#28 PEMBELI HOROR 👀



Pelanggan Tengah Malam

Bab 1: Malam yang Biasa

Pak Joko mengayuh gerobak baksonya dengan ritme yang sudah akrab baginya. Roda kayu gerobak itu berderit pelan, bergesekan dengan jalanan beraspal yang mulai retak-retak di tepi kampung. Malam sudah larut, jam di tangannya menunjukkan pukul 10.45 malam, tapi langit masih cerah dengan taburan bintang yang berkilau di atas. Angin malam bertiup sepoi-sepoi, membawa aroma daun kering dan sedikit bau tanah dari sawah di kejauhan. Tujuannya adalah tempat favoritnya: sebuah lapak kecil di bawah pohon beringin tua yang berdiri gagah di simpang jalan.

Pohon itu bukan sembarang pohon. Beringin tua itu sudah ada sejak ia kecil, bahkan mungkin sejak kakeknya masih hidup. Akar-akarnya menjuntai panjang, beberapa menyentuh tanah seperti jari-jari raksasa yang mencengkeram bumi. Dahan-dahannya menyebar lebar, menciptakan kanopi alami yang menaungi gerobak Pak Joko setiap malam. Daun-daunnya yang lebat bergoyang pelan, mengeluarkan suara desisan halus saat tertiup angin. Cahaya lampu jalan di dekatnya hanya mampu menerangi sebagian pohon, meninggalkan sisi lain dalam bayang-bayang gelap yang tampak hidup dan bergerak.

Pak Joko menghentikan gerobaknya tepat di bawah pohon, tepat di tempat biasa ia membuka lapak. Ia menarik napas dalam, menikmati udara malam yang segar bercampur aroma kuah kaldu yang sudah mulai mendidih di panci kecil di atas kompor gas portabelnya. Bunyi gelembung kecil dari kuah yang panas bercampur dengan suara jangkrik yang berdengung dari semak-semak di sekitar. Ia menyalakan lampu petromaks tua yang tergantung di sisi gerobak, pancaran cahayanya kuning hangat, menerangi meja kecil tempat ia menyusun mangkuk, sendok, dan botol-botol saus. “Malam ini bakal ramai,” gumamnya pada diri sendiri, tersenyum kecil sambil mengelap tangan di celemek lusuh yang sudah bertahun-tahun menemaninya.

Sudah lebih dari sepuluh tahun ia berjualan bakso keliling, dan pohon beringin ini adalah titik paling strategis. Letaknya dekat jalan raya, tapi cukup terpencil sehingga pelanggan bisa duduk santai di bangku kayu sederhana yang ia sediakan. Tukang ojek, sopir truk, bahkan anak muda yang pulang larut dari nongkrong sering mampir. Bagi Pak Joko, malam adalah waktu terbaik untuk berjualan. Siang terlalu panas, dan orang-orang sibuk dengan urusan mereka. Malam membawa ketenangan—dan pelanggan yang lapar.

Saat ia sibuk mengaduk kuah dan memotong daun bawang dengan pisau kecilnya, ia mendengar langkah pelan mendekat dari arah jalan setapak yang membelah kampung. Ia menoleh sekilas, melihat sosok wanita berjalan perlahan menuju gerobaknya. Pakaiannya putih bersih, panjang hingga menutupi kaki, hampir seperti kebaya tua yang jarang dipakai orang zaman sekarang. Rambutnya hitam legam, terurai panjang hingga menutupi sebagian wajahnya, dan ia berjalan tanpa suara, seolah kakinya tak benar-benar menyentuh tanah. Pak Joko tak terlalu memperhatikan detail itu—pelanggan malam sering datang dengan penampilan aneh, entah karena lelah atau memang sengaja menyamar dari sesuatu.

“Bakso satu Pak,” kata wanita itu saat sampai di depan gerobak. Suaranya lembut, hampir seperti bisikan yang nyaris tenggelam dalam desau angin. Pak Joko mengangguk ramah, kebiasaannya melayani pelanggan dengan senyum sederhana tetap ia pertahankan meski malam semakin larut. “Iya Mbak, ditunggu bentar..” jawabanya sambil mengambil mangkuk dari tumpukan di samping. Wanita itu hanya mengangguk pelan, tangannya terlipat di depan perut, tak bergerak.

Pak Joko mulai menyiapkan pesanan. Ia menyendok beberapa butir bakso kenyal dari panci, menambahkan mie kuning yang sudah direbus, lalu menuang kuah panas yang mengeluarkan uap harum. Tangan-tangannya bergerak cepat, terlatih oleh rutinitas bertahun-tahun. Tapi saat ia bekerja, ia merasakan sesuatu yang aneh. Udara di sekitar gerobak tiba-tiba terasa dingin, padahal kompornya menyala dan malam itu tak terlalu berangin. Ia menggosok lengannya sekilas, menganggapnya hanya perasaan karena ia sudah capek.

Ia menoleh ke wanita itu untuk menyerahkan mangkuk, tapi wanita itu hanya berdiri diam, menatap ke arah pohon beringin tanpa ekspresi. Cahaya petromaks tak cukup menerangi wajahnya, tapi Pak Joko bisa melihat kulitnya yang pucat, hampir seperti tak tersentuh sinar matahari. “Makan di sini atau dibawa pulang Mbak?” tanyanya, mencoba memecah keheningan. Wanita itu tak menjawab segera, hanya memalingkan wajah perlahan ke arahnya. “Di sini,” bisiknya, dan untuk pertama kalinya Pak Joko merasa bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu di suara itu—kosong, dingin, seperti gema dari tempat yang jauh.

Ia mengangguk cepat, menyerahkan mangkuk ke tangan wanita itu. Jari-jarinya yang dingin sempat bersentuhan dengan tangan Pak Joko, dan ia tersentak pelan. “Dingin banget,” pikirnya, tapi ia tak berkomentar. Wanita itu berjalan pelan ke bangku kayu, duduk dengan gerakan yang aneh—terlalu mulus, seolah tak ada bobot. Pak Joko mengalihkan perhatiannya kembali ke gerobak, mencoba mengabaikan perasaan tak enak yang mulai merayap di dadanya. Malam masih panjang, dan ia tak ingin memikirkan hal-hal aneh yang mungkin hanya khayalannya.

Bab 2: Uang Lusuh

Setelah melayani wanita berpakaian putih itu, Pak Joko memutuskan untuk menutup lapaknya lebih awal. Jam di tangannya baru menunjukkan pukul 11.30 malam, tapi udara dingin yang tak wajar dan perasaan tak enak di hatinya membuatnya ingin segera pulang. Ia mematikan kompor gas dengan sebuah klik kecil, menutup panci kuah yang masih beruap, dan mulai membereskan peralatan. Mangkuk-mangkuk kotor ia susun rapi di ember plastik biru yang sudah lusuh, sendok-sendok ia lap dengan kain lembap sebelum dimasukkan ke kotak kecil di samping gerobak. Lampu petromaks ia biarkan menyala untuk menerangi langkahnya saat mengayuh pulang, pancaran cahayanya kini tampak lebih redup di bawah bayang-bayang pohon beringin yang semakin gelap.

Sebelum berangkat, ia mengambil kotak uang dari laci kecil di gerobaknya—sebuah kaleng bekas biskuit yang sudah penyok di beberapa sisinya. Ia membukanya sekilas, memastikan hasil jualannya malam itu aman. Uang kertas dan koin bercampur di dalamnya, baunya sedikit amis karena tangannya yang masih berminyak dari memotong daun bawang. Wanita tadi membayar dengan selembar Rp10.000, tapi ia tak sempat memeriksanya karena buru-buru membereskan barang. Ia hanya memasukkan uang itu ke dalam kaleng, menutupnya rapat, lalu mengayuh gerobaknya menuju rumah di kampung sebelah.

Perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya. Jalanan kampung yang sepi hanya ditemani suara roda gerobak yang bergoyang di atas batu kerikil dan sesekali gonggongan anjing dari kejauhan. Lampu petromaks bergoyang pelan di sisi gerobak, menciptakan bayangan yang memanjang dan bergerak di dinding-dinding rumah warga yang sudah gelap. Pikiran Pak Joko masih tertuju pada wanita itu. Ia tak bisa mengingat wajahnya dengan jelas—hanya kesan buram tentang kulit pucat dan rambut hitam yang terlalu panjang. “Mungkin dia cuma orang biasa,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Tapi suara wanita itu, bisikan yang seperti angin, terus bergema di kepalanya.

Sesampainya di rumah, sebuah bangunan sederhana berdinding bata dengan atap genteng yang sedikit bocor di sudut, Pak Joko membawa gerobaknya ke halaman belakang. Ia memarkirnya di bawah pohon mangga kecil yang daunnya mulai menguning, lalu mengunci pintu gudang tempat ia menyimpan peralatan tambahan. Lampu petromaks ia matikan, dan kegelapan malam seketika menyelimuti halaman, hanya diterangi secercah cahaya dari bohlam kusam di teras. Ia masuk ke dalam rumah, menyalakan lampu ruang tamu yang berkedip-kedip sebelum menyala penuh, lalu duduk di kursi kayu tua di dekat meja makan.

Kotak uang ia letakkan di atas meja, berniat menghitung hasil jualannya sebelum tidur. Ia membuka kaleng itu dengan hati-hati, jari-jarinya yang kasar mengeluarkan tumpukan uang kertas dan koin. Ada Rp50.000 dari sopir truk yang mampir tadi sore, beberapa lembar Rp5.000 dari anak muda yang nongkrong, dan koin-koin kecil yang ia pisahkan ke dalam mangkuk plastik di samping. Tapi saat tangannya menyentuh selembar uang Rp10.000 yang terlipat di dasar kaleng, ia mengerutkan kening. Uang itu berbeda.

Ia mengambilnya dan mengamatinya di bawah cahaya lampu. Warnanya pudar, hampir abu-abu, tak seperti uang kertas baru yang biasanya ia terima. Teksturnya kasar, seperti kertas yang sudah lama tersimpan di tempat lembap, dan ada bau aneh yang tercium—bau tanah basah, seperti aroma setelah hujan di kebun. Pak Joko memutar-mutar uang itu di tangannya, mencoba mencari tanda-tanda keasliannya. Gambar pahlawan di bagian depan masih terlihat, tapi warnanya memudar, dan angka “10.000” di sudut terlihat sedikit buram. “Apa ini uang lama?” pikirnya, meski hatinya mulai bergetar oleh firasat buruk.

Ia mencium uang itu lebih dekat, dan baunya semakin kuat—tanah bercampur sesuatu yang busuk, seperti akar yang membusuk di bawah pohon. “Mungkin kejatuhan kuah,” gumamnya, mencoba mencari alasan logis. Tapi ia tahu itu tak masuk akal. Kuah bakso berbau kaldu, bukan tanah. Ia teringat wanita tadi malam—baju putihnya yang terlalu bersih untuk malam berdebu, suaranya yang terlalu pelan, dan sentuhan jarinya yang dingin seperti es. “Jangan-jangan…” Pikiran itu ia tepis cepat-cepat, tak ingin mempercayai hal-hal tak masuk akal.

Pak Joko bangkit dari kursi, berjalan ke dapur kecil di belakang rumah untuk mencuci tangan. Air dari keran mengalir dingin, dan ia menggosok tangannya dengan sabun colek sampai baunya hilang. Tapi saat ia kembali ke meja, ia merasa ada yang aneh. Uang lusuh itu masih tergeletak di sana, tapi posisinya sedikit bergeser—seolah seseorang menggerakkannya. “Mungkin angin,” katanya pada diri sendiri, meski semua jendela tertutup rapat. Ia mengambil uang itu lagi, memasukkannya ke dalam dompet tua di sakunya, berniat menukarnya besok pagi di warung tetangga.

Sebelum tidur, ia mematikan lampu ruang tamu dan berjalan ke kamarnya yang sempit. Kasur tua dengan kasur kapuknya berderit saat ia berbaring, dan kegelapan menyelimuti ruangan. Tapi saat ia memejamkan mata, ia mendengar sesuatu—suara pelan, seperti bisikan, dari arah luar rumah. “Bakso satu Pak…” Suara itu samar, hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membuat matanya terbuka lebar. Ia menoleh ke jendela kecil di samping ranjang, tapi tak ada apa-apa di sana, hanya kegelapan malam yang pekat. “Capek kali ini,” gumamnya, menarik selimut hingga menutupi kepala, berusaha melupakan apa yang baru saja ia dengar.

Bab 3: Cerita Warga

Keesokan paginya, matahari baru saja muncul di ufuk timur, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Pak Joko terbangun dengan perasaan lelah, seperti ada beban tak kasat mata yang menempel di pundaknya. Malam tadi ia tidur gelisah, mimpi-mimpinya penuh dengan bayangan samar tentang pohon beringin dan bisikan yang tak jelas. Ia menggosok mata dengan tangan yang masih terasa kaku, lalu bangkit dari kasur kapuk yang sudah mulai menggumpal di beberapa bagian. Bau tanah dari uang lusuh itu seolah masih menempel di ingatannya, meski dompet tempat ia menyimpannya tergeletak diam di atas meja kayu kecil di sudut kamar.

Setelah mencuci muka dengan air dingin dari bak mandi yang sudah berkarat, ia mengenakan kaus oblong lusuh dan celana pendek, lalu berjalan keluar rumah menuju warung kopi langganannya di ujung kampung. Udara pagi terasa segar, membawa aroma embun dan asap kayu bakar dari dapur-dapur tetangga yang mulai menyiapkan sarapan. Jalanan tanah yang dipadatkan oleh langkah kaki warga terlihat basah oleh sisa hujan semalam, meninggalkan genangan kecil yang memantulkan cahaya matahari. Pak Joko berjalan pelan, tangannya memegang dompet tua di saku, merasakan tekstur kasar uang Rp10.000 itu setiap kali jarinya menyentuhnya.

Warung kopi Pak Minto adalah tempat sederhana: sebuah bangunan bambu dengan atap seng yang sudah berkarat di beberapa bagian, dikelilingi bangku-bangku kayu panjang yang penuh bekas goresan. Asap rokok dan aroma kopi tubruk yang kuat memenuhi udara, bercampur dengan suara tawa dan obrolan para pelanggan—tukang ojek, petani, dan pedagang pasar yang mampir sebelum memulai hari. Pak Joko memesan secangkir kopi hitam tanpa gula, lalu duduk di bangku dekat pintu, menatap mangkuk plastik berisi kacang goreng di atas meja sambil mencoba menenangkan pikiran.

“Pagi Pak Joko! Kok murung gitu mukanya?” sapa Pak Minto dari balik meja kasir, tangannya sibuk mengaduk kopi pesanan pelanggan lain. Pak Joko tersenyum kecil, menggeleng pelan. “Capek Pak. Malam tadi pulang agak larut,” jawabnya, suaranya sedikit serak. Ia mengeluarkan dompetnya, berniat menukar uang lusuh itu dengan koin untuk membayar kopi, tapi tangannya berhenti saat ia menyentuhnya lagi. Bau tanah itu masih ada, samar tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri.

Obrolan di warung tiba-tiba menarik perhatiannya. Di sudut ruangan, beberapa tukang ojek sedang bercerita dengan penuh semangat, suara mereka keras dan penuh tawa, tapi ada nada serius di baliknya. “Eh, kalian tahu pohon beringin di simpang itu, kan?” tanya seorang tukang ojek bernama Bang Udin, matanya berbinar penuh misteri. “Katanya, semalam ada yang lihat bayangan perempuan berdiri di situ. Baju putih, rambut panjang. Berdiri diam, kayak nunggu apa gitu.”

Pak Joko meneguk kopinya perlahan, tapi tangannya mulai gemetar. Ia menoleh ke arah Bang Udin, berusaha mendengar lebih jelas. “Perempuan itu Mbak Sari, pasti,” lanjut tukang ojek lain, Pak Slamet, sambil menyeruput kopinya dengan berisik. “Dulu, waktu saya masih kecil, dia bunuh diri di pohon itu. Keluarganya malu, katanya dia hamil di luar nikah. Sampai akhirnya dia mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di ranting beringin tengah malam. Sejak itu, orang-orang bilang arwahnya tak tenang. Sering muncul malam hari, pakai baju putih, cari orang buat diajak ngobrol.”

Jantungan Pak Joko berdegup kencang. Ia teringat wanita semalam—baju putih yang terlalu bersih, rambut hitam yang menutupi wajah, suara bisikan yang dingin. “Ah, cuma dongeng,” gumamnya dalam hati, mencoba menepis rasa takut yang mulai merayap. Tapi tangannya tanpa sadar merogoh saku, mengeluarkan uang lusuh itu dari dompet. Ia memegangnya di bawah meja, tak ingin orang lain melihat, dan memeriksanya lagi. Cahaya matahari yang masuk dari jendela warung menerangi uang itu, memperlihatkan detail yang tak ia sadari sebelumnya. Ada noda cokelat kemerahan di sudutnya, kecil tapi jelas, seperti darah yang sudah mengering bertahun-tahun lalu. Baunya pun semakin terasa—tanah basah bercampur sesuatu yang membusuk, seperti kain yang terkubur lama.

“Pak Joko, kok melamun?” tanya Pak Minto, menyadari ekspresi tegang di wajahnya. Pak Joko tersentak, cepat-cepat menyembunyikan uang itu kembali ke saku. “Nggak apa-apa Pak. Cuma kepikiran dagangan,” jawabnya tergesa, tapi suaranya bergetar. Ia meneguk sisa kopinya dalam satu tegukan, rasa pahitnya terasa menusuk tenggorokan, lalu berdiri untuk membayar. Ia menyerahkan koin Rp5.000, memutuskan untuk menyimpan uang lusuh itu lebih lama, entah kenapa.

Sebelum pergi, ia mendengar Bang Udin melanjutkan ceritanya. “Katanya, Mbak Sari suka mampir ke pedagang malam. Dia pesan makanan, bayar pakai uang aneh, trus hilang begitu saja. Ada yang bilang, kalau kamu ambil uangnya, dia bakal ikut kamu pulang.” Tawa kecil meledak dari para tukang ojek, tapi Pak Joko tak bisa ikut tertawa. Keringat dingin mulai mengucur di dahinya, dan ia buru-buru meninggalkan warung, langkahnya cepat seolah ada yang mengejar.

Di luar, angin pagi bertiup pelan, membawa aroma bunga kamboja dari pekarangan tetangga. Tapi bagi Pak Joko, udara itu terasa berat, seperti membawa bisikan samar yang ia dengar semalam. Ia menoleh ke arah pohon beringin di kejauhan, siluetnya terlihat menjulang di ujung jalan. “Cuma kebetulan,” katanya pada diri sendiri, tapi suaranya sendiri tak yakin. Dompet di sakunya terasa lebih berat dari biasanya, dan setiap langkahnya pulang ke rumah diiringi perasaan bahwa sesuatu sedang mengawasinya dari balik pohon-pohon di pinggir jalan.

Bab 4: Kembali ke Beringin

Hari itu berlalu dengan lambat bagi Pak Joko. Setelah mendengar cerita warga di warung kopi, pikirannya tak bisa tenang. Ia menghabiskan siang dengan memperbaiki gerobaknya—mengencangkan baut yang longgar, mengolesi minyak pada roda yang mulai berderit, dan membersihkan panci kuah dari sisa-sisa kaldu yang mengering. Tapi setiap kali tangannya bekerja, matanya sesekali melirik ke dompet tua di atas meja dapur, tempat uang lusuh itu tersimpan. Bau tanah yang samar seolah menguar dari saku dompet, menyelinap ke dalam hidungnya meski ia tak membukanya lagi. “Besok aku tukar,” pikirnya, mencoba meyakinkan diri bahwa semua hanya kebetulan.

Malam tiba lebih cepat dari yang ia harapkan. Langit sudah gelap saat ia mengayuh gerobaknya kembali ke pohon beringin, awan tebal menutupi bintang-bintang yang biasanya menemani perjalanannya. Angin malam terasa lebih kencang dari biasanya, membawa desiran daun yang terdengar seperti gumaman pelan dari kejauhan. Lampu petromaks di sisi gerobak bergoyang-goyang, cahayanya kuning pucat, membentuk bayangan yang memanjang dan bergetar di jalanan beraspal yang mulai retak. Pak Joko menggenggam stang gerobak erat-erat, jari-jarinya terasa dingin meski keringat membasahi telapak tangannya.

Sampai di bawah pohon beringin, ia menghentikan gerobak di tempat biasa—tepat di bawah kanopi akar yang menjuntai seperti jaring raksasa. Pohon itu tampak lebih besar malam ini, dahan-dahannya seolah merentang lebih lebar, menutupi cahaya lampu jalan di dekatnya hingga hanya seberkas sinar tipis yang tersisa. Ia menyalakan kompor gas, api biru kecil menyala dengan desis pelan, dan uap dari kuah bakso mulai naik, membawa aroma kaldu yang harum. Tapi malam ini, aroma itu tak membuatnya nyaman. Ada bau lain yang samar-samar menyelinap—bau tanah basah, seperti yang ia temukan di uang lusuh itu.

Pak Joko mencoba fokus pada pekerjaannya. Ia menyapa beberapa pelanggan biasa yang mampir—seorang sopir truk dengan jaket lusuh yang memesan bakso campur, dua anak muda yang duduk di bangku kayu sambil bermain ponsel, dan seorang tukang ojek yang buru-buru memesan bakso untuk dibungkus. Tangan-tangannya bergerak cepat, menyendok bakso, menuang kuah, menaburkan daun bawang dan bawang goreng dengan gerakan yang sudah otomatis. Tapi matanya tak bisa lepas dari kegelapan di sekitar pohon. Setiap desau angin, setiap bayangan yang bergerak di sudut matanya, membuat jantungannya berdetak lebih kencang.

Jam menunjukkan pukul 11 malam saat pelanggan terakhir pergi. Jalanan mulai sepi, hanya sesekali terdengar suara motor yang melintas di kejauhan. Pak Joko duduk di bangku kecil di samping gerobak, menyeka keringat di dahinya dengan ujung celemeknya yang sudah kotor. Ia mengaduk kuah bakso dengan sendok kayu panjang, menatap gelembung-gelembung kecil yang muncul di permukaan, mencoba menenangkan diri. “Cuma cerita iseng,” gumamnya, mengingat obrolan di warung kopi. Tapi suaranya sendiri terdengar tak yakin, tenggelam dalam keheningan malam yang terasa terlalu sunyi.

Tiba-tiba, ia mendengar langkah pelan dari arah jalan setapak yang membelah kampung. Bunyinya lembut, hampir tak terdengar, seperti seseorang berjalan tanpa alas kaki di atas tanah basah. Pak Joko menoleh, dan jantungannya seketika berhenti berdetak untuk sesaat. Wanita itu kembali. Pakaiannya masih putih bersih, panjang hingga menutupi kaki, dan rambutnya hitam legam terurai seperti tirai yang menutupi wajahnya. Ia berjalan perlahan menuju gerobak, langkahnya mulus, seolah melayang di atas tanah. Udara di sekitar gerobak tiba-tiba terasa dingin, lebih dingin dari sebelumnya, hingga uap dari kuah bakso tampak membeku di udara.

“Bakso satu Pak,” katanya lagi, suaranya kini lebih jelas tapi tetap dingin, seperti angin yang bertiup melalui celah-celah pohon. Pak Joko menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Tangan-tangannya gemetar saat ia mengambil mangkuk dari tumpukan, sendoknya jatuh ke tanah karena genggamannya tak kuat. Ia membungkuk untuk mengambilnya, mencoba mengalihkan pandangan dari wanita itu, tapi ia bisa merasakan tatapannya—berat, menusuk, meski ia tak berani menatap langsung.

Dengan gerakan terburu-buru, ia menyiapkan pesanan. Bakso-bakso kenyal ia masukkan ke mangkuk, diikuti mie kuning dan kuah panas yang sedikit tumpah ke tangannya karena tangannya tak stabil. Aroma kaldu yang biasanya menenangkan kini terasa asing, bercampur dengan bau tanah yang semakin kuat. Saat ia menyerahkan mangkuk, wanita itu mengangkat wajahnya perlahan. Rambut hitamnya tersingkap sedikit, memperlihatkan kulit pucat yang hampir transparan, dan matanya—kosong, hitam pekat, tanpa cahaya. Lalu ia tersenyum, senyuman tipis yang tak wajar, dan di bawah dagunya, sebuah lubang besar di tenggorokannya terlihat jelas—menganga, hitam, dengan tepian yang kasar seperti bekas tali yang menggantungnya bertahun-tahun lalu.

Pak Joko terpaku. Mangkuk di tangannya terasa berat, seolah ada tangan tak kasat mata yang menahannya. “Mbak…” katanya, suaranya parau, tapi wanita itu tak menjawab. Ia hanya menatapnya, senyumannya melebar perlahan hingga memperlihatkan gigi-gigi yang kecil dan tajam. Tangan wanita itu terulur, dingin seperti es, menyentuh ujung jari Pak Joko saat mengambil mangkuk. Sentuhan itu membuatnya tersentak, seperti aliran listrik yang membekukan tulang-tulangnya. Di tangan lainnya, wanita itu memegang uang lusuh yang sama—pudar, berbau tanah, dengan noda cokelat kemerahan yang tampak lebih jelas di bawah cahaya petromaks.

“Bayar Pak,” bisiknya, dan suara itu terdengar seperti banyak suara sekaligus—berlapis, bergema, seperti angin yang menderu melalui lorong panjang. Pak Joko mundur selangkah, napasnya tersengal. Ia ingin berteriak, ingin lari, tapi kakinya terasa tertancap di tanah, seperti akar-akar beringin yang menjeratnya dari bawah. Wanita itu melangkah ke bangku kayu, duduk dengan gerakan lambat, dan mulai memakan bakso—tapi setiap sendokan yang ia angkat tak pernah sampai ke mulutnya. Kuahnya menetes ke tanah, meninggalkan jejak hitam yang berbau busuk.

Pak Joko tak bisa menahan diri lagi. “Mbak, saya cuma penjual bakso!” teriaknya, suaranya pecah oleh ketakutan. Tapi wanita itu hanya menoleh, senyumannya tetap ada, dan lubang di tenggorokannya tampak bergerak, seperti mulut kedua yang ingin berbicara. Angin malam menderu lebih kencang, daun-daun beringin bergoyang hebat, dan bayangan wanita itu seolah membesar, menyelimuti gerobak dalam kegelapan yang tak wajar.

Bab 5: Pelarian

Jeritan Pak Joko menggema di bawah pohon beringin, memecah keheningan malam yang sebelumnya hanya diisi desau angin dan bunyi kuah bakso yang mendidih. Mangkuk di tangannya terlepas, jatuh ke tanah dengan bunyi pecah yang keras, serpihan keramik putih tersebar di atas tanah berdebu yang kini tampak basah oleh tetesan kuah hitam dari sendok wanita itu. Matanya terpaku pada sosok di depannya—wanita berbaju putih itu, dengan senyuman yang melebar tak wajar dan lubang menganga di tenggorokannya yang tampak hidup, bergerak seperti sedang bernapas. Udara di sekitarnya terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang, dan bau tanah busuk kini bercampur dengan aroma darah yang samar namun mengerikan.

“Mbak, saya cuma penjual bakso!” teriaknya lagi, suaranya pecah oleh ketakutan yang meluap. Tubuhnya gemetar hebat, tangannya mencengkeram tepi gerobak untuk menahan diri agar tak jatuh. Wanita itu tak menjawab, hanya memandangnya dengan mata hitam pekat yang tak berkedip, seperti dua lubang kosong yang menarik cahaya petromaks ke dalam kegelapan. Tangan pucatnya terulur lebih jauh, memegang uang lusuh itu, dan kali ini Pak Joko melihat noda cokelat kemerahan di uang itu bergerak—menyebar perlahan seperti darah segar yang merembes dari kertas tua.

Angin menderu lebih kencang, membawa daun-daun beringin berputar di udara seperti tarian liar. Lampu petromaks bergoyang hebat, cahayanya berkedip-kedip, menciptakan bayangan wanita itu yang memanjang dan bergetar di tanah, seolah sosoknya membesar hingga menutupi pohon di belakangnya. “Bayar Pak,” bisiknya lagi, dan suara itu kini terdengar di mana-mana—dari atas pohon, dari balik gerobak, dari dalam panci kuah yang masih mendidih. Suara itu berlapis, seperti banyak bisikan yang bergabung menjadi satu, menusuk telinga Pak Joko hingga kepalanya terasa pening.

Tanpa pikir panjang, ia melepaskan genggamannya dari gerobak dan berbalik untuk lari. Kakinya terasa berat, seperti ada tangan-tangan tak kasat mata yang mencengkeram pergelangan kakinya dari bawah tanah, tapi ketakutan memberinya kekuatan untuk terus bergerak. Ia tak peduli pada gerobaknya yang tertinggal, pada panci kuah yang masih menyala, atau pada mangkuk-mangkuk yang berserakan. Yang ada di pikirannya hanya satu: pergi sejauh mungkin dari pohon beringin itu, dari wanita itu, dari malam yang tiba-tiba menjadi neraka baginya.

Jalan setapak menuju kampung terasa tak berujung. Kerikil-kerikil kecil di bawah sepatunya yang usang bergesekan, menciptakan bunyi berderit yang bercampur dengan napasnya yang tersengal. Ia berlari zig-zag, menghindari genangan air dan akar-akar pohon yang menonjol dari tanah, tangannya sesekali menyentuh dinding rumah warga untuk menjaga keseimbangan. Cahaya lampu jalan yang jarang-jarang hanya memberikan penerangan samar, dan bayangannya sendiri tampak menari-nari di dinding, seolah ada sosok lain yang mengikuti di belakangnya. Ia tak berani menoleh, tapi ia bisa merasakan—sesuatu ada di sana, langkahnya pelan tapi pasti, mengikuti setiap gerakannya.

Saat melewati sebuah gang sempit, ia mendengar tawa kecil—suara wanita, lembut namun mengerikan, seperti bisikan yang terbawa angin. “Pak… bakso satu…” Suara itu terdengar dekat, terlalu dekat, seolah wanita itu berdiri tepat di belakangnya. Pak Joko tersandung, lututnya membentur tanah keras, dan rasa sakit menusuk kakinya. Ia memaksa diri berdiri, tangannya gemetar saat menyentuh lutut yang kini berdarah, tapi ia tak berhenti. “Ya Tuhan, tolong aku,” gumamnya, suaranya tersendat oleh isakan yang tak bisa ia tahan lagi.

Akhirnya, rumahnya terlihat di kejauhan—bangunan bata sederhana dengan lampu teras yang menyala redup. Ia mempercepat langkah, napasnya terengah-engah, keringat bercampur air mata membasahi wajahnya. Sampai di depan pintu, ia merogoh saku dengan tangan gemetar, mencari kunci yang terselip di antara lipatan kain. Kunci itu jatuh sekali karena tangannya terlalu bergetar, dan saat membungkuk untuk mengambilnya, ia mendengar ketukan pelan dari halaman belakang—tuk… tuk… tuk… seperti seseorang mengetuk kayu dengan jari yang dingin.

Ia membuka pintu dengan panik, masuk ke dalam, dan mengunci pintu dengan dua kali putaran kunci. Ia mundur perlahan, punggungnya menempel di dinding ruang tamu yang dingin, matanya tak lepas dari pintu kayu yang kini menjadi satu-satunya penghalang antara dirinya dan apa pun yang ada di luar. Napasnya masih tersengal, dadanya naik-turun cepat, dan jantungannya berdetak seperti genderang perang. Rumah itu sunyi, hanya ada bunyi jam dinding tua yang berdetak pelan di sudut ruangan, tapi keheningan itu terasa berat, seperti ada sesuatu yang menunggu.

Lalu, ketukan itu datang lagi—tuk… tuk… tuk…—kali ini dari jendela kecil di samping pintu. Pak Joko menoleh perlahan, tubuhnya kaku, dan apa yang ia lihat membuat darahnya membeku. Di luar, di bawah sinar lampu teras yang berkedip-kedip, wanita itu berdiri. Baju putihnya berkibar pelan meski tak ada angin, rambut hitamnya menutupi wajah, tapi senyumannya terlihat jelas—lebar, tak wajar, memperlihatkan gigi-gigi kecil yang tajam. Lubang di tenggorokannya tampak lebih besar, menganga seperti mulut yang siap menelan, dan tangannya terulur, memegang uang lusuh yang kini basah oleh darah segar.

“Bayar Pak…” bisiknya, dan suara itu terdengar dari dalam rumah, dari balik dinding, dari bawah lantai, seolah ia ada di mana-mana. Pak Joko menjerit lagi, terjatuh ke lantai, tangannya mencoba merangkak menjauh dari jendela. Ia menutup mata, berdoa dengan suara tersendat, berharap ini hanya mimpi. Tapi ketukan itu terus berlanjut—tuk… tuk… tuk…—semakin keras, semakin cepat, hingga bunyinya bergema di kepalanya seperti palu yang menghantam tengkorak.

Saat ia membuka mata lagi, wanita itu tak ada di jendela. Lampu teras kembali stabil, dan keheningan malam kembali menyelimuti rumah. Tapi di bawah pintu, sebuah bayangan kecil terlihat—uang lusuh itu, tergeletak di lantai, basah oleh darah yang perlahan merembes ke celah-celah kayu. Pak Joko tak berani menyentuhnya. Ia hanya duduk di sudut ruangan, memeluk lutut, menatap pintu dengan mata penuh ketakutan, menunggu pagi yang entah akan datang atau tidak.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG