#34 TUKANG GOSIP DI TEROR POCONG
Bisik Pocong di Malam Arisan
Bab 1: Arisan yang Penuh Bisik
Malam itu, rumah Bu Wulan di ujung
kampung dipenuhi aroma teh pahit dan kue kering yang tersaji di atas meja tamu kayu
tua yang sudah penuh goresan. Arisan bulanan di kampung mereka kembali digelar,
sebuah tradisi yang sudah berjalan bertahun-tahun, tapi lebih sering jadi ajang
bergosip daripada sekadar mengocok nama pemenang. Ruang tamu yang sederhana itu
terasa sesak dengan tujuh ibu-ibu yang duduk melingkar di kursi plastik
warna-warni, beberapa di antaranya sudah mulai longgar kakinya karena sering
dipakai. Lampu gantung tua di langit-langit berkedip pelan, memantulkan cahaya
kuning redup ke dinding bata ekspos yang sudah mulai berlumut di
sudut-sudutnya. Di luar, hujan baru saja reda, meninggalkan udara lembap yang
menyelinap melalui jendela kayu yang tak bisa ditutup rapat, membawa bau tanah
basah dari halaman kecil yang penuh rumput liar.
Tejowati, atau biasa dipanggil Bu
Tejo, seorang wanita setengah baya berusia 48 tahun, duduk di kursi dekat meja
tamu, kakinya selonjor santai di lantai beralas tikar pandan yang sudah usang.
Ia mengenakan daster bunga-bunga dengan warna merah mencolok yang sedikit pudar
di bagian lengan, dan selendang cokelat tua yang melorot dari pundaknya karena
ia terlalu asyik mengupas jeruk dengan tangan yang penuh cincin plastik
murahan. Rambutnya yang mulai beruban diikat asal ke belakang, dan wajahnya
yang bulat penuh kerutan kecil tampak berseri-seri saat ia mulai berbicara—kebiasaannya
yang tak pernah absen di setiap arisan. Bu Tejo dikenal sebagai “ratu gibah” di
kampung ini, lidahnya tajam seperti pisau, dan tak ada cerita yang luput dari
mulutnya, apalagi jika itu tentang kejelekan orang lain—hidup atau mati.
“Eh, Bu Wulan, denger nggak? Si Bu
Narti yang baru meninggal kemarin, katanya suka nyanyi-nyanyi tengah malem,
ganggu tetangga banget!” katanya lantang, suaranya menggema di ruangan kecil
itu sambil ia melempar kulit jeruk ke piring plastik di depannya. Bu Wulan, tuan
rumah malam itu, yang sedang sibuk menuang teh ke gelas-gelas kecil, menoleh
dengan alis terangkat. “Hah, serius Bu? Aku sih nggak pernah denger, rumahku
jauh dari dia,” jawabnya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu yang pura-pura
polos. Bu Tejo terkekeh kecil, tangannya mengambil potongan jeruk dan
memasukkannya ke mulut sebelum melanjutkan. “Seriuslah! Katanya dia nyanyi
lagu-lagu jadul, suaranya fals banget, sampe anak-anak takut. Emang orangnya
aneh sih, hidupnya penuh drama!”
Ibu-ibu lain mulai ikut nimbrung,
menambah bumbu pada cerita Bu Tejo. Bu Sari, yang duduk di sudut dengan kipas
tangan dari anyaman bambu, menyela dengan senyum sinis. “Bener tuh Bu Tejo. Aku
denger dia suka ngutang ke warung, tapi kalo ditagih malah marah-marah. Pelit juga
orangnya!” Bu Tejo mengangguk penuh semangat, matanya berbinar seperti
menemukan harta karun. “Nah, itu dia! Makanya pas dia mati kemarin, nggak ada
yang dateng ke kuburannya. Orang-orang males dengan sikapnya..!” Tawa kecilnya
disambut gelak tawa ibu-ibu lain, meski ada nada gugup yang terselip di antara
suara mereka.
Bu Narti, ibu rumah tangga yang
meninggal mendadak karena serangan jantung dua hari lalu, memang jadi bahan
perbincangan favorit malam itu. Bu Tejo tak henti-henti mengorek
kejelekannya—dari kebiasaan anehnya menyanyi tengah malam hingga sifat pelitnya
yang katanya membuat tetangga jengkel. “Katanya sih, dia kalo masak cuma buat
anak-anaknya, suaminya nggak kebagian. Pantas aja Pak Joko kurus kering,
kasihan banget,” tambahnya, sambil mengambil jeruk lagi dan mengupasnya dengan
penuh konsentrasi. Bu Wulan mengangguk, menyeruput tehnya sebelum menimpali,
“Iya Bu, aku pernah liat dia di pasar, beli sayur cuma seikat, itupun ditawar
sampe penjualnya kesel. Emang pelit beneran.”
Arisan berlangsung seperti
biasa—nama-nama ditulis di kertas kecil, dikocok dalam mangkuk plastik, dan Bu
Sari akhirnya jadi pemenang malam itu. Tapi perhatian Bu Tejo tak pernah
benar-benar ke arisan; ia lebih sibuk menikmati perannya sebagai pusat cerita.
Saat malam semakin larut dan ibu-ibu mulai berpamitan, Bu Tejo berdiri,
mengambil tas kainnya yang sudah usang, dan melangkah keluar rumah Bu Wulan.
Jalan kampung yang sempit dan gelap menyambutnya, hanya diterangi lampu pijar
kecil di tiang kayu yang berkedip-kedip. Sawah di sisi jalan bergoyang pelan
ditiup angin, dan kabut tipis mulai naik dari tanah basah, menciptakan suasana
yang sepi dan dingin.
Saat ia berjalan menuju rumahnya yang
terletak di ujung kampung, Bu Tejo merasa ada hembusan angin dingin yang
tiba-tiba menyapu lehernya, meski angin malam biasanya tak sekuat itu. Ia
menoleh ke belakang, tapi hanya ada kegelapan dan bayangan pohon pisang yang
bergoyang samar. “Macet kali anginnya,” gumamnya sendiri, mencoba menepis
perasaan tak nyaman yang mulai merayap di dadanya. Tapi saat ia melangkah lagi,
ia mendengar suara samar dari arah sawah—seperti bisikan yang terbawa angin:
“Tejo… Tejo…” Suara itu dingin, serak, dan terdengar jauh, tapi cukup jelas
untuk membuat bulu kuduknya berdiri. Bu Tejo mempercepat langkah, tangannya
mencengkeram tas lebih erat, dan berusaha tak menoleh lagi. “Mungkin cuma
imajinasi,” pikirnya, meski hatinya mulai bergetar oleh sesuatu yang tak bisa
ia jelaskan.
Bab 2: Bayangan di Depan Rumah
Malam setelah arisan, Bu Tejo duduk di
ruang tamu rumahnya yang sederhana, sebuah bangunan kecil berdinding bata
ekspos yang tak pernah dicat dan beratap seng yang sedikit bocor di musim
hujan. Rumah itu terletak di pinggir sawah yang luas, jauh dari keramaian
kampung, hanya ditemani suara jangkrik dan angin yang bersiul melalui
celah-celah jendela kayu yang sudah lapuk. Cahaya televisi tua berlayar cembung
menerangi ruangan, memantulkan gambar sinetron kesukaannya ke dinding yang
penuh coretan kecil dari anak-anak tetangga yang sering main ke sini. Bu Tejo
duduk di kursi kayu tua yang sudah goyah, kakinya selonjor di atas tikar pandan
yang berbau apek, tangannya sibuk mengipasi tubuh dengan kipas tangan anyaman
bambu yang ia beli dari pasar.
Di luar, angin malam terasa lebih
kencang dari biasanya, membawa aroma tanah basah dari sawah yang baru saja
diguyur hujan sore tadi. Jendela-jendela rumah berderit pelan setiap kali angin
menerpa, dan pohon pisang di halaman depan bergoyang-goyang, daunnya yang lebar
menciptakan bayangan samar yang menari di dinding ruang tamu. Bu Tejo
mengenakan daster yang sama dari arisan tadi—bunga-bunga merah yang sedikit
kusut—dan selendangnya kini tergantung di sandaran kursi, meninggalkan
pundaknya yang lebar terbuka. Ia terlalu asyik menonton sinetron—cerita tentang
istri yang selingkuh dan suami yang balas dendam—hingga tak menyadari suara
kecil yang mulai muncul di sekitar rumahnya.
Tiba-tiba, televisi yang ia tonton
berkedip beberapa kali, layarnya bergoyang seperti disapu garis-garis hitam,
lalu mati total dengan bunyi klik kecil. Ruangan langsung tenggelam dalam
kegelapan, hanya diterangi oleh lampu pijar kecil di tiang listrik jauh di luar
yang menyelinap melalui jendela. “Aduh, listrik mati lagi! Padahal lagi seru
ini sinetronnya!” keluh Bu Tejo, suaranya menggema di ruangan yang kini sunyi.
Ia bangkit dari kursi dengan gerakan malas, kakinya menyeret sandal jepit yang
sudah usang, dan berjalan menuju dapur untuk mengambil lilin dari laci kayu di
bawah meja makan. Dapur itu kecil dan penuh bau minyak goreng, piring-piring
kotor dari makan malam masih menumpuk di bak cuci, dan sebuah jendela kecil di
sudut terbuka lebar, membiarkan angin masuk bersama kabut tipis yang naik dari
sawah.
Saat ia kembali ke ruang tamu dengan
lilin menyala di tangan, nyala api kecil itu berkedip-kedip ditiup angin yang
menyelinap dari jendela. Bayangan tangannya yang memegang lilin bergoyang di
dinding, menciptakan ilusi seperti ada sosok lain di ruangan itu. Tiba-tiba, ia
mendengar suara ketukan pelan dari pintu depan—tok, tok, tok—tiga kali, teratur
dan dingin, seperti seseorang yang tak terburu-buru. Bu Tejo mengerutkan
kening, tangannya mencengkeram lilin lebih erat hingga tetesan lilin panas
mengenai jarinya. “Siapa sih jam segini? Udah jam berapa ini?” gumamnya
sendiri, suaranya bergetar sedikit saat ia melirik jam dinding yang menunjukkan
pukul 22.30. Ia melangkah mendekati pintu kayu yang sudah usang, cat hijaunya
mengelupas di banyak tempat, dan mengintip melalui celah kecil di samping engsel.
Di luar, halaman depan tampak
kosong—hanya ada pohon pisang yang bergoyang pelan dan pagar kayu rendah yang
mulai miring karena termakan rayap. Kabut tipis menyelimuti sawah di belakang
rumah, menciptakan dinding putih yang samar di kejauhan. “Nggak ada orang, apa
aku salah denger?” katanya pelan, mencoba menenangkan diri. Ia membuka pintu
perlahan, engselnya berderit panjang, dan angin dingin langsung menyapu
wajahnya, membawa bau tanah yang lebih kuat. Cahaya lilin menerangi halaman
kecil itu, tapi tak ada tanda-tanda siapa pun—hanya jejak basah samar di tanah
yang ia pikir mungkin sisa hujan tadi sore. Tapi saat ia akan menutup pintu, ia
melihat sesuatu di sudut matanya—sebuah sosok putih berdiri di dekat pagar
kayu, terbungkus kain kafan yang kotor dan basah, wajahnya tertutup bayangan
gelap yang tak bisa ia lihat jelas.
Bu Tejo tersentak, lilin jatuh dari
tangannya dan padam di tanah dengan bunyi kecil, meninggalkan asap tipis yang
naik ke udara. “Ya Tuhan, apa itu?!” teriaknya dalam hati, tangannya buru-buru
menutup pintu dengan keras hingga rumah bergoyang sedikit. Ia mengunci pintu
dengan tergesa, napasnya tersengal-sengal, dan berlari kembali ke dalam ruang
tamu. Ia menyalakan senter kecil yang ia ambil dari laci meja, mengarahkannya
ke jendela untuk memastikan. Tapi saat cahaya senter menyapu halaman, sosok itu
sudah hilang—hanya ada pohon pisang yang masih bergoyang dan kabut yang semakin
tebal. “Mata aku capek kali ya, abis nonton sinetron mulu,” gumamnya, suaranya
dipaksakan untuk terdengar tenang meski jantungnya berdegup kencang seperti mau
copot.
Ia duduk kembali di kursi, mencoba
menenangkan diri dengan mengipasi tubuh lebih cepat. “Mungkin cuma bayangan,
anginnya kenceng banget ini,
Bab 3: Bisikan di Tengah Malam
Dua hari setelah kejadian aneh di
depan rumahnya, Bu Tejo mulai merasa ada yang tak beres. Hari-hari berlalu
dengan normal di siang hari—ia sibuk memasak, mencuci, dan mengobrol dengan
tetangga di warung depan kampung—tapi malam membawa perasaan gelisah yang tak
bisa ia tepis. Rumah kecilnya di pinggir sawah, yang biasanya terasa nyaman
dengan suara jangkrik dan angin sepoi-sepoi, kini terasa seperti tempat asing
yang penuh bayangan. Malam itu, ia terbangun dari tidur tanpa alasan jelas,
tubuhnya basah oleh keringat dingin meski kipas angin di sudut kamar berputar pelan.
Matanya melirik jam dinding tua yang tergantung di atas meja kecil—pukul 02.00,
waktu yang terlalu sunyi bahkan untuk kampung sepi seperti ini.
Kamarnya kecil, hanya berisi kasur
kapuk tua yang sudah cekung di tengah, lemari kayu sederhana dengan pintu
cermin yang retak di sudut, dan meja kecil tempat ia menyimpan senter dan
segelas air. Cahaya lampu tidur kecil di sudut kamar memancarkan sinar kuning
redup, membuat bayangan benda-benda di ruangan tampak lebih besar dan bergoyang
pelan setiap kali angin menyelinap melalui jendela yang terbuka sedikit. Di
luar, sawah terhampar gelap, hanya sesekali diterangi kilatan petir jauh yang
tak disertai suara guntur. Bu Tejo duduk di tepi kasur, tangannya menggosok
wajah untuk mengusir rasa kantuk yang bercampur ketidaknyamanan. “Kenapa aku
bangun jam segini? Padahal nggak mimpi apa-apa,” gumamnya dalam hati, suaranya
pelan seperti tak ingin membangunkan sesuatu.
Tiba-tiba, ia mendengar suara aneh
dari arah ruang tamu—seperti kain yang diseret di lantai beton, pelan tapi
teratur, seperti seseorang yang berjalan dengan langkah berat. Suara itu
terdengar samar pada awalnya, tapi semakin lama semakin jelas, disertai bunyi
kecil seperti air yang menetes—tetes, tetes, tetes. Bu Tejo menahan napas, bulu
kuduknya berdiri hingga terasa menusuk kulit lehernya. “Apa itu? kucing
tetangga masuk lagi?” pikirnya, mencoba mencari alasan logis meski hatinya
mulai bergetar. Ia bangkit dari kasur dengan gerakan hati-hati, kakinya
menyentuh lantai yang dingin, dan mengambil senter kecil dari meja samping
tempat tidur. Cahaya senter menyala dengan bunyi klik kecil, tapi sinarnya yang
lemah hanya mampu menerangi beberapa langkah di depannya.
Ia melangkah keluar kamar, pintu kayu
tua berderit pelan saat ia membukanya, dan masuk ke ruang tamu yang gelap.
Angin malam menyelinap melalui jendela yang tak pernah ia tutup rapat, membawa
bau tanah basah dan sesuatu yang samar—bau seperti kain kotor yang sudah lama
tak dicuci. Cahaya senter menyapu ruangan—kursi kayu tua yang goyah, meja kecil
dengan tumpukan majalah bekas, dan televisi tua yang mati sejak listrik padam
dua malam lalu. Tak ada apa-apa yang aneh pada pandangan pertama, tapi suara
seretan itu terdengar lagi, kini lebih dekat, seperti dari arah dapur di
belakang rumah. “Siapa sih yang mempermainkanku jam segini? Kalo anak-anak
tetangga, besok aku omelin!” katanya dalam hati, suaranya dipaksakan untuk
terdengar berani meski tangannya gemetar memegang senter.
Saat ia akan kembali ke kamar, suara
itu berubah—bukan lagi seretan kain, tapi bisikan pelan yang dingin dan serak:
“Tejo… ngapain ngomongin aku…” Suara itu terdengar dari arah dapur, seperti
berasal dari tenggorokan yang kering dan penuh dendam. Bu Tejo membeku,
senternya mengarah ke pintu dapur yang tertutup rapat, kayunya sudah usang dan
penuh goresan dari kucing liar yang sering masuk. “Siapa itu? Jangan main-main,
aku takut loh!” teriaknya, suaranya pecah oleh ketakutan, tapi tak ada
jawaban—hanya keheningan yang tiba-tiba menyelimuti rumah, diikuti suara
tetesan air yang lebih keras dari sebelumnya.
Dengan langkah gemetar, Bu Tejo
memberanikan diri mendekati pintu dapur, tangannya mencengkeram gagang pintu
yang dingin seperti es. Ia mendorong pintu perlahan, derit engsel tua menggema
panjang, dan cahaya senter menyapu ruangan kecil itu—meja dapur yang penuh noda
minyak, bak cuci dengan piring kotor yang menumpuk, dan jendela kecil yang
menghadap sawah, terbuka lebar meski ia yakin telah menutupnya sebelum tidur.
Tapi yang membuatnya tersentak adalah jejak basah di lantai beton—seperti air yang
menetes dari kain basah—membentang dari pintu hingga ke jendela, meninggalkan
genangan kecil yang berbau aneh, seperti campuran tanah dan sesuatu yang busuk.
“Ini apa lagi? Kucing nggak mungkin bikin jejak gini,” gumamnya, suaranya
bergetar saat ia mendekati jendela.
Ia mengarahkan senter ke luar, dan di
tengah sawah yang gelap, ia melihatnya—sosok putih terbungkus kain kafan yang
kotor dan basah, berdiri diam di antara tanaman padi yang bergoyang pelan.
Wajahnya kini terlihat samar di bawah cahaya senter—pucat seperti mayat, dengan
mata hitam yang menatapnya tajam, penuh dendam yang tak terucapkan. Bu Tejo
menjerit, senternya jatuh ke lantai dan berguling, cahayanya kini mengarah ke
dinding dapur. Ia buru-buru menutup pintu dapur dengan keras, mengunci dengan
tangan yang gemetar, dan berlari kembali ke kamar. “Ya Tuhan, itu apa?! Aku
nggak mau mati sekarang, aku takut!” teriaknya dalam hati, suaranya tercekat
saat ia bersembunyi di bawah selimut, memejamkan mata erat-erat.
Sepanjang malam, ia tak berani membuka
mata, hanya berdoa dengan suara gemetar hingga fajar menyingsing. Tapi saat
pagi tiba dan ia memberanikan diri memeriksa dapur, jejak basah itu masih ada,
lengkap dengan bau busuk yang kini lebih kuat, dan jendela kecil itu terbuka
lagi meski ia yakin telah menguncinya. Bu Tejo duduk di kursi ruang tamu,
menatap dapur dengan wajah pucat, tak tahu bahwa teror itu baru saja dimulai.
Bab 4: Pocong di Arisan
Seminggu setelah bisikan mengerikan di
tengah malam, Bu Tejo merasa hidupnya tak lagi sama. Setiap malam ia terbangun
oleh suara-suara aneh—seretan kain, tetesan air, atau bisikan serak yang
memanggil namanya dari kegelapan. Rumah kecilnya di pinggir sawah, yang dulu
jadi tempat ia merasa aman, kini terasa seperti sangkar yang penuh bayangan. Ia
mulai menghindari arisan, menolak undangan dengan alasan sakit atau sibuk, tapi
malam ini ia tak bisa lari lagi—gilirannya menjadi tuan rumah, dan ibu-ibu lain
sudah menggedor pintu sejak sore, membawa wadah plastik berisi kue dan
gelas-gelas untuk teh. Bu Tejo tak punya pilihan selain membuka pintu,
menyambut mereka dengan senyum kaku yang tak bisa menyembunyikan lingkaran
hitam di bawah matanya.
Ruang tamu rumahnya dipenuhi tujuh
ibu-ibu arisan, duduk melingkar di kursi plastik dan tikar pandan yang ia gelar
di lantai beton. Meja kecil di tengah ruangan penuh dengan piring plastik
berisi kue kering, pisang goreng, dan gelas-gelas teh hangat yang uapnya naik
ke udara lembap. Lampu pijar tua di langit-langit menyala redup, berkedip
sesekali seperti akan mati, dan angin malam yang dingin menyelinap melalui
jendela kayu yang tak pernah ia tutup rapat, membawa bau tanah basah dari sawah
di belakang rumah. Di luar, langit mulai mendung, awan hitam bergulung-gulung,
dan suara petir jauh mulai terdengar, menambah suasana yang sudah tak nyaman.
Bu Tejo duduk di sudut, mengenakan daster bunga-bunga yang sama dan selendang
yang ia lilitkan erat di pundak, tangannya sibuk mengipasi tubuh dengan kipas
tangan meski udara terasa dingin.
Arisan berjalan seperti biasa—ibu-ibu
mengobrol tentang tetangga, harga beras, dan anak-anak mereka yang nakal di
sekolah. Bu Wulan, yang duduk di dekat pintu, memulai percakapan dengan nada
ceria. “Bu Tejo, kok keliatan capek banget? Kurang tidur ya?” tanyanya, sambil
mengambil pisang goreng dan menggigitnya pelan. Bu Tejo tersenyum tipis,
tangannya gemetar sedikit saat ia menjawab, “Iya Bu, akhir akhir aku susah
tidur. Mungkin kebanyakan mikir arisan ini.” Ia berbohong, tak ingin
menceritakan apa yang ia lihat dan dengar seminggu terakhir—sosok putih di
sawah, jejak basah di dapur, dan bisikan yang membuatnya takut menutup mata.
Bu Sari, yang duduk di tikar dengan
kipas tangan anyaman, menimpali dengan senyum kecil. “Eh, ngomong-ngomong, Bu
Tejo denger nggak? Katanya ada yang liat bayangan aneh di sawah belakang
rumahmu kemarin malem. Bener nggak sih?” Bu Tejo tersentak, tangannya berhenti
mengipasi, dan matanya melirik ke jendela yang menghadap sawah. “Hah? Bayangan
apa? Aku nggak tau apa-apa Bu. Mungkin cuma anjing liar kali,” jawabnya cepat,
suaranya sedikit tinggi karena gugup. Ibu-ibu lain tertawa kecil, tapi Bu Tejo
merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Jangan bilang gitu Bu Sari, aku
takut loh kalo malem sendirian di sini,” tambahnya, mencoba bercanda meski
wajahnya pucat.
Saat arisan hampir selesai dan mereka
mulai mengocok nama pemenang, hujan mulai turun di luar—perlahan dulu, lalu
semakin deras, disertai petir yang menyambar lebih dekat. Tiba-tiba, lampu
pijar di langit-langit berkedip hebat, lalu padam total, meninggalkan ruangan
dalam kegelapan yang hanya diterangi kilatan petir sesekali. Ibu-ibu lain
berteriak kecil dan tertawa gugup, tapi Bu Tejo merasa udara tiba-tiba menjadi
lebih dingin, seperti ada hembusan angin dari dalam rumah. “Ya Tuhan, mati
lampu lagi! Apa-apaan sih PLN ini?” keluhnya, suaranya bergetar saat ia bangkit
untuk mengambil lilin dari dapur. Ia menyalakan dua batang lilin kecil dan
meletakkannya di meja, nyala apinya berkedip-kedip ditiup angin yang semakin
kencang.
Saat ia kembali duduk, Bu Wulan
menimpali dengan nada bercanda, “Mungkin ini gara-gara Bu Narti Bu Tejo. Dia
denger kita ngomongin dia minggu lalu, sekarang balik buat takutin kita!”
Ibu-ibu lain tertawa, tapi Bu Tejo tak bisa ikut—tawanya macet di tenggorokan,
dan matanya melirik ke jendela dengan rasa takut yang tak bisa ia sembunyikan.
“Jangan bercanda gitu Bu Wulan, aku nggak suka ngomongin orang meninggal
malem-malem,” katanya pelan, tangannya mencengkeram kipas lebih erat. Tapi
sebelum ada yang menjawab, kilatan petir menyambar lagi, dan di bawah cahaya
itu, Bu Tejo melihatnya—sosok pocong berdiri tepat di luar jendela, kain
kafannya basah kuyup oleh hujan, wajahnya kini jelas: Bu Narti, dengan kulit
pucat membiru, bibir tipis yang membusuk, dan mata hitam yang menatapnya penuh
dendam.
“Ya Tuhan, itu dia!” teriak Bu Tejo,
berdiri tiba-tiba hingga kursinya jatuh ke belakang. Lilin di meja terjatuh dan
memercikkan api kecil di lantai, membuat ibu-ibu lain panik dan berteriak. “Apa
Bu? Apa yang kamu liat?!” tanya Bu Sari, suaranya tinggi karena ketakutan
sambil berdiri dan mendekati Bu Tejo. Tapi sebelum Bu Tejo bisa menjawab, ia
mendengar bisikan dingin dari luar jendela, jelas meski hujan deras menutupi
suara lain: “Tejo… loh kok takut?” Suara itu serak, penuh nada mengejek, dan
terasa seperti berasal dari tepat di belakangnya meski ia tahu sosok itu ada di
luar. Bu Tejo menjerit lagi, tangannya menunjuk ke jendela, “Itu Bu Narti! Dia
berdiri di situ! Aku nggak bohong!”
Ibu-ibu lain bergegas mendekati
jendela, mengintip ke luar dengan wajah penuh rasa ingin tahu bercampur takut.
Tapi saat kilatan petir berikutnya menyambar, tak ada apa-apa di sana—hanya
sawah yang basah dan pohon pisang yang bergoyang ditiup angin. “Bu Tejo kenapa
sih? Liat apa? Nggak ada apa-apa kok,” kata Bu Wulan, nadanya ragu tapi mencoba
menenangkan. Bu Tejo menggeleng hebat, tubuhnya gemetar hingga ia harus duduk
lagi. “Aku liat dia Bu! Pocong Bu Narti berdiri di situ, matanya item banget!”
katanya, suaranya pecah oleh air mata yang mulai mengalir. Ibu-ibu lain saling
pandang, beberapa tertawa gugup, tapi tak ada yang berani bicara lagi.
Arisan bubar lebih cepat malam itu,
dan ibu-ibu pulang dengan tergesa di tengah hujan, meninggalkan Bu Tejo
sendirian di rumah yang kini terasa lebih gelap dan dingin. Ia duduk di kursi,
menatap jendela dengan wajah pucat, tak berani mematikan lilin meski hujan
sudah reda. “Aku nggak gila, aku liat dia beneran,” gumamnya pada diri sendiri,
suaranya bergetar saat ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tapi di luar, di
tengah sawah yang gelap, bayangan putih itu muncul lagi, berdiri diam, menatap
rumahnya dengan mata hitam yang tak berkedip, menunggu sesuatu yang hanya ia
tahu.
Bab 5: Dendam yang Tak Selesai
Setelah malam arisan yang mengerikan
itu, Bu Tejo tak lagi bisa menjalani hari-harinya dengan tenang. Rumah kecilnya
di pinggir sawah menjadi tempat yang penuh teror—setiap malam ia mendengar
suara kain diseret di lantai beton, tetesan air yang tak pernah ia temukan
sumbernya, dan bisikan serak yang memanggil namanya dari sudut-sudut gelap.
Pocong Bu Narti mulai muncul lebih sering—di depan pintu saat ia akan mengunci
rumah, di sawah saat ia melirik ke jendela, bahkan di dalam rumah, berdiri diam
di sudut kamarnya dengan mata hitam yang tak berkedip, menatapnya seperti
menunggu sesuatu. Bu Tejo tak bisa tidur nyenyak; ia sering terbangun dengan
tubuh gemetar, wajahnya pucat, dan lingkaran hitam di bawah matanya semakin
dalam hingga ia tampak seperti bayangan dirinya sendiri.
Hari itu, setelah seminggu penuh
teror, Bu Tejo memutuskan untuk mencari bantuan. Ia tak bisa lagi menyangkal
bahwa apa yang ia alami bukan sekadar imajinasi atau kelelahan. Dengan langkah
gontai, ia berjalan ke rumah Pak Slamet, sesepuh di kampung yang tinggal di
pinggir hutan kecil di ujung kampung. Rumah Pak Slamet adalah gubuk kayu tua
dengan atap daun kelapa yang sudah rapuh, dikelilingi pohon-pohon besar yang
daunnya bergoyang pelan meski tak ada angin. Udara di sekitar rumah itu terasa
berat, penuh bau kemenyan dan tanah lembap, dan sebuah lampu minyak tua tergantung
di teras, nyalanya berkedip-kedip seperti akan padam. Bu Tejo mengetuk pintu
dengan tangan gemetar, tas kain lusuhnya tergantung di pundak, dan wajahnya
penuh harap bercampur ketakutan.
Pak Slamet membuka pintu, seorang pria
tua kurus dengan rambut putih yang jarang dan mata cekung yang tampak seperti
bisa melihat lebih dari yang biasa. Ia mengenakan sarung lusuh dan kaos oblong
yang sudah pudar, tangannya memegang tongkat kayu yang penuh ukiran aneh.
“Masuk Bu Tejo. Aku udah tau kamu bakal dateng dari tadi,” katanya dengan suara
serak yang pelan tapi tegas, membuat Bu Tejo tersentak. Ia melangkah masuk,
kakinya terasa berat di lantai tanah yang dingin, dan duduk di tikar pandan di
tengah ruangan yang penuh bau kemenyan. “Pak Slamet, tolong aku. Aku nggak
tahan lagi, tiap malem aku diteror!” katanya, suaranya bergetar oleh air mata
yang mulai menggenang. Ia menceritakan semuanya—bisikan, jejak basah, dan
pocong Bu Narti yang tak pernah pergi.
Pak Slamet mendengarkan dengan wajah
serius, tangannya mengelus tongkat kayu sambil matanya menatap kosong ke arah
asap kemenyan yang naik dari mangkuk kecil di sudut ruangan. Setelah Bu Tejo
selesai, ia menghela napas panjang. “Bu Narti mati dengan hati penuh sakit hati
Bu. Dia denger omonganmu di arisan, ngomongin kejelekannya pas dia baru pergi.
Rohnya nggak tenang, dendamnya ke kamu kuat banget,” katanya, nadanya berat
seperti membawa vonis. Bu Tejo menelan ludah, tangannya mencengkeram tas lebih
erat. “Terus aku harus gimana Pak? Aku nggak mau mati, aku takut banget!”
tanyanya, suaranya pecah oleh kepanikan.
Pak Slamet menatapnya tajam, lalu
berkata, “Kalo mau aman, minta maaf di kuburannya. Bawa lilin sama kembang,
bilang dari hati. Tapi hati-hati, kalo dia nggak nerima, bisa lebih parah.” Bu
Tejo mengangguk cepat, wajahnya pucat tapi penuh tekad. Ia pulang dengan
langkah tergesa, menyiapkan lilin kecil dan seikat kembang kamboja yang ia
petik dari pohon di halaman tetangga, lalu menunggu malam tiba dengan hati yang
tak tenang.
Malam itu, langit gelap tanpa bintang,
hanya awan tebal yang menutupi bulan. Bu Tejo berjalan sendirian menuju kuburan
Bu Narti di pemakaman kecil di pinggir kampung, sekitar lima ratus meter dari
rumahnya. Jalan setapak menuju ke sana sempit dan berlumpur, dikelilingi sawah
dan pohon-pohon besar yang daunnya bergoyang pelan seperti berbisik. Ia membawa
senter kecil dan lilin yang belum dinyalakan, tangannya gemetar hingga tas
kainnya hampir jatuh beberapa kali. Angin malam bertiup dingin, membawa bau
tanah basah dan sesuatu yang samar—seperti kain kotor yang sudah membusuk. “Ya
Tuhan, lindungi aku. Aku cuma mau minta maaf,” gumamnya, suaranya bergetar saat
ia mencoba menenangkan diri.
Saat ia sampai di kuburan Bu
Narti—sebuah gundukan tanah sederhana dengan batu nisan kayu kecil yang sudah
miring—ia berlutut di depan tanah basah itu, menyalakan lilin dengan korek api
yang hampir mati karena tangannya terlalu gemetar. Nyala lilin berkedip-kedip,
menerangi wajahnya yang pucat dan kembang kamboja yang ia letakkan di atas
tanah. “Bu Narti, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud ngomong jelek tentang
kamu. Aku salah, tolong maafin aku,” katanya, suaranya serak oleh air mata yang
mulai mengalir, mencampur penyesalan dan ketakutan. Ia menunduk, berdoa dalam
hati, berharap permintaan maafnya didengar.
Tiba-tiba, angin bertiup kencang,
memadamkan lilin dengan satu hembusan, dan suara seretan kain terdengar dari
belakangnya—pelan dulu, lalu semakin cepat, seperti sesuatu yang mendekat. Bu
Tejo menoleh perlahan, dan di bawah cahaya senter yang ia pegang erat, ia
melihatnya—pocong Bu Narti berdiri di belakangnya, kain kafannya basah dan
kotor oleh lumpur, bagian atasnya terlepas sedikit, memperlihatkan wajah yang
membusuk dengan kulit pucat kebiruan dan mata hitam yang menatapnya penuh
dendam. “Tejo… kamu udah minta maaf, tapi aku tetep laper…” bisiknya, suaranya
serak dan penuh nada mengejek, terdengar jelas meski angin menderu kencang.
“Aku udah minta maaf! Pergi, aku
takut!” teriak Bu Tejo, tubuhnya terhuyung ke belakang hingga ia jatuh di tanah
basah. Pocong itu tak bergerak, hanya berdiri diam, tapi udara di sekitarnya
terasa semakin dingin, dan bau busuk dari kain kafannya menyengat hidungnya. Bu
Tejo mencoba bangkit, tapi kakinya lemas, dan sebelum ia bisa lari, pocong itu
tiba-tiba menghilang, meninggalkan keheningan yang mencekam. Ia pingsan di
tempat, tubuhnya tergeletak di samping kuburan dengan senter yang masih menyala
lemah di tangannya.
Keesokan paginya, ia ditemukan oleh
Pak Min, tukang kebun yang lewat jalannya ke sawah. Bu Tejo masih hidup, tapi
wajahnya pucat seperti mayat, dan matanya kosong saat ia dibawa pulang. Sejak
itu, ia berhenti ikut arisan dan tak pernah lagi bergosip—setiap kali seseorang
menyebut nama Bu Narti, ia hanya diam dan gemetar. Tapi warga kampung bilang,
setiap malam purnama, pocong Bu Narti masih terlihat berkeliaran di sekitar
rumah Bu Tejo, berdiri di sawah atau di depan pintu, kain kafannya basah dan
wajahnya membusuk, mencari sesuatu—orang mungkin—yang tak pernah puas dengan
permintaan maafnya. Kadang, di malam yang sunyi, tetangga mendengar bisikan
samar dari arah rumah Bu Tejo: “Tejo… aku laper…”—suara yang tak pernah
benar-benar pergi.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
%20(15).png)
Komentar
Posting Komentar