#66 CERITA HOROR POM BENSIN
POM BENSIN.
Udara malam yang lembap menggigit kulit Rian
saat ia berdiri di depan pom bensin tua itu, tangan terkubur dalam saku
jaketnya. Lampu neon yang sudah separuh mati berkedip-kedip, menciptakan
bayangan aneh di aspal retak. Pom bensin ini seperti terasing dari
dunia—terletak di ujung jalan sepi, dikelilingi pepohonan yang bergoyang pelan
dalam angin malam.
"Shift pertama ya?"
Suara kasar Pak Darjo membuat Rian menoleh.
Sang bos berdiri di pintu ruang tunggu, wajahnya terkoyak garis-garis usia dan
mata yang selalu waspada.
"Iya Pak. Jam berapa biasanya
ramai?" tanya Rian sambil menggeser pandangan ke jalan kosong.
Darjo mengeluarkan sebatang rokok dari saku
bajunya, menyalakannya dengan gerakan lambat. Asap mengepul dari mulutnya ketika
ia menjawab, "Tidak pernah ramai setelah tengah malam. Tapi kau
harus tetap waspada."
Rian mengangguk, tapi perhatiannya teralihkan
oleh suara jangkrik yang tiba-tiba berhenti. Suasana menjadi sunyi—terlalu
sunyi.
Sebelum masuk ke dalam mobil tua yang akan
membawanya pulang, Darjo menatap Rian dengan serius. "Dengar, ada
beberapa aturan di sini. Pertama, jangan terima uang dari pelanggan yang
wajahnya kau tidak lihat."
Rian tersenyum kecut. "Apa maksudnya Pak?"
"Dan jika ada yang mengisi bensin tapi
mobilnya tidak terlihat… lari," Darjo melanjutkan, seolah tidak mendengar pertanyaannya.
Rian tertawa pendek. "Bercanda ya?"
Tapi Darjo tidak tersenyum. Ia hanya menghela
napas, lalu masuk ke mobilnya tanpa sepatah kata lagi.
Malam berjalan lambat. Rian menghabiskan waktu
dengan memainkan ponselnya, sesekali melirik ke luar setiap kali angin berdesir
terlalu keras. Pukul 1 pagi, seorang pengendara motor berhenti untuk mengisi
bensin. Orang itu ramah, mengobrol sebentar sebelum pergi.
"Mungkin Pak Darjo hanya suka
menakut-nakuti," pikir Rian.
Tapi segalanya berubah pada pukul 2:37 pagi.
Suara mesin—atau lebih tepatnya, tidak
adanya suara mesin—membuat Rian mengangkat kepalanya. Sebuah mobil tua
berwarna hitam, model klasik yang seharusnya mengeluarkan suara menggeram,
justru bergerak dalam keheningan total. Ban-bananya seperti tidak menyentuh
aspal, seolah mobil itu melayang masuk ke area pom bensin.
Rian berdiri tegak, jantungnya berdetak
sedikit lebih kencang. Mobil itu berhenti tepat di depan pompa, mesin mati
tanpa suara.
Kaca depannya terlalu gelap, seperti dilapisi
kabut hitam. Rian tidak bisa melihat siapa—atau apa—yang ada di dalamnya.
Dari dalam mobil, suara perempuan berbisik
pelan, "Isi penuh…"
Suara itu seperti berasal dari dalam
air—terdistorsi, hampir tidak manusiawi.
Rian menelan ludah. "Se-Selamat malam.
Bensinnya mau dibayar tunai atau kartu?"
Tidak ada jawaban.
Dengan tangan yang mulai gemetar, Rian
mengambil selang bensin dan mendekati mobil. Saat ia bersiap memasukkan nozle
ke tangki, sesuatu membuatnya membeku.
Dari celah kaca jendela yang sedikit terbuka,
sesuatu yang panjang dan pucat merayap keluar—jari-jari.
Tapi itu bukan jari normal.
Jari-jari itu terlalu kurus, tulang-tulangnya
terlihat jelas di bawah kulit pucat seperti lilin. Kukunya hitam, panjang, dan
pecah-pecah, seperti sudah lama terkubur.
Rian menarik napas pendek. Perlahan, ia
mengangkat pandangannya, mencoba melihat ke dalam mobil melalui kaca yang
gelap.
Dan di balik kegelapan itu, sesuatu bergerak.
Sepasang mata merah menyala, lebar dan tidak
berkedip, menatapnya dari dalam. Mulut yang terlalu lebar meregang dalam
senyuman—giginya runcing, seperti patahan kaca.
"Terima kasih…" bisik suara itu lagi, kali ini lebih
dekat, seolah berasal tepat di sebelah telinganya.
Rian tersentak mundur, hampir menjatuhkan
selang bensin. Ketika ia berkedip, mobil itu sudah pergi—tanpa suara, tanpa
jejak.
Tapi di aspal, bekas ban basah seperti licin…
bukan oleh air, tapi oleh sesuatu yang hitam dan berminyak.
Dan dari dalam pompa bensin, suara ketukan
pelan terdengar.
Tok. Tok. Tok.
Seperti
sesuatu di dalam tangki… sedang memanggilnya.
Tiga hari telah
berlalu sejak kejadian mobil hitam itu, tetapi bayangannya masih membekas di
pikiran Rian. Setiap kali ia menutup mata, ia kembali melihat jari-jari pucat
merayap keluar dari jendela dan pasang mata merah yang menyipit menatapnya dari
balik kegelapan.
"Itu
pasti hanya halusinasi," bisiknya pada dirinya sendiri sambil menatap cangkir kopi
yang sudah dingin di mejanya. "Kurang
tidur. Atau mungkin efek lampu neon yang mulai rusak."
Namun, di
sudut hatinya yang paling gelap, ia tahu itu nyata.
Malam itu,
langit dipenuhi awan tebal, menghalangi cahaya bulan. Suara jangkrik dan kodok
yang biasanya menjadi latar sunyi malam itu menghilang, seolah alam sendiri
menahan napas. Rian duduk di kursi plastik di dalam ruang tunggu, matanya
tertuju pada monitor CCTV yang menampilkan sudut-sudut kosong pom bensin.
Klik.
Suara
kecil dari speaker membuatnya menegakkan badan. Ada yang bergerak di kamera
sudut pompa nomor dua.
Seorang
pengendara motor perlahan memasuki area pom bensin. Sepeda motornya berwarna
hitam kusam, mesinnya mendengkur pelan seperti suara orang yang tersedak.
Pengendara itu memakai jaket kulit hitam dan helm penutup penuh dengan kaca
gelap—tidak ada satu inci pun kulit yang terlihat.
Rian
menghela napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah keluar. Udara malam
terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk tulang.
"Selamat
malam," sambutnya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. "Mau isi
berapa liter?"
Pengendara
itu diam. Tidak ada gerakan, tidak ada jawaban.
Rian
mengerutkan kening. "Bapak baik-baik saja?"
Masih
tidak ada respon. Pengendara itu hanya duduk tegak, tangan menggenggam stang
motor dengan kaku.
Dengan
hati-hati, Rian mendekat dan mengulurkan tangannya ke arah keran bensin.
"Kalau tidak ditentukan, saya isi penuh saja ya?"
Ketika
tidak ada reaksi, rasa tidak nyaman mulai merayap di punggungnya. Ia mengetuk
helm pengendara itu dengan dua jarinya. "Permisi
Bapak—"
Klak.
Helm itu
terlepas dari jaket dan jatuh ke belakang, mendarat di aspal dengan suara
berdebam.
Rian
membeku.
Helm itu... kosong.
Tidak ada
kepala. Tidak ada wajah. Jaket kulit itu berdiri tegak sendiri, lengan kaku
menggenggam stang motor—tetapi di dalamnya tidak ada tubuh.
Darah Rian
berubah menjadi es.
Sebelum ia
bisa berteriak atau lari, suara lain menarik perhatiannya—suara dari bawah
tanah.
Srekk...
Suara logam berderit,
seperti sesuatu yang besar bergeser di dalam tangki bensin. Lalu disusul
oleh... tusukan.
Seperti cakar logam menggaruk dinding besi dari dalam.
Srak..
srak.. srak…
Rian
perlahan menoleh ke arah tutup tangki bensin di tanah, matanya membelalak
ketika melihat sesuatu yang membuat jantungnya hampir berhenti:
Tutup
tangki itu sedikit
terbuka.
Dan dari
celah sempit itu, keluar asap hitam pekat yang bergerak sendiri, membentuk
seperti... tangan.
Pengendara
motor tanpa tubuh tiba-tiba menggerakkan tangannya, memutar gas dengan kasar.
Mesin motor meraung sebelum melesat pergi dengan kecepatan tinggi—tanpa
pengendara.
Sementara
itu, dari dalam tangki, suara berbisik mulai terdengar:
"Rian...
aku lapar..."
Dan
untuk pertama kalinya sejak mulai bekerja di sini, Rian lari.
Matahari pagi menyinari jalan berdebu menuju
rumah Anton, tetapi sinarnya tidak mampu menghangatkan dingin yang merasuk ke
tulang Rian. Setelah kejadian malam sebelumnya, ia tidak bisa lagi menyangkal
bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan pom bensin itu. Alamat Anton ia
dapatkan dari catatan gaji tua yang terselip di laci meja kantor—selembar
kertas kuning dengan tulisan "Jika ada masalah, cari Anton" di bagian
belakang.
Rumah Anton ternyata sebuah gubuk kecil di
ukar jalan, dikelilingi pagar kayu yang hampir rubuh. Catnya mengelupas, dan
beberapa jendelanya ditutup dengan kardus. Sebuah sepeda motor berkarat
terparkir di samping, seolah sudah lama tidak digunakan.
Rian mengetuk pintu tiga kali sebelum
terdengar suara serak dari dalam.
"Siapa?"
"Anton? Saya Rian... penggantimu di pom
bensin."
Suara hening selama beberapa detik yang terasa
seperti abadi. Kemudian, kunci berderak dan pintu terbuka perlahan.
Anton bukan lagi pria yang digambarkan dalam
foto ID karyawan yang Rian temukan. Wajahnya yang dulu tegap sekarang menyembul
seperti tengkorak berbalut kulit, matanya cekung dan terus bergerak cepat,
memindai setiap sudut ruangan. Tangannya yang kurus mencengkeram pintu dengan
kuku-kuku kotor yang panjang.
"Kau... kau masih bekerja di sana?"
bisik Anton, suaranya parau seperti orang yang tidak berbicara selama
berbulan-bulan.
Rian mengangguk. "Saya perlu
bertanya—"
"Masuk!" Anton menyergap lengan Rian
dan menariknya ke dalam dengan kekuatan yang mengejutkan untuk tubuhnya yang
kurus. Pintu langsung ditutup dan dikunci dengan tiga kunci berbeda.
Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh
lilin-lilin yang sudah hampir habis. Bau obat dan sesuatu yang busuk
menggantung di udara. Dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh dengan
kapur—simbol-simbol yang mirip dengan yang pernah Rian lihat di dinding
belakang pom bensin.
Anton mendorong Rian ke sebuah kursi kayu.
"Kau sudah berapa lama di sana?"
"Dua minggu."
Mata Anton membelalak. "Dan kau masih
utuh? Tidak mungkin... biasanya Dia sudah mengambil yang baru dalam
seminggu."
"Siapa 'Dia'?" tanya Rian,
jantungnya berdetak kencang.
Anton tiba-tiba membuka bajunya dengan gerakan
panik. Di perutnya yang kurus, terpapar empat bekas luka paralel yang membentuk
simbol aneh—seperti huruf "E" terbalik dengan garis melengkung di
bagian bawah. Luka itu tampak dalam dan sudah lama, tetapi masih berwarna merah
keunguan, seolah tidak pernah benar-benar sembuh.
"Dia yang tinggal di tangki," Anton
menjawab sambil menunjuk simbol itu. "Sudah ada di sana sejak pom bensin
itu dibangun di atas... tempatnya."
"Tempat apa?"
Anton tiba-tiba mendekatkan wajahnya, bau
napasnya seperti daging busuk. "Tanah pemakaman tua. Tapi bukan untuk
manusia."
Angin tiba-tiba berhembus keras di luar,
membuat jendela bergetar. Anton langsung menoleh ke arah suara itu, tubuhnya
gemetar.
"Dia lapar," lanjut Anton dengan
suara hampir tak terdengar. "Dan butuh pengganti. Setiap beberapa tahun,
Dia mengambil penjaga baru... untuk membebaskan yang lama."
"Tapi kau berhasil kabur?"
Anton mengeluarkan suara yang mungkin adalah
tawa pahit. "Aku tidak kabur. Aku... diganti." Tangannya secara tidak
sadar mengusap bekas lukanya. "Dia memberiku tanda ini. Suatu saat nanti,
ketika sudah menemukan pengganti yang cocok..."
Suara telepon Rian tiba-tiba berdering,
membuat mereka berdua terkejut. Panggilan dari pom bensin.
"Jangan diangkat!" Anton berseru,
tetapi terlambat.
"Halo?"
Di seberang garis, hanya ada suara desisan
statik... lalu sebuah bisikan:
"Rian... kapan kamu kembali? Aku
menunggumu..."
Suara itu bukan dari manusia. Itu suara banyak
orang—pria, wanita, anak-anak—berbicara bersamaan dalam satu nada yang tidak
wajar.
Anton merampas telepon dan melemparkannya ke
dinding. "Sudah mulai! Dia sudah memilihmu!"
"Tapi aku tidak—"
"Pergi sekarang!" Anton mendorong
Rian ke pintu. "Jangan kembali ke sana! Lari sejauh mungkin!"
Saat Rian terhuyung-huyung keluar, ia
mendengar Anton berteriak satu kalimat terakhir sebelum pintu tertutup:
"Kalau kau mendengar suaramu dipanggil
dari dalam tangki, itu sudah terlambat!"
Malam itu, meski semua nalar dan ketakutannya
melarang, Rian kembali bekerja. Ia perlu uang, dan lebih penting lagi—ia perlu
bukti bahwa Anton hanya gila.
Pom bensin tampak normal saat ia tiba. Lampu
neon masih berkedip-kedip, mesin pendingin berdengung pelan. Rian mencoba
meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Hingga pukul 3 pagi.
Tok. Tok. Tok.
Suara itu datang dari pompa nomor tiga—persis
di atas tangki bawah tanah.
Rian membeku.
Tok. Tok. Tok.
Lebih keras kali ini. Diikuti oleh suara yang
membuat darahnya membeku:
"Rian... aku bisa mencium bau
ketakutanmu..."
Suara itu datang dari dalam pompa bensin.
Dan
yang paling mengerikan—itu suaranya sendiri.
Ruang penyimpanan di belakang pom bensin itu
lebih mirip kuburan dokumen. Tumpukan kertas berdebu, kotak-kotak kardus yang
lapuk, dan bau apek yang menusuk hidung. Rian menyapu keringat di dahinya
dengan punggung tangan yang masih gemetar setelah kejadian di pompa nomor tiga.
"Aku harus menemukan jawaban," gumamnya sambil membongkar tumpukan
dokumen tua.
Dibutuhkan hampir dua jam sebelum ia
menemukannya—sebuah buku catatan kecil berwarna cokelat yang nyaris hancur,
terselip di antara laporan keuangan tahun 1990-an. Sampulnya terasa licin dan
dingin saat disentuh, seolah basah oleh sesuatu yang bukan air.
Halaman pertama berisi daftar nama:
**- Budi Santoso (1998) - HILANG
·
Agus Wijaya (2001) -
DIBAWAH PERAWATAN PSIKIATRIK
·
Hendra Gunawan (2004)
- MENINGGAL (KECELAKAAN?)
·
Anton Priyanto (2020)
- SAKIT (CATATAN: TANDA DITERIMA)**
Rian menelan ludah. Anton bukan yang pertama.
Dan jika polanya benar, sudah waktunya untuk korban berikutnya.
Jarinya yang gemetar membalik halaman
berikutnya, menemukan coretan tangan yang hampir tidak terbaca:
*"Jika kau mendengar suara dari tangki,
jangan dibuka. Tapi jika kau melihat bayangan di belakangmu saat sendirian…
sudah terlambat.
Dia membutuhkan tubuh baru setiap 3-5 tahun.
Dia akan memanggilmu dengan suaramu sendiri.
Jangan lihat ke belakang.
Jangan biarkan Dia menyentuhmu.
Tanda sudah diberikan."*
Rian menjatuhkan buku itu seolah terbakar.
Tanpa disadari, tangannya meraba perut bagian kanan bawah—tempat sejak tiga
hari lalu muncul rasa gatal yang tak kunjung hilang. Dengan gerakan panik, ia
mengangkat baju dan...
"Tidak..."
Empat garis merah sejajar, persis seperti luka
Anton, meski masih berupa goresan permukaan. Simbol itu terasa panas saat
disentuh.
Bezzzt!
Lampu tiba-tiba padam, membanjiri ruangan
dalam kegelapan total. Hanya suara napas Rian yang berat yang memecah
kesunyian.
"Tidak, tidak, tidak..."
Dengan tangan meraba-raba, ia mencoba
menemukan pintu. Saat jarinya menyentuh kusen kayu, suara mengerikan menggema
di lorong sempit:
Srekk...
Suara logam bergesekan dari arah tangki
bensin.
Rian membeku. Darahnya berubah menjadi es
ketika suara lain bergabung—suara langkah kaki basah yang menyeret di lantai
beton.
Tap.. tap.. tap…
Perlahan, sangat perlahan, Rian menoleh ke
arah lorong.
Di ujung kegelapan, sebuah bayangan berdiri.
Tinggi—terlalu tinggi—hampir menyentuh
langit-langit setinggi dua setengah meter. Tubuhnya kurus tak wajar, seperti
mayat yang kelaparan selama puluhan tahun. Kepalanya miring di sudut yang
mustahil, seolah lehernya patah.
"Rian..."
Suaranya seperti gemericik bensin yang
dituang, dicampur dengan rintihan puluhan suara yang terdistorsi.
Rian tidak bisa bergerak. Tidak bisa bernapas.
Kaki terasa tertanam di lantai.
Bayangan itu melangkah maju, dan untuk pertama
kalinya, cahaya remang dari jendela menyinari wajahnya—
—itu bukan wajah.
Itu adalah kekosongan yang berdenyut,
permukaan hitam mengkilap seperti minyak mentah yang terus berubah bentuk.
Kadang menyerupai wajah manusia, kadang seperti sesuatu yang jauh lebih purba.
"Waktunya... tiba..."
Rian akhirnya bisa menggerakkan kakinya. Ia
berbalik dan berlari ke arah pintu belakang, tetapi sebuah kekuatan tak
terlihat menutupnya tepat di depan hidungnya.
Bang!
Dari segala arah, suara ketukan mulai bergema:
Tok. Tok. TOK.
Berasal dari dinding. Dari lantai. Dari dalam
kepalanya sendiri.
Dan yang paling mengerikan—dari tutup tangki
bensin di lantai yang mulai bergetar sendiri.
Klik.
Baut-bautnya melepas satu per satu.
Klik. Klik. KLIK.
Tutup besi itu terlempar ke samping, dan dari
lubang gelap itu, sesuatu yang hitam dan berminyak merayap keluar. Bukan
cairan, tapi juga bukan padat—sesuatu di antara keduanya, membentuk tentakel,
tangan, wajah-wajah yang menjerit dalam diam.
"AKU LAPAR!"
Suara itu mengguncang seluruh bangunan. Rian
berteriak ketika sesuatu yang dingin dan licin melilit pergelangan kakinya.
Ia jatuh.
Tangannya mencengkram lantai, kuku terkikis
saat ia berusaha merangkak menjauh.
"Tolong! Siapa saja! Tol—"
Tentakel hitam itu menariknya dengan brutal.
Pipinya tergores beton kasar saat diseret menuju lubang yang semakin dekat. Bau
busuk dan kimia menyengat memenuhi hidungnya.
Di detik terakhir sebelum masuk, Rian melihat
ke atas—dan menyaksikan bayangan tinggi itu membungkuk di atasnya,
"wajah"-nya sekarang jelas menyerupai dirinya sendiri.
"Terima... kasih..."
Dan kemudian kegelapan menyambutnya.
Dingin.
Berminyak.
Penuh dengan jeritan yang tak pernah
terdengar.
~ ~ ~
Pagi itu, pom bensin buka seperti biasa.
Tutup tangki tertutup rapat.
Dan di buku catatan tua, sebuah nama baru
muncul dengan tulisan tangan yang tidak dikenal:
- Rian Aditya (2023) - PROMOSI
Matahari pagi
menyinari pompa bensin dengan sinar keemasan yang menipu, seolah tempat ini
sama seperti ribuan pom bensin lain di dunia. Burung-burung berkicau riang di
pepohonan sekitar, dan angin sepoi-sepoi menggerakkan daun-daun kering di
aspal.
Sebuah sepeda
motor berhenti di depan kantor kecil. Pengendaranya, seorang pemuda kurus
bernama Gilang, menghela napas dalam-dalam sebelum mematikan mesinnya.
"Jadi
ini tempat kerjaku sekarang," gumamnya, menatap bangunan tua itu dengan
perasaan campur aduk.
Pintu
kantor terbuka, dan seorang pria keluar dengan senyum lebar. "Gilang ya?
Selamat datang!"
Gilang
mengerutkan kening. Ada sesuatu yang aneh dari pria ini—matanya terlalu
berbinar, senyumnya terlalu lebar, dan kulitnya... terlihat berminyak di bawah
sinar matahari.
"Saya
Rian, manajer shift siang," ujar pria itu sambil menjulurkan tangan.
Genggamannya dingin dan lembap. "Kau akan ambil shift malam mulai hari
ini, benar?"
"Ya
Pak," jawab Gilang sambil menarik tangannya perlahan. "Apa ada hal
khusus yang perlu saya tahu?"
Rian
tertawa—suaranya terlalu nyaring, seperti rekaman yang diputar terlalu cepat.
"Ah, hanya beberapa peraturan kecil." Matanya tiba-tiba menjadi
serius. "Pertama, jangan terima uang dari pelanggan yang wajahnya kau
tidak lihat."
Gilang mengangguk,
mulai merasa tidak nyaman.
"Dan,"
lanjut Rian, mendekatkan wajahnya hingga Gilang bisa mencium bau aneh seperti
bensin basi dari napasnya, "jika ada yang mengisi bensin tapi mobilnya
tidak terlihat... lari."
Suara
ketukan tiba-tiba datang dari bawah tanah, membuat Gilang melompat. "Apa
itu?"
Rian tidak
menoleh. Hanya senyumnya yang melebar, hampir sampai ke telinga. "Hanya
pipa tua. Sudah biasa."
Dia
menepuk punggung Gilang. "Ayo, aku perkenalkan dengan tempat
kerjamu."
Saat
mereka berjalan melewati pompa nomor tiga, Gilang tidak menyadari tutup tangki
di tanah yang sedikit bergerak... atau bayangan hitam yang mengintip dari celah
sempit itu.
Di dalam
kegelapan tangki, sesuatu yang besar bergerak pelan. Suara gemericik cairan
kental bergema, diikuti bisikan puluhan suara yang melebur menjadi satu:
"Yang
ini... akan bertahan lama..."
Dan ketika
tutup tangki menutup dengan sendirinya, terakhir kali Gilang melihat ekspresi
Rian—ada sesuatu yang salah dengan giginya. Terlalu runcing. Terlalu banyak.
Tapi saat
ia berkedip, itu semua hilang.
"Shift
pertamaku pasti akan membosankan," keluh Gilang sambil memasukkan
handskeet ke sakunya.
Dari dalam
kantor, Rian mengawasinya dengan mata yang tiba-tiba memantulkan cahaya seperti
minyak di air—sebelum kembali normal.
"Kamu
tidak tahu betapa salahnya kamu," bisiknya, sambil menatap ke arah pompa
nomor tiga di mana tetesan cairan hitam perlahan merembes dari sela-sela tutup
tangki.
Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar