#62 CERITA HOROR: SOL SEPATU
SOL SEPATU.
Matahari sore sudah mulai meredup,
menyisakan bias jingga di balik deretan atap rumah. Kardi, dengan langkah
gontai, mendorong gerobak sol sepatunya melewati gang-gang sempit yang saling
berkelindan seperti benang kusut. Kausnya yang lusuh basah oleh peluh, dan
suaranya yang parau nyaris tak terdengar saat sesekali ia berseru, "Sol
sepatu! Sol sepatu!"
Sudah hampir malam, dan hari ini
pendapatannya tak seberapa. Beberapa pasang sepatu berhasil ia perbaiki, tapi
jumlahnya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kardi menghela napas,
lelahnya terasa sampai ke tulang. Ia memutuskan untuk mengambil jalan pintas
melalui sebuah gang buntu yang jarang dilewati orang. Gang itu terkenal angker,
dan Kardi sendiri jarang berani melewatinya. Tapi, malam ini, ia tak punya
pilihan.
Saat ia memasuki gang, hawa dingin
yang tak wajar langsung menyergap. Kardi mempercepat langkah, jantungnya
berdebar kencang. Ia mencoba untuk tidak melihat ke sekeliling, tapi matanya
tak sengaja tertuju pada sebuah rumah kosong di ujung gang. Rumah itu tampak
terabaikan, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela yang pecah. Tepat di
depan pintu, tergeletak sepasang sepatu tua.
Sepatu itu terlihat sangat usang,
dengan warna hitam yang pudar. Namun, yang membuat Kardi terkejut adalah
jahitan solnya. Jahitan itu terlihat rapi dan kokoh, seolah-olah baru saja
diperbaiki. Kardi merasa ada yang tidak beres. Siapa yang akan meninggalkan
sepatu tua yang sudah disol di depan rumah kosong?
Rasa penasaran mengalahkan
ketakutannya. Kardi menghentikan gerobaknya dan mendekati sepatu itu. Ia
memungutnya, dan tangannya langsung merasakan hawa dingin yang menusuk. Ia
melihat ke sekeliling, tapi tak ada siapa-siapa. Kardi tak tahu mengapa, tapi
ia merasa harus membawa pulang sepatu itu. Ia memasukkannya ke dalam tas, lalu
bergegas pergi dari gang itu.
Malam itu, Kardi tak bisa tidur
nyenyak. Ia terus memikirkan sepatu tua itu. Bisikan-bisikan samar mulai
terdengar di telinganya. Suara itu memanggil namanya, berulang-ulang. Awalnya,
ia mengira itu hanya imajinasinya. Tapi, bisikan itu semakin jelas dan semakin
mendesak, seolah-olah meminta Kardi untuk melakukan sesuatu.
Ia akhirnya memutuskan untuk memeriksa
sepatu itu sekali lagi. Ia mengeluarkannya dari tas, dan saat ia menyentuhnya,
bisikan itu menghilang. Tapi, Kardi merasakan sesuatu yang lain. Ada sesuatu
yang lain dari sepatu itu, sesuatu yang lebih menyeramkan.
Kardi tidak bisa tidur. Malam itu
terasa lebih dingin dan sunyi dari biasanya. Di kamarnya yang sempit, lampu
minyak yang redup menciptakan bayangan-bayangan aneh yang menari-nari di
dinding. Sepatu tua itu, yang kini ia letakkan di bawah ranjang, terasa seperti
pusat dari semua keganjilan.
Bisikan itu datang lagi. Kali ini,
suaranya lebih jelas dan lebih dekat. Ia tidak lagi hanya menyebut nama Kardi,
tetapi juga merangkai kata-kata yang tidak bisa ia mengerti. Itu terdengar
seperti gumaman yang tergesa-gesa, seperti seseorang yang mencoba menceritakan
sesuatu yang mengerikan dalam waktu yang singkat. Kardi menutup telinganya
dengan bantal, mencoba mengabaikannya, tetapi bisikan itu menembus masuk,
menusuk otaknya.
Kardi akhirnya menyerah. Ia bangkit
dari ranjang, keringat dingin membasahi punggungnya. Ia menyalakan lilin, lalu
membungkuk dan mengeluarkan sepatu tua itu. Saat ia mengangkatnya, bisikan itu
seketika menghilang. Keheningan yang tiba-tiba membuat Kardi merinding.
Ia membolak-balikkan sepatu itu,
meneliti setiap jengkalnya di bawah cahaya lilin yang goyah. Kardi melihat ada
beberapa jahitan yang aneh. Jahitan itu tidak seperti jahitan biasa yang dibuat
untuk menempelkan sol. Jahitan itu lebih seperti sebuah tanda, sebuah pola yang
berulang.
"Sol sepatu ini sudah
rusak," bisik Kardi pada dirinya sendiri. Ia tahu, dengan keahliannya, ia
bisa memperbaiki sepatu ini. Ia juga tahu, ada sesuatu yang salah dengan sepatu
ini, tetapi entah mengapa, dorongan untuk memperbaikinya jauh lebih kuat dari
rasa takutnya. Ia merasa seolah-olah sepatu itu memohon kepadanya.
Tanpa pikir panjang, Kardi mengambil
alat-alat kerjanya. Ia mulai membongkar sol sepatu itu. Tangan Kardi bekerja
secara otomatis, seolah-olah ada kekuatan lain yang mengendalikan gerakannya.
Saat ia melepaskan solnya, bisikan itu kembali terdengar. Kali ini, suaranya
bukan lagi bisikan, melainkan desisan pelan yang mengelilinginya. Kardi
gemetar, tetapi ia tak berhenti. Ia terus bekerja, memperbaiki sepatu tua itu
seperti ia tak pernah memperbaiki sepatu lain seumur hidupnya.
Saat fajar menyingsing, pekerjaan
Kardi selesai. Sepatu itu kini terlihat seperti baru. Jahitan yang aneh itu
kini menghilang, digantikan oleh jahitan yang rapi dan kokoh. Kardi merasa
lega, seolah-olah beban berat di pundaknya telah terangkat. Ia memandangi
sepatu itu dengan bangga. Ia tidak tahu mengapa, tapi ia merasa ada semacam
kepuasan yang aneh.
Namun, saat ia ingin menaruh kembali
sepatu itu di bawah ranjang, ia melihat sesuatu yang aneh. Di bagian dalam
sepatu, yang tadinya kosong, kini terdapat sebuah tulisan yang terukir dengan
tinta merah darah. Tulisan itu berbunyi:
"Kau telah membantuku. Kini,
bantu aku temukan yang lainnya."
Kardi menjatuhkan sepatu itu.
Jantungnya berdegup kencang, nyaris meledak. Ia yakin, ia tidak melihat tulisan
itu sebelumnya. Keringat dingin kembali membasahi tubuhnya. Ia merasakan hawa
dingin yang menusuk. Ia menatap sepatu itu dengan ketakutan yang tak
terlukiskan. Kardi tahu, masalahnya baru saja dimulai.
Kardi tidak tidur semalaman. Rasa
takut yang ia rasakan jauh lebih besar daripada rasa lelahnya. Ia terus
memandangi sepatu tua itu, yang kini diletakkan di atas meja kerjanya. Tulisan
merah darah di bagian dalam sepatu itu seolah-olah mengawasinya, mengancamnya.
Ia berpikir untuk membuang sepatu itu, tetapi ada sesuatu yang menahannya.
Sepatu itu seperti memiliki daya tarik yang kuat, sebuah kekuatan yang
memaksanya untuk terus berada di dekatnya.
Saat fajar menyingsing, Kardi akhirnya
terlelap, kelelahan menguasai tubuhnya. Ia terbangun oleh suara pintu yang
berderit. Ia mengira ada maling, tetapi saat ia membuka mata, ia tidak melihat
siapa-siapa. Kardi bangkit dari ranjang, jantungnya berdebar kencang. Ia
mengusap wajahnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya mimpi.
Tapi, saat ia berjalan menuju dapur,
ia melihatnya. Jejak kaki basah di lantai, mengarah dari pintu kamarnya ke arah
kamar mandi. Kardi menelan ludah, seluruh tubuhnya menegang. Ia yakin, itu
bukan jejak kakinya, karena ia selalu mengenakan sandal di dalam rumah. Ia
mengikuti jejak kaki itu, dan saat ia sampai di ruang tamu, jejak itu tiba-tiba
menghilang. Seolah-olah pemiliknya tiba-tiba menguap ke udara.
Kardi terkejut, napasnya tersendat. Ia
menatap ke lantai, mencoba mencari jejak kaki itu, tetapi tidak ada. Ia melihat
ke sekeliling, tetapi tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain. Kardi
bergegas kembali ke kamarnya, matanya tertuju pada sepatu tua itu. Ia yakin,
sepatu itu adalah penyebab dari semua kejadian aneh ini.
Namun, ia kembali merasa ada bisikan
samar yang memintanya untuk tidak membuang sepatu itu. Bisikan itu terdengar
seperti rengekan anak kecil yang ketakutan, memohon untuk tidak ditinggalkan.
Kardi merasa iba. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa harus membantu
bisikan itu. Ia merasa harus mencari tahu tentang asal-usul sepatu itu.
Ia memutuskan untuk tidak melanjutkan
pekerjaannya hari itu. Kardi mengambil gerobaknya, bukan untuk mencari
pelanggan, melainkan untuk mencari jawaban. Ia pergi ke rumah-rumah tetua desa,
bertanya tentang kisah-kisah lama, tentang hal-hal yang aneh dan misterius.
Namun, tidak ada yang tahu. Semua orang hanya menatapnya dengan tatapan aneh,
seolah-olah ia sudah gila.
Kardi mulai putus asa. Ia merasa
lelah, takut, dan bingung. Ia kembali ke rumahnya, dengan sepatu tua itu masih
berada di gerobaknya. Saat ia sampai di depan rumahnya, ia melihat seorang
wanita tua duduk di kursi, menunggunya. Wanita itu mengenakan pakaian
tradisional, dengan wajah yang penuh kerutan. Wanita itu memanggilnya, suaranya
pelan dan bergetar.
"Kau membawanya pulang?"
tanyanya. "Kau menemukannya di gang buntu itu, bukan?"
Kardi mengangguk, terkejut.
"Bagaimana Anda tahu?"
Wanita tua itu tersenyum sedih.
"Itu adalah sepatu milik anakku. Sepatu yang hilang bersamanya, beberapa
puluh tahun yang lalu. Sepatu itu tak pernah kembali, sampai hari ini."
Kardi terdiam, jantungnya berdebar
kencang. Ia akhirnya menemukan petunjuk. Tapi, ia merasa ada sesuatu yang tidak
beres dari cerita ini.
Wanita tua itu memperkenalkan dirinya
sebagai Mbok Darmi. Wajahnya yang penuh kerutan menyiratkan duka yang mendalam.
Ia mengajak Kardi masuk ke teras rumahnya yang sederhana, dan menawarkan
segelas teh hangat. Kardi, yang masih terguncang, menerima dengan gemetar.
"Aku tahu kau pasti
bingung," ujar Mbok Darmi, matanya menatap sepatu tua yang tergeletak di
gerobak Kardi. "Sepatu itu, dulu adalah milik anakku, namanya Jarwo."
Mbok Darmi mulai bercerita. Puluhan
tahun lalu, di balik bukit di mana desa Kardi berada, ada sebuah desa lain yang
makmur dan damai. Desa itu bernama Desa Mawar, tempat tinggal Mbok Darmi dan
anaknya, Jarwo, yang saat itu masih kecil. Jarwo adalah anak yang ceria dan
selalu ingin tahu. Suatu hari, ia kehilangan salah satu sepatunya. Ia
bersikeras bahwa ia tidak bisa pulang tanpa sepatu itu.
"Ia takut dihukum, karena sepatu
itu adalah satu-satunya yang ia punya," cerita Mbok Darmi, suaranya
bergetar. "Ia lari, mencari sepatu itu sampai ke ujung desa, sampai ke
sebuah gang buntu. Dan setelah itu, ia tidak pernah kembali. Seluruh desa
mencarinya, tapi ia menghilang begitu saja."
Namun, yang lebih mengejutkan, satu
per satu, warga Desa Mawar juga mulai menghilang. Awalnya, hanya satu dua
orang. Lalu, lebih banyak lagi. Hingga akhirnya, desa itu menjadi sepi dan tak
berpenghuni. Seolah-olah, seluruh desa itu ditelan bumi.
"Yang tertinggal hanya aku,"
bisik Mbok Darmi, air mata menetes dari matanya. "Aku melihat mereka semua
menghilang, satu per satu. Aku mendengar jeritan mereka di malam hari. Aku
menemukan sepatu-sepatu mereka, satu per satu. Dan aku menunggu... menunggu
seseorang datang dan membantu kami."
Kardi terdiam, rasa takutnya berubah
menjadi rasa ngeri yang luar biasa. Ia menatap sepatu tua itu, lalu memandangi
wajah Mbok Darmi yang kini terlihat lebih pucat dan menakutkan.
"Kau telah memperbaiki sepatu
anakku," ujar Mbok Darmi, "Kau telah membantunya menemukan jalan
pulang. Sekarang, bantu aku temukan sepatu-sepatu yang lain. Sepatu-sepatu yang
juga menunggu untuk pulang."
Kardi merasakan hawa dingin yang
menusuk. Ia melihat ke sekeliling, dan menyadari bahwa rumah Mbok Darmi terasa
terlalu dingin dan sepi. Ia juga menyadari, dari sudut matanya, bahwa Mbok
Darmi tidak memiliki jejak kaki. Ia melayang, bukan berjalan. Mbok Darmi
bukanlah orang yang hidup.
Rasa takut yang luar biasa menguasai
Kardi. Ia mencoba berdiri, tetapi kakinya terasa lemas. Ia ingin lari, tetapi
ia merasa kakinya seolah-olah terpaku ke tanah. Kardi melihat ke sepatu tua di
gerobaknya. Tulisan di dalam sepatu itu kini terasa lebih jelas:
"Bantu kami. Bantu kami temukan
jalan pulang."
Kardi tahu, ia kini terjebak di
tengah-tengah sebuah kisah horor yang mengerikan. Ia tahu, ia harus melakukan
sesuatu, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana. Ia hanya bisa menelan
ludah, menatap Mbok Darmi yang tersenyum dingin kepadanya.
"Kau akan membantu kami
bukan?" bisik Mbok Darmi, suaranya terdengar seperti angin yang berdesir
di antara pohon-pohon. "Kau akan membantu kami... menemukan jalan
pulang."
Kardi tidak bisa bergerak. Rasa dingin
yang menusuk dari kehadiran Mbok Darmi dan bisikan dari sepatu tua itu
melumpuhkan seluruh tubuhnya. Ia menatap Mbok Darmi, yang kini wajahnya
terlihat semakin samar, seolah-olah terbuat dari kabut.
"Kau punya keahlian," bisik
Mbok Darmi, suaranya kini terdengar seperti ribuan bisikan yang tumpang tindih.
"Kau bisa memperbaiki sepatu-sepatu kami. Kau bisa membantu kami menemukan
jalan pulang."
Kardi tahu, ia tidak punya pilihan. Ia
tidak bisa melarikan diri. Ia merasa gerobaknya perlahan-lahan ditarik ke dalam
rumah Mbok Darmi yang gelap dan dingin. Ia melihat ke dalam, dan pandangannya
disambut oleh pemandangan yang paling mengerikan yang pernah ia lihat.
Di dalam rumah itu, di setiap sudut
dan di setiap celah, terdapat tumpukan sepatu. Sepatu-sepatu itu ada yang
usang, ada yang robek, dan ada yang terlihat masih baru. Ada sepatu anak-anak,
sepatu wanita, sepatu pria. Semua sepatu itu terlihat seperti telah lama
ditinggalkan. Namun, yang lebih mengerikan adalah, setiap pasang sepatu itu, di
bagian dalamnya, terukir tulisan merah darah yang sama: "Bantu kami."
Kardi menyadari, semua sepatu itu
adalah sepatu milik warga Desa Mawar yang menghilang. Dan Mbok Darmi bukanlah
satu-satunya hantu di rumah itu. Kardi bisa merasakan kehadiran mereka semua,
bisikan-bisikan mereka yang kini menyambutnya, memohon kepadanya.
Kardi terpaksa tinggal di rumah itu.
Setiap hari, ia memperbaiki sepatu-sepatu itu satu per satu. Ia bekerja dari
pagi hingga malam, tanpa henti. Setiap kali ia selesai memperbaiki sepasang
sepatu, bisikan-bisikan itu akan mereda sesaat, dan ia akan melihat sekelebat
bayangan samar yang tersenyum kepadanya. Kardi tahu, ia telah membantu satu
jiwa menemukan kedamaian.
Namun, ia juga sadar, pekerjaan ini
tidak akan pernah selesai. Tumpukan sepatu itu terlalu banyak, seolah-olah
tidak ada habisnya. Ia juga menyadari, ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Matanya menjadi sayu, tubuhnya kurus kering, dan ia mulai mendengar
bisikan-bisikan itu bahkan saat ia tidak sedang bekerja.
Suatu malam, saat ia sedang
memperbaiki sepasang sepatu anak kecil, ia melihat sebuah sepatu yang berbeda.
Sepatu itu adalah sepatu yang sama dengan yang ia temukan di gang buntu, tapi
kini terlihat seperti baru, dengan jahitan yang rapi. Kardi melihat ke dalam,
dan ia menemukan tulisan yang baru, yang bukan tulisan merah darah.
Tulisan itu berbunyi: "Jangan
perbaiki sepatu yang ini."
Kardi terkejut. Ia menatap sepatu itu
dengan bingung. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa sepatu itu adalah kunci
dari semua misteri ini. Ia merasa, ada sesuatu yang disembunyikan oleh para
hantu Desa Mawar. Ada sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar sebuah kisah
tentang desa yang menghilang.
Kardi terdiam, menatap sepatu yang
baru saja ia temukan. Sepatu itu persis seperti sepatu Jarwo, tetapi ada yang
berbeda. Jahitannya rapi, tidak seperti sepatu hantu yang lain. Kardi merasakan
hawa dingin yang menusuk, tetapi kali ini, bukan karena kehadiran hantu-hantu
Desa Mawar. Hawa dingin ini terasa seperti sebuah peringatan.
Kardi memegang sepatu itu, dan ia
mulai merasakan sebuah penglihatan. Ia melihat Jarwo, anak kecil yang ceria,
sedang bermain dengan sepatu-sepatu usang di sebuah gang buntu. Jarwo tidak
mencari sepatunya yang hilang. Ia mengumpulkan sepatu-sepatu tua itu, dan
membawa mereka ke sebuah rumah kosong. Rumah itu adalah rumah Mbok Darmi, rumah
yang kini Kardi tempati.
Penglihatan Kardi berlanjut. Ia
melihat Jarwo membawa sepatu-sepatu itu ke dalam rumah, dan ia mulai
memperbaikinya. Jarwo adalah seorang penjahit sepatu cilik yang berbakat. Ia
suka memperbaiki sepatu-sepatu tua. Namun, suatu malam, saat ia sedang
memperbaiki sepasang sepatu, ia mendengar suara aneh. Suara itu adalah suara
bisikan yang memanggilnya.
Suara itu datang dari sepasang sepatu
tua yang ia temukan. Suara itu berjanji akan memberikan Jarwo kekuatan untuk
memperbaiki semua sepatu yang ia inginkan. Jarwo, yang masih polos, mengiyakan.
Namun, ia tidak menyadari, ia telah membuat sebuah perjanjian yang mengerikan.
Ia bukan memperbaiki sepatu-sepatu
itu, melainkan mengumpulkan jiwa-jiwa dari pemilik sepatu itu. Sepatu-sepatu
itu adalah wadah bagi jiwa-jiwa yang ingin kembali ke dunia nyata. Dan Jarwo
adalah perantaranya. Semakin banyak sepatu yang ia perbaiki, semakin banyak
jiwa yang ia kumpulkan.
Penglihatan Kardi berakhir, dan ia
menyadari sebuah kebenaran yang mengerikan. Hantu-hantu Desa Mawar tidak
menghilang. Mereka tidak mati. Mereka terjebak di dalam sepatu-sepatu itu. Dan
mereka tidak ingin pulang. Mereka ingin kembali ke dunia nyata, hidup kembali,
dan menuntut pembalasan.
Dan Jarwo, anak kecil yang polos,
bukanlah korban. Ia adalah dalangnya. Ia yang memanggil para hantu itu. Ia yang
menjebak mereka di dalam sepatu-sepatu itu. Ia yang ingin menggunakan mereka
untuk kembali ke dunia nyata. Dan ia menunggu, menunggu seseorang yang cukup
kuat untuk membantunya. Seseorang yang cukup kuat untuk memperbaiki sepatu
terakhir, sepatu yang akan membuka gerbang ke dunia nyata. Sepatu yang Kardi
pegang.
Kardi menatap sepatu itu dengan
ketakutan. Tulisan di dalamnya kini terlihat jelas. Itu adalah sebuah
peringatan. Jarwo, melalui sepatu itu, memperingatkan Kardi untuk tidak
memperbaiki sepatu itu. Jarwo tidak ingin kembali. Ia ingin tetap menjadi
hantu. Ia ingin tetap mengendalikan para hantu Desa Mawar.
Kardi kini menghadapi sebuah pilihan
yang mengerikan. Ia bisa memperbaiki sepatu itu, dan membantu Jarwo menguasai
dunia. Atau, ia bisa menghancurkan sepatu itu, dan membebaskan jiwa-jiwa yang
terjebak di dalamnya. Tapi, jika ia menghancurkan sepatu itu, ia tidak tahu apa
yang akan terjadi pada dirinya. Ia tidak tahu apakah para hantu itu akan
membunuhnya, atau membiarkannya hidup.
Apa yang akan Kardi pilih?
Kardi menatap sepatu itu, lalu beralih
ke tumpukan sepatu-sepatu usang di sekelilingnya. Ia teringat bisikan-bisikan
memohon yang selama ini ia dengar, rengekan anak kecil yang meminta
pertolongan, dan tatapan kosong Mbok Darmi yang penuh duka. Kini, ia tahu,
mereka semua adalah korban dari ambisi seorang anak kecil yang polos namun
kejam.
Ia memandang sepatu terakhir itu,
sepatu yang Jarwo perintahkan untuk tidak diperbaiki. Kardi tahu, sepatu itu
adalah kunci. Kunci untuk membebaskan mereka, atau mengutuk mereka selamanya.
Kardi mengambil keputusan. Ia akan menghancurkan sepatu itu.
Dengan tangan gemetar, ia mengambil
palu godamnya. Sesaat, ia ragu. Jika ia menghancurkan sepatu ini, ia tidak tahu
apa yang akan terjadi padanya. Apakah para hantu itu akan murka dan
menghancurkannya? Atau, apakah Jarwo akan muncul dan menghentikannya?
Tepat saat ia mengangkat palu, seluruh
rumah bergetar. Bisikan-bisikan dari sepatu-sepatu lain berubah menjadi jeritan
pilu yang memekakkan telinga. Bayangan-bayangan samar mulai bergerak,
menari-nari di sekelilingnya. Mbok Darmi muncul di depannya, wajahnya kini
terlihat mengerikan, matanya merah menyala.
"Jangan!" bisik Mbok Darmi,
suaranya terdengar seperti raungan serigala. "Kau akan menghancurkan kami!
Kau akan menghancurkan jalan pulang kami!"
Kardi tahu, Mbok Darmi berbohong. Ia
tahu, Mbok Darmi juga terjebak, terpaksa berbohong oleh Jarwo. Kardi
mengabaikan jeritan dan ancaman itu. Ia menatap sepatu itu, lalu dengan sekuat
tenaga, ia mengayunkan palu godamnya.
Brak!
Sepatu itu hancur berkeping-keping.
Seketika itu juga, jeritan-jeritan di
dalam rumah berhenti. Bayangan-bayangan samar menghilang. Dan Kardi merasa hawa
dingin yang menusuk perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh hawa yang
hangat.
Kardi melihat sekeliling. Rumah itu
kini terlihat bersih, tidak ada lagi tumpukan sepatu-sepatu mengerikan. Ia
melihat Mbok Darmi, yang kini tersenyum kepadanya, air mata kebahagiaan menetes
dari matanya.
"Terima kasih," bisik Mbok
Darmi. "Terima kasih telah membebaskan kami."
Kardi mengangguk, napasnya tersengal.
Ia telah berhasil. Ia telah membebaskan para hantu Desa Mawar. Namun, ia tidak
tahu, ia juga telah membebaskan Jarwo.
Tepat saat ia ingin meninggalkan rumah
itu, sebuah suara memanggilnya. Suara itu adalah suara anak kecil, yang
terdengar polos dan riang.
"Paman," panggil suara itu.
"Terima kasih sudah memperbaiki sepatuku."
Kardi menoleh, dan melihat Jarwo
berdiri di pintu, tersenyum lebar. Namun, senyum itu tidak mencapai matanya.
Matanya terlihat kosong, seperti mata boneka. Dan di tangannya, ia memegang
sepasang sepatu tua yang hancur berkeping-keping.
"Sekarang," bisik Jarwo.
"Kita bisa bermain."
Kardi menyadari, Jarwo tidak
membutuhkan sepatu untuk kembali. Ia hanya membutuhkan seseorang untuk
membebaskannya. Dan Kardi, tanpa sadar, telah melakukan hal itu. Ia telah
membebaskan Jarwo, hantu paling mengerikan dari semuanya, hantu yang kini bebas
berkeliaran dan mencari korban berikutnya.
Kardi mencoba lari, tetapi kakinya
terasa lemas. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk kembali menyelimutinya. Di
belakangnya, ia mendengar langkah kaki yang kecil, yang perlahan-lahan
mendekat. Kardi tahu, ia kini terjebak di dalam permainan Jarwo. Permainan yang
tidak akan pernah berakhir.
-- TAMAT --
Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
x

Komentar
Posting Komentar