#69 CERITA HOROR RUMAH ANGKER
RUMAH ANGKER.
Udara
malam yang lembap terasa dingin menyentuh kulit Aji dan Rina begitu mereka
melangkah keluar dari lobi bioskop. Keriuhan dari film horor yang baru saja
mereka tonton masih bergaung di telinga, meninggalkan jejak ketegangan yang
justru terasa memabukkan. Mereka berjalan menuju parkiran motor sambil sesekali
saling mencandai, mencoba menirukan adegan-adegan paling menegangkan dari film.
"Gila,
itu tadi pas hantunya muncul dari balik cermin, aku mau teriak rasanya!"
seru Rina, suaranya sedikit tertahan oleh tawa. Ia memeluk erat lengan Aji,
mencari kehangatan sekaligus rasa aman.
Aji
mengangguk, menyeringai. "Padahal itu cuma efek CGI Rin. Tapi dijamin,
kalau di tempat aslinya, pasti lebih seru!" Ia berhenti sejenak di samping
motornya, menatap Rina dengan mata penuh kilat iseng. "Gimana kalau kita
coba sensasi horor yang lebih nyata?"
Rina
langsung tahu apa maksud Aji. Ia menggeleng cepat. "Nggak ah! Pulang aja
Ji. Aku udah cukup serem."
"Tenang
aja, ini cuma sebentar," bujuk Aji, seraya menepuk jok motor. "Kita
lewat jalan pintas yuk. Jalanan tua yang katanya ada rumah kosong angker
itu."
Rina
tampak ragu. Wajahnya yang tadinya ceria berubah masam. "Itu kan jalanan
yang sering dibahas orang-orang. Jalan Cendana. Kalau malam kan gelap banget,
Ji. Nggak ada lampu jalan."
"Justru
itu seninya! Anggap aja ini after-party dari film tadi. Biar horornya
terasa sampai ke rumah," Aji kembali membujuk, berusaha membuat idenya
terdengar menyenangkan dan bukannya berbahaya. "Paling juga itu cuma
cerita-cerita buat nakut-nakutin anak kecil."
Setelah
beberapa saat, Rina akhirnya menyerah pada bujukan Aji. Ia memang mudah
dibujuk, terutama saat ia ingin terlihat berani di depan Aji. "Oke deh.
Tapi jangan ngebut ya, aku takut."
Mereka
pun meninggalkan keramaian pusat perbelanjaan, mengendarai motor memasuki
sebuah gang kecil yang gelap. Jalanan aspal yang tadinya mulus kini berubah
menjadi jalanan beton berlubang. Suara motor mereka terasa seperti satu-satunya
suara di tengah keheningan. Di sisi jalan, pohon-pohon tua dengan ranting-ranting
panjang yang menjuntai tampak seperti tangan-tangan raksasa yang siap
mencengkeram.
Semakin
jauh mereka masuk, suasana semakin terasa mencekam. Udara di sekitar mereka
terasa lebih dingin, dan wangi tanah basah bercampur dengan bau apak yang
asing. Di kejauhan, mereka bisa melihat sebuah rumah tua. Lampu jalan di
depannya padam total, menyisakan kegelapan yang pekat. Hanya siluet rumah itu
yang tampak menakutkan, seperti siluet tengkorak yang menatap mereka.
"Itu
rumahnya ya?" bisik Rina, menunjuk ke arah rumah itu. Jarak mereka sekitar
seratus meter lagi. Rina memeluk Aji semakin erat. "Aku nggak jadi deh Ji.
Serem banget..."
Aji
hanya tersenyum tipis. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, melainkan
karena tantangan. Ia sengaja memperlambat laju motornya, menikmati setiap detik
ketegangan. Cat rumah yang sudah terkelupas, jendela-jendela yang pecah, dan
halaman yang dipenuhi ilalang tinggi—semuanya menambah kesan horor yang
sempurna.
Saat
mereka melintasi gerbang besi rumah itu, Rina melihat sesuatu di jendela lantai
dua. Sekilas, ia melihat bayangan seperti sesosok perempuan dengan rambut
panjang, mengintip ke arah mereka. "Ji, ada yang lihat kita," bisik
Rina, kali ini dengan nada yang benar-benar ketakutan.
Aji
tidak menoleh. Ia tertawa kecil, merasa berhasil. "Tuh kan! Seru kan? Aku
bilang juga apa."
Namun,
tawa Aji langsung terhenti. Tepat ketika motornya melewati gerbang, mesin motor
itu tiba-tiba batuk-batuk, mengeluarkan suara aneh, lalu mati total. Aji
berusaha menyalakan motornya berkali-kali, tapi tidak berhasil. Motornya mogok,
meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang mematikan. Dan di tengah
keheningan itu, sebuah suara derit pelan yang sangat jelas terdengar.
Gerbang besi yang tadinya tertutup, kini perlahan-lahan terbuka dengan sendirinya,
seolah menyambut kedatangan mereka.
Keringat
dingin membasahi punggung Aji, bercampur dengan dinginnya udara malam. Senyum
di wajahnya lenyap, digantikan oleh ekspresi panik yang nyata. Motor yang tidak
kunjung menyala dan gerbang yang perlahan terbuka dengan sendirinya seperti
menyatukan kepingan puzzle mengerikan yang kini mereka hadapi. Ini bukan lagi
sensasi horor yang ia cari di bioskop; ini adalah kenyataan pahit yang menusuk
sampai ke tulang.
"Ji,
gimana ini?" tanya Rina, suaranya bergetar. Ia menoleh ke arah Aji,
matanya dipenuhi ketakutan. "Motornya beneran nggak bisa nyala?"
"Sialan!"
umpat Aji, kali ini tanpa mencoba menyembunyikan rasa frustrasinya. Ia
menginjak tuas starter sekali lagi, tapi hanya terdengar bunyi 'ngik ngik'
kosong. Motor mereka benar-benar mati, meninggalkan mereka terperangkap di
depan gerbang yang kini terbuka lebar, mengundang mereka masuk ke dalam
kegelapan.
Tiba-tiba,
dari dalam rumah, terdengar suara parau yang pelan namun jelas. "Anak-anak
muda, kenapa di luar saja? Ayo, masuk."
Aji
dan Rina menoleh ke arah pintu kayu yang terbuka. Di sana, berdiri sepasang
suami istri tua. Si lelaki mengenakan kemeja putih yang usang dan celana bahan
yang sudah lusuh, sementara si perempuan mengenakan kebaya kuno berwarna
cokelat yang terlihat kotor. Wajah mereka terlihat samar-samar di antara
bayang-bayang, tapi senyum mereka... senyum itu terlihat sangat jelas, seperti
topeng yang dipaksakan. Senyum yang terasa aneh, tidak wajar, dan justru
mengancam.
"Motornya
mogok ya? Kasihan sekali. Ayo, masuk dulu nak. Udara malam tidak baik untuk
kesehatan," kata si lelaki tua dengan suara yang ramah, namun terdengar
seperti gema yang terdistorsi.
Rina
menggelengkan kepalanya kuat-kuat, memeluk lengan Aji lebih erat. "Tidak,
terima kasih Pak. Kami tunggu di luar saja. Nanti motornya juga pasti bisa
nyala lagi."
"Tidak
bisa begitu. Tidak sopan menolak ajakan orang tua," timpal si perempuan
tua, kini melangkah keluar rumah. Gerakannya aneh, tidak seperti orang berjalan
pada umumnya, melainkan seperti melayang tanpa suara. Ia mendekati mereka
dengan langkah yang lambat dan pasti. "Kami sudah menunggu kalian sejak
tadi. Ayo, masuk. Kami sudah menyiapkan makan malam."
Aji
dan Rina saling pandang. Mereka bisa melihat ketakutan yang sama di mata
masing-masing. Wajah sepasang hantu itu kini terlihat lebih jelas di bawah
cahaya remang-remang lampu jalan yang mati. Kulit mereka pucat pasi, seperti
lilin yang mencair, dan mata mereka cekung, kosong tanpa kehidupan. Tapi senyum
ramah yang aneh itu masih terpampang, membuat mereka terlihat semakin
mengerikan. Mereka bukan manusia; Aji dan Rina tahu itu. Mereka adalah dua
entitas dari dunia lain yang entah mengapa, menginginkan kehadiran mereka.
Aji,
dengan sisa-sisa keberaniannya, mencoba mendorong motornya mundur, berusaha
menciptakan jarak. Namun, hantu lelaki itu tiba-tiba sudah berdiri di depannya.
Tangannya yang dingin dan pucat mencengkeram lengan Aji. Dinginnya seperti es,
menusuk hingga ke tulang.
"Tidak
sopan menolak ajakan orang tua," kata hantu lelaki itu, kini dengan nada
yang lebih tegas. Cengkeramannya menguat, membuat Aji tidak bisa bergerak.
Aji
dan Rina akhirnya pasrah. Mereka berjalan masuk, dipimpin oleh sepasang hantu
yang memimpin jalan. Setiap langkah yang mereka ambil terasa berat. Pintu rumah
terbuka lebar, menyambut mereka ke dalam kegelapan. Aroma tanah basah dan debu
yang sudah lama tidak dihirup langsung menusuk hidung mereka, membuat mereka
mual. Setiap sudut di rumah itu terasa dingin dan kosong, seolah mereka baru
saja memasuki sebuah makam yang kuno. Mereka merasa seperti bukan lagi tamu,
melainkan tawanan yang sedang diantar ke sebuah pesta yang tidak pernah mereka
inginkan.
Aji
dan Rina dipaksa masuk ke dalam sebuah ruangan yang dulunya mungkin ruang
makan. Suasana di dalamnya terasa lebih aneh dan mencekam. Meskipun debu tebal
menyelimuti setiap perabot — mulai dari lemari pajangan kaca yang retak hingga
kursi-kursi kayu yang berukir — sebuah meja makan di tengah ruangan tampak
anehnya bersih, seolah baru saja dilap. Lilin-lilin tua yang ada di atas meja
menyala dengan sendirinya, memberikan cahaya yang goyah dan menari di dinding,
menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak.
"Ayo,
silakan duduk nak," ajak hantu perempuan itu, suaranya terdengar lembut
namun di dalamnya tersimpan nada mengancam yang dingin.
Aji
dan Rina duduk di kursi yang terasa sangat dingin, membuat bulu kuduk mereka
meremang. Di hadapan mereka, sudah terhidang piring-piring berisi makanan yang
terlihat busuk dan menjijikkan. Nasi yang mengeras, sayuran yang layu hingga
menghitam, dan potongan daging yang sudah terlihat seperti gumpalan kering,
mengeluarkan bau apak yang sangat menyengat.
"Silakan,
dimakan," kata hantu lelaki itu, kini sudah duduk di seberang mereka. Ia
menatap makanan di piring mereka, lalu menatap Aji dan Rina dengan tatapan yang
kosong. "Sudah lama sekali tidak ada yang datang. Kami sudah menyiapkan
hidangan ini sejak lama."
Aji
dan Rina tidak berani bergerak. Mereka hanya bisa menatap hidangan di depan
mereka, lalu beralih menatap wajah sepasang hantu itu. Wajah mereka terlihat
sangat sedih, seolah rindu akan kebersamaan, namun di saat yang sama, ekspresi
itu terlihat beku dan tidak nyata.
"Kenapa
tidak dimakan?" tanya hantu perempuan itu lagi, suaranya kini terdengar
lebih marah. "Kami sudah menunggu begitu lama."
Rina,
yang duduk di samping sebuah cermin besar yang berdebu di dinding, menoleh. Di
pantulan cermin itu, ia melihat bayangan dirinya dan Aji, yang terlihat sangat
ketakutan. Namun, di seberang meja, tempat sepasang hantu itu duduk, hanya ada
kursi kosong. Pantulan mereka tidak ada. Jantung Rina serasa berhenti. Mereka
benar-benar bukan dari dunia ini. Mereka adalah hantu, ilusi yang terperangkap
dalam penderitaan.
Rina
langsung menunduk, tidak berani melihat ke cermin lagi. "Maaf, kami tidak
lapar," katanya dengan suara bergetar, mencoba terdengar sopan.
Hantu
perempuan itu tertawa. Bukan tawa yang nyaring, melainkan tawa yang tertahan,
seperti bisikan angin yang menyeramkan. "Tidak lapar? Tidak apa-apa. Kami
akan membuat kalian lapar."
Tiba-tiba,
mata cekung sepasang hantu itu menatap lurus ke arah mereka, kosong dan
memancarkan aura dingin yang menusuk. Suhu ruangan mendadak turun drastis. Aji
merasakan napasnya berembun. Hantu lelaki itu mengangkat garpu yang sudah
berkarat, dan garpu itu melayang di udara dengan sendirinya, bergerak perlahan,
menunjuk ke arah Aji.
"Kami
sudah menunggu sangat lama... dan kami tidak suka jika ada yang tidak
menghargai kami," bisik hantu itu, suaranya kini terdengar seperti angin
yang menggerus, mengikis keberanian Aji dan Rina. "Jika kalian tidak mau
memakan hidangan ini... maka kalianlah yang akan menjadi hidangan berikutnya."
Aji
dan Rina saling berpandangan, menyadari kenyataan yang mengerikan. Hidangan di
atas meja bukanlah sekadar makanan, melainkan ujian. Mereka harus memakan
hidangan busuk itu untuk bisa selamat, atau mereka akan terperangkap di rumah
itu selamanya. Mereka harus berbuat sesuatu. Sekarang, atau tidak sama sekali.
Aji
dan Rina saling berpandangan, menyadari bahwa mereka berada dalam masalah yang
jauh lebih besar dari sekadar motor mogok. Pikiran mereka berkejaran, mencoba
mencari celah untuk keluar dari situasi mengerikan ini. Aji, dalam
keputusasaannya, menatap lekat-lekat pada pasangan hantu di seberang meja. Ia
memperhatikan detail yang aneh: tatapan mereka yang kosong, dialog yang
diucapkan berulang-ulang, dan obsesi mereka terhadap hidangan di atas meja.
Mereka tidak hidup, tapi juga tidak sepenuhnya mati. Mereka terperangkap.
Terperangkap dalam sebuah ritual abadi yang terus berulang, menanti
"tamu" untuk makan malam yang tak pernah usai.
Rasa
takut Aji kini bercampur dengan pemahaman. Ia tahu, hidangan itu bukanlah untuk
dimakan, melainkan sebuah simbol, sebuah pengikat. Jika mereka memakannya,
mereka akan terikat dengan rumah itu, terjebak dalam siklus yang sama. Mereka
harus menghentikan ritual ini.
Mata
Aji menyapu seluruh ruangan. Pandangannya jatuh pada sebuah vas bunga tua yang
berdiri di atas lemari pajangan yang rapuh. Itu bisa menjadi pengalih
perhatian. Tapi bagaimana caranya?
"Makan...
makanlah!" desak hantu lelaki itu, suaranya terdengar seperti bisikan kering
yang menggerus.
Hantu
perempuan itu mengangkat garpu yang berkarat, dan garpu itu bergerak di udara,
menusuk-nusuk ke arah piring Rina. "Ayo, sayang. Ini hidangan kesukaan
kami," katanya dengan nada yang terdengar lembut namun penuh ancaman.
Aji
tahu ini waktunya. Ia menoleh ke arah Rina dan memberi isyarat dengan matanya.
Dengan cepat, ia meraih vas tua itu dan membantingnya ke lantai sekuat tenaga.
PRANG!
Suara
pecahan keramik itu memecah keheningan yang mencekam, seolah memecahkan sebuah
mantra kuno. Pasangan hantu itu terkejut. Senyum ramah yang dingin di wajah
mereka retak, digantikan oleh ekspresi marah yang mengerikan. Wajah mereka yang
pucat mulai berubah. Kulit mereka mengelupas, mata mereka memancarkan cahaya
merah, dan urat-urat hitam muncul di wajah mereka. Wajah-wajah yang tadinya
terlihat seperti manusia kini berubah menjadi wujud yang mengerikan, penuh
dendam dan kemarahan.
"Beraninya
kau!" teriak hantu lelaki itu, suaranya menggelegar, tidak lagi terdengar
seperti gema, melainkan seperti raungan yang berasal dari neraka.
Aji
dan Rina tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka bangkit dari kursi dan berlari
sekuat tenaga. Namun, rumah itu kini seperti sebuah labirin. Pintu yang tadinya
mereka masuki kini mengarah ke koridor lain yang asing. Setiap koridor terasa
semakin panjang, dan setiap pintu yang mereka buka, mengarah pada ruangan yang
sama. Mereka terjebak.
Di
belakang mereka, terdengar suara langkah-langkah kaki yang berat, bukan lagi
langkah manusia, melainkan suara gesekan dan seretan. Pasangan hantu itu
mengejar mereka, melayang di udara, dengan wujud yang sudah tidak lagi berwujud
manusia.
"Jangan
lari! Makan malam belum selesai!" teriak hantu perempuan itu, suaranya
melengking tajam. "Kalian harus makan! Kalian harus menjadi bagian dari
kami!"
Aji
dan Rina terus berlari, napas mereka terengah-engah. Mereka melewati ruang tamu
yang gelap, sebuah kamar tidur yang berantakan, dan sebuah dapur yang dipenuhi
tikus-tikus besar. Di setiap ruangan, mereka bisa merasakan kehadiran hantu itu
semakin dekat. Udara terasa semakin dingin, dan suara-suara aneh mulai
terdengar, bisikan-bisikan yang tak jelas, tawa-tawa yang melengking.
Akhirnya,
mereka melihatnya. Gerbang rumah. Mereka berlari sekuat tenaga, melewati
halaman yang dipenuhi ilalang tinggi. Mereka sampai di motor, dan Aji segera
mencoba menyalakan mesinnya.
Motornya
berbunyi, tapi tidak mau hidup. Aji mencoba lagi, dan lagi, dengan panik. Di
belakang mereka, pasangan hantu itu kini sudah berada di gerbang, berdiri
tegak, dengan tangan terulur ke arah mereka. Wajah mereka terlihat sangat
marah, mata mereka menyala merah terang.
"Kalian
tidak bisa lari! Pesta ini belum selesai!" teriak hantu lelaki itu,
suaranya kini dipenuhi amarah yang membara.
Rina
berteriak ketakutan, ia memeluk Aji dari belakang, matanya terpejam.
"Ji... mereka dekat! Mereka sudah di sini!"
Aji,
dengan sisa-sisa keberanian dan keputusasaan, melihat piring-piring makanan
yang masih terhidang di atas meja di dalam rumah. Piring-piring itu menjadi
fokus hantu itu. Mereka terikat pada ritual makan malam. Aji tahu, dia harus
melakukan sesuatu yang menghancurkan ritual itu sepenuhnya. Dengan satu
sentakan, Aji menendang keras meja motornya, lalu ia mengambil batu besar di
dekatnya dan melemparkannya ke arah meja makan di dalam rumah.
BUK! PRANG!
Meja
makan itu terbalik, piring-piring dan makanan busuk itu jatuh berhamburan,
menghancurkan hidangan yang sangat mereka jaga. Seketika, pasangan hantu itu
berteriak kesakitan, seolah mereka sendiri yang terluka. Cahaya di mata mereka
meredup, dan tubuh mereka mulai memudar. Mereka berteriak-teriak, "TIDAK!
RITUAL KAMI! PESTA KAMI HANCUR!"
Dalam
momen keheningan yang singkat, Aji mengambil kesempatan. Ia menyalakan motornya
sekali lagi. Mesinnya hidup. Tanpa menunggu sedetik pun, ia tancap gas. Mereka
meninggalkan rumah tua itu, dengan suara teriakan putus asa pasangan hantu yang
masih terngiang di telinga mereka. Mereka berhasil lolos, tapi mereka tahu,
mereka tidak akan pernah sama lagi.
Aji
dan Rina tidak berhenti memacu motornya sampai akhirnya mereka tiba di jalanan
utama yang ramai, di mana lampu-lampu jalan menyala terang dan suara kendaraan
lain terdengar kembali. Jantung mereka masih berdebar kencang, tapi kali ini
bukan karena sensasi horor yang dicari, melainkan karena rasa takut yang
mendalam. Mereka mengendarai motor dalam keheningan, wajah mereka pucat pasi,
saling memeluk dengan erat seolah takut terpisah.
Mereka
akhirnya sampai di rumah Rina. Tanpa berkata-kata, mereka duduk di teras yang
terang benderang, menatap ke arah jalan, menunggu hingga matahari terbit.
Mereka terlalu takut untuk masuk, terlalu takut untuk memejamkan mata. Di dalam
benak mereka, terukir jelas gambaran pasangan hantu yang memaksa mereka makan,
senyuman mengerikan yang tidak pernah hilang, dan teriakan-teriakan putus asa
saat ritual makan malam mereka terpecah.
Rina
memeluk lututnya, bahunya bergetar. "Ji… kita… kita hampir menjadi
mereka," bisiknya, air matanya menetes, membasahi pipinya yang dingin.
"Kita hampir terjebak di sana selamanya."
Aji
hanya bisa memeluk Rina erat. Ia tidak bisa menjawab. Rasa bersalah yang
menusuk mencengkeramnya. Ide gila yang ia tawarkan, hasratnya untuk mencari
sensasi horor yang lebih, nyaris merenggut nyawa mereka. Mereka selamat, tapi
ia tahu, mereka tidak akan pernah bisa melupakan kejadian itu. Bekas luka itu
tidak terlihat, tapi terasa dalam, jauh di dalam jiwa mereka.
Di
pagi hari, mereka berdua kembali ke rumah Aji. Jalanan sudah ramai, aktivitas
warga sudah dimulai. Ketika mereka melewati rumah tua itu lagi, rumah itu
terlihat seperti rumah kosong pada umumnya. Terlihat usang dan terbengkalai,
dengan cat yang mengelupas dan halaman yang dipenuhi ilalang tinggi. Namun, Aji
dan Rina tahu, di balik dinding-dinding itu, ada sebuah siklus abadi yang terus
berjalan. Sebuah pesta makan malam yang tidak pernah selesai, menunggu
tamu-tamu berikutnya untuk menggantikan tempat mereka.
Malam
harinya, Aji tidak bisa tidur. Ia terbaring di tempat tidur, mencoba memejamkan
mata. Namun, yang terbayang di benaknya bukanlah film horor yang mereka tonton.
Yang terbayang adalah wajah pasangan hantu itu, dengan mata cekung yang kosong
dan senyuman yang mengerikan. Ia bisa mendengar suara-suara mereka, bisikan
yang menyeramkan, dan jeritan putus asa mereka saat ritual mereka terhancurkan.
Ia
kini tahu, horor yang sesungguhnya bukanlah apa yang ada di layar, bukan pula
adegan-adegan mencekam yang sudah diatur. Horor yang sesungguhnya adalah apa
yang tidak bisa dilihat, apa yang tersembunyi di balik dinding-dinding tua, dan
apa yang menunggu di kegelapan. Ia menyadari, ada hal-hal di dunia ini yang
tidak bisa dijelaskan oleh logika, dan ada batas-batas yang tidak boleh
dilanggar. Ia juga tahu, ia tidak akan pernah lagi menganggap enteng
cerita-cerita seram, dan ia tidak akan pernah lagi mengambil jalan pintas yang
berbahaya, hanya demi mencari sensasi.
Mereka
berdua memang selamat, tapi mereka telah kehilangan sesuatu. Mereka telah
kehilangan keberanian yang dulu mereka anggap remeh, dan mereka telah
kehilangan ketenangan yang dulu mereka miliki. Kini, setiap kali mereka
mendengar derit pintu, atau melihat bayangan di jendela, mereka akan selalu
teringat, akan pesta makan malam yang nyaris merenggut nyawa mereka. Pesta
makan malam yang tidak akan pernah selesai, dan akan selalu mencari tamu baru.
Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar