#63 CERITA HOROR: KULI PASAR
KULI PASAR.
Matahari
siang terasa menyengat, membakar kulit Pak Jamal yang sudah gelap. Punggungnya
terasa pegal, dan keringat mengucur deras di wajahnya. Namun, ia tidak peduli.
Ia terus berjalan, memanggul keranjang penuh sayuran, menyusuri gang-gang
sempit di pasar.
Sudah
hampir satu bulan sejak Ibu Kartika, istri tercintanya, meninggal dunia.
Kematiannya meninggalkan lubang besar di hati Pak Jamal. Setiap sudut pasar
mengingatkannya pada Ibu Kartika. Di kios tempat ia biasa membeli kopi, ia
teringat bagaimana Ibu Kartika suka minum kopi manis. Di kios ikan, ia teringat
bagaimana Ibu Kartika suka memasak ikan goreng yang renyah.
Pak
Jamal menghela napas. Ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan Ibu Kartika. Ia
tahu, ia harus melanjutkan hidup. Tetapi, sulit. Terlalu sulit.
Sore
itu, setelah pekerjaannya selesai, Pak Jamal kembali ke gubuk kecilnya di
pinggir pasar. Gubuk itu terasa hampa dan sepi. Ia merindukan senyuman Ibu
Kartika yang selalu menyambutnya. Ia merindukan suara lembut Ibu Kartika yang
selalu menanyakan kabarnya.
Saat
ia membersihkan gubuknya, ia menemukan sebuah kotak kayu tua di bawah ranjang.
Ia membukanya, dan di dalamnya, ia menemukan sehelai selendang berwarna biru
tua. Selendang itu adalah hadiah pertama yang ia berikan kepada Ibu Kartika. Ia
teringat janjinya: ia akan menjaga selendang itu, seperti ia menjaga Ibu
Kartika.
Pak
Jamal memeluk selendang itu erat-erat. Air mata menetes dari matanya, membasahi
kain yang sudah lusuh itu. Ia merasakan kehangatan yang aneh dari selendang
itu. Ia merasa seperti Ibu Kartika sedang memeluknya.
Namun,
ia juga merasakan hawa dingin yang menusuk dari selendang itu. Hawa dingin itu
terasa seperti sebuah peringatan, sebuah isyarat dari dunia lain.
Sejak
Pak Jamal menemukan selendang Ibu Kartika dan menyimpannya di dalam keranjang
panggulnya, ada yang aneh. Setiap kali ia mengangkat keranjang itu, bebannya
terasa lebih berat dari biasanya, bahkan ketika keranjang itu kosong. Awalnya,
ia mengira tubuhnya masih lemah karena kesedihan. Namun, semakin hari, keanehan
itu semakin terasa nyata.
Saat
ia memanggul keranjang yang kosong di pagi hari, ia merasakan tarikan yang kuat
ke bawah. Langkahnya menjadi berat, dan punggungnya terasa seperti menahan
beban berton-ton. Ia sering berhenti sejenak, mencoba mengatur napas, tetapi
beban itu tetap terasa. Beberapa kuli panggul lain sempat bertanya apakah ia
sakit, melihat wajahnya yang pucat dan langkahnya yang gontai. Pak Jamal hanya
menjawab bahwa ia sedang tidak enak badan. Ia tidak ingin menceritakan tentang
beban aneh yang ia rasakan. Siapa yang akan percaya?
Selain
beban yang tidak wajar, Pak Jamal juga mulai mendengar bisikan-bisikan samar
yang seolah-olah berasal dari dalam keranjangnya. Awalnya, bisikan itu sangat
pelan, seperti desahan angin. Namun, lama kelamaan, bisikan itu mulai terdengar
lebih jelas. Terkadang, ia mendengar suara lembut yang memanggil namanya,
"Jamal... Jamal..." Suara itu sangat mirip dengan suara Ibu Kartika.
Pak Jamal akan menoleh ke sekeliling, mencari-cari sosok istrinya, tetapi tentu
saja tidak ada. Hanya hiruk pikuk pasar yang ramai.
Namun,
di lain waktu, bisikan itu berubah menjadi suara desisan yang mengerikan. Suara
itu seperti ular yang mendesis marah, membuat bulu kuduk Pak Jamal berdiri.
Suara itu terasa dingin dan mengancam, seolah-olah ada sesuatu yang jahat
bersembunyi di dalam keranjangnya.
Suatu
siang yang terik, Pak Jamal sedang mengantarkan sekarung beras pesanan seorang
pemilik warung. Beban karung beras itu sudah cukup berat, tetapi keranjangnya
terasa berkali-kali lipat lebih berat. Bisikan-bisikan itu juga semakin intens.
Ia mendengar suara Ibu Kartika memanggil namanya dengan nada sedih, diikuti
oleh desisan marah yang menusuk telinganya. Tiba-tiba, Pak Jamal merasa ada
sesuatu yang bergerak di dalam keranjangnya. Ia berhenti, menurunkan keranjang
dengan kasar.
Ia
membuka keranjang itu dengan hati-hati, mencari sumber suara dan pergerakan
aneh itu. Di dalamnya, hanya ada selendang biru milik Ibu Kartika. Pak Jamal
meraih selendang itu, dan seketika bisikan-bisikan itu menghilang. Beban di
punggungnya juga terasa sedikit berkurang. Pak Jamal memeluk selendang itu
erat, air mata kembali membasahi pipinya. Ia tidak mengerti apa yang sedang
terjadi. Mengapa selendang istrinya membawa beban dan bisikan-bisikan aneh
bersamanya?
Hari-hari
berikutnya menjadi semakin sulit bagi Pak Jamal. Beban di punggungnya dan
bisikan-bisikan dari keranjang panggulnya semakin kuat. Ia sering kali harus
berhenti di tengah jalan, menopang tubuhnya yang lemas di dinding. Kuli-kuli
pasar lain mulai menjauhinya, menganggapnya aneh dan gila. Mereka bahkan
memanggilnya "Pak Kuli Hantu".
Namun,
yang lebih mengerikan, adalah barang-barang yang mulai menghilang. Kejadian
pertama terjadi saat ia mengantarkan sebungkus besar buah-buahan untuk seorang
pelanggan langganan. Pak Jamal yakin ia memasukkan semua buah ke dalam
keranjang. Namun, saat ia sampai di rumah pelanggan itu dan membongkar
keranjangnya, satu ikat pisang besar hilang. Pelanggan itu marah, menyalahkannya.
Pak Jamal mencoba menjelaskan, tetapi ia tidak bisa. Ia tidak punya bukti. Ia
hanya bisa meminta maaf dan membayar ganti rugi.
Kejadian
itu terulang kembali. Seikat sayuran, sekantong bumbu dapur, bahkan sekotak
telur, semuanya menghilang secara misterius dari dalam keranjangnya. Pelanggan
mulai mengamuk, menuduhnya mencuri. Reputasinya sebagai kuli panggul yang jujur
hancur. Ia kehilangan semua pelanggannya. Tidak ada lagi yang mau menggunakan
jasanya.
Pak
Jamal putus asa. Ia duduk di pinggir pasar, menatap keranjang panggulnya yang
kini kosong. Bisikan-bisikan itu kini berubah menjadi tawa yang mengejek, tawa
yang terdengar seperti tawa Ibu Kartika, namun terdengar sangat jahat.
Ia
memeluk selendang Ibu Kartika, yang selalu ia simpan di dalam keranjang,
berharap kehangatan itu akan kembali. Namun, kali ini, selendang itu terasa
dingin dan berbau tanah.
Tiba-tiba,
seorang penjual tua, yang sudah lama berjualan di pasar, mendekatinya. Penjual
tua itu bernama Pak Udin. Ia adalah salah satu kuli panggul pertama di pasar
itu, dan ia menyaksikan semua kejadian aneh yang terjadi pada Pak Jamal.
"Keranjangmu
itu, apakah kamu menyimpannya di sana?" tanya Pak Udin, matanya menatap
selendang yang dipegang Pak Jamal.
Pak
Jamal mengangguk, terkejut. "Bagaimana Bapak tahu?"
"Aku
sudah melihat hal seperti ini sebelumnya," jawab Pak Udin, suaranya pelan.
"Ada sebuah cerita lama di pasar ini. Tentang hantu yang patah hati, yang
menempel pada barang-barang kesayangan, dan menggunakan barang itu untuk
mengumpulkan jiwa-jiwa lain."
Pak
Udin menceritakan sebuah kisah mengerikan tentang hantu seorang istri yang
meninggal karena patah hati. Hantu itu tidak bisa pergi, dan ia menempel pada
benda-benda kesayangannya. Ia menggunakan benda itu untuk menjebak orang-orang
yang dicintainya, berharap mereka akan menemaninya di dunia lain.
"Kamu
harus membuang selendang itu Jamal," bisik Pak Udin. "Sebelum ia
menjebakmu juga."
Pak
Jamal menatap selendang itu, lalu ke keranjangnya. Ia menyadari, barang-barang
yang menghilang itu bukanlah dicuri. Mereka ditarik ke dunia lain. Dan ia, Pak
Jamal, adalah perantaranya.
Pak
Jamal menatap selendang di tangannya dengan ketakutan yang luar biasa. Cerita
Pak Udin terngiang-ngiang di telinganya. Apakah Ibu Kartika, istrinya yang ia
cintai, benar-benar berubah menjadi hantu yang jahat? Apakah Ibu Kartika
mencoba menjebaknya, agar ia bisa menemaninya di dunia lain?
Hati
Pak Jamal hancur berkeping-keping. Ia tidak bisa percaya bahwa istrinya akan
melakukan hal seperti itu. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan semua keanehan
yang terjadi. Beban di punggungnya, bisikan-bisikan mengerikan, dan
barang-barang yang menghilang. Semua itu nyata.
"Buanglah
selendang itu Jamal," bisik Pak Udin lagi. "Jika tidak, kamu akan
menyusul istrimu. Seluruh pasar akan menyaksikanmu menghilang, sama seperti
barang-barang yang kamu bawa."
Pak
Jamal tahu, Pak Udin benar. Ia harus membuang selendang itu. Tetapi, bagaimana
mungkin ia membuang satu-satunya kenangan yang ia punya dari istrinya?
Bagaimana ia bisa membuang janji terakhirnya?
Ia
berjalan gontai, meninggalkan Pak Udin dan keramaian pasar. Ia berjalan menuju
sebuah jembatan tua di pinggir kota. Di bawah jembatan itu, mengalir sebuah
sungai yang deras dan gelap. Pak Jamal berdiri di tengah jembatan, menatap
selendang di tangannya. Air matanya menetes, jatuh ke sungai di bawahnya.
"Maafkan
aku Kartika," bisik Pak Jamal. "Aku mencintaimu. Tetapi, aku tidak
bisa. Aku harus melanjutkan hidup."
Dengan
tangan gemetar, ia melemparkan selendang itu ke sungai. Selendang itu jatuh ke
air dengan suara pelan, lalu terbawa arus, menghilang ditelan kegelapan sungai.
Seketika
itu juga, Pak Jamal merasakan beban di punggungnya menghilang. Bisikan-bisikan
itu juga berhenti. Hati Pak Jamal terasa hampa, tetapi ia juga merasa lega. Ia
telah membuat pilihan yang benar.
Namun,
saat ia berbalik, ia melihatnya. Ibu Kartika berdiri di ujung jembatan,
menatapnya dengan tatapan kosong dan dingin. Ia tidak tersenyum. Wajahnya
pucat, dan pakaiannya basah kuyup.
"Kenapa
Pak?" bisik Ibu Kartika, suaranya terdengar hampa. "Kenapa kau
membuangku?"
Kaki
Pak Jamal terasa lemas. Ia tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menatap Ibu
Kartika, yang kini berjalan perlahan ke arahnya. Namun, saat Ibu Kartika
melangkah, ia tidak berjalan. Ia melayang, kakinya tidak menyentuh tanah.
"Kau
membuangku Pak," bisik Ibu Kartika, suaranya kini terdengar seperti ribuan
suara yang tumpang tindih. "Kau membuang janji terakhirmu. Dan sekarang,
kau harus menemaniku. Selamanya."
Pak
Jamal menyadari, hantu di depannya bukanlah istrinya. Hantu itu adalah sesuatu
yang lain, sesuatu yang jahat dan mengerikan, yang menyamar sebagai Ibu Kartika
untuk menjebaknya. Dan kini, Pak Jamal telah jatuh ke dalam perangkapnya.
Pak
Jamal tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menatap sosok di depannya yang
terlihat seperti istrinya, tetapi memiliki mata yang kosong dan senyum yang
mengerikan. Hantu itu melayang mendekatinya, dan Pak Jamal merasakan hawa
dingin yang menusuk. Ia menyadari, hantu itu bukanlah Ibu Kartika. Hantu itu
adalah entitas jahat yang menyamar, mencoba menjebaknya.
Namun,
saat hantu itu semakin dekat, Pak Jamal melihat sesuatu yang aneh. Di bagian
belakang leher hantu itu, terdapat sebuah rantai kecil. Rantai itu terhubung ke
sebuah keranjang kecil, yang terlihat seperti keranjang panggulnya, tetapi
berukuran sangat kecil. Pak Jamal juga mendengar bisikan-bisikan lain, bukan
bisikan mengerikan dari hantu itu, tetapi bisikan yang putus asa, yang
seolah-olah meminta tolong.
Pak
Jamal menyadari, hantu itu bukanlah Ibu Kartika. Hantu itu adalah hantu dari
keranjang panggulnya. Dan Ibu Kartika... Ibu Kartika terjebak di dalam
keranjang itu. Selendang yang ia buang, hanyalah tipuan. Hantu keranjang itu
menggunakan selendang itu untuk mengelabui Pak Jamal, agar ia membuang benda
yang salah.
Pak
Jamal sadar, ia harus kembali ke sungai. Ia harus mencari selendang itu. Ia
harus membebaskan Ibu Kartika.
Dengan
kekuatan terakhirnya, ia menerjang hantu itu. Hantu itu terkejut, dan ia
terpental ke belakang. Pak Jamal tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia
berlari, secepat yang ia bisa, kembali ke sungai.
Ia
mencari selendang itu, tetapi selendang itu sudah menghilang. Pak Jamal putus
asa. Ia berteriak, memanggil nama Ibu Kartika. Ia meminta maaf, ia meminta
belas kasihan.
Tiba-tiba,
ia merasakan sebuah tangan menyentuh pundaknya. Ia menoleh, dan ia melihat Pak
Udin, sang penjual tua.
"Aku
tahu, kau akan kembali," kata Pak Udin. "Aku tahu, kau akan tahu.
Keranjang itu Jamal... Keranjang itu yang jahat. Bukan istrimu."
Pak
Udin mengambil sebuah pisau kecil dari sakunya. "Cari keranjang itu, dan
hancurkan. Hancurkan, sebelum ia mengambilmu selamanya."
Pak
Jamal mengangguk. Ia berlari kembali ke pasar, ke gubuknya. Ia tidak peduli
dengan hantu yang kini mengejarnya. Ia hanya ingin menyelamatkan istrinya.
Ia
sampai di gubuknya, dan ia melihatnya. Keranjang panggulnya, yang kini terlihat
hidup, dengan mata merah menyala. Pak Jamal tidak menyia-nyiakan waktu. Ia
mengambil pisau yang diberikan Pak Udin, dan ia mulai menikam keranjang itu.
Srett! Srett!
Hantu
di belakangnya berteriak kesakitan. Setiap kali Pak Jamal menikam keranjang
itu, hantu itu juga merasa sakit. Pak Jamal terus menikam, hingga akhirnya
keranjang itu hancur berkeping-keping.
Tiba-tiba,
hantu itu menghilang. Dan Pak Jamal merasakan kehangatan yang tak terkira. Ia
melihat Ibu Kartika berdiri di depannya, tersenyum kepadanya. Ibu Kartika tidak
lagi pucat, matanya tidak lagi kosong.
"Terima
kasih Pak," bisik Ibu Kartika. "Kau telah menyelamatkanku."
Ibu
Kartika memeluk Pak Jamal erat-erat. Pelukannya terasa hangat, nyata. Namun,
pelukan itu tidak bertahan lama. Perlahan-lahan, tubuh Ibu Kartika mulai
menghilang, berubah menjadi debu yang bercahaya. Ibu Kartika kini bebas. Ia bisa
pergi ke tempat yang seharusnya.
Pak
Jamal menatap istrinya menghilang, air mata membasahi pipinya. Ia merasa sedih,
tetapi ia juga merasa bahagia. Ia telah memenuhi janjinya. Ia telah menjaga Ibu
Kartika, bahkan dari hantu yang paling jahat sekalipun.
Dan kini, ia sendirian. Tetapi, ia
tidak lagi merasa hampa. Ia merasa ringan, dan ia tahu, ia akan melanjutkan
hidup. Ia akan tetap menjadi kuli panggul, tetapi kini, ia membawa sebuah
kenangan yang indah, kenangan tentang Ibu Kartika, cinta sejatinya.
-- TAMAT --
Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar