh teror ini.
Mbah
Slamet dan Danang memutuskan untuk pergi ke rumah Pak Herman Solihin. Awalnya
Danang ragu, tapi Mbah Slamet meyakinkannya. "Kalau kita salah, tidak
apa-apa. Tapi kalau kita benar, kita harus menghentikan ini. Sebelum ada korban
lagi."
Di
tengah malam, mereka sampai di rumah Pak Herman Solihin. Mbah Slamet mengetuk
pintu. Pak Herman Solihin, dengan wajah lelah, membuka pintu.
"Ada
apa Mbah Slamet? Malam-malam begini?" tanyanya.
Mbah
Slamet tidak berbasa-basi. Dia langsung menunjukkan kain serbet itu. "Ini
milikmu Pak. Kenapa kain ini ada di tangan Jono, saat dia meninggal?"
Wajah
Pak Herman Solihin langsung pucat. Tangannya gemetar.
"Aku...
aku bisa jelaskan," katanya. Ia mengajak mereka masuk. Di ruang tamu,
dengan suara parau, ia akhirnya menceritakan semuanya.
Jono,
si buruh bangunan, memergoki Pak Herman Solihin menggelapkan dana proyek.
Mereka bertengkar di dekat rel. Jono mengancam akan membongkar semuanya. Dalam
kegelapan, Pak Herman Solihin yang panik mendorong Jono. Jono terjatuh dan
kepalanya membentur rel. Pak Herman Solihin yang ketakutan, bukannya menolong,
malah membiarkannya. Lalu, ia sengaja merusak tubuh Jono dan meninggalkan kain
serbetnya di sana sebagai 'tanda', untuk memastikan Jono tidak bisa bangkit
sebagai pocong sempurna.
"Aku
hanya ingin melindungiku sendiri," bisik Pak Herman Solihin, wajahnya
menua dalam sekejap.
Di
tengah pengakuannya, tiba-tiba lampu rumah berkedip-kedip. Angin kencang
berembus, membuat jendela bergetar. Dari luar, terdengar suara teriakan
kesakitan yang memekakkan telinga.
Mereka
bertiga tahu, pocong itu tidak hanya menuntut keadilan, tapi juga kehadiran si
pembunuh. Mbah Slamet dan Danang, dengan sisa keberanian, mengunci pintu dan
mencoba menenangkan Pak Herman Solihin.
"Jono
akan kembali... dia akan datang..." gumam Pak Herman Solihin, wajahnya
dipenuhi rasa takut yang luar biasa.
Danang
melihat ke jendela. Di sana, di luar, pocong itu sudah ada. Bukan hanya satu.
Ada dua, tiga, bahkan empat pocong lain yang muncul dari kegelapan. Mereka
melompat-lompat, mengelilingi rumah, seolah mengurung mereka.
Mbah
Slamet, dengan suara bergetar tapi tegas, berkata, "Pak, kamu harus
mengakui perbuatanmu. Di hadapan roh mereka. Hanya itu jalan
satu-satunya."
Malam
itu, Mbah Slamet, Danang, dan Pak Herman Solihin menghabiskan waktu di dalam
rumah yang dikepung teror. Mereka tidak bisa keluar. Pocong-pocong itu terus
berloncatan, membuat suara gaduh dan menyeramkan.
Akhirnya,
Pak Herman Solihin tidak tahan. Dia memegangi kepalanya, berteriak, "Jono!
Jono, maafkan aku! Maafkan aku! Aku yang membunuhmu!"
Seketika,
suara-suara di luar berhenti. Mbah Slamet dan Danang saling berpandangan.
Hening.
Mereka
memberanikan diri membuka pintu. Di luar, tidak ada siapa-siapa. Palang pintu
kereta yang Mbah Slamet jaga masih terpasang. Lampu remang-remang di posnya
masih menyala. Segalanya kembali normal. Hujan gerimis pun mulai turun,
membasahi rel yang dingin.
Pak
Herman Solihin, dengan wajah yang sudah berubah drastis, berjanji akan
menyerahkan diri kepada polisi esok harinya. Dia akan mengakui semua perbuatannya.
Mbah
Slamet dan Danang kembali ke pos. Mereka duduk di bangku yang sama, di depan
kopi yang sama. Kali ini, mereka tidak lagi merasa ketakutan. Ada rasa lega,
campur sedih. Kisah seorang pemuda bernama Jono, yang kematiannya tertutup
misteri, kini akhirnya menemukan keadilan.
"Mbah,
kira-kira pocong itu... sudah tenang?" tanya Danang, suaranya pelan.
"Mungkin,"
jawab Mbah Slamet. "Setiap roh penasaran hanya butuh satu hal. Pengakuan.
Dan Jono sudah mendapatkannya."
Mbah
Slamet menatap ke arah rel. Lampu kereta yang jauh terlihat seperti sepasang
mata merah yang bergerak di kegelapan. Danang mengangguk, ia paham.
Malam
ini, suara jangkrik kembali terdengar. Angin berembus seperti bisikan, bukan
lagi desisan. Mbah Slamet tahu, perlintasan ini tidak akan pernah sama. Ia
tidak lagi merasa sendiri, tapi ada sebuah kehampaan yang terasa. Kehampaan
karena ia kini tahu, di balik setiap suara dan bayangan, ada sebuah cerita yang
belum usai.
Di
malam berikutnya, sebuah mobil polisi berhenti di depan pos. Pak Herman Solihin
menyerahkan diri, dan berita tentang terungkapnya kasus pembunuhan Jono
menyebar dengan cepat. Mbah Slamet dan Danang menjadi saksi kunci.
Namun,
di malam hari setelah Jono dimakamkan dengan layak, Danang yang sudah kembali
ke kota, menelepon Mbah Slamet.
"Mbah,
kau tahu apa yang paling aneh? Tadi malam... aku mimpi. Aku mimpi pocong itu...
tapi dia tidak lagi melompat. Dia... berjalan. Jalan di rel kereta, melambaikan
tangan ke arahku."
Mbah
Slamet terdiam. Ia mengerti. Mungkin, Jono sudah tenang. Tapi teror yang
mengikat mereka berdua, teror yang tidak lagi dalam wujud ketakutan, melainkan
dalam bentuk kenangan, akan selalu ada. Mbah Slamet tahu, ia akan selalu
menjadi penjaga perlintasan, bukan hanya untuk kereta, melainkan untuk
kisah-kisah yang takkan pernah bisa dilupakan.
Bab 1: Rutinitas yang Goyah
Pak
Udin sudah lima tahun menjadi penjaga parkir di minimarket 24 jam itu. Baginya,
pekerjaan ini adalah pertukaran antara jam-jam malam yang sepi dengan rupiah
yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Malam biasanya tenang. Hanya ada suara
mesin pendingin minimarket yang bergemuruh dan sesekali deru motor dari
pelanggan yang mampir membeli rokok atau kopi.
Di
jam-jam genting antara pukul 02:00 dan 04:00 dini hari, jalanan di depan
minimarket hampir tidak berpenghuni. Hanya Pak Udin yang berdiri di bawah lampu
jalan yang berkelap-kelip, dan Indra, karyawan minimarket muda yang sibuk
menata barang.
Malam
itu, sekitar pukul 02:30, sebuah mobil berhenti. Penumpangnya adalah seorang
pria paruh baya yang terlihat terburu-buru. Setelah pria itu masuk, Pak Udin
tiba-tiba mencium aroma yang tidak asing: wangi kembang melati yang
menusuk hidung, seolah ada yang baru saja meletakkan sesajen di dekatnya.
Padahal, tidak ada. Pak Udin celingukan, mencari sumber bau. Di ujung parkiran,
dekat pohon nangka tua yang rimbun, ia melihat samar-samar ada bayangan seperti
wanita berambut panjang, melambai-lambai.
"Paling
cuma perasaan," gumam Pak Udin. Dia menggosok matanya. Saat ia melihat
lagi, bayangan itu sudah tidak ada.
Sesaat
kemudian, pria paruh baya itu keluar, terburu-buru seperti saat datang. Pak
Udin menyapanya, "Malam, Pak." Pria itu tidak menjawab. Wajahnya
pucat pasi, seperti baru melihat hantu. Ia segera masuk ke mobil dan tancap
gas, meninggalkan Pak Udin dalam kebingungan.
"Orang
aneh," pikir Pak Udin. Namun, ia tidak bisa mengusir rasa aneh di hatinya.
Aroma melati itu masih menempel di udara, dan ia merasa ada mata yang
mengawasinya dari balik kegelapan pohon nangka tua itu. Malam itu, Pak Udin
merasa rutinitasnya tidak lagi terasa tenang. Ada sesuatu yang baru, sesuatu
yang mengintai dari kegelapan.
Bab 2: Suara dari Pohon Tua
Keesokan
malamnya, Pak Udin sudah merasa tidak nyaman sejak awal shift. Ia
menceritakan kejadian semalam pada Indra.
"Mungkin
Bapak lagi capek aja," kata Indra sambil tersenyum. "Wangi melati di
kota itu banyak. Parfum, sabun, pewangi mobil."
"Beda,
Nang. Wanginya aneh, menusuk. Terus, aku lihat bayangan..."
Indra
hanya tertawa kecil. "Ah, Mbah Udin ini ada-ada saja. Makanya, kalau malam
jangan terlalu serius. Nanti gampang diajak ngobrol sama yang tidak
kelihatan."
Pak
Udin tidak lagi melanjutkan. Dia tahu percuma berdebat. Namun, malam itu, kejadian
aneh kembali terulang. Tepat pukul 02:45, aroma melati kembali muncul, lebih
kuat dari sebelumnya. Kali ini, tidak hanya Pak Udin yang menciumnya. Indra
yang sedang menyapu lantai di dalam minimarket tiba-tiba berhenti.
"Mbah,
Bapak nyemprotin pewangi ruangan, ya?" tanya Indra dari balik pintu kaca.
"Tidak,
Nang. Dari luar."
Indra
keluar, ikut mencium wangi yang aneh itu. Di saat yang bersamaan, terdengar
suara. Bukan suara angin, bukan suara mobil. Suara itu adalah kekek-an yang
pelan, tapi jelas. Kekek-an yang terdengar seperti tawa, tapi tanpa
kebahagiaan. Kekek-an itu datang dari pohon nangka tua.
"Dengar
tidak, Nang?" bisik Pak Udin.
Dan
Indra mendengarnya. Wajahnya yang tadinya santai kini berubah tegang. Kekek-an
itu tidak menghilang. Ia bergema di udara, naik turun, membuat bulu kuduk
mereka berdiri.
"Itu...
itu bukan suara orang," bisik Indra, suaranya bergetar.
Lalu,
kekek-an itu perlahan berubah menjadi tangisan yang melengking panjang,
seolah ada seorang wanita yang sedang menahan penderitaan. Tangisan itu
menggema di seluruh area parkir, seolah melingkari mereka berdua. Tanpa pikir
panjang, Indra langsung menarik Pak Udin masuk, mengunci pintu kaca, dan
menutupnya dengan tirai. Mereka berdua bersembunyi di dalam, menunggu tangisan
itu berhenti, berharap malam akan segera berakhir.
Bab 3: Bayangan di Cermin
Ketakutan
itu tidak berhenti di malam itu saja. Setiap malam, tepat di jam yang sama,
teror itu kembali. Wangi melati dan kekek-an menyeramkan dari pohon nangka tua
sudah menjadi rutinitas baru bagi Pak Udin dan Indra. Keduanya sudah tidak lagi
berani berdiam diri di luar. Mereka lebih memilih menunggu di dalam minimarket,
berharap sosok itu tidak bisa masuk.
Namun,
hantu kuntilanak dikenal sebagai sosok yang tidak terikat oleh pintu atau jendela.
Suatu malam, saat Indra sedang menata rak minuman di belakang kasir dan Pak
Udin duduk di bangku dekat pintu, Pak Udin merasakan hawa dingin yang menusuk.
Ia menoleh ke belakang. Di pantulan pintu kaca minimarket, ia
melihatnya.
Seorang
wanita berambut panjang, dengan gaun putih yang lusuh, sedang melayang di
belakangnya. Wajahnya tidak terlihat jelas, hanya rambut yang menutupi. Namun,
Pak Udin tahu itu adalah dia. Jantungnya serasa berhenti. Ia menoleh dengan
cepat, dan di belakangnya, tidak ada siapa-siapa. Hanya rak-rak makanan ringan
yang tersusun rapi.
Ia
kembali melihat ke pantulan. Sosok itu masih di sana. Kali ini, ia terlihat
lebih dekat, tepat di bahunya. Kepalanya miring, menatap lurus ke arah Pak
Udin, seolah bisa melihat pantulan itu dengan jelas. Di mata pantulan itu,
Pak Udin melihat ada air mata darah yang mengalir.
Pak
Udin berteriak. Indra yang mendengar teriakan itu segera menghampiri.
"Ada
apa, Mbah?"
Pak
Udin menunjuk ke pintu kaca. "Itu... dia..."
Indra
menatap ke pantulan. Tidak ada apa-apa. Hanya pantulan dirinya dan Pak Udin
yang ketakutan.
"Tidak
ada apa-apa, Mbah," kata Indra, mencoba menenangkan.
Namun,
di saat itu juga, Indra melihatnya. Di pantulan kaca, di balik tubuh Pak Udin,
ada sosok wanita berambut panjang itu. Ia tersenyum. Bukan senyuman yang
cantik, melainkan senyuman yang mengerikan. Senyum yang penuh dendam. Dan di
wajahnya, darah mengalir dari matanya, membasahi gaun putihnya. Indra terdiam.
Ia tidak berani berteriak.
"Siapa
dia, Mbah?" bisik Indra, suaranya sangat pelan.
"Aku
tidak tahu," jawab Pak Udin, suaranya serak. "Tapi kita harus mencari
tahu. Kita tidak bisa terus-menerus dikurung di sini."
Bab 4: Kisah Tragis di Balik Toko
Pak
Udin dan Indra memutuskan untuk mencari tahu. Mereka bertanya kepada warga
sekitar, para pedagang kaki lima yang sudah lama berjualan di sana. Akhirnya,
dari seorang tukang kopi yang sudah puluhan tahun mangkal, mereka mendengar
sebuah kisah tragis.
"Dulu,
sekitar sepuluh tahun lalu, minimarket ini belum buka 24 jam," cerita
tukang kopi itu. "Ada seorang karyawan namanya Maya. Anaknya ramah,
cantik. Banyak yang suka."
"Lalu
kenapa?" tanya Indra penasaran.
"Kabarnya,
dia jatuh cinta sama seorang mandor di sini. Mandornya sudah punya istri, tapi
Maya tidak tahu. Suatu hari, Maya ketahuan hamil. Dia minta pertanggungjawaban,
tapi mandor itu menolak. Maya depresi berat. Di malam hari, setelah minimarket
tutup, dia ditemukan gantung diri di pohon nangka tua itu. Sejak itu, sering
ada penampakan."
Hati
Pak Udin dan Indra mencelos. Pohon nangka tua. Karyawan minimarket. Kejadian
yang tragis. Semuanya cocok. Kuntilanak yang menghantui mereka adalah Maya.
Arwahnya tidak tenang karena ia mati dalam penderitaan dan dendam.
"Siapa
nama mandornya?" tanya Pak Udin.
"Namanya
Pak Budi," jawab tukang kopi itu. "Sekarang sudah tidak ada kabar.
Pindah ke mana, tidak tahu. Tapi konon, dia meninggalkan satu barang penting di
sini."
Tukang
kopi itu menunjuk ke arah tumpukan puing-puing bekas renovasi di belakang minimarket.
"Kata orang, dia meninggalkan foto Maya di sana. Sebagai kenangan. Itu
juga yang membuat arwah Maya terikat di sini, karena fotonya tidak dimakamkan
bersamanya."
Pak
Udin dan Indra saling berpandangan. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka
harus menemukan foto itu, lalu menguburnya dengan layak agar arwah Maya bisa
tenang.
Bab 5: Pengakuan yang Dituntut
Malam
itu, di jam yang sama, wangi melati kembali tercium. Kekek-an kembali
terdengar. Namun kali ini, Pak Udin dan Indra tidak lagi bersembunyi. Mereka
berdua, dengan berbekal senter, berjalan ke arah pohon nangka tua.
"Maya!"
teriak Pak Udin. "Kami tahu ceritamu! Kami di sini untuk membantumu!"
Tiba-tiba,
suara tangisan yang melengking keras terdengar. Tidak lagi dari pohon,
melainkan dari dalam minimarket. Lampu di dalam minimarket mulai
berkedip-kedip. Pintu-pintu kulkas terbuka dan tertutup sendiri. Botol-botol
minuman jatuh dari rak. Kuntilanak itu marah, seolah tidak percaya pada ucapan
mereka.
"Kami
tahu kau ingin foto itu! Kami akan mencarinya!" teriak Indra.
Mereka
berdua berjalan menuju tumpukan puing di belakang minimarket. Hawa di sana
sangat dingin. Aroma melati menusuk. Di salah satu tumpukan puing, mereka
menemukan sebuah kotak kardus yang sudah lapuk. Di dalamnya, ada sebuah foto.
Foto seorang wanita muda yang cantik, tersenyum ceria, dengan rambut panjang
tergerai. Itu adalah Maya.
Tiba-tiba,
suara tangisan itu menghilang. Suasana menjadi hening. Hening yang menakutkan.
Di hadapan mereka, di antara tumpukan puing-puing, sosok kuntilanak itu muncul.
Ia melayang, tepat di atas mereka. Wajahnya yang dulu tertutup rambut kini
terlihat jelas. Wajah yang cantik, tapi dengan air mata darah yang mengalir. Ia
tidak lagi tertawa atau menangis. Ia hanya menatap foto itu.
"Ini
fotomu, Maya. Kami akan menguburkannya," kata Pak Udin, suaranya serak
karena takut.
Kuntilanak
itu menunduk. Ia tidak mengangguk, tapi senyumnya yang mengerikan perlahan
berubah. Sebuah senyum yang tulus, penuh rasa terima kasih. Pak Udin dan Indra
merasa ada hawa yang berbeda. Hawa yang tidak lagi dingin dan menakutkan,
melainkan sejuk dan damai.
Namun,
tiba-tiba, kuntilanak itu menoleh ke arah toko, menunjuk ke dalam dengan jari
telunjuknya yang kurus. Ia lalu menghilang, seolah lenyap ditelan udara.
Pak
Udin dan Indra saling berpandangan. "Apa maksudnya?" bisik Indra.
Mereka
kembali ke dalam minimarket. Mereka melihat sekeliling. Tidak ada yang aneh.
Semua kembali normal. Sampai akhirnya, mata Indra tertuju pada sesuatu: sebuah
laci yang terbuka di bawah kasir. Laci itu berisi uang. Dan di bawah tumpukan
uang, ada sebuah gelang perak kecil yang usang.
Itu
adalah gelang yang sama yang dipakai Maya di dalam foto.
"Gelang
itu... milik Maya. Kenapa ada di sini?" bisik Indra.
Mereka
berdua menyadari, Maya tidak hanya ingin fotonya dikubur. Ia juga ingin gelang
itu ditemukan. Gelang itu mungkin adalah bukti dari siapa yang bertanggung
jawab atas kehamilannya, atau bahkan kematiannya. Mungkin itu adalah hadiah
dari Pak Budi, sang mandor. Dan mungkin, hantu kuntilanak itu tidak hanya
menuntut penguburan yang layak, tapi juga sebuah pengakuan. Sebuah pengakuan
dari seseorang yang mungkin masih bekerja di sekitar sana.
Bab 6: Kedamaian yang Datang Terlambat
Keesokan
harinya, Pak Udin dan Indra membawa gelang perak itu ke kantor polisi. Mereka
menceritakan semua yang mereka alami dan temukan. Kisah mereka dianggap aneh,
tapi barang bukti itu cukup untuk memulai investigasi. Polisi berhasil
menemukan Pak Budi, sang mantan mandor, yang ternyata masih tinggal di kota
itu. Dari interogasi, terungkap bahwa Pak Budi masih menyimpan rasa bersalah
yang mendalam. Gelang itu adalah miliknya, ia berikan kepada Maya. Dan ia tidak
hanya menolak bertanggung jawab, tetapi juga mengancam Maya.
Pak
Budi akhirnya mengakui semua perbuatannya. Arwah Maya, yang terikat pada gelang
itu dan fotonya, kini akhirnya bisa tenang setelah kebenaran terungkap.
Pak
Udin dan Indra tidak lagi merasa takut bekerja di sana. Aroma melati tidak
pernah kembali, dan suara tawa serta tangisan tidak pernah terdengar lagi.
Pohon nangka tua itu kini terasa seperti pohon biasa, tidak lagi menyimpan
misteri yang menakutkan.
Mereka
berdua akhirnya menguburkan foto Maya dan gelang perak itu di samping pohon
nangka. Sebuah penanda kecil, untuk mengenang arwah yang telah menemukan
kedamaiannya.
Malam
itu, Pak Udin duduk di bangkunya, menghirup udara malam yang sejuk, tanpa aroma
melati. Indra keluar, menyajikan kopi hangat untuknya.
"Mbah...
menurutmu, apa yang paling menakutkan dari semua ini?" tanya Indra.
Pak
Udin tersenyum, menatap ke arah pohon nangka yang sunyi. "Yang paling
menakutkan, Nang, bukanlah hantunya. Tapi kenyataan bahwa hantu itu adalah
korban. Dia tidak menakut-nakuti karena ingin, tapi karena ia tidak punya pilihan.
Ia hanya butuh seseorang untuk mendengar kisahnya."
Indra
mengangguk. Dia tahu, mulai sekarang, setiap kali ia melihat pohon nangka itu,
ia tidak akan merasa takut. Ia akan merasa sedih. Sedih untuk seorang gadis
bernama Maya, yang akhirnya bisa pulang, setelah bertahun-tahun lamanya.
Malam
kembali hening. Kini, hening yang menyelimuti minimarket itu adalah hening yang
damai, bukan lagi hening yang menakutkan. Kisah tragis itu telah usai, dan
arwah yang penasaran itu, akhirnya, bisa beristirahat.
Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar