#59 CERITA HOROR: PENUNGGU POHON RAMBUTAN
Penunggu
Pohon Rambutan
Di
balik gemerlap lampu warna-warni dan riuh rendah suara musik dangdut, setiap
pasar malam memiliki sisi lain yang tak terjamah oleh keramaian. Bagi Pak
Tono, seorang penjaga pasar malam yang sudah puluhan tahun mengabdi, tempat
itu bukan hanya sekadar ladang rezeki, melainkan juga rumah kedua. Ia mengenal
setiap sudut pasar, setiap pedagang, dan setiap kisah yang beredar di sana.
Namun, ada satu kisah yang paling sering menjadi bisik-bisik warga dan
membuatnya selalu waspada: kisah tentang pohon rambutan tua yang berdiri
kokoh di pinggir lapangan. Konon, pohon itu adalah tempat bersemayamnya sosok kuntilanak
yang legendaris, arwah penasaran yang tak suka diganggu.
Meskipun
sudah sering mendengar cerita itu, Pak Tono selalu bersikap skeptis. Baginya,
hantu hanya ada di cerita. Namun, semua keyakinannya akan diuji saat ia harus
menghadapi serangkaian teror yang tak masuk akal. Ketika malam semakin larut
dan pasar mulai sepi, batas antara dunia nyata dan dunia gaib menjadi kabur,
menyeret Pak Tono ke dalam perjumpaan yang akan mengubah hidupnya, dan mungkin,
nyawanya.
Malam
itu, Pak Tono melakukan patroli rutin. Pukul sebelas malam, jam-jam di
mana pasar malam mulai meredup. Sebagian besar pedagang sudah menutup lapak,
meninggalkan tenda-tenda kosong dan kursi-kursi terbalik. Hanya tersisa
beberapa lapak makanan yang masih melayani pengunjung yang pulang larut, dan
suara mereka yang sesekali terdengar. Udara malam mulai dingin dan mencekam,
dan di kejauhan, alunan musik dangdut dari panggung utama sudah berhenti,
menyisakan keheningan yang menyesakkan.
Saat
Pak Tono berjalan perlahan menuju ujung lapangan, senter di tangannya bergerak-gerak,
menerangi jalan setapak. Ia melewati pohon rambutan tua yang sangat
besar dan rindang, berdiri kokoh di pinggir lapangan. Cabang-abangnya yang
menjuntai tampak seperti tangan-tangan yang siap menggapai dalam kegelapan. Di
bawah pohon itulah, ia sering mendengar bisik-bisik cerita horor dari para
pedagang. "Pohon itu angker Pak. Ada penunggunya," kata mereka. Pak
Tono, yang sudah puluhan tahun menjaga pasar malam, selalu mengabaikannya.
Namun,
malam itu, ia melihat sesuatu yang berbeda. Pandangannya tertuju pada salah
satu cabang pohon yang rendah. Di sana, terlihat sosok wanita berbaju
putih yang duduk membelakanginya. Rambutnya yang panjang terurai hingga
menyentuh dahan. Jantung Pak Tono berdebar kencang, namun ia mencoba meyakinkan
dirinya bahwa itu hanyalah boneka yang ditinggalkan, atau mungkin seseorang
yang sedang iseng.
"Maaf
Mbak. Pasar malamnya sudah mau tutup," tegur Pak Tono dengan suara ragu.
Ia berharap sosok itu akan menoleh dan menjawab.
Sosok
itu tidak bergerak. Hanya keheningan yang menjawab. Pak Tono kembali mendekat,
mencoba melihat lebih jelas. Rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya. Saat
ia sampai tepat di bawah pohon, ia mendongak.
Dan
saat itulah, sosok itu perlahan menoleh ke arahnya, kepalanya berputar
180 derajat dengan gerakan yang patah-patah dan lambat. Matanya merah menyala,
memancarkan cahaya mengerikan di kegelapan. Wajahnya pucat pasi, dan di
bibirnya tersungging senyum mengerikan yang tak wajar. Pak Tono
terbelalak, napasnya tercekat di tenggorokan. Ia segera berbalik dan lari
sekuat tenaga, tidak peduli dengan langkah kakinya yang berat. Ia terus
berlari, mendengar suara tawa melengking yang mengiringi langkahnya,
menusuk gendang telinga.
Setelah
kejadian mengerikan di pohon rambutan, Pak Tono tidak bisa tidur
nyenyak. Bayangan wajah pucat dengan mata merah menyala terus menghantuinya.
Malam berikutnya, ia tetap menjalankan tugasnya, namun kini dengan perasaan
takut yang mencengkeram. Setiap langkahnya terasa berat, dan setiap bayangan
membuatnya terkejut. Ia memutuskan untuk menghindari area pohon rambutan,
memilih untuk tetap berada di tengah keramaian sisa-sisa pasar malam yang masih
menyisakan beberapa pedagang. Ia berharap keramaian bisa mengusir teror yang ia
rasakan.
Namun,
teror itu tak berhenti di sana. Saat ia sedang duduk di pos jaga kecilnya
yang terbuat dari kayu, ia mencium aroma melati yang sangat kuat,
padahal tidak ada bunga melati di sekitarnya, apalagi di dalam pos jaga yang
pengap itu. Aroma itu membuat kepalanya pusing, seolah mencekik dan menyesakkan
napas. Ia mencoba mengipasi wajahnya dengan topi lusuhnya, namun aroma itu
tetap melekat kuat.
Tiba-tiba,
ia mendengar suara seperti seseorang menggaruk dinding kayu pos jaga
dari luar. Suara itu pelan, namun berirama dan terdengar sangat jelas di
keheningan malam. Gret... gret... gret...
Jantung
Pak Tono berdebar kencang. Ia segera meraih senter di sampingnya. "Siapa
di sana?" teriak Pak Tono, suaranya bergetar hebat.
Tak
ada jawaban. Namun, suara garukan itu berhenti. Pak Tono menunggu beberapa
saat, namun tak ada lagi suara yang terdengar. Ia memberanikan diri mengintip
dari celah kecil jendela pos jaga, namun ia tidak melihat siapa pun. Hanya ada
kegelapan dan tiupan angin malam yang dingin. Namun, saat ia menoleh ke jendela
kaca di sampingnya, ia melihat sebuah jejak tangan yang samar, kecil,
dan kurus, seperti jejak tangan seorang wanita, seolah ada yang mencoba
meraihnya dari luar. Jejak itu perlahan memudar, hilang.
Pak
Tono kembali duduk, keringat dingin membasahi pelipis dan keningnya. Ia
mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Ia yakin, kuntilanak itu
sedang menggodanya, menunjukkan kehadirannya, dan seolah ingin bermain-main
dengannya, mempermainkan kewarasannya. Ia kini tak punya keraguan lagi, teror
yang ia alami ini nyata adanya.
Teror
yang dialami Pak Tono ternyata tidak hanya terbatas di pasar malam.
Setelah dua malam yang mencekam, ia memutuskan untuk pulang lebih awal dari
biasanya karena merasa tidak enak badan dan takut. Ia berharap bisa menemukan
ketenangan di rumahnya yang hangat dan akrab. Namun, saat ia membuka pintu
rumah, ia mencium aroma melati yang sama persis dengan yang ia cium di
pos jaga. Aroma itu pekat, manis, namun sangat menyesakkan. Bulu kuduknya
meremang.
"Masa
iya... sampai sini juga?" gumam Pak Tono, jantungnya berdegup tak karuan.
Dengan
perasaan tak tenang, ia segera membersihkan diri di kamar mandi. Saat ia sedang
membasuh wajah, telinganya menangkap sebuah suara aneh dari halaman belakang.
Itu adalah suara ayunan yang berderit pelan, crek... crek... crek...
padahal tidak ada angin sama sekali malam itu. Suara itu berasal dari ayunan
kayu yang ia buat sendiri untuk cucunya. Awalnya suara itu pelan dan berirama,
namun tiba-tiba menjadi semakin cepat dan keras, seolah ada yang sedang
mengayun dengan kencang, penuh semangat. crek... crek... crek...
Jantung
Pak Tono berdebar kencang, ia segera mengeringkan badannya dan bergegas keluar.
Namun, saat ia tiba di halaman belakang, ayunan itu sudah berhenti. Tidak ada
siapa pun. Namun, diayunan itu, ia melihat rambut panjang berwarna hitam
yang tersangkut di salah satu rantainya. Rambut itu masih basah dan
mengeluarkan aroma melati yang sangat kuat.
Pak
Tono berdiri mematung, menatap rambut itu dengan ngeri. Ia tahu, kuntilanak
itu tidak hanya mengganggu di tempat kerjanya, tapi juga mengikutinya sampai ke
rumah, ke tempat di mana ia seharusnya merasa aman. Teror itu kini tidak lagi
terbatas di pasar malam, melainkan sudah masuk ke dalam kehidupannya. Ia merasa
terancam, dan mulai berpikir bahwa ia harus melakukan sesuatu, sebelum teror
ini menghancurkan kewarasannya dan membahayakan keluarganya. Ia tahu, ia harus
menghadapi ketakutan ini, apa pun risikonya.
Dengan
perasaan putus asa, Pak Tono akhirnya menyerah. Teror yang dialaminya
sudah melampaui batas toleransinya. Rambut yang ditemukan di ayunan cucunya
adalah puncaknya. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam tentang pohon
rambutan tua yang menjadi sumber masalah. Pikirannya dipenuhi oleh
pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab: Mengapa hantu itu mengganggunya? Apa
yang dia inginkan?
Ia
kembali ke warung kopi Pak Harun, pedagang yang juga dikenal sebagai
sesepuh di lingkungan itu. Ia menceritakan semua yang ia alami, mulai dari
penampakan di pohon, suara garukan di pos jaga, hingga rambut di ayunan cucunya.
Suaranya parau, dipenuhi ketakutan.
"Pak
Harun, saya sudah tidak kuat," kata Pak Tono, menunduk. "Saya
diteror. Hantu di pohon rambutan itu mengikuti saya sampai ke rumah."
Pak
Harun menatapnya dengan tatapan prihatin. Ia menghela napas panjang, seolah ia
sudah menduga hal ini akan terjadi. "Sudah saya duga, Tono. Pohon itu
memang bukan tempat biasa," jawabnya, suaranya tenang namun penuh makna.
"Pohon itu sudah ada sejak saya kecil. Dan ceritanya sudah ada sejak
dulu."
Pak
Harun kemudian menceritakan kisah kelam di balik pohon rambutan itu,
sebuah kisah yang tak banyak orang tahu. "Puluhan tahun yang lalu, di
kampung ini, ada seorang gadis muda yang hamil di luar nikah. Dia sangat
malu dan putus asa. Keluarganya mengusirnya. Dalam keputusasaan yang tak tertahankan,
dia memutuskan untuk menggantung diri di pohon rambutan itu," kata
Pak Harun, matanya menerawang.
"Tapi...
itu bukan akhir dari ceritanya," lanjut Pak Harun, menatap Pak Tono dengan
serius. "Beberapa hari kemudian, saat warga hendak mengurus jasadnya,
jasad gadis itu tiba-tiba hilang. Sejak saat itu, jasadnya tidak pernah
ditemukan. Kisah itu menjadi misteri yang tak terpecahkan. Dan sejak saat itu
pula, warga percaya bahwa arwahnya gentayangan, menjadi kuntilanak penunggu
pohon itu."
"Jadi
dia bukan hantu biasa Tono," jelas Pak Harun, "Dia mencari sesuatu
yang hilang. Sesuatu yang ia bawa saat ia menggantung diri. Barang apa yang dia
bawa? Gelang? Cincin? Kita harus mencari tahu."
Pak
Tono terdiam, seluruh tubuhnya merinding. Semua kejadian aneh itu kini masuk
akal. Ia ingat, ia pernah melihat sosok tangan yang kurus di jendela pos
jaga. Dan gelang manik-manik yang ia lihat di tangan itu, ia sangat yakin. Itu
bukan hanya gelang, melainkan sebuah petunjuk. Sebuah petunjuk tentang apa yang
hilang, dan apa yang harus ia lakukan untuk mengakhiri teror ini.
Dengan
petunjuk dari Pak Harun, Pak Tono tak lagi punya keraguan. Ia
tahu apa yang harus ia lakukan. Malam itu, dengan perasaan takut namun juga
tekad yang kuat, ia kembali ke pohon rambutan itu. Kali ini, ia tidak
sendirian. Ia didampingi oleh Pak Harun dan beberapa warga yang berani dan
membawa obor serta peralatan seadanya.
Di
bawah pohon, dengan cahaya obor yang menari-nari, pohon rambutan itu tampak
lebih angker dan menyeramkan. Cabang-cabangnya yang menjuntai seolah-olah
mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Dengan napas yang tertahan, Pak Tono
menatap kegelapan di balik ranting-ranting.
"Mbak...
saya Tono. Penjaga pasar malam. Kami tidak bermaksud mengganggu," bisiknya,
suaranya parau. "Saya tahu kamu mencari sesuatu. Tolong tunjukkan pada
kami."
Tiba-tiba,
angin berembus kencang menerbangkan dedaunan, dan aroma melati
kembali menyeruak, lebih pekat dari sebelumnya. Dari kegelapan di dahan pohon,
mereka melihat sepasang mata merah menyala, menatap lurus ke arah
mereka. Wajah-wajah para warga memucat ketakutan, namun Pak Harun tetap tenang.
"Kami
datang untuk membantumu," kata Pak Harun dengan suara mantap, menenangkan
para warga. "Tunjukkan pada kami, apa yang kamu cari?"
Seolah
mengerti, sosok kuntilanak itu perlahan menunjuk ke sebuah akar pohon
yang menjalar ke dalam tanah, di dekat pohon itu. Tanpa menunggu lama, para
warga mulai menggali tanah di sekitar akar itu dengan cangkul. Setelah beberapa
menit, mereka menemukan sebuah kotak kecil yang sudah lapuk dan
tertimbun tanah. Di dalamnya, tergeletak sebuah gelang manik-manik yang
sudah usang. Itu adalah gelang yang sama yang dilihat Pak Tono di jendela pos
jaga.
Pak
Tono mengambil gelang itu, membersihkannya dari tanah yang menempel, dan
meletakkannya dengan hati-hati di bawah pohon. "Kami akan mengembalikan
ini. Semoga kamu tenang Mbak," bisik Pak Tono, menatap ke atas pohon.
Sosok
kuntilanak itu perlahan memudar, bersama dengan tawa melengking yang
kini terdengar seperti isakan kelegaan yang pilu, isakan dari sebuah
jiwa yang akhirnya menemukan kedamaian. Sejak saat itu, pasar malam kembali
tenang. Tidak ada lagi penampakan, tidak ada lagi aroma melati, dan tidak ada
lagi teror yang mengganggu. Pak Tono melanjutkan tugasnya, namun kini ia selalu
menyempatkan diri untuk menabur bunga di bawah pohon rambutan itu, sebagai
tanda penghormatan.
Kisah
tentang penunggu pohon rambutan itu kini menjadi bagian tak terpisahkan
dari sejarah pasar malam. Setiap kali ada pedagang baru atau loper koran yang
lewat, mereka akan menunjuk ke arah pohon itu dan berbisik-bisik, mengenang
kisah horor yang berakhir damai berkat keberanian seorang penjaga pasar malam.
Pak Tono masih menjadi penjaga pasar malam yang setia. Namun, ia kini
menjadi figur yang lebih bijaksana, yang disegani oleh semua orang, bukan hanya
karena jabatannya, melainkan karena keberaniannya menghadapi hal yang tak kasat
mata. Suatu sore, saat ia sedang duduk di pos jaganya, seorang pedagang muda
datang menghampirinya.
"Pak
Tono, boleh saya duduk sebentar? Saya mau tanya soal pohon itu," ujar
pedagang muda itu, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.
Pak
Tono tersenyum. Ia tahu, kisah itu akan selalu menarik untuk diceritakan.
"Duduklah Nak. Ada apa?"
Pedagang
muda itu menceritakan semua bisik-bisik yang ia dengar tentang pohon rambutan
dan kuntilanak penunggunya. Pak Tono pun menceritakan kisahnya dari awal hingga
akhir, bagaimana ia diteror dan bagaimana ia akhirnya membantu jiwa yang
terperangkap itu.
"Jadi,
dia bukan hantu jahat Pak?" tanya pedagang muda itu, matanya membulat.
"Tidak
Nak. Dia bukan hantu jahat," jawab Pak Tono, menatap ke arah pohon
rambutan. "Dia hanya jiwa yang kesepian dan putus asa. Dia hanya
butuh seseorang untuk membantunya menemukan apa yang hilang."
Pak
Tono telah belajar, bahwa kadang, sebuah teror bukanlah wujud dari kejahatan,
melainkan wujud dari sebuah permintaan tolong yang putus asa. Ia pun
selalu menyempatkan diri untuk menabur bunga di bawah pohon rambutan, sebagai tanda
penghormatan terakhirnya, dan sebagai pengingat abadi bahwa di balik gemerlap
dunia, ada kisah-kisah yang menunggu untuk diselesaikan.
-- TAMAT --
Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar