#66 CERITA HOROR POM BENSIN


 

POM BENSIN.

Udara malam yang lembap menggigit kulit Rian saat ia berdiri di depan pom bensin tua itu, tangan terkubur dalam saku jaketnya. Lampu neon yang sudah separuh mati berkedip-kedip, menciptakan bayangan aneh di aspal retak. Pom bensin ini seperti terasing dari dunia—terletak di ujung jalan sepi, dikelilingi pepohonan yang bergoyang pelan dalam angin malam.

"Shift pertama ya?"

Suara kasar Pak Darjo membuat Rian menoleh. Sang bos berdiri di pintu ruang tunggu, wajahnya terkoyak garis-garis usia dan mata yang selalu waspada.

"Iya Pak. Jam berapa biasanya ramai?" tanya Rian sambil menggeser pandangan ke jalan kosong.

Darjo mengeluarkan sebatang rokok dari saku bajunya, menyalakannya dengan gerakan lambat. Asap mengepul dari mulutnya ketika ia menjawab, "Tidak pernah ramai setelah tengah malam. Tapi kau harus tetap waspada."

Rian mengangguk, tapi perhatiannya teralihkan oleh suara jangkrik yang tiba-tiba berhenti. Suasana menjadi sunyi—terlalu sunyi.

Sebelum masuk ke dalam mobil tua yang akan membawanya pulang, Darjo menatap Rian dengan serius. "Dengar, ada beberapa aturan di sini. Pertama, jangan terima uang dari pelanggan yang wajahnya kau tidak lihat."

Rian tersenyum kecut. "Apa maksudnya Pak?"

"Dan jika ada yang mengisi bensin tapi mobilnya tidak terlihat… lari," Darjo melanjutkan, seolah tidak mendengar pertanyaannya.

Rian tertawa pendek. "Bercanda ya?"

Tapi Darjo tidak tersenyum. Ia hanya menghela napas, lalu masuk ke mobilnya tanpa sepatah kata lagi.

 

Malam berjalan lambat. Rian menghabiskan waktu dengan memainkan ponselnya, sesekali melirik ke luar setiap kali angin berdesir terlalu keras. Pukul 1 pagi, seorang pengendara motor berhenti untuk mengisi bensin. Orang itu ramah, mengobrol sebentar sebelum pergi.

"Mungkin Pak Darjo hanya suka menakut-nakuti," pikir Rian.

Tapi segalanya berubah pada pukul 2:37 pagi.

Suara mesin—atau lebih tepatnya, tidak adanya suara mesin—membuat Rian mengangkat kepalanya. Sebuah mobil tua berwarna hitam, model klasik yang seharusnya mengeluarkan suara menggeram, justru bergerak dalam keheningan total. Ban-bananya seperti tidak menyentuh aspal, seolah mobil itu melayang masuk ke area pom bensin.

Rian berdiri tegak, jantungnya berdetak sedikit lebih kencang. Mobil itu berhenti tepat di depan pompa, mesin mati tanpa suara.

Kaca depannya terlalu gelap, seperti dilapisi kabut hitam. Rian tidak bisa melihat siapa—atau apa—yang ada di dalamnya.

Dari dalam mobil, suara perempuan berbisik pelan, "Isi penuh…"

Suara itu seperti berasal dari dalam air—terdistorsi, hampir tidak manusiawi.

Rian menelan ludah. "Se-Selamat malam. Bensinnya mau dibayar tunai atau kartu?"

Tidak ada jawaban.

Dengan tangan yang mulai gemetar, Rian mengambil selang bensin dan mendekati mobil. Saat ia bersiap memasukkan nozle ke tangki, sesuatu membuatnya membeku.

Dari celah kaca jendela yang sedikit terbuka, sesuatu yang panjang dan pucat merayap keluar—jari-jari.

Tapi itu bukan jari normal.

Jari-jari itu terlalu kurus, tulang-tulangnya terlihat jelas di bawah kulit pucat seperti lilin. Kukunya hitam, panjang, dan pecah-pecah, seperti sudah lama terkubur.

Rian menarik napas pendek. Perlahan, ia mengangkat pandangannya, mencoba melihat ke dalam mobil melalui kaca yang gelap.

Dan di balik kegelapan itu, sesuatu bergerak.

Sepasang mata merah menyala, lebar dan tidak berkedip, menatapnya dari dalam. Mulut yang terlalu lebar meregang dalam senyuman—giginya runcing, seperti patahan kaca.

"Terima kasih…" bisik suara itu lagi, kali ini lebih dekat, seolah berasal tepat di sebelah telinganya.

Rian tersentak mundur, hampir menjatuhkan selang bensin. Ketika ia berkedip, mobil itu sudah pergi—tanpa suara, tanpa jejak.

Tapi di aspal, bekas ban basah seperti licin… bukan oleh air, tapi oleh sesuatu yang hitam dan berminyak.

Dan dari dalam pompa bensin, suara ketukan pelan terdengar.

Tok. Tok. Tok.

Seperti sesuatu di dalam tangki… sedang memanggilnya.

Tiga hari telah berlalu sejak kejadian mobil hitam itu, tetapi bayangannya masih membekas di pikiran Rian. Setiap kali ia menutup mata, ia kembali melihat jari-jari pucat merayap keluar dari jendela dan pasang mata merah yang menyipit menatapnya dari balik kegelapan.

"Itu pasti hanya halusinasi," bisiknya pada dirinya sendiri sambil menatap cangkir kopi yang sudah dingin di mejanya. "Kurang tidur. Atau mungkin efek lampu neon yang mulai rusak."

Namun, di sudut hatinya yang paling gelap, ia tahu itu nyata.

Malam itu, langit dipenuhi awan tebal, menghalangi cahaya bulan. Suara jangkrik dan kodok yang biasanya menjadi latar sunyi malam itu menghilang, seolah alam sendiri menahan napas. Rian duduk di kursi plastik di dalam ruang tunggu, matanya tertuju pada monitor CCTV yang menampilkan sudut-sudut kosong pom bensin.

Klik.

Suara kecil dari speaker membuatnya menegakkan badan. Ada yang bergerak di kamera sudut pompa nomor dua.

Seorang pengendara motor perlahan memasuki area pom bensin. Sepeda motornya berwarna hitam kusam, mesinnya mendengkur pelan seperti suara orang yang tersedak. Pengendara itu memakai jaket kulit hitam dan helm penutup penuh dengan kaca gelap—tidak ada satu inci pun kulit yang terlihat.

Rian menghela napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah keluar. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk tulang.

"Selamat malam," sambutnya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. "Mau isi berapa liter?"

Pengendara itu diam. Tidak ada gerakan, tidak ada jawaban.

Rian mengerutkan kening. "Bapak baik-baik saja?"

Masih tidak ada respon. Pengendara itu hanya duduk tegak, tangan menggenggam stang motor dengan kaku.

Dengan hati-hati, Rian mendekat dan mengulurkan tangannya ke arah keran bensin. "Kalau tidak ditentukan, saya isi penuh saja ya?"

Ketika tidak ada reaksi, rasa tidak nyaman mulai merayap di punggungnya. Ia mengetuk helm pengendara itu dengan dua jarinya. "Permisi Bapak—"

Klak.

Helm itu terlepas dari jaket dan jatuh ke belakang, mendarat di aspal dengan suara berdebam.

Rian membeku.

Helm itu... kosong.

Tidak ada kepala. Tidak ada wajah. Jaket kulit itu berdiri tegak sendiri, lengan kaku menggenggam stang motor—tetapi di dalamnya tidak ada tubuh.

Darah Rian berubah menjadi es.

Sebelum ia bisa berteriak atau lari, suara lain menarik perhatiannya—suara dari bawah tanah.

Srekk...

Suara logam berderit, seperti sesuatu yang besar bergeser di dalam tangki bensin. Lalu disusul oleh... tusukan. Seperti cakar logam menggaruk dinding besi dari dalam.

Srak.. srak.. srak…

Rian perlahan menoleh ke arah tutup tangki bensin di tanah, matanya membelalak ketika melihat sesuatu yang membuat jantungnya hampir berhenti:

Tutup tangki itu sedikit terbuka.

Dan dari celah sempit itu, keluar asap hitam pekat yang bergerak sendiri, membentuk seperti... tangan.

Pengendara motor tanpa tubuh tiba-tiba menggerakkan tangannya, memutar gas dengan kasar. Mesin motor meraung sebelum melesat pergi dengan kecepatan tinggi—tanpa pengendara.

Sementara itu, dari dalam tangki, suara berbisik mulai terdengar:

"Rian... aku lapar..."

Dan untuk pertama kalinya sejak mulai bekerja di sini, Rian lari.

Matahari pagi menyinari jalan berdebu menuju rumah Anton, tetapi sinarnya tidak mampu menghangatkan dingin yang merasuk ke tulang Rian. Setelah kejadian malam sebelumnya, ia tidak bisa lagi menyangkal bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan pom bensin itu. Alamat Anton ia dapatkan dari catatan gaji tua yang terselip di laci meja kantor—selembar kertas kuning dengan tulisan "Jika ada masalah, cari Anton" di bagian belakang.

Rumah Anton ternyata sebuah gubuk kecil di ukar jalan, dikelilingi pagar kayu yang hampir rubuh. Catnya mengelupas, dan beberapa jendelanya ditutup dengan kardus. Sebuah sepeda motor berkarat terparkir di samping, seolah sudah lama tidak digunakan.

Rian mengetuk pintu tiga kali sebelum terdengar suara serak dari dalam.

"Siapa?"

"Anton? Saya Rian... penggantimu di pom bensin."

Suara hening selama beberapa detik yang terasa seperti abadi. Kemudian, kunci berderak dan pintu terbuka perlahan.

Anton bukan lagi pria yang digambarkan dalam foto ID karyawan yang Rian temukan. Wajahnya yang dulu tegap sekarang menyembul seperti tengkorak berbalut kulit, matanya cekung dan terus bergerak cepat, memindai setiap sudut ruangan. Tangannya yang kurus mencengkeram pintu dengan kuku-kuku kotor yang panjang.

"Kau... kau masih bekerja di sana?" bisik Anton, suaranya parau seperti orang yang tidak berbicara selama berbulan-bulan.

Rian mengangguk. "Saya perlu bertanya—"

"Masuk!" Anton menyergap lengan Rian dan menariknya ke dalam dengan kekuatan yang mengejutkan untuk tubuhnya yang kurus. Pintu langsung ditutup dan dikunci dengan tiga kunci berbeda.

Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lilin-lilin yang sudah hampir habis. Bau obat dan sesuatu yang busuk menggantung di udara. Dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh dengan kapur—simbol-simbol yang mirip dengan yang pernah Rian lihat di dinding belakang pom bensin.

Anton mendorong Rian ke sebuah kursi kayu. "Kau sudah berapa lama di sana?"

"Dua minggu."

Mata Anton membelalak. "Dan kau masih utuh? Tidak mungkin... biasanya Dia sudah mengambil yang baru dalam seminggu."

"Siapa 'Dia'?" tanya Rian, jantungnya berdetak kencang.

Anton tiba-tiba membuka bajunya dengan gerakan panik. Di perutnya yang kurus, terpapar empat bekas luka paralel yang membentuk simbol aneh—seperti huruf "E" terbalik dengan garis melengkung di bagian bawah. Luka itu tampak dalam dan sudah lama, tetapi masih berwarna merah keunguan, seolah tidak pernah benar-benar sembuh.

"Dia yang tinggal di tangki," Anton menjawab sambil menunjuk simbol itu. "Sudah ada di sana sejak pom bensin itu dibangun di atas... tempatnya."

"Tempat apa?"

Anton tiba-tiba mendekatkan wajahnya, bau napasnya seperti daging busuk. "Tanah pemakaman tua. Tapi bukan untuk manusia."

Angin tiba-tiba berhembus keras di luar, membuat jendela bergetar. Anton langsung menoleh ke arah suara itu, tubuhnya gemetar.

"Dia lapar," lanjut Anton dengan suara hampir tak terdengar. "Dan butuh pengganti. Setiap beberapa tahun, Dia mengambil penjaga baru... untuk membebaskan yang lama."

"Tapi kau berhasil kabur?"

Anton mengeluarkan suara yang mungkin adalah tawa pahit. "Aku tidak kabur. Aku... diganti." Tangannya secara tidak sadar mengusap bekas lukanya. "Dia memberiku tanda ini. Suatu saat nanti, ketika sudah menemukan pengganti yang cocok..."

Suara telepon Rian tiba-tiba berdering, membuat mereka berdua terkejut. Panggilan dari pom bensin.

"Jangan diangkat!" Anton berseru, tetapi terlambat.

"Halo?"

Di seberang garis, hanya ada suara desisan statik... lalu sebuah bisikan:

"Rian... kapan kamu kembali? Aku menunggumu..."

Suara itu bukan dari manusia. Itu suara banyak orang—pria, wanita, anak-anak—berbicara bersamaan dalam satu nada yang tidak wajar.

Anton merampas telepon dan melemparkannya ke dinding. "Sudah mulai! Dia sudah memilihmu!"

"Tapi aku tidak—"

"Pergi sekarang!" Anton mendorong Rian ke pintu. "Jangan kembali ke sana! Lari sejauh mungkin!"

Saat Rian terhuyung-huyung keluar, ia mendengar Anton berteriak satu kalimat terakhir sebelum pintu tertutup:

"Kalau kau mendengar suaramu dipanggil dari dalam tangki, itu sudah terlambat!"

 

Malam itu, meski semua nalar dan ketakutannya melarang, Rian kembali bekerja. Ia perlu uang, dan lebih penting lagi—ia perlu bukti bahwa Anton hanya gila.

Pom bensin tampak normal saat ia tiba. Lampu neon masih berkedip-kedip, mesin pendingin berdengung pelan. Rian mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Hingga pukul 3 pagi.

Tok. Tok. Tok.

Suara itu datang dari pompa nomor tiga—persis di atas tangki bawah tanah.

Rian membeku.

Tok. Tok. Tok.

Lebih keras kali ini. Diikuti oleh suara yang membuat darahnya membeku:

"Rian... aku bisa mencium bau ketakutanmu..."

Suara itu datang dari dalam pompa bensin.

Dan yang paling mengerikan—itu suaranya sendiri.

Ruang penyimpanan di belakang pom bensin itu lebih mirip kuburan dokumen. Tumpukan kertas berdebu, kotak-kotak kardus yang lapuk, dan bau apek yang menusuk hidung. Rian menyapu keringat di dahinya dengan punggung tangan yang masih gemetar setelah kejadian di pompa nomor tiga.

"Aku harus menemukan jawaban," gumamnya sambil membongkar tumpukan dokumen tua.

Dibutuhkan hampir dua jam sebelum ia menemukannya—sebuah buku catatan kecil berwarna cokelat yang nyaris hancur, terselip di antara laporan keuangan tahun 1990-an. Sampulnya terasa licin dan dingin saat disentuh, seolah basah oleh sesuatu yang bukan air.

Halaman pertama berisi daftar nama:

**- Budi Santoso (1998) - HILANG

·         Agus Wijaya (2001) - DIBAWAH PERAWATAN PSIKIATRIK

·         Hendra Gunawan (2004) - MENINGGAL (KECELAKAAN?)

·         Anton Priyanto (2020) - SAKIT (CATATAN: TANDA DITERIMA)**

Rian menelan ludah. Anton bukan yang pertama. Dan jika polanya benar, sudah waktunya untuk korban berikutnya.

Jarinya yang gemetar membalik halaman berikutnya, menemukan coretan tangan yang hampir tidak terbaca:

*"Jika kau mendengar suara dari tangki, jangan dibuka. Tapi jika kau melihat bayangan di belakangmu saat sendirian… sudah terlambat.

Dia membutuhkan tubuh baru setiap 3-5 tahun. Dia akan memanggilmu dengan suaramu sendiri.

Jangan lihat ke belakang.

Jangan biarkan Dia menyentuhmu.

Tanda sudah diberikan."*

Rian menjatuhkan buku itu seolah terbakar. Tanpa disadari, tangannya meraba perut bagian kanan bawah—tempat sejak tiga hari lalu muncul rasa gatal yang tak kunjung hilang. Dengan gerakan panik, ia mengangkat baju dan...

"Tidak..."

Empat garis merah sejajar, persis seperti luka Anton, meski masih berupa goresan permukaan. Simbol itu terasa panas saat disentuh.

Bezzzt!

Lampu tiba-tiba padam, membanjiri ruangan dalam kegelapan total. Hanya suara napas Rian yang berat yang memecah kesunyian.

"Tidak, tidak, tidak..."

Dengan tangan meraba-raba, ia mencoba menemukan pintu. Saat jarinya menyentuh kusen kayu, suara mengerikan menggema di lorong sempit:

Srekk...

Suara logam bergesekan dari arah tangki bensin.

Rian membeku. Darahnya berubah menjadi es ketika suara lain bergabung—suara langkah kaki basah yang menyeret di lantai beton.

Tap.. tap.. tap…

Perlahan, sangat perlahan, Rian menoleh ke arah lorong.

Di ujung kegelapan, sebuah bayangan berdiri.

Tinggi—terlalu tinggi—hampir menyentuh langit-langit setinggi dua setengah meter. Tubuhnya kurus tak wajar, seperti mayat yang kelaparan selama puluhan tahun. Kepalanya miring di sudut yang mustahil, seolah lehernya patah.

"Rian..."

Suaranya seperti gemericik bensin yang dituang, dicampur dengan rintihan puluhan suara yang terdistorsi.

Rian tidak bisa bergerak. Tidak bisa bernapas. Kaki terasa tertanam di lantai.

Bayangan itu melangkah maju, dan untuk pertama kalinya, cahaya remang dari jendela menyinari wajahnya—

—itu bukan wajah.

Itu adalah kekosongan yang berdenyut, permukaan hitam mengkilap seperti minyak mentah yang terus berubah bentuk. Kadang menyerupai wajah manusia, kadang seperti sesuatu yang jauh lebih purba.

"Waktunya... tiba..."

Rian akhirnya bisa menggerakkan kakinya. Ia berbalik dan berlari ke arah pintu belakang, tetapi sebuah kekuatan tak terlihat menutupnya tepat di depan hidungnya.

Bang!

Dari segala arah, suara ketukan mulai bergema:

Tok. Tok. TOK.

Berasal dari dinding. Dari lantai. Dari dalam kepalanya sendiri.

Dan yang paling mengerikan—dari tutup tangki bensin di lantai yang mulai bergetar sendiri.

Klik.

Baut-bautnya melepas satu per satu.

Klik. Klik. KLIK.

Tutup besi itu terlempar ke samping, dan dari lubang gelap itu, sesuatu yang hitam dan berminyak merayap keluar. Bukan cairan, tapi juga bukan padat—sesuatu di antara keduanya, membentuk tentakel, tangan, wajah-wajah yang menjerit dalam diam.

"AKU LAPAR!"

Suara itu mengguncang seluruh bangunan. Rian berteriak ketika sesuatu yang dingin dan licin melilit pergelangan kakinya.

Ia jatuh.

Tangannya mencengkram lantai, kuku terkikis saat ia berusaha merangkak menjauh.

"Tolong! Siapa saja! Tol—"

Tentakel hitam itu menariknya dengan brutal. Pipinya tergores beton kasar saat diseret menuju lubang yang semakin dekat. Bau busuk dan kimia menyengat memenuhi hidungnya.

Di detik terakhir sebelum masuk, Rian melihat ke atas—dan menyaksikan bayangan tinggi itu membungkuk di atasnya, "wajah"-nya sekarang jelas menyerupai dirinya sendiri.

"Terima... kasih..."

Dan kemudian kegelapan menyambutnya.

Dingin.

Berminyak.

Penuh dengan jeritan yang tak pernah terdengar.

~ ~ ~

Pagi itu, pom bensin buka seperti biasa.

Tutup tangki tertutup rapat.

Dan di buku catatan tua, sebuah nama baru muncul dengan tulisan tangan yang tidak dikenal:

- Rian Aditya (2023) - PROMOSI

 

Matahari pagi menyinari pompa bensin dengan sinar keemasan yang menipu, seolah tempat ini sama seperti ribuan pom bensin lain di dunia. Burung-burung berkicau riang di pepohonan sekitar, dan angin sepoi-sepoi menggerakkan daun-daun kering di aspal.

Sebuah sepeda motor berhenti di depan kantor kecil. Pengendaranya, seorang pemuda kurus bernama Gilang, menghela napas dalam-dalam sebelum mematikan mesinnya.

"Jadi ini tempat kerjaku sekarang," gumamnya, menatap bangunan tua itu dengan perasaan campur aduk.

Pintu kantor terbuka, dan seorang pria keluar dengan senyum lebar. "Gilang ya? Selamat datang!"

Gilang mengerutkan kening. Ada sesuatu yang aneh dari pria ini—matanya terlalu berbinar, senyumnya terlalu lebar, dan kulitnya... terlihat berminyak di bawah sinar matahari.

"Saya Rian, manajer shift siang," ujar pria itu sambil menjulurkan tangan. Genggamannya dingin dan lembap. "Kau akan ambil shift malam mulai hari ini, benar?"

"Ya Pak," jawab Gilang sambil menarik tangannya perlahan. "Apa ada hal khusus yang perlu saya tahu?"

Rian tertawa—suaranya terlalu nyaring, seperti rekaman yang diputar terlalu cepat. "Ah, hanya beberapa peraturan kecil." Matanya tiba-tiba menjadi serius. "Pertama, jangan terima uang dari pelanggan yang wajahnya kau tidak lihat."

Gilang mengangguk, mulai merasa tidak nyaman.

"Dan," lanjut Rian, mendekatkan wajahnya hingga Gilang bisa mencium bau aneh seperti bensin basi dari napasnya, "jika ada yang mengisi bensin tapi mobilnya tidak terlihat... lari."

Suara ketukan tiba-tiba datang dari bawah tanah, membuat Gilang melompat. "Apa itu?"

Rian tidak menoleh. Hanya senyumnya yang melebar, hampir sampai ke telinga. "Hanya pipa tua. Sudah biasa."

Dia menepuk punggung Gilang. "Ayo, aku perkenalkan dengan tempat kerjamu."

Saat mereka berjalan melewati pompa nomor tiga, Gilang tidak menyadari tutup tangki di tanah yang sedikit bergerak... atau bayangan hitam yang mengintip dari celah sempit itu.

Di dalam kegelapan tangki, sesuatu yang besar bergerak pelan. Suara gemericik cairan kental bergema, diikuti bisikan puluhan suara yang melebur menjadi satu:

"Yang ini... akan bertahan lama..."

Dan ketika tutup tangki menutup dengan sendirinya, terakhir kali Gilang melihat ekspresi Rian—ada sesuatu yang salah dengan giginya. Terlalu runcing. Terlalu banyak.

Tapi saat ia berkedip, itu semua hilang.

"Shift pertamaku pasti akan membosankan," keluh Gilang sambil memasukkan handskeet ke sakunya.

Dari dalam kantor, Rian mengawasinya dengan mata yang tiba-tiba memantulkan cahaya seperti minyak di air—sebelum kembali normal.

"Kamu tidak tahu betapa salahnya kamu," bisiknya, sambil menatap ke arah pompa nomor tiga di mana tetesan cairan hitam perlahan merembes dari sela-sela tutup tangki.

 -- TAMAT -- 

Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG