#38 KISAH HOROR PERAWAT RUMAH SAKIT (LELAKI DI BALIK KAIN KAFAN)
Lelaki di Balik Kain Kafan
Bab 1: Malam di Ruang Jenazah
Sari, seorang perawat muda berusia 27
tahun, telah bekerja selama enam bulan di sebuah rumah sakit kecil di pinggiran
kota. Rumah sakit itu berdiri di tepi jalan desa yang sepi, sebuah bangunan tua
dengan dinding cat putih yang sudah mengelupas di banyak tempat, retak-retak
halus membentuk pola tak beraturan seperti urat-urat yang merambat. Di
sekitarnya, hamparan sawah membentang luas, dikelilingi pohon-pohon jati yang
menjulang tinggi, batangnya cokelat tua dan daunnya bergoyang pelan ditiup
angin malam. Kabut tipis sering menyelimuti area itu saat senja beranjak ke
malam, menciptakan siluet samar yang membuat rumah sakit tampak seperti
terisolasi dari dunia luar. Lorong-lorong dalam bangunan selalu dingin, meski
tak ada pendingin udara, dan bau antiseptik bercampur aroma kayu tua yang
lembap mengisi udara, memberikan kesan bahwa tempat ini menyimpan lebih dari
sekadar kenangan pasien yang pernah dirawat.
Sari mengambil shift malam karena
bayarannya lebih tinggi, meski ia sering mendengar cerita-cerita aneh dari
rekan-rekannya—tentang suara langkah di lorong saat tengah malam, lampu yang
berkedip tanpa sebab, atau bayangan yang melintas di sudut ruangan saat tak ada
orang lain di sana. Ia selalu tersenyum kecil mendengar cerita itu,
menganggapnya sebagai bumbu kehidupan di rumah sakit tua yang jauh dari kota.
“Orang desa memang suka bikin cerita,” katanya dalam hati, mencoba menepis rasa
takut yang kadang muncul saat ia berjalan sendirian di lorong yang
remang-remang, hanya ditemani suara sepatunya yang berderit di lantai keramik
usang. Namun, malam itu, ada sesuatu yang terasa berbeda, sebuah firasat yang
tak bisa ia jelaskan, seperti udara yang lebih berat dari biasanya.
Hujan gerimis turun sejak sore,
membasahi jendela-jendela rumah sakit dengan tetesan kecil yang menciptakan
suara ketukan pelan, teratur, seperti irama yang tak pernah berhenti. Cahaya
lampu neon di langit-langit ruang perawat berkedip sesekali, memantulkan
bayangan samar di dinding yang penuh coretan waktu. Sari sedang bertugas
sendirian di ruang jenazah, sebuah ruangan kecil yang terletak di lantai bawah,
terpisah dari bangunan utama oleh lorong pendek yang selalu gelap karena
lampunya sering mati. Dinding beton ruangan itu lembap, ditumbuhi bercak hijau
kecil di sudut-sudutnya, dan bau formalin menyengat menusuk hidung, bercampur
aroma tanah basah yang entah bagaimana menyelinap masuk melalui celah-celah
pintu besi yang sudah berkarat. Di tengah ruangan, sebuah meja logam berdiri
dingin, permukaannya penuh goresan halus dari penggunaan bertahun-tahun, dan di
atasnya terbaring jenazah yang baru tiba sore tadi.
Jenazah itu adalah seorang lelaki tua
dari desa tetangga, dibawa oleh seorang perawat dari puskesmas setempat dengan
catatan singkat: meninggal karena penyakit misterius yang tak bisa didiagnosis
dokter. Tubuhnya kurus, tulang-tulangnya menonjol di bawah kulit pucat
keabu-abuan yang tampak kering seperti kertas tua. Rambutnya tipis dan putih,
menempel di kulit kepala yang penuh bintik-bintik usia, dan matanya tertutup
rapat dengan ekspresi tenang yang tak biasa—terlalu tenang, hingga terasa tidak
wajar bagi Sari yang sudah terbiasa menangani jenazah. “Kasihan, meninggal
sendirian,” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh deru hujan di luar.
Ia mengambil selembar kain kafan putih dari rak logam di sudut ruangan, kain
itu terasa dingin dan sedikit lembap di tangannya, mungkin karena udara malam
yang meresap ke dalam ruangan.
Sari mulai merapikan jenazah dengan
gerakan hati-hati, menutup tubuh itu dari kaki hingga dada, kain kafan
membentuk lipatan rapi yang menyelimuti kulit dingin lelaki tua itu. Saat ia
menarik kain untuk menutup wajahnya, ia merasa ada gerakan kecil—jari tangan
jenazah itu seolah bergetar, sebuah sentakan halus yang hampir tak terlihat,
tapi cukup untuk membuat jantungnya melonjak. Sari tersentak, mundur beberapa
langkah hingga punggungnya menyentuh meja logam di belakangnya dengan bunyi
kecil yang menggema di ruangan sunyi. Napasnya tersengal, matanya terpaku pada
tangan jenazah yang kini kembali diam, jari-jarinya terlentang kaku seperti sebelumnya.
“Mungkin hanya perasaan,” katanya pada diri sendiri, suaranya bergetar saat ia
mencoba menenangkan diri. Ia mengusap wajahnya dengan tangan yang sedikit
gemetar, merasakan keringat dingin di dahinya meski udara ruangan terasa
membeku.
Dengan langkah ragu, ia kembali
mendekati jenazah, menarik kain kafan hingga menutupi wajah lelaki tua itu
sepenuhnya. Cahaya lampu neon di atasnya berkedip sekali, menciptakan bayangan
sesaat yang tampak bergerak di dinding, dan untuk sesaat, Sari merasa ada
sesuatu yang menatapnya dari balik kain itu—meski ia tahu itu tak mungkin. Ia
mengambil tas kecilnya dari meja, memeriksa jam di dinding yang menunjukkan
pukul sebelas malam, lalu bergegas meninggalkan ruangan. Pintu besi ditutup
dengan bunyi keras yang menggema di lorong, dan ia mengunci gemboknya dengan
tangan yang masih bergetar. Saat ia berjalan menjauh, langkahnya cepat dan tak
beraturan, ia mendengar suara samar dari balik pintu—seperti kain yang bergesek
pelan di lantai beton—tapi ia tak berani menoleh. Hujan di luar semakin deras,
petir menggelegar di kejauhan, dan malam itu terasa lebih gelap dari biasanya.
Sari sampai di ruang perawat dengan
napas tersengal, menutup pintu di belakangnya dan duduk di kursi plastik yang
sudah usang. Ia menyalakan lampu meja kecil, cahayanya kuning redup menerangi
wajahnya yang pucat, dan mencoba fokus pada berkas pasien di depannya untuk
mengalihkan pikiran. Namun, di sudut matanya, ia merasa ada bayangan yang
berdiri di luar jendela—tinggi, diam, dan tak bergerak—meski saat ia menoleh,
hanya kegelapan dan tetesan hujan yang terlihat di kaca. “Aku terlalu capek,”
gumamnya lagi, mencoba meyakinkan diri sendiri, tapi perasaan bahwa ada sesuatu
yang mengikuti dari ruang jenazah tak bisa ia tepis. Malam itu menjadi awal
dari sesuatu yang akan mengubah hidupnya, sebuah bayang yang tak ia undang,
tapi kini menempel seperti kutukan yang tak terucapkan.
Bab 2:
Bayangan di Sudut Ruangan
Setelah malam yang mencekam di ruang
jenazah, Sari kembali ke rumah kontrakan kecilnya di pinggiran kota dengan
perasaan yang tak menentu. Rumah itu sederhana, berdiri di ujung gang sempit
yang dikelilingi tembok bata ekspos dan pohon pisang liar yang daunnya sering
bergoyang ditiup angin malam. Bangunannya terbuat dari kayu tua yang sudah
lapuk di beberapa bagian, atap gentengnya penuh lumut, dan pintu depannya
berderit setiap kali dibuka, mengeluarkan suara seperti keluhan panjang yang
terdengar di keheningan malam. Di dalam, ruang tamu kecil hanya berisi meja
kayu sederhana dan kursi plastik yang sudah pudar warnanya, sementara kamar
tidurnya sempit, dengan kasur busa tipis di lantai, lemari kayu kecil yang
pintunya miring, dan sebuah jendela kayu yang menghadap ke halaman belakang
penuh rumput liar.
Hari itu adalah hari libur Sari
setelah shift malam yang melelahkan. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui
celah-celah jendela, menerangi debu halus yang beterbangan di udara, dan suara
burung gereja yang bercericit di luar memberikan sedikit kehangatan pada
suasana yang biasanya sepi. Sari terbangun dengan tubuh yang terasa berat,
matanya masih merah karena kurang tidur, dan pikirannya terus kembali ke
kejadian di ruang jenazah—gerakan jari jenazah yang samar, suara kain yang
bergesek, dan perasaan dingin yang tak bisa ia lupakan. “Mungkin aku hanya kelelahan,”
katanya pada diri sendiri, suaranya pelan sambil ia bangkit dari kasur, mencoba
menepis bayangan malam sebelumnya seperti debu yang ia sapu dari lantai.
Ia menghabiskan pagi itu dengan
rutinitas sederhana: menyeduh kopi hitam di dapur kecil yang penuh bau kayu
lembap, mencuci pakaian di ember plastik di halaman belakang, dan membaca buku
tua tentang keperawatan yang ia pinjam dari perpustakaan rumah sakit. Angin
sepoi-sepoi bertiup melalui jendela, membawa aroma tanah basah dari sawah di
kejauhan, dan untuk beberapa saat, ia merasa tenang. Namun, saat siang beranjak
ke sore, langit mulai mendung, awan tebal menutupi matahari, dan udara menjadi
lebih dingin, membawa firasat yang tak bisa ia abaikan. Sari duduk di kursi
plastik dengan buku di tangan, tapi matanya terus melirik ke sudut ruangan,
seolah ada sesuatu yang menarik perhatiannya tanpa ia sadari.
Malam tiba lebih cepat dari yang ia
harapkan, dan hujan gerimis kembali turun, menciptakan suara tetesan kecil di
atap genteng yang bercampur dengan derit angin yang menggesek jendela kayu.
Sari memutuskan untuk tidur lebih awal, berharap bisa mengistirahatkan pikiran
yang lelah. Ia menyalakan lampu tidur kecil di samping kasur, sebuah lampu tua
dengan bohlam kuning redup yang sering berkedip saat listrik tak stabil, lalu
berbaring dengan selimut tipis yang ia tarik hingga menutupi bahunya. Namun,
tidur yang ia harapkan tak kunjung datang. Ia terbangun tiba-tiba dari tidur
singkatnya, jantungnya berdegup kencang, karena sebuah mimpi aneh yang terasa
terlalu nyata: lelaki tua dari ruang jenazah berdiri di sudut ruangan itu, kain
kafan basah menempel di tubuhnya seperti kulit kedua, menatapnya dengan mata
yang tak terlihat di balik kain, hanya kegelapan yang menyelimuti wajahnya.
Sari duduk di kasur, napasnya
tersengal, dan meraih saklar lampu tidur dengan tangan gemetar. Cahaya kuning
redup menerangi kamar, menciptakan bayangan panjang di dinding kayu yang penuh
serat tua, tapi ia merasa ada yang salah—bayangan di sudut ruangan tampak lebih
panjang dari biasanya, lebih gelap, seperti siluet manusia yang berdiri diam
dengan tangan terjuntai di sisinya. “Siapa di sana?” tanyanya dengan suara
bergetar, matanya menyapu sudut kamar yang seharusnya kosong. Tak ada jawaban,
hanya suara angin malam yang menggesek jendela dengan derit pelan, diikuti
tetesan hujan yang semakin deras di luar. Ia bangkit perlahan, kakinya terasa
dingin menyentuh lantai kayu yang lembap, dan berjalan dengan langkah hati-hati
menuju sudut ruangan, tangannya mencengkeram selimut seperti perisai.
Di sudut itu, ia hanya menemukan
lemari kayu kecil yang pintunya sedikit terbuka, dan sebuah sapu lidi tua yang
bersandar di dinding—tak ada apa pun yang bisa menjelaskan bayangan yang ia
lihat. “Aku terlalu lelah,” katanya lagi, suaranya lebih keras kali ini, seolah
ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya imajinasi. Ia menutup pintu
lemari, mengunci jendela yang sedikit terbuka, dan kembali ke kasur, menarik
selimut hingga menutupi kepalanya. Namun, saat ia memejamkan mata, ia mendengar
suara samar—seperti kain basah yang diseret pelan di lantai—berasal dari luar
kamar, di ruang tamu yang seharusnya kosong. Sari membuka mata, menatap
langit-langit dengan jantung yang berdetak kencang, tapi ia tak berani bangkit
lagi, hanya berdoa agar malam ini berlalu dengan cepat.
Malam berikutnya, Sari kembali
bertugas di rumah sakit, meski tubuhnya masih terasa lelah oleh kurang tidur
dan pikirannya dipenuhi bayangan mimpi itu. Ia tiba di ruang perawat dengan
langkah gontai, menyapa dokter Bayu yang sedang memeriksa berkas pasien dengan
senyum kecil yang dipaksakan. Shift malam dimulai seperti biasa—memeriksa
pasien, mengganti infus, mencatat laporan—tapi perasaan tak nyaman yang ia bawa
dari rumah terus membayangi. Saat ia berjalan menyusuri lorong menuju ruang
perawatan, langkahnya terhenti di depan pintu ruang jenazah yang terkunci
rapat. Cahaya lampu lorong redup, berkedip-kedip seperti akan padam, dan di
bawah celah pintu besi yang dingin, ia melihat bayangan samar—dua kaki berdiri
tegak, hitam pekat, meski ia tahu ruangan itu kosong setelah Jenazah
lelaki tua itu diambil keluarganya pagi tadi.
Sari menahan napas, matanya terpaku
pada bayangan itu, dan untuk sesaat, ia mendengar suara pelan—seperti kain yang
diseret di lantai beton—berasal dari dalam ruangan yang terkunci. “Ini tidak
mungkin,” gumamnya, suaranya hampir hilang oleh ketakutan yang menjalar di
dadanya. Bayangan itu tak bergerak, hanya berdiri diam seperti menunggu, dan
saat lampu lorong berkedip lagi, bayangan itu lenyap seolah tak pernah ada. Sari
berbalik, berlari ke ruang perawat dengan langkah cepat, sepatunya menggema di
lorong sunyi, dan mengunci pintu di belakangnya dengan tangan gemetar. Ia duduk
di kursi, menyalakan lampu meja, dan menatap pintu dengan mata terjaga, tak
berani melangkah keluar hingga pagi menjelang. Di luar, hujan terus turun,
petir sesekali menggelegar, dan malam itu terasa seperti awal dari sesuatu yang
tak bisa ia hindari lagi—sesuatu yang telah memilihnya sejak ia menyentuh kain
kafan itu.
Bab 3:
Jejak di Cermin
Hari-hari setelah kejadian di ruang
jenazah dan malam penuh bayangan di rumah kontrakan, Sari merasa seperti hidup
dalam kabut yang tak kunjung hilang. Ia kembali ke rutinitasnya sebagai perawat
di rumah sakit kecil di pinggiran kota, tapi setiap langkahnya terasa berat,
seolah ada beban tak terlihat yang menempel di pundaknya. Rumah sakit itu,
dengan dindingnya yang mengelupas dan lorong-lorongnya yang dingin, kini terasa
lebih menyesakkan. Lampu neon di langit-langit sering berkedip tanpa sebab,
menciptakan bayangan yang bergerak di sudut mata, dan bau antiseptik yang
biasanya ia anggap biasa kini bercampur dengan aroma samar yang aneh—seperti
tanah basah yang tercium setiap kali ia melewati pintu ruang jenazah yang kini
ia hindari sepenuhnya.
Di rumah kontrakan kecilnya, Sari
mencoba mencari ketenangan. Pagi itu, ia duduk di ruang tamu yang sempit,
ditemani secangkir teh hangat yang uapnya naik perlahan di udara pagi yang
dingin. Cahaya matahari menyelinap melalui jendela kayu yang sedikit terbuka,
menerangi meja kayu tua penuh goresan dan kursi plastik yang sudah usang. Di
luar, pohon pisang di halaman belakang bergoyang pelan ditiup angin,
daun-daunnya yang lebar menggesek dinding dengan suara halus yang biasanya
menenangkan. Namun, hari itu, suara itu terasa seperti bisikan yang tak
henti-hentinya, mengingatkannya pada kain yang diseret di lantai beton malam
sebelumnya. “Aku harus melupakannya,” katanya pada diri sendiri, suaranya pelan
sambil ia menyesap teh, mencoba fokus pada rasa pahit yang menyebar di lidahnya.
Sari menghabiskan hari itu dengan
aktivitas sederhana untuk mengalihkan pikiran. Ia menyapu lantai kayu yang
berderit di setiap langkah, mencuci piring di dapur kecil yang penuh bau kayu
lembap, dan merapikan lemari yang pintunya selalu terbuka sendiri meski ia
sudah menutupnya berkali-kali. Saat siang tiba, ia duduk di kasur busa
tipisnya, membuka buku harian kecil yang ia simpan di laci lemari—sebuah buku
tua dengan sampul kulit cokelat yang sudah pudar. Dengan pena yang tintanya
hampir habis, ia mulai mencatat kejadian-kejadian aneh yang ia alami: gerakan
jari jenazah, bayangan di sudut kamar, suara kain di malam hari, dan kaki yang
ia lihat di bawah pintu ruang jenazah. “Mungkin kalau aku tulis, aku bisa
mengerti apa yang terjadi,” gumamnya, jari-jarinya gemetar saat menulis,
mencoba mencari logika di balik ketakutan yang semakin membesar.
Namun, ketenangan yang ia cari tak
pernah benar-benar datang. Saat sore menjelang malam, langit kembali mendung,
awan tebal menutupi matahari, dan hujan gerimis mulai turun, membasahi genteng
dengan tetesan kecil yang terdengar seperti ketukan pelan di seluruh rumah.
Sari memutuskan untuk mandi, berharap air hangat bisa menghapus rasa lelah yang
menyelimuti tubuhnya. Kamar mandinya kecil, dindingnya terbuat dari semen kasar
yang sudah retak, dan sebuah cermin tua dengan bingkai kayu buram tergantung di
atas wastafel sederhana. Ia menyalakan lampu kecil di sudut, cahayanya kuning
pucat menciptakan bayangan samar di dinding, lalu membuka keran air yang
mengeluarkan suara gemericik pelan.
Setelah mandi, Sari berdiri di depan
cermin, mengusap rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang sudah lusuh.
Cermin itu tua, permukaannya sedikit buram dan penuh bintik hitam di
sudut-sudutnya, tapi cukup jelas untuk memantulkan wajahnya yang pucat, dengan
lingkaran hitam di bawah mata akibat kurang tidur. Ia menghela napas, mencoba
tersenyum pada bayangannya sendiri, tapi senyum itu memudar saat ia melihat
sesuatu di cermin—bayangan lelaki tua itu berdiri di belakangnya, kain kafannya
menempel basah di tubuhnya, meneteskan air ke lantai kamar mandi yang
seharusnya kosong. “Tidak… ini tidak nyata,” katanya keras, suaranya bergema di
ruangan kecil itu, tangannya mencengkeram wastafel hingga jarinya memutih.
Sari menoleh dengan cepat, jantungnya
berdegup kencang, tapi tak ada siapa pun di belakangnya—hanya dinding semen dan
ember plastik yang terisi air sabun. Ia kembali menatap cermin, napasnya
tersengal, dan bayangan itu sudah hilang, tapi permukaan cermin terasa lebih
dingin saat ia menyentuhnya dengan jari gemetar. “Aku harus tenang, ini cuma
imajinasi,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri, tapi matanya terus
melirik ke sudut-sudut kamar mandi, mencari tanda-tanda yang tak ia harapkan.
Ia keluar dari kamar mandi dengan langkah cepat, menutup pintu di belakangnya,
dan duduk di kasur, menarik selimut hingga menutupi pundaknya seperti perisai
dari dunia luar.
Keesokan paginya, saat ia bangun
dengan tubuh yang masih terasa lelah, Sari merasakan sesuatu yang aneh di
lengan kirinya—sebuah sensasi gatal yang menusuk. Ia menggulung lengan baju
tidurnya dan menemukan goresan kecil—tiga garis tipis seperti bekas
cengkeraman, merah dan sedikit bengkak, meski ia tak ingat terluka atau
tergores apa pun malam itu. “Apa ini?” katanya pelan, suaranya penuh
kebingungan sambil ia menyentuh goresan itu, merasakan sedikit nyeri yang
membuatnya meringis. Ia bangkit, mengambil buku harian dari laci, dan mencatat
kejadian itu dengan tangan yang semakin gemetar: “Goresan di lengan, pagi ini,
tak tahu dari mana asalnya.” Tulisannya berantakan, tinta pena menyebar di
kertas karena tekanan jarinya yang tak terkendali.
Malam itu, saat ia kembali bertugas di
rumah sakit, Sari merasa bayangan lelaki tua itu semakin dekat. Ia sedang
memeriksa pasien di ruang perawatan, sebuah ruangan besar dengan sepuluh tempat
tidur yang dipisahkan tirai putih tipis, ditemani suara alat monitor yang
berdetak pelan. Cahaya lampu neon di atasnya redup, dan angin malam masuk
melalui jendela yang sedikit terbuka, menggerakkan tirai dengan suara gesekan
halus. Saat ia melangkah ke lorong untuk mengambil obat dari lemari penyimpanan,
ia melirik ke arah pintu ruang jenazah yang terkunci di ujung lorong. Di bawah
celah pintu, bayangan dua kaki itu muncul lagi, hitam pekat dan tak bergerak,
tapi kali ini ia mendengar suara—seperti kain basah yang diseret—lebih jelas,
lebih dekat, seolah sesuatu sedang berjalan di dalam ruangan itu.
Sari menahan napas, tangannya
mencengkeram troli obat hingga jarinya memutih, dan matanya terpaku pada
bayangan itu. “Ini tidak nyata, ini tidak nyata,” katanya berulang-ulang dalam
hati, mencoba menenangkan jantung yang berdetak kencang. Lampu lorong berkedip
sekali, dan bayangan itu lenyap, tapi suara kain itu masih terdengar samar,
bergema di lorong yang kosong. Ia berbalik, berjalan cepat ke ruang perawat,
dan mengunci pintu di belakangnya, duduk di kursi dengan napas tersengal. Di
sudut ruangan, ia melirik jendela kecil yang menghadap halaman belakang rumah
sakit—dan untuk sesaat, ia melihat bayangan lelaki tua itu berdiri di bawah
pohon jati di luar, kain kafannya bergoyang pelan ditiup angin, menatapnya
dengan wajah yang tak terlihat. Sari menutup mata, menekan tangan ke wajahnya,
dan berdoa agar shift ini segera berakhir, tapi ia tahu bahwa apa pun yang
mengikutinya tak akan pergi begitu saja.
Bab 4:
Bisikan di Kegelapan
Setelah hari-hari penuh ketakutan yang
tak kunjung reda, Sari merasa seperti bayangan lelaki tua itu telah menjadi
bagian tak terpisahkan dari hidupnya—sebuah kehadiran yang tak terlihat namun
selalu terasa, mengintai di setiap sudut pandangannya, menyelami pikirannya
seperti kabut yang menyelimuti sawah di pagi hari. Ia mulai menghindari shift
malam di rumah sakit kecil di pinggiran kota, tempat yang dulu ia anggap
sebagai sumber penghidupan kini terasa seperti penjara yang menyesakkan.
Lorong-lorong dingin dengan dinding cat putih yang mengelupas, lampu neon yang
berkedip tanpa sebab, dan bau antiseptik yang bercampur aroma kayu tua kini
membawa perasaan takut yang tak bisa ia tepis. Namun, kekurangan tenaga perawat
di rumah sakit itu membuatnya tak bisa lepas dari tugas malam sepenuhnya, meski
setiap langkah menuju bangunan tua itu terasa seperti menghampiri sesuatu yang
menunggunya dalam kegelapan.
Malam itu, dengan hati yang berat dan
pikiran yang kacau, Sari mengenakan seragam putihnya yang sudah sedikit kusam,
ujung lengan bajunya sedikit berjumbai akibat sering dicuci. Ia berdiri di
depan cermin kecil di kamar kontrakannya, mengikat rambut panjangnya menjadi
sanggul rapi dengan tangan yang sedikit gemetar, matanya yang dikelilingi
lingkaran hitam menatap bayangannya sendiri dengan ekspresi kosong. Hujan deras
turun sejak sore, suara gemuruh air yang mengguyur atap genteng kontrakan
bergema di ruangan kecil itu, dan angin malam membawa bau tanah basah dari
sawah di kejauhan, menyelinap melalui celah-celah jendela kayu yang sudah lapuk.
“Aku harus kuat, ini cuma kerja biasa,” katanya pada diri sendiri, suaranya
pelan dan penuh keraguan, mencoba membangun keberanian yang hampir habis.
Sari berjalan ke rumah sakit di bawah
langit yang mendung tebal, payung kecilnya nyaris tak mampu melindungi dari
hujan yang mengguyur deras. Jalan setapak menuju rumah sakit licin oleh lumpur
merah, sepatunya yang sudah tua terasa berat oleh air yang meresap, dan setiap
langkah meninggalkan jejak kecil yang segera tersapu hujan. Sesampainya di
pintu masuk, ia menggoyangkan payungnya, tetesan air berjatuhan ke lantai
keramik yang dingin, dan melangkah masuk dengan napas tersengal. Rumah sakit
itu tampak lebih suram malam itu, petir menggelegar di kejauhan, kilatannya
menerangi jendela-jendela kaca yang buram dengan cahaya putih tajam,
menciptakan bayangan sesaat di dinding yang penuh retakan halus seperti
urat-urat tua.
Sari menuju ruang perawat, tempat ia
biasanya memulai shift, dengan langkah gontai. Sepatunya yang basah
mengeluarkan suara decit kecil di lantai keramik yang mengilap oleh kelembapan,
dan udara dingin menusuk kulitnya meski ia mengenakan jaket tipis di atas
seragam. Di ruangan itu, ia bertemu dokter Bayu, dokter muda yang sedang
bertugas malam itu, duduk di meja kayu penuh goresan dengan tumpukan berkas
pasien di depannya. Cahaya lampu meja kuning redup menerangi wajahnya yang
tampak lelah, matanya dikelilingi bayangan gelap akibat shift panjang. “Malam
Dok. Hujan deras sekali,” kata Sari, suaranya pelan sambil meletakkan tas
kecilnya di sudut meja, mencoba membuka percakapan untuk menenangkan diri.
Dokter Bayu mengangguk, mengalihkan pandangan dari berkas sejenak. “Iya,
hati-hati di lorong, licin. Pasien sedikit malam ini, cuma tiga,” jawabnya,
nadanya ramah tapi ada kelelahan yang tersirat, senyum kecilnya tak cukup
menyembunyikan rasa letih di wajahnya.
Sari memulai tugasnya dengan langkah
hati-hati, mencoba fokus pada rutinitas untuk mengalihkan pikiran dari bayangan
yang terus menghantui. Ia berjalan ke ruang perawatan, sebuah ruangan besar
dengan sepuluh tempat tidur yang dipisahkan tirai putih tipis, beberapa di
antaranya bergoyang pelan ditiup angin yang masuk melalui jendela yang sedikit
terbuka. Cahaya lampu neon di langit-langit redup, berkedip sesekali seperti
akan padam, dan suara alat monitor yang berdetak pelan menjadi satu-satunya
teman di keheningan malam itu. Ia mendekati seorang pasien tua yang tertidur
lelap di sudut ruangan, seorang kakek dengan wajah penuh kerutan dan napas yang
terdengar berat. Dengan gerakan terlatih, Sari mengganti kantong infus yang
sudah hampir habis, tangannya bergerak cepat tapi matanya terus melirik ke arah
pintu ruang jenazah di ujung lorong, yang terlihat samar melalui celah pintu
ruang perawatan yang terbuka.
Saat ia kembali ke ruang perawat untuk
mencatat laporan, suasana tiba-tiba berubah. Lampu neon di atas meja tiba-tiba
padam dengan bunyi klik kecil, meninggalkan ruangan dalam kegelapan yang hanya
diterangi lampu darurat kecil di sudut, cahayanya merah pucat yang membuat
dinding tampak berdarah. Jantung Sari berdegup kencang, tangannya mencengkeram
pena yang ia pegang hingga jarinya memutih. “Cuma mati lampu biasa,” gumamnya,
mencoba menenangkan diri, tapi udara terasa lebih dingin, dan hujan di luar
semakin deras, suaranya seperti ribuan ketukan kecil yang menggedor atap seng.
Tiba-tiba, ia mendengar suara pelan dari lorong—seperti kain basah yang diseret
di lantai beton—samar tapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya berdiri.
“Siapa di sana?” tanyanya, suaranya
serak oleh ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan, matanya menyapu pintu ruang
perawat yang terbuka lebar. Tak ada jawaban, hanya keheningan yang lebih pekat,
tapi suara itu terus berlanjut, semakin dekat, seolah sesuatu bergerak perlahan
menuju ruangannya. Sari bangkit dari kursi, tangannya meraih senter kecil dari
laci meja, jari-jarinya gemetar saat menyalakannya. Cahaya senter yang lemah
menyapu lorong, menerangi dinding yang penuh bayangan bergerak akibat kilatan
petir, tapi ia tak melihat apa pun—hanya kegelapan yang tampak hidup, bergoyang
di setiap sudut. Tiba-tiba, suara itu berhenti, digantikan oleh bisikan pelan
yang terdengar seperti hembusan angin: “Kembalikan aku…”
Sari tersentak, napasnya tertahan, dan
bisikan itu semakin keras, menggema di kepalanya meski ia mencoba menutup telinga
dengan tangan yang gemetar. “Tidak, tidak, ini tidak nyata,” katanya
berulang-ulang, suaranya pecah oleh kepanikan, tapi bisikan itu terus berulang,
dingin dan penuh tuntutan: “Kembalikan aku…” Ia melemparkan senter ke meja,
berlari ke ruang istirahat kecil di sudut bangunan, dan mengunci pintu kayu di
belakangnya dengan bunyi keras yang menggema. Di dalam, ia duduk di sudut,
menyalakan lampu darurat yang berkedip-kedip, dan menatap pintu dengan mata
penuh ketakutan, tangannya mencengkeram seragamnya erat-erat. Hujan di luar tak
berhenti, petir terus menggelegar, dan untuk sesaat, ia merasa bayangan di
bawah celah pintu ruang istirahat bergerak—seperti dua kaki yang berdiri diam,
menunggu.
Pagi harinya, saat matahari akhirnya
muncul dan hujan reda, Sari menceritakan kejadian itu kepada dokter Bayu yang
baru tiba untuk shift pagi. Ia duduk di ruang perawat, tangannya memegang
cangkir teh yang sudah dingin, wajahnya pucat dan matanya merah. “Dok, semalam…
lampu mati, dan aku dengar suara kain diseret di lorong. Lalu ada bisikan,
minta ‘kembalikan’. Aku tak tahu apa yang dia mau,” katanya, suaranya bergetar
saat ia menatap dokter Bayu dengan harapan jawaban. Dokter Bayu mendengarkan
dengan alis berkerut, tangannya berhenti menulis di berkas pasien. “Mungkin kamu
terlalu lelah Sari. Shift malam memang berat, apalagi dengan cuaca buruk
begini,” katanya, nadanya penuh perhatian tapi ada keraguan di matanya yang tak
bisa ia sembunyikan.
Sari menggeleng keras, tangannya
mencengkeram cangkir hingga jarinya memutih. “Ini bukan halusinasi Dok. Aku
tahu apa yang kulihat dan kudengar. Dia… dia ada di mana-mana,” balasnya,
suaranya tegas meski ada getar keputusasaan di dalamnya. Dokter Bayu menghela
napas panjang, meletakkan pena di meja dengan bunyi kecil. “Kalau begitu, ambil
cuti beberapa hari. Istirahat Sari. Kalau ini terus, kamu bisa sakit,”
sarannya, tapi Sari hanya mengangguk pelan, tahu bahwa melarikan diri dari
rumah sakit tak akan menghentikan apa yang mengikutinya. Ia meninggalkan ruang
perawat dengan langkah lemah, matahari pagi yang hangat di luar tak cukup
menghapus dingin yang masih menempel di tulangnya, dan bisikan itu—meski
samar—seperti masih bergema di telinganya, menuntut sesuatu yang tak ia pahami.
Bab 5:
Penemuan di Desa
Setelah malam yang penuh kegelapan dan
bisikan mencekam di rumah sakit, Sari merasa seperti kehilangan pijakan dalam
hidupnya. Bayangan lelaki tua itu, suara kain yang diseret, dan bisikan dingin
yang meminta “Kembalikan aku” telah merenggut setiap celah ketenangan yang ia
miliki. Ia tak lagi bisa menyangkal bahwa apa yang ia alami bukan sekadar
halusinasi akibat kelelahan, seperti yang disarankan dokter Bayu. Ketakutan itu
nyata, hidup dalam setiap napasnya, dan ia tahu bahwa melarikan diri dari shift
malam atau mengunci pintu kontrakan tak akan menghentikan kehadiran yang terus
mengintai. Dengan sisa keberanian yang ia gali dari dalam dirinya, Sari
memutuskan untuk mencari tahu asal-usul lelaki tua itu, berharap ada jawaban
yang bisa memutus rantai teror ini.
Pagi itu, setelah shift malam yang
melelahkan, Sari duduk di ruang perawat dengan cangkir teh yang sudah dingin di
tangannya. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela kecil yang buram,
menerangi debu yang beterbangan di udara, tapi sinarnya tak cukup menghangatkan
ruangan yang masih terasa dingin oleh sisa hujan semalam. Ia membuka lemari
arsip tua di sudut ruangan, pintunya berderit keras saat ia menariknya, dan
mencari berkas pasien lama dengan tangan yang gemetar. Di antara tumpukan
kertas kuning yang berbau apek, ia menemukan catatan singkat tentang jenazah
itu: “Nama: Pak Sastro. Asal: Desa Melati. Tanggal kematian: 13 Februari 1991.
Penyebab: Penyakit tak terdiagnosis, kemungkinan terkait ritual. Keluarga:
Tidak ada yang mengurus.” Catatan itu ditulis dengan tinta buram, dan kata
“ritual” yang digarisbawahi membuat jantungnya berdegup kencang. “Desa Melati…
aku harus ke sana,” gumamnya, suaranya serak oleh kelelahan dan tekad yang
bercampur aduk.
Hari Sabtu pagi, Sari berangkat ke Desa
Melati, sebuah kampung terpencil yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dari
kota. Ia berjalan ke terminal kecil di pinggir kota, langkahnya lamban oleh
tubuh yang masih terasa lemas akibat kurang tidur. Bus tua yang ia naiki sudah
menunggu, bodi logamnya berkarat dan jendela-jendelanya bergetar saat mesin
dinyalakan. Di dalam, udara penuh bau solar yang menyengat, bercampur aroma
kain basah dari penumpang lain—pedagang yang membawa karung beras, keranjang
ayam hidup, dan sayuran segar yang tumpah dari anyaman bambu. Sari duduk di dekat
jendela, tangannya mencengkeram tas kain kecil yang berisi buku harian, sebotol
air, dan jaket tipis, matanya menatap pemandangan di luar: sawah hijau yang
bergoyang ditiup angin, pohon-pohon jati yang daunnya mulai menguning di tepi
musim kemarau, dan langit mendung yang menyelimuti cakrawala dengan awan tebal
berwarna abu-abu tua.
Perjalanan dimulai dengan derit keras
saat bus melaju menyusuri jalan berbatu yang penuh lubang. Goncangan membuat
Sari memegang tepi kursi kayu yang sudah usang, jari-jarinya merasakan serpihan
kecil yang mencuat dari permukaannya. Jalan yang sempit dan berliku memaksa bus
sering berhenti—menghindari kerbau yang berjalan lamban di tengah jalan,
pedagang kaki lima yang mendorong gerobak kayu, atau anak-anak desa yang berlarian
dengan layang-layang di tangan. Sari mencoba menenangkan pikirannya dengan
membuka buku harian, pena tua di tangannya menggores kertas dengan tulisan yang
sedikit bergetar akibat goncangan: “Hari ini ke Desa Melati. Harus tahu tentang
Pak Sastro. Harus ada cara menghentikan ini. Aku tak bisa terus begini.” Ia
menatap tulisannya sejenak, lalu menutup buku dengan napas panjang, berharap
perjalanan ini akan membawa kejelasan, bukan ketakutan baru.
Bus akhirnya berhenti di sebuah halte
sederhana dari bambu di tepi desa, atapnya dari daun kelapa kering yang sudah
menghitam. Sari turun dengan langkah ragu, sepatunya menginjak tanah merah yang
masih basah akibat hujan semalam, meninggalkan jejak kecil yang segera memudar.
Udara terasa sejuk, membawa bau rumput segar dan tanah yang baru tersiram, tapi
ada aroma samar yang tak asing—bau tanah kuburan yang ia kenali dari malam di
ruang jenazah, membuat bulu kuduknya berdiri. Desa Melati kecil dan sunyi,
hanya terdiri dari puluhan rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu,
atapnya dari daun kelapa kering atau genteng tua yang retak-retak. Jalan
setapak dari tanah merah membelah desa, di sisi-sisinya berdiri pohon kelapa
yang menjulang tinggi, buahnya bergoyang pelan di angin siang yang semakin
kencang.
Beberapa warga melirik Sari dengan
rasa ingin tahu—seorang wanita muda dengan seragam perawat yang lusuh, tas kain
di pundak, dan wajah pucat yang tak bisa menyembunyikan kegelisahan. Ia
mendekati seorang ibu yang sedang menyapu halaman rumahnya dengan sapu lidi,
daun-daun kering berderit di bawah sapuannya. “Maaf Bu, tahu rumah Mbah Wiryo?”
tanyanya, suaranya pelan tapi penuh harapan. Ibu itu, mengenakan kain kebaya
sederhana dan wajah penuh kerutan, berhenti menyapu dan menatap Sari sejenak
sebelum menunjuk ke arah sebuah gubuk kecil di ujung desa, dekat tepi sawah
yang hijau. “Di sana Nak. Hati-hati, Mbah Wiryo orang tua, nggak suka
diganggu,” katanya, nadanya pelan tapi ada peringatan yang tersirat, membuat
Sari menelan ludah sebelum mengangguk dan melanjutkan langkah.
Sari berjalan menyusuri setapak,
kakinya terasa berat di tanah yang licin, dan angin semakin kencang, membawa
suara daun kelapa yang bergesekan seperti bisikan yang tak jelas. Gubuk Mbah
Wiryo tampak sederhana namun menyeramkan, dindingnya dari anyaman bambu yang
sudah menghitam oleh waktu, atapnya dari daun kelapa kering yang rapuh, dan
pintu kayunya kecil, sedikit terbuka dengan engsel yang berkarat. Di halaman
depan, sebuah pohon kamboja tua berdiri dengan bunga-bunga putih yang harum,
kelopaknya berjatuhan ke tanah merah, tapi baunya bercampur dengan aroma tanah
lembap yang mengingatkannya pada kain kafan basah malam itu. Sari mengetuk
pintu dengan hati-hati, tangannya gemetar saat menyentuh kayu yang dingin dan
kasar. “Mbah Wiryo? Saya Sari, dari kota. Saya mau tanya sesuatu,” panggilnya,
suaranya serak oleh ketegangan yang menumpuk di dadanya.
Seorang lelaki tua muncul dari dalam
gubuk, tubuhnya kurus dan bungkuk, mengenakan sarung cokelat tua yang sudah
pudar dan kaos oblong yang longgar di tubuhnya yang rapuh. Rambutnya putih
jarang menempel di kulit kepala yang penuh bintik usia, dan matanya cekung,
menatap Sari dengan sorot tajam yang membuatnya merinding tanpa sebab. Ia
memegang tongkat bambu hitam yang penuh ukiran aneh—pola melingkar seperti
simbol kuno—dan ujungnya mengetuk tanah dengan bunyi kecil saat ia berjalan
mendekat. “Masuk Nak,” katanya, suaranya dalam dan pelan, seperti angin yang
bertiup di malam sunyi, membawa beban tahun-tahun yang telah ia lalui. Sari
melangkah masuk, kakinya menginjak lantai tanah yang keras dan dingin, udara di
dalam gubuk lebih sejuk dari luar, penuh bau kayu tua dan sesuatu yang
samar—mungkin kemenyan atau daun kering yang tersimpan di sudut gelap.
Mbah Wiryo duduk di sebuah tikar
pandan yang sudah usang, anyamannya terlepas di beberapa bagian, dan
mengisyaratkan Sari untuk duduk di depannya dengan gerakan tangan yang lambat.
Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah dinding bambu menciptakan
garis-garis terang di wajahnya, menonjolkan kerutan yang dalam seperti peta
kehidupan yang panjang dan penuh rahasia. “Apa yang bawa kau ke sini Nak?”
tanyanya, matanya tak lepas dari wajah Sari yang pucat, sorotnya penuh
penilaian. Sari menarik napas dalam, mencoba menenangkan jantung yang berdetak
kencang seperti genderang di dadanya. “Saya perawat di rumah sakit kota Mbah.
Beberapa minggu lalu, saya urus jenazah Pak Sastro. Sejak itu… dia mengikuti
saya. Bayangannya ada di mana-mana—di cermin, di lorong rumah sakit, di rumah
saya. Ada goresan di lengan saya tiap pagi, dan saya dengar suaranya minta
‘kembalikan’. Saya tak tahu apa yang dia mau,” katanya, suaranya bergetar saat
ia mengeluarkan buku harian dari tas, membukanya dengan tangan gemetar untuk
menunjukkan catatan-catatannya kepada Mbah Wiryo—tanggal, waktu, dan deskripsi
singkat tentang setiap kejadian aneh.
Mbah Wiryo mendengarkan dengan diam,
matanya menyipit saat ia mengamati goresan di lengan Sari yang ia tunjukkan
dengan lengan baju digulung—tiga garis merah yang kini tampak lebih dalam,
sedikit bengkak seperti bekas cengkeraman yang hidup. Ia menghela napas
panjang, suaranya berderit seperti kayu tua yang bergesekan, lalu menatap Sari
dengan sorot yang lebih berat. “Pak Sastro… dia dukun
yang disegani tapi juga ditakuti di desa ini. “Dia
mati karena ilmu hitamnya sendiri di hutan. Warga bilang rohnya disegel di sana
supaya nggak gentayangan, tapi jenazahnya ditemukan dan dibawa ke rumah sakit.” katanya, nadanya berat seperti
membawa rahasia yang terkubur lama di dalam dirinya. Sari menelan ludah, merasa
dingin menusuk meski matahari bersinar terang di luar, udara di gubuk itu
tiba-tiba terasa lebih pekat.
“Lalu kenapa dia mengikuti saya, Mbah?”
tanyanya, suaranya hampir hilang oleh ketakutan yang menjalar di tulang
punggungnya, tangannya mencengkeram buku harian erat-erat seperti perisai. Mbah
Wiryo menatapnya dengan sorot mata yang penuh makna, lalu menggeleng pelan.
“Kau menyentuh kain kafannya Nak. Itu membukanya kembali. Rohnya terikat pada
kain itu—darah dan kutukannya nyatu di sana. Sekarang dia mau bebas, minta
dikembalikan ke tanah, atau nyawa baru sebagai ganti. Kau jadi jalannya,”
jawabnya, suaranya dingin dan penuh kepastian, membuat Sari merasa seperti ada
tangan es yang mencengkeram jantungnya. Mbah Wiryo bangkit dengan susah payah,
tongkatnya mengetuk lantai saat ia berjalan ke sudut gubuk, mengambil seikat
daun kering dari sebuah kotak kayu tua yang penuh goresan. Daun itu berbau
menyengat, seperti campuran herbal dan tanah yang terbakar, dan ia
menyerahkannya kepada Sari. “Taruh ini di bawah bantalmu, doa tiap malam.
Mungkin bisa nahan dia sementara,” katanya, tapi ada keraguan di nadanya,
seolah ia tahu bahwa ini hanyalah penundaan, bukan penyelesaian.
Bab 6: Kain Kafan di Bawah Bantal
Setelah kunjungan ke Desa Melati dan
pertemuan dengan Mbah Wiryo, Sari kembali ke kontrakan kecilnya di pinggiran kota
dengan perasaan yang bercampur antara harapan dan keputusasaan. Kata-kata Mbah
Wiryo tentang Pak Sastro—dukun yang dikubur hidup-hidup dan rohnya yang terikat
pada kain kafan—terus bergema di pikirannya seperti mantra yang tak bisa ia
hapus. Ia duduk di kasur busa tipisnya malam itu, menatap seikat daun kering
yang diberikan Mbah Wiryo, harumnya yang menyengat seperti campuran herbal dan
tanah terbakar masih tercium meski sudah beberapa jam berlalu. Cahaya lampu
tidur kuning redup menerangi kamar yang sempit, menciptakan bayangan samar di
dinding kayu yang penuh serat tua, dan suara hujan gerimis yang kembali turun
di luar menambah kesunyian yang mencekam.
Sari meletakkan daun kering itu di
bawah bantalnya, sesuai saran Mbah Wiryo, tangannya gemetar saat ia
melakukannya. “Mungkin ini bisa membantu,” gumamnya, suaranya pelan dan penuh
keraguan, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa daun itu akan menjadi pelindung
dari mimpi buruk yang semakin jelas setiap malam. Ia berbaring, menarik selimut
tipis hingga menutupi pundaknya, dan memejamkan mata, berdoa dalam hati agar
malam ini berbeda—agar ia bisa tidur tanpa bayangan Pak Sastro yang menatapnya
dengan mata kosong, tanpa bisikan dingin yang menusuk telinganya. Namun, tidur
yang ia harapkan tak kunjung datang dengan mudah; pikirannya terus kembali ke
gubuk Mbah Wiryo, ke wajah tua yang penuh kerutan itu, dan ke peringatan bahwa
Pak Sastro menginginkan kebebasan—atau nyawanya.
Malam berlalu dalam keheningan yang
tegang, hanya sesekali terganggu oleh derit jendela kayu yang bergoyang ditiup
angin atau tetesan hujan yang mengenai atap genteng dengan irama tak beraturan.
Sari akhirnya tertidur, tubuhnya lemas oleh kelelahan yang menumpuk, tapi
tidurnya tak damai. Mimpi buruk itu datang lagi, lebih nyata dari sebelumnya.
Ia berdiri di tengah hutan gelap yang penuh kabut, pohon-pohon jati tua
menjulang tinggi dengan akar-akar yang mencuat dari tanah seperti tangan yang
mencakar. Di depannya, Pak Sastro berdiri dengan kain kafannya yang basah dan
robek, air menetes dari ujung-ujung kain ke tanah hitam yang lembap. Wajahnya
pucat, retak seperti tanah kering yang pecah, dan matanya—dua lubang kosong
yang dalam—menatapnya dengan dendam yang tak terucapkan. “Kembalikan aku ke
tanah,” katanya, suaranya menggema seperti angin yang menderu, dan tangannya
yang kurus terulur mendekati wajah Sari, jari-jarinya hitam dan dingin seperti ranting
mati.
Sari terbangun dengan jeritan kecil
yang teredam, tubuhnya basah oleh keringat dingin, napasnya tersengal seperti
habis berlari. Ia duduk di kasur, tangannya meraba-raba untuk menyalakan lampu
tidur, dan cahaya kuning redup menerangi kamar yang tiba-tiba terasa lebih
kecil, lebih menyesakkan. Jantungnya berdegup kencang, dan untuk sesaat, ia
merasa ada bayangan yang bergerak di sudut kamar—tinggi, diam, dan tak
bergerak—sebelum lenyap saat matanya menyesuaikan diri dengan cahaya. “Ini cuma
mimpi,” katanya pada diri sendiri, suaranya bergetar saat ia mencoba
menenangkan napas, tapi perasaan mual yang tiba-tiba muncul di perutnya
membuatnya tak bisa kembali berbaring.
Sari meraih bantal untuk menyangga
punggungnya, berharap duduk akan membantu menenangkan pikiran, tapi tangannya
menyentuh sesuatu yang basah dan dingin di bawah bantal—sesuatu yang seharusnya
tidak ada di sana. Dengan jantung yang berdetak semakin kencang, ia mengangkat
bantal perlahan, dan apa yang ia lihat membuatnya menjerit kecil—selembar kain
kafan, basah seperti baru diambil dari air, terlipat rapi di atas kasurnya.
Kain itu penuh noda kuning yang tak ia kenali, baunya menyengat seperti tanah
kuburan yang baru digali, dan tetesan air kecil mengalir dari ujungnya,
membasahi kasur busa yang kini terasa dingin di bawahnya. “Tidak… ini tidak
mungkin,” katanya, suaranya pecah oleh kepanikan saat ia melempar kain itu ke
lantai dengan tangan gemetar, bunyi basahnya menggema di kamar sunyi.
Ia bangkit dari kasur, kakinya terasa lemas
saat menyentuh lantai kayu yang dingin, dan berlari ke kamar mandi kecil di
sudut kontrakan. Di sana, ia membuka keran air dengan tergesa-gesa, mencuci
tangannya berulang-ulang dengan sabun yang sudah menipis, berharap bisa
menghapus bau tanah yang menempel di kulitnya. Air dingin mengalir di
tangannya, tapi bau itu tak hilang—malah semakin kuat, seolah menempel di
pori-porinya seperti kutukan. Sari menatap bayangannya di cermin tua di atas
wastafel, wajahnya pucat, matanya merah dan penuh ketakutan, tapi untuk sesaat,
ia melihat sesuatu di belakangnya—bayangan Pak Sastro, berdiri dengan kain
kafannya yang basah, menatapnya dari sudut kamar mandi yang kosong. Ia menoleh
dengan cepat, tapi tak ada apa pun di sana, hanya dinding semen kasar dan ember
plastik yang terisi air sabun.
Sari kembali ke kamar dengan langkah
gontai, tubuhnya gemetar oleh campuran ketakutan dan kelelahan. Kain kafan itu
masih ada di lantai, basah dan dingin, seolah menantangnya untuk menyentuhnya
lagi. Ia mengambil sapu lidi dari sudut kamar, mendorong kain itu ke dalam tas
plastik yang ia temukan di laci, dan mengikatnya rapat-rapat dengan tali rafia
yang sudah tua. “Aku harus ke rumah sakit… dokter Bayu harus tahu,” katanya
pada diri sendiri, suaranya serak saat ia mengenakan jaket tipis dan mengambil
tas kecilnya. Pagi itu, ia berangkat ke rumah sakit dengan langkah cepat, hujan
gerimis membasahi wajahnya, tapi ia tak peduli—ia hanya ingin seseorang
mempercayainya, membantu memahami apa yang terjadi.
Sesampainya di ruang perawat, Sari
menemui dokter Bayu yang sedang memeriksa jadwal pasien. Cahaya matahari pagi
yang masuk melalui jendela kecil tak cukup menghapus suasana suram di ruangan
itu, dan udara masih terasa dingin oleh sisa hujan. “Dok, lihat ini,” katanya,
suaranya penuh tekanan saat ia membuka tas plastik dan menunjukkan kain kafan
itu dengan tangan gemetar. “Ini ada di bawah bantalku tadi pagi. Aku tak tahu
bagaimana bisa sampai sana.” Dokter Bayu memandang kain itu dengan alis
berkerut, wajahnya berubah pucat saat ia mendekatkan tangan untuk memeriksanya.
“Ini… sama seperti kain yang kita pakai di ruang jenazah,” katanya, suaranya
pelan tapi penuh kaget, jari-jarinya ragu menyentuh kain yang basah itu. Ia
menatap Sari dengan mata penuh pertanyaan. “Kamu yakin ini bukan dari rumah sakit?
Mungkin… mungkin kamu bawa pulang tanpa sadar,” sarannya, tapi nada suaranya
tak yakin, seolah ia sendiri tak percaya pada kata-katanya.
Sari menggeleng keras, air mata mulai
menggenang di matanya. “Aku tak pernah bawa apa-apa dari sana Dok. Ini muncul
sendiri. Dia… dia nggak akan pergi,” katanya, suaranya pecah oleh keputusasaan
yang tak bisa ia tahan lagi. Dokter Bayu menghela napas, meletakkan kain itu
kembali ke tas plastik dengan hati-hati. “Kalau begitu, kita bakar ini. Mungkin
itu bisa membantu,” katanya, nadanya penuh keraguan tapi ada tekad untuk
membantu. Malam itu, mereka berjalan ke halaman belakang rumah sakit yang sepi,
di bawah pohon jati tua yang daunnya bergoyang ditiup angin. Dokter Bayu
membawa tong sampah logam kecil, menuangkan sedikit bensin dari botol tua yang
ia temukan di gudang, dan meletakkan kain kafan di dalamnya.
Sari berdiri di sampingnya, tangannya
mencengkeram jaket erat-erat, matanya terpaku pada kain itu saat dokter Bayu
menyalakan korek api. Api menyala terang, menjilat kain kafan dengan suara
desis kecil, dan asap hitam pekat naik ke udara, membawa bau tanah yang lebih
kuat dari sebelumnya. Namun, api itu hanya bertahan beberapa detik sebelum
padam sendiri, meninggalkan kain kafan yang hangus di tepinya tapi masih utuh,
basah seperti tak tersentuh panas. “Apa… apa ini?” kata dokter Bayu, suaranya
penuh kebingungan saat ia mundur selangkah. Sari menatap kain itu dengan mata
penuh ketakutan, dan tiba-tiba angin malam menderu keras, membawa bisikan yang
sama yang ia dengar di ruang perawat: “Kembalikan aku…” Suara itu dingin, penuh
tuntutan, dan terdengar jelas di telinganya, meski dokter Bayu tampak tak
mendengar apa-apa, hanya menatapnya dengan wajah penuh kekhawatiran.
Sari tersentak, tangannya menutup
telinga, tapi bisikan itu terus bergema di kepalanya, lebih keras, lebih
mendesak. “Ini belum selesai,” katanya pelan, suaranya hampir hilang oleh angin
yang menderu, matanya penuh air mata saat ia menyadari bahwa membakar kain itu
tak cukup—bahwa Pak Sastro tak akan pergi sampai ia mendapatkan apa yang ia
inginkan.
Bab 7: Pengorbanan Terakhir
Setelah kegagalan membakar kain kafan
di halaman belakang rumah sakit, Sari menyadari bahwa ia tak bisa lagi
menghindari kenyataan yang menjeratnya. Bisikan “Kembalikan aku” yang bergema
di telinganya, kain kafan yang tetap utuh meski disentuh api, dan tatapan
kosong Pak Sastro dalam mimpi-mimpinya adalah tanda bahwa roh itu tak akan
pergi dengan sendirinya. Dokter Bayu, dengan wajah pucat dan suara penuh
keraguan, hanya bisa menyarankan agar Sari beristirahat, tapi ia tahu bahwa
tidur tak akan membawa kedamaian—hanya mimpi buruk yang lebih dalam dan
ketakutan yang lebih nyata. Ia berdiri di halaman rumah sakit malam itu, angin
menderu membawa bau tanah yang menyengat dari kain kafan yang kini tergeletak
di dalam tong sampah logam, dan matanya penuh tekad meski tubuhnya gemetar.
“Aku harus ke Desa Melati lagi. Harus selesai,” katanya pada diri sendiri,
suaranya pelan tapi teguh, seperti doa yang dipanjatkan dalam keputusasaan.
Keesokan harinya, Sari mengambil kain
kafan yang hangus di tepinya itu, memasukkannya ke dalam kantong plastik kecil
yang ia segel rapat dengan tali rafia, dan menyimpannya di tas kainnya. Ia tak
tidur malam sebelumnya, matanya merah dan tubuhnya lemas, tapi ia tak punya
waktu untuk menyerah pada kelelahan. Dengan bus tua yang sama, ia kembali ke
Desa Kaliwungu, perjalanan kali ini terasa lebih berat—bukan karena jalan
berbatu atau goncangan bus, tapi karena beban yang ia bawa di hati dan tasnya.
Hujan gerimis menyapa saat ia tiba di halte bambu yang sederhana, udara dingin
membawa aroma rumput basah dan tanah merah yang licin di bawah sepatunya. Ia
berjalan cepat menyusuri setapak menuju gubuk Mbah Wiryo, kakinya tenggelam di
lumpur kecil yang mencoba menghambat langkahnya, dan angin menggoyangkan daun
kelapa di atasnya dengan suara seperti bisikan yang tak henti.
Sesampainya di gubuk, Sari mengetuk
pintu kayu dengan tangan yang gemetar, suaranya serak saat memanggil, “Mbah
Wiryo, saya Sari. Saya kembali… saya bawa sesuatu.” Mbah Wiryo muncul dengan
langkah lambat, tongkat bambunya mengetuk lantai tanah dengan bunyi kecil yang
terdengar seperti detak waktu yang berjalan mundur. Wajahnya tampak lebih tua
dari sebelumnya, kerutan di kulitnya lebih dalam, dan matanya cekung menatap
Sari dengan sorot yang penuh campuran rasa kasihan dan ketegasan. “Kau bawa apa
Nak?” tanyanya, suaranya dalam dan berat, seolah sudah menduga apa yang akan
terjadi. Sari membuka tasnya, menunjukkan kantong plastik yang berisi kain kafan
dengan tangan gemetar. “Ini muncul di bawah bantalku Mbah. Kami coba bakar,
tapi apinya mati sendiri. Dia… dia nggak pergi,” katanya, suaranya pecah oleh
kepanikan yang tak bisa ia tahan lagi.
Mbah Wiryo menghela napas panjang,
matanya menyipit saat ia memandang kain kafan itu dari kejauhan, tak berani
menyentuhnya. “Rohnya kuat Nak. Kain itu darah dan kutukannya. Dia minta
dikembalikan ke tanah—ke kuburannya. Kita harus ke hutan. Warga desa bilang
setelah jenazahnya diambil pihak keluarga, warga desa membawanya ke
hutan untuk disegel, takut rohnya bangkit.”
katanya, nadanya penuh kepastian meski
ada getar kecil yang menunjukkan ketakutan yang ia sembunyikan. Sari menelan
ludah, jantungnya berdegup kencang, tapi ia mengangguk pelan. “Ayo, Mbah. Saya
nggak bisa lanjut begini,” jawabnya, suaranya serak tapi penuh tekad. Mbah
Wiryo mengambil sebuah kotak kayu kecil dari sudut gubuk, membukanya untuk
mengeluarkan seikat kemenyan dan beberapa daun kering, lalu mengisyaratkan Sari
untuk mengikutinya.
Mereka berjalan ke hutan di belakang
desa, sebuah tempat gelap yang tersembunyi di balik pohon-pohon jati tua dan
semak liar yang berduri. Jalan setapaknya nyaris tak terlihat, ditutupi
akar-akar yang mencuat dari tanah seperti tangan yang mencakar, dan kabut tebal
menyelimuti udara, membawa bau tanah basah dan kayu lapuk yang menyengat. Mbah
Wiryo berjalan di depan, tongkatnya mengetuk tanah dengan irama lambat,
sementara Sari mengikuti dengan langkah ragu, tas kainnya di pundak terasa
lebih berat dari sebelumnya. Angin menderu pelan di antara pepohonan, membawa
suara seperti keluhan panjang yang terdengar dari kejauhan, dan setiap langkah membuat
Sari merasa seperti ada mata yang mengawasinya dari balik kabut.
Setelah berjalan beberapa menit,
mereka tiba di sebuah gundukan tanah kecil di tengah hutan, ditandai dengan
batu hitam yang sudah ditumbuhi lumut. Gundukan itu tak terawat, rumput liar
tumbuh di sekitarnya, dan udara di sana terasa lebih dingin, lebih berat,
seolah menyimpan sesuatu yang tak ingin disentuh. “Ini kuburannya,” kata Mbah
Wiryo, suaranya pelan saat ia berhenti, tongkatnya menusuk tanah dengan bunyi
kecil. Ia meletakkan kemenyan di atas batu, menyalakannya dengan korek api tua
yang apinya berkedip sebelum menyala, dan asap putih tebal naik ke udara,
membawa aroma yang menyengat namun anehnya menenangkan. Sari mengeluarkan kain
kafan dari tasnya, tangannya gemetar saat ia membukanya, dan meletakkannya di
atas gundukan dengan hati-hati, seolah takut menyentuhnya terlalu lama.
Mbah Wiryo mulai berdoa dalam bahasa
Jawa kuno yang Sari tak pahami, suaranya rendah dan bergetar, seperti mantra
yang memanggil sesuatu dari dunia lain. “Tuhan, ampuni dia dan biarkan dia
tenang. Kembalikan roh ini ke tanah, lepaskan dari dunia ini,” katanya,
tangannya menggenggam daun kering yang ia taburkan di atas kain kafan. Asap
kemenyan semakin tebal, melingkari gundukan seperti kabut yang hidup, dan untuk
sesaat, hutan terasa sunyi—terlalu sunyi, hingga Sari bisa mendengar detak
jantungnya sendiri. Tiba-tiba, angin menderu keras, menggoyangkan pohon-pohon
jati dengan suara seperti jeritan, dan bayangan Pak Sastro muncul di depan
gundukan—kain kafannya robek, wajahnya pucat penuh luka, dan matanya kosong
menatap Sari dengan tatapan yang penuh dendam dan lapar.
“Kembalikan aku… atau ikut aku,”
katanya, suaranya menggema di hutan, dingin dan penuh ancaman, tangannya
terulur mendekati Sari dengan gerakan lambat yang mengerikan. Sari tersentak,
mundur selangkah hingga punggungnya menyentuh pohon jati di belakangnya, kulit
kayunya kasar dan dingin di kulitnya. “Mbah!” teriaknya, suaranya pecah oleh
ketakutan, tapi Mbah Wiryo menahannya dengan tangan yang gemetar. “Dia mau
nyawamu Nak. Tapi kau sudah kembalikan kainnya—dia tak punya kuasa lagi. Tetap
di sini, jangan lari,” katanya, suaranya tegas meski ada ketegangan di nadanya,
tongkatnya mencengkeram erat sebagai penopang.
Bayangan Pak Sastro mendekat, jari-jarinya
hampir menyentuh wajah Sari, tapi asap kemenyan tiba-tiba membesar, membentuk
lingkaran di sekitar gundukan, dan roh itu berhenti, wajahnya berkerut seperti
merasakan sakit. “Kembalikan…” bisiknya lagi, tapi suaranya melemah, dan
tubuhnya mulai memudar, kain kafannya perlahan runtuh ke tanah seperti debu
yang tertiup angin. Sari merasa dingin menusuk di dadanya, napasnya tersengal,
dan goresan di lengannya berdarah lagi untuk terakhir kalinya, tetesan merah
kecil jatuh ke tanah hitam di bawahnya. Ia pingsan, tubuhnya ambruk ke pangkuan
Mbah Wiryo, dan dunia menjadi gelap di sekitarnya.
Sari terbangun di gubuk Mbah Wiryo
keesokan harinya, tubuhnya lemah tapi ringan, seperti beban yang selama ini
menekannya telah terangkat. Mbah Wiryo duduk di sampingnya, menatapnya dengan
mata penuh kelegaan. “Dia pergi Nak. Rohnya tenang sekarang,” katanya, suaranya
pelan tapi penuh kepastian, tangannya memegang cangkir kayu berisi air yang ia
berikan kepada Sari. Sari mengangguk pelan, menyesap air itu dengan tangan yang
masih gemetar, rasa dingin di dadanya perlahan memudar. Ia kembali ke Solo sore
itu, mengambil cuti panjang dari rumah sakit, dan memutuskan untuk tak pernah
lagi masuk ke ruang jenazah—bayangan Pak Sastro mungkin telah pergi, tapi
kenangan itu akan tetap hidup dalam dirinya.
Namun, warga desa Melati mengatakan
bahwa di malam yang sunyi, mereka masih mendengar suara kain diseret dari
hutan—pelan, samar, seperti langkah yang tak pernah benar-benar berhenti. Mbah
Wiryo hanya menggeleng saat ditanya, matanya menatap ke arah hutan dengan sorot
yang tak bisa dibaca, dan Sari, di kontrakannya yang kini terasa lebih sepi,
kadang merasa angin malam membawa bau tanah yang samar, seolah Pak Sastro masih
menunggu di suatu tempat, mencari korban baru yang tak sengaja membukanya
kembali.
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
%20(19).png)
Komentar
Posting Komentar