#30 KISAH HOROR TEKNISI ELEKTRONIK
Bayang di
Layar
Bagian 1: Layar yang Menyala
Namaku Dika,
27 tahun, seorang teknisi elektronik yang tinggal di sebuah kota kecil di
pinggiran wilayah yang dikelilingi sawah dan perbukitan. Hidupku sederhana—aku
bekerja di toko reparasi kecil milik Pak Hadi, memperbaiki televisi, radio, dan
kadang-kadang ponsel tua yang dibawa pelanggan dari desa-desa sekitar. Tokoku
kecil, berdinding kayu, dengan bengkel kecil di belakang yang penuh alat-alat
bekas dan kabel-kabel kusut. Aku tinggal di rumah peninggalan bapak, sebuah
bangunan bata sederhana di tepi sawah, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan
bersama ibu dan adikku yang sekarang sudah pindah ke kota besar untuk kuliah.
Hari itu,
adalah hari yang biasa saja. Langit cerah, angin bertiup pelan membawa bau
rumput basah dari sawah, dan aku duduk di bengkel, memutar obeng untuk membuka
televisi tabung tua yang dibawa seorang pelanggan kemarin. Televisi itu besar,
berat, dengan layar cembung yang sudah penuh goresan dan bingkai plastik yang
retak di sudut. Pemiliknya, seorang bapak tua dari desa sebelah, bilang
televisi itu mati tiba-tiba setelah badai minggu lalu—lampunya menyala, tapi
layar hanya menunjukkan salju statis yang berderit. Aku mengangguk saat
mendengar keluhannya, berjanji akan memperbaikinya dalam dua hari, dan dia
pergi dengan langkah pelan, meninggalkan bau tembakau yang samar di udara.
Aku membawa
televisi itu ke meja kerja, meletakkannya di atas kain usang yang biasa
kugunakan untuk melindungi lantai dari baut-baut kecil. Aku membuka casing
belakangnya, mencium bau debu dan logam panas yang khas dari elektronik tua.
Kabel-kabel di dalamnya tampak kusut, beberapa solderannya lepas, dan ada bekas
gosong di salah satu komponen—mungkin korslet akibat petir. Aku menghela napas,
tahu ini akan memakan waktu lebih lama dari yang kukira, tapi aku suka
tantangan seperti ini. Ada kepuasan tersendiri saat aku bisa menghidupkan
kembali sesuatu yang orang lain anggap sudah mati.
Malam itu,
setelah makan malam sederhana—nasi, tempe goreng, dan sambal buatan ibu yang
kutitip dari kunjungan terakhirku ke kampung—aku kembali ke bengkel untuk
melanjutkan kerjaanku. Langit sudah gelap, hanya suara jangkrik dan angin malam
yang terdengar dari luar. Aku menyalakan lampu meja, cahayanya kuning pucat,
dan mulai menyolder kabel-kabel yang lepas. Televisi itu terhubung ke
stopkontak di sudut, dan saat aku menghubungkan kabel terakhir, aku menekan
tombol power untuk mengujinya. Layar menyala dengan derit kecil, tapi seperti
yang dikatakan pemiliknya—hanya salju statis, garis-garis abu-abu dan hitam
yang bergoyang liar, diiringi suara berdesis seperti angin di tengah hutan.
Aku memutar
tombol saluran, berharap ada sinyal yang tertangkap, tapi tidak ada apa-apa.
Aku mengangguk pada diri sendiri—mungkin antenanya bermasalah—dan berniat
mematikannya. Tapi saat tanganku menyentuh tombol power, aku mendengar sesuatu
di balik desis statis itu—suara samar, seperti bisikan, tapi terlalu pelan
untuk kupahami. Aku mengerutkan kening, mendekatkan telinga ke speaker kecil di
sisi televisi. Suara itu ada lagi—lebih jelas sekarang, seperti seseorang
memanggil namaku. “Dika...”
Aku
tersentak, mundur dari meja sampai punggungku membentur dinding kayu di
belakang. Jantungku berdegup kencang, dan aku menatap layar yang masih penuh
salju statis. Aku mencoba menenangkan diri—mungkin itu cuma suara angin, atau
imajinasiku yang kelelahan setelah seharian bekerja. Aku menekan tombol power
lagi, layar mati dengan bunyi klik kecil, dan keheningan kembali mengisi
bengkel. Aku menggosok wajahku, tertawa kecil pada diri sendiri karena
ketakutan yang tidak masuk akal, lalu memutuskan untuk tidur. Tapi saat aku
berjalan ke kamar, aku merasa ada yang salah—seperti ada mata yang memandangku
dari sudut ruangan yang gelap.
Bagian 2: Suara dari Layar
Keesokan
harinya, aku kembali ke bengkel dengan rasa penasaran yang bercampur
ketidaknyamanan. Televisi tua itu masih duduk di meja kerja, layarnya hitam dan
diam, tapi aku tidak bisa mengusir perasaan bahwa ada sesuatu yang aneh
tentangnya. Aku mencoba mengabaikannya, fokus pada pekerjaan lain—memperbaiki
radio transistor kecil milik tetangga dan membersihkan debu dari kipas angin
yang berderit. Tapi setiap kali aku melirik ke televisi itu, aku merasa seperti
dia memanggilku—tidak dengan suara, tapi dengan keberadaannya yang sunyi tapi
berat.
Siang itu,
setelah makan siang dengan mie instan dan segelas teh pahit, aku memutuskan
untuk menyelesaikan televisi itu. Aku menyalakannya lagi, layar menyala dengan
salju statis yang sama, dan aku mulai memeriksa antena dan konektor di
dalamnya. Aku menghubungkan kabel baru, menyesuaikan posisi antena kecil yang
kuganti dari stok bengkel, dan mencoba lagi. Kali ini, layar menunjukkan
gambar—kabur, penuh garis-garis, tapi aku bisa melihat bentuk samar sebuah
pohon dan langit gelap. Aku memutar tombol saluran, berharap menangkap stasiun
lokal, tapi gambar itu tidak berubah—hanya pohon itu, berdiri diam di tengah
layar, seperti direkam oleh kamera yang ditinggalkan di hutan.
Aku
mengerutkan kening, bertanya-tanya apakah ini sisa siaran lama yang tersangkut
di frekuensi aneh. Aku pernah mendengar dari Pak Hadi bahwa televisi tua kadang
menangkap sinyal aneh—cuplikan acara lama atau interferensi dari radio amatir.
Tapi saat aku menatap layar lebih lama, aku menyadari ada sesuatu yang bergerak
di balik pohon itu—bayangan kecil, samar, seperti seseorang berjalan pelan di
kejauhan. Aku mendekatkan wajah ke layar, mataku menyipit, dan saat aku hampir
bisa melihat bentuknya, suara itu muncul lagi—lebih jelas, lebih keras.
“Dika... kau lihat aku...”
Aku
menjatuhkan obeng yang kugenggam, logam itu jatuh ke lantai dengan bunyi keras
yang menggema di bengkel kecilku. Aku mematikan televisi dengan cepat, tanganku
gemetar, dan layar menjadi hitam lagi. Aku berdiri di sana, menatap pantulan
wajahku sendiri di layar kosong—pucat, dengan mata lelah yang penuh ketakutan.
Aku mencoba menenangkan diri, bilang pada diri sendiri bahwa ini cuma kelelahan
atau mungkin ada suara dari luar yang tertangkap speaker. Tapi di dalam hati,
aku tahu itu bukan angin—itu suara manusia, suara wanita, dan dia memanggil
namaku.
Malam itu,
aku tidak bisa tidur. Aku berbaring di kasur, menatap plafon kayu yang penuh
bekas rayap, dan mendengar suara jangkrik di luar bercampur dengan angin yang
bersiul melalui celah-celah jendela. Aku mencoba melupakan suara itu, tapi
setiap kali aku menutup mata, aku merasa seperti ada yang berdiri di sudut
kamar—bayangan yang tidak bergerak, tapi aku tahu dia ada di sana. Aku
menyalakan lampu kecil di meja samping kasur, berharap cahaya itu bisa mengusir
rasa takutku, tapi bayangan itu tetap ada di pikiranku, seperti noda tinta yang
tidak bisa dihapus.
Aku bangun
dari kasur, memutuskan untuk memeriksa televisi itu lagi. Aku berjalan ke
bengkel dengan langkah pelan, sandal jepitku menepuk lantai kayu dengan suara
kecil yang terasa terlalu keras di malam yang sunyi. Aku menyalakan lampu
bengkel, dan televisi itu duduk di sana, layarnya hitam tapi entah kenapa
terasa hidup—seperti menungguku. Aku menekan tombol power, tanganku ragu, dan
layar menyala lagi dengan salju statis yang berderit. Tapi kali ini, gambar itu
muncul lebih cepat—pohon yang sama, langit gelap, dan bayangan itu—lebih jelas
sekarang, seorang wanita dengan rambut panjang yang menutupi wajahnya, berdiri
di balik pohon, menatap ke arah layar.
Aku membeku,
tidak bisa bergerak, hanya menatap wanita itu. Rambutnya basah, meneteskan air
yang mengalir ke tanah di bawahnya, dan meski wajahnya tertutup, aku tahu dia
menatapku—aku bisa merasakan matanya, meski tidak terlihat. Layar berkedip, dan
tiba-tiba dia lebih dekat—sekarang berdiri di depan pohon, tangannya terulur ke
arah layar, jari-jarinya pucat dan bengkok seperti cakar. Aku menjerit kecil,
mematikan televisi, dan lari kembali ke kamar, pintu bengkel kubanting keras
sampai kayunya bergetar.
Bagian 3: Kuntilanak di Layar
Pagi itu,
aku bangun dengan kepala penuh kabut, seperti tidak tidur sama sekali. Aku
duduk di meja makan, menatap secangkir kopi hitam yang sudah dingin, dan
mencoba mencerna apa yang kulihat semalam. Aku tahu itu bukan mimpi—televisi
itu nyata, gambar itu nyata, dan suara itu... aku masih bisa mendengarnya di
telingaku, seperti bisikan yang menempel di dinding kepalaku. Aku memutuskan
untuk tidak menyentuh televisi itu hari ini—aku akan fokus pada pekerjaan lain,
mungkin pergi ke pasar untuk membeli onderdil, apa saja untuk mengalihkan
pikiran.
Tapi saat
aku membuka pintu bengkel untuk mengambil dompetku, aku mendengar suara itu
lagi—derit kecil dari televisi, meski aku yakin aku tidak menyalakannya. Aku
berjalan masuk, langkahku pelan, dan melihat layar menyala sendiri—salju statis
bergoyang liar, tapi di tengahnya, gambar itu muncul lagi. Wanita itu berdiri
di sana, lebih jelas sekarang—rambutnya panjang dan hitam, menutupi wajahnya
seperti tirai basah, dan dia mengenakan kain putih yang robek-robek di
ujungnya, seperti kain kafan yang dipakai pocong. Tapi dia bukan pocong—dia
berdiri tegak, tangannya terulur, dan aku mendengar suara tawa kecil yang
keluar dari speaker—tawa tinggi, seperti kuntilanak yang sering diceritakan ibu
waktu aku kecil.
Aku menatap
layar, tubuhku kaku, dan tiba-tiba layar berkedip lagi. Wanita itu sekarang
lebih dekat—wajahnya hampir menyentuh layar dari dalam, rambutnya menyebar
seperti jaring laba-laba, dan aku bisa melihat matanya di balik rambut
itu—merah, menyala, menatapku dengan kebencian yang tidak bisa kujelaskan. “Kau
tahu aku Dika...” suaranya keluar dari speaker, rendah dan bergetar, seperti
angin yang bercampur tawa.
Aku
mematikan televisi, mencabut kabelnya dari stopkontak, dan mundur sampai
punggungku membentur meja kerja. Aku menatap layar yang kini hitam, napasku
cepat dan pendek, dan aku merasa seperti dia masih ada di sana—di dalam
televisi, menunggu aku menyalakannya lagi. Aku tahu aku tidak bisa mengabaikan
ini lebih lama—aku harus cari tahu apa yang salah dengan televisi ini, atau
siapa yang ada di dalamnya.
Siang itu,
aku pergi ke rumah Pak Hadi, bosku, yang tinggal di ujung kota dekat pasar. Dia
pria tua, berusia sekitar enam puluh tahun, dengan rambut putih tipis dan
kacamata tebal yang selalu tergantung di hidungnya. Rumahnya kecil, penuh
barang-barang elektronik tua yang dia kumpulkan selama bertahun-tahun—radio,
pemutar kaset, dan televisi model lama seperti yang sedang kuperbaiki. Aku
mengetuk pintu, dan dia membukanya dengan senyum kecil, tapi senyumnya memudar
saat melihat wajahku.
“Dika, kamu
kenapa? Pucat banget. Sakit?” tanyanya, membukakan pintu lebih lebar.
Aku masuk,
duduk di kursi kayu di ruang tamunya, dan mencoba menjelaskan. “Pak, televisi
yang dibawa Bapak Samin kemarin... ada yang aneh. Saya nyalain, tapi nggak cuma
statis. Ada gambar... sama suara. Suara wanita, manggil nama saya.” Aku menatap
lantai, takut dia akan bilang aku gila.
Pak Hadi
mengerutkan kening, menyesap teh dari cangkirnya. “Televisi tua gitu emang
kadang aneh Dika. Bisa nangkep sinyal yang nggak seharusnya. Tapi... manggil
nama kamu? Itu nggak biasa.” Dia bangkit, berjalan ke rak di sudut ruangan, dan
mengambil buku tua dengan sampul kulit yang sudah mengelupas. “Aku pernah baca,
barang tua kayak gitu kadang bawa cerita. Pemilik lama, kejadian buruk, apa aja
bisa nempel.”
Aku
menatapnya, jantungku berdegup lebih cepat. “Maksudnya apa Pak? Hantu?”
Dia tertawa
kecil, tapi matanya serius. “Bisa jadi. Aku nggak bilang pasti, tapi... Bapak
Samin yang bawa televisi itu, dia orang desa sebelah kan? Desanya deket hutan
kecil yang orang bilang angker. Banyak cerita di sana—kuntilanak, genderuwo,
apa aja. Kalau televisi itu dari sana, mungkin bawa sesuatu.”
Aku menelan
ludah, mencoba mencerna kata-katanya. Aku tahu desa yang dimaksud—sebuah
kampung kecil di tepi hutan, tempat orang-orang masih takut dengan malam karena
cerita tentang hantu yang berkeliaran. Aku tidak percaya penuh pada Pak
Hadi—aku orang teknik, aku lebih percaya pada kabel dan solderan daripada
cerita hantu—tapi apa yang kulihat semalam bukan cuma imajinasi.
Bagian 4: Malam yang Gelap
Malam itu,
aku kembali ke rumah dengan kepala penuh pertanyaan. Aku membawa pulang buku
tua dari Pak Hadi—sebuah catatan tentang barang-barang aneh yang pernah dia
temui selama bertahun-tahun bekerja. Aku duduk di meja makan, membukanya di
bawah lampu neon yang berkedip-kedip, dan membaca halaman-halaman yang penuh
tulisan tangan dan gambar kasar. Ada cerita tentang radio yang menyiarkan suara
tangis bayi meski tidak ada baterai, tentang jam dinding yang berdetak mundur
di rumah kosong, dan tentang televisi—televisi tua yang menangkap gambar yang
tidak seharusnya ada.
Aku berhenti
di halaman yang menyebutkan “layar yang hidup”—catatan tentang televisi tabung
yang menunjukkan gambar hutan dan bayangan wanita berambut panjang. Pak Hadi
menulis bahwa televisi itu dibuang ke sungai oleh pemiliknya setelah mereka
mendengar suara tawa dari dalamnya setiap malam. Aku menutup buku, tanganku
dingin, dan melirik ke arah bengkel. Televisi itu masih ada di sana, kabelnya
tercabut, tapi aku merasa seperti dia menatapku melalui dinding.
Aku mencoba
tidur malam itu, tapi setiap kali aku menutup mata, aku mendengar suara samar—seperti
angin yang bercampur tawa, datang dari bengkel. Aku bangun, mengambil senter
dari laci meja, dan berjalan ke sana dengan langkah pelan. Aku membuka pintu
bengkel, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, dan aku melihat
televisi itu—layarnya menyala, meski kabelnya masih tercabut dari stopkontak.
Aku membeku,
senter di tanganku gemetar, dan cahayanya menyapu layar. Gambar itu ada
lagi—hutan gelap, pohon tinggi, dan wanita itu—sekarang berdiri di tengah
layar, rambutnya menyebar seperti jaring, tangannya menekan kaca dari dalam.
Aku mendengar suara tawa—tinggi, melengking, seperti kuntilanak yang
diceritakan ibu—dan layar berkedip. Dia lebih dekat sekarang, wajahnya hampir
menyentuh kaca, dan aku bisa melihat matanya—merah menyala, penuh dendam,
menatapku seperti tahu semua rahasiaku.
“Kau bunuh
aku Dika...” suaranya keluar dari speaker, keras dan jelas, seperti pisau yang
memotong keheningan malam. Aku menjerit, melempar senter ke televisi, dan layar
pecah dengan suara keras yang menggema di bengkel. Pecahan kaca berhamburan ke
lantai, dan lampu bengkel berkedip sebelum mati sepenuhnya, meninggalkan aku
dalam kegelapan.
Aku lari
kembali ke kamar, mengunci pintu, dan duduk di lantai dengan punggung menempel
ke dinding. Aku tidak tahu apa yang dia maksud—aku tidak pernah membunuh siapa
pun, aku bukan orang jahat. Tapi suara itu, wajah itu, terasa familiar, seperti
kenangan yang terkubur jauh di dalam pikiranku. Aku menutup mata, mencoba
bernapas, tapi tawa itu masih ada—di luar pintu, di dalam kepalaku, di
mana-mana.
Bagian 5: Kenangan yang Bangkit
Pagi itu,
aku duduk di ruang tamu dengan tubuh lelah dan mata yang perih karena tidak
tidur. Pecahan televisi masih berserakan di bengkel, dan aku tidak berani masuk
ke sana lagi. Aku memandang cermin kecil di dinding, mencoba mencari jawaban di
wajahku sendiri—wajah yang pucat, dengan lingkaran hitam di bawah mata dan
ekspresi ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Aku tahu aku harus mencari
tahu apa yang terjadi—siapa wanita itu, mengapa dia memanggilku, dan apa
maksudnya dengan “kau bunuh aku.”
Aku
mengingat kata-kata Pak Hadi tentang desa dekat hutan—tempat asal televisi itu.
Aku memutuskan untuk pergi ke sana, ke kampung kecil yang terletak di tepi
hutan tua, tempat orang-orang masih percaya pada cerita kuntilanak dan pocong
yang berkeliaran di malam hari. Aku mengambil sepeda motorku, sebuah kendaraan
tua yang sering mogok tapi masih bisa diandalkan, dan berkendara menyusuri
jalan kecil yang penuh lubang, melewati sawah dan perbukitan yang hijau di pagi
hari.
Perjalanan
memakan waktu satu jam, dan aku sampai di desa itu sekitar pukul sepuluh pagi.
Desanya kecil, hanya beberapa puluh rumah kayu dan bambu yang tersebar di tepi
hutan, dengan jalan tanah yang berdebu dan anak-anak yang bermain di halaman.
Aku berhenti di depan sebuah warung kecil, tempat beberapa bapak tua duduk
minum kopi dan mengunyah pinang. Aku mendekati mereka, mencoba tersenyum meski
wajahku pasti terlihat lelah.
“Permisi
Pak. Saya Dika, dari kota sebelah. Saya mau tanya soal Bapak Samin yang bawa
televisi ke toko saya. Dia tinggal di sini ya?” tanyaku, suaraku agak gemetar.
Seorang
bapak tua dengan topi caping melirikku, matanya kecil tapi tajam. “Samin? Dia
tinggal di ujung desa, deket hutan. Tapi dia jarang ke sini sekarang. Orang
bilang dia sakit, nggak keluar rumah sejak istri sama anaknya mati tahun lalu.”
Aku menelan
ludah, jantungku berdegup lebih cepat. “Mati? Kapan, Pak? Gimana
ceritanya?”
Dia
mengunyah pinang lebih lama sebelum menjawab, matanya melirik ke hutan di
kejauhan. “Tahun lalu, pas musim hujan. Istri
sama anaknya pergi ke hutan, katanya mau nyari kayu bakar. Nggak balik
sampai malem. Besoknya ketemu di pinggir kali—istri nya tenggelam, anaknya... katanya jatuh dari
pohon, kepalanya pecah. Orang bilang mereka nyasar, tapi ada yang bilang mereka
ketemu sesuatu di hutan. Sejak itu, Samin jadi aneh—ngomong sendiri, bilang dia
dengar suara istri nya tiap malam.”
Aku merasa
dingin menyelinap ke tulangku, meski matahari bersinar terang di atas kepala.
Aku mengangguk, mengucapkan terima kasih, dan melanjutkan perjalanan ke rumah
Bapak Samin. Rumahnya ada di ujung desa, sebuah gubuk kecil dengan dinding
bambu yang sudah rapuh dan atap seng yang penuh karat. Aku mengetuk pintu, tapi
tidak ada jawaban. Aku mendorong pintu perlahan—tidak terkunci—dan masuk ke
dalam.
Di dalam,
rumah itu gelap dan penuh bau debu. Ada meja kecil di sudut, penuh piring kotor
dan gelas kosong, dan sebuah ranjang kayu yang kasurnya sudah bolong-bolong. Di
dinding, aku melihat sesuatu yang membuatku membeku—gambar tua, mungkin foto
keluarga, tapi wajah wanita dan anak kecil di dalamnya sudah dicoret dengan
tinta hitam, seperti seseorang ingin menghapus mereka. Aku mendengar suara
pelan dari dalam—gumaman, seperti seseorang bicara sendiri. Aku berjalan ke
arahnya, dan di sudut ruangan, aku melihat Bapak Samin—duduk membelakangi,
menatap dinding kosong, mulutnya bergerak pelan.
“Pak Samin?
Saya Dika, dari toko reparasi. Televisi yang Bapak bawa... ada yang aneh sama
itu,” kataku, suaraku bergetar.
Dia berhenti
bergumam, tapi tidak menoleh. “Televisi itu... aku benci itu. Mereka ada di
dalemnya nak. Istri aku, anak aku... mereka nggak pergi. Mereka nyanyi, mereka
ketawa, tiap malem...” Suaranya rendah, seperti orang yang sudah lelah
berbicara.
Aku mundur,
jantungku berdegup kencang. “Mereka... maksud Bapak apa Pak? Hantu?”
Dia akhirnya
menoleh, matanya merah dan penuh air mata. “Kau dengar mereka ya? Mereka
panggil kau. Mereka tahu kau. Kau lihat dia di layar kan?” Dia tertawa kecil,
tawa yang kering dan penuh keputusasaan, lalu menunduk lagi, kembali bergumam
pada dirinya sendiri.
Aku keluar
dari rumah itu dengan cepat, naik ke motor, dan berkendara pulang secepat
mungkin. Aku tahu sekarang—televisi itu bukan cuma rusak. Ada sesuatu di
dalamnya, sesuatu yang berhubungan dengan Bapak Samin, dan entah kenapa, itu
menarikku ke dalamnya.
Bagian 6: Hutan yang Memanggil
Malam itu,
aku duduk di ruang tamu, menatap pintu bengkel yang tertutup rapat. Aku tidak
masuk ke sana sejak pagi—pecahan televisi masih berserakan di lantai, dan aku
takut mendengar suara itu lagi. Tapi aku tahu aku tidak bisa lari selamanya—aku
harus tahu siapa wanita itu, mengapa dia memanggilku, dan apa hubungannya
denganku. Aku mengambil buku Pak Hadi, membukanya lagi, dan mencari petunjuk
apa pun yang bisa membantuku.
Aku
menemukan catatan tentang hutan—hutan kecil di dekat desa yang disebut angker,
tempat orang-orang takut masuk karena cerita tentang kuntilanak yang menangis
di malam hari dan genderuwo yang mengintai di balik pohon. Pak Hadi menulis
bahwa hutan itu punya “jejak”—energi tua yang menarik arwah yang tidak tenang,
membuat mereka terjebak di sana, atau di benda-benda yang dibawa dari hutan.
Aku teringat kata-kata Bapak Samin—istrinya dan anaknya mati di hutan itu.
Mungkin televisi itu ada di sana saat kejadian, mungkin menyimpan sesuatu dari
malam mereka hilang.
Aku
memutuskan untuk pergi ke hutan itu esok hari—aku harus tahu apa yang terjadi,
harus mengakhiri ini sebelum aku benar-benar gila. Aku tidur malam itu dengan
lampu menyala, tapi mimpi buruk datang lagi—aku berdiri di hutan gelap,
pohon-pohon tinggi mengelilingiku, dan wanita itu muncul di depanku, rambutnya
menutupi wajah, tangannya terulur. “Kau bunuh aku...” katanya, dan aku
terbangun penuh keringat, mendengar suara tawa samar dari luar jendela.
Pagi
harinya, aku berkendara kembali ke desa, lalu melanjutkan ke hutan kecil di
belakangnya. Aku membawa senter, pisau kecil, dan botol air—aku tidak tahu apa
yang akan kutemui, tapi aku ingin siap. Hutan itu kecil tapi lebat,
pohon-pohonnya tinggi dengan akar yang mencuat dari tanah seperti jari-jari
raksasa. Udara terasa berat, penuh bau tanah basah dan daun busuk, dan suara
burung yang biasanya ramai di pagi hari hilang sepenuhnya.
Aku berjalan
menyusuri jalan setapak yang hampir tertutup rumput, senterku menyapu kegelapan
meski matahari masih bersinar di atas. Aku menemukan sebuah kali kecil di
tengah hutan—airnya hitam dan diam, seperti cermin yang memantulkan pohon-pohon
di sekitarnya. Aku teringat cerita Bapak Samin—istrinya tenggelam di sini,
anaknya jatuh dari pohon. Aku melirik ke atas, dan di salah satu pohon, aku
melihat bekas patah—cabang besar yang terkulai, seperti pernah menahan beban
yang terlalu berat.
Aku mendengar
suara samar—seperti angin, tapi lebih dalam, lebih hidup. Aku menoleh, dan di
balik pohon, aku melihatnya—wanita itu, sama seperti di layar televisi.
Rambutnya panjang dan basah, meneteskan air hitam ke tanah, dan dia berdiri
dengan kain putih yang robek-robek. Aku mundur, tapi kakiku terasa berat,
seperti ada yang menahanku. Dia melangkah mendekat, dan aku mendengar suara
tawa itu lagi—tinggi, melengking, seperti kuntilanak yang menangis di malam
hari.
“Kau bunuh
aku Dika...” katanya, suaranya bergema di hutan, dan aku menjerit, lari ke arah
berlawanan. Tapi hutan itu seperti hidup—cabang-cabang bergetar, akar-akar
mencoba mencengkeram kakiku, dan aku tersandung, jatuh ke tanah basah. Aku
menoleh, dan dia ada di depanku—wajahnya sekarang terlihat, pucat dan penuh
luka, matanya merah menyala, dan mulutnya terbuka lebar, penuh gigi yang
bengkok.
Aku menutup
mata, menjerit, dan tiba-tiba aku mendengar suara motor dari jauh. Aku membuka
mata—dia hilang, dan cahaya matahari menyelinap masuk melalui pohon-pohon. Aku
bangkit, berlari ke arah suara, dan menemukan seorang petani tua di pinggir
hutan, menatapku dengan kebingungan.
“Mas,
ngapain di sini? Hutan ini bahaya!” katanya, membantu aku berdiri.
“Ada... ada
sesuatu di sana Pak...” kataku, napasku tersengal.
Dia
mengangguk pelan. “Orang bilang, hutan ini nggak aman. Banyak yang hilang,
banyak yang balik beda. Ayo keluar Mas.”
Bagian 7: Rahasia yang Terungkap
Aku kembali
ke rumah sore itu, tubuhku lelah dan pikiranku penuh bayangan wanita itu. Aku
tahu aku tidak bisa terus lari—aku harus menghadapi ini, harus tahu mengapa dia
memanggilku. Aku duduk di ruang tamu, menatap buku Pak Hadi, dan membukanya
lagi, mencari petunjuk apa pun yang bisa menjelaskan.
Aku
menemukan catatan tentang “kuntilanak yang terikat”—hantu wanita yang mati
dengan dendam, terjebak di tempat kematiannya atau di benda yang menyimpan
kenangan mereka. Pak Hadi menulis bahwa kuntilanak seperti itu bisa memanggil
orang yang mereka kenal—orang yang terhubung dengan kematian mereka, entah
sadar atau tidak. Aku mengerutkan kening—aku tidak pernah membunuh siapa pun,
aku tidak kenal istri Bapak Samin. Tapi ada sesuatu di pikiranku—kenangan
samar, seperti bayangan yang muncul di sudut mata.
Aku menutup
mata, mencoba mengingat. Dan tiba-tiba, itu datang—sebuah malam, bertahun-tahun
lalu, saat aku masih SMA. Aku dan temen-temenku—Rudi dan Andi—pernah main ke
hutan kecil itu, malam hari, karena tantangan bodoh dari anak-anak lain. Kami
bawa senter, tertawa-tawa, dan masuk ke hutan untuk cari “hantu”. Aku ingat
kami mendengar suara—tangis wanita, pelan tapi jelas. Kami ketakutan, tapi Rudi
bilang itu cuma angin, dan kami terus masuk.
Aku ingat
ada wanita—dia berdiri di pinggir kali, rambutnya panjang dan basah, menangis
pelan. Kami pikir dia orang desa yang nyasar, tapi saat kami mendekat, dia
menoleh—wajahnya pucat, matanya merah, dan dia menjerit, suaranya melengking
seperti kuntilanak. Kami lari, tapi aku ingat Rudi melempar batu—batu besar, ke
arahnya, untuk menakut-nakuti. Aku mendengar bunyi keras, seperti sesuatu jatuh
ke air, dan kami tidak menoleh lagi—kami lari sampai ke desa, tertawa karena
ketakutan, dan tidak pernah bicara soal itu lagi.
Aku membuka
mata, tanganku gemetar. Apakah itu dia? Apakah batu itu... membunuhnya? Aku
tidak tahu—aku pikir itu cuma hantu, cuma cerita, tapi sekarang aku tidak yakin
lagi. Aku merasa mual, rasa bersalah yang tidak kusadari selama bertahun-tahun
muncul seperti air bah, membanjiri pikiranku.
Malam itu,
aku kembali ke bengkel, membawa pisau dan garam dari dapur—aku ingat cerita ibu
bahwa garam bisa mengusir hantu. Televisi itu masih pecah, tapi aku merasa dia
ada di sana—di dalam pecahan kaca, di dalam hutan, di dalam kepalaku. Aku
menabur garam di sekitar meja, menyalakan lilin kecil, dan duduk di depan televisi,
menunggu.
Layar
menyala sendiri—meski pecah, meski tidak ada listrik. Gambar itu muncul—hutan,
pohon, dan dia—kuntilanak itu, berdiri di tengah layar, menatapku. “Kau bunuh
aku Dika... kau tinggalkan aku...” suaranya keluar, penuh amarah dan kesedihan.
Aku berdiri,
memegang pisau erat-erat. “Aku nggak tahu! Aku cuma anak kecil waktu itu! Aku
takut! Maaf...” kataku, suaraku pecah, air mata mengalir tanpa kusadari.
Dia
melangkah lebih dekat, tangannya menekan kaca dari dalam, dan aku mendengar
suara retak—pecahan kaca bergerak, seperti dia mencoba keluar. Aku menjerit,
melempar garam ke arah layar, dan tiba-tiba lampu bengkel menyala terang,
membutakan mataku. Saat aku membuka mata lagi, televisi itu mati—hanya pecahan
kaca yang berserakan, dan keheningan kembali mengisi ruangan.
Bagian 8: Bayang yang Tetap Ada
Aku membakar
sisa-sisa televisi itu keesokan harinya—pecahan kaca, kabel, dan casing
plastiknya kumasukkan ke tong besi di halaman belakang dan kubakar sampai jadi
abu. Asapnya hitam dan tebal, membubung ke langit pagi, dan aku berdiri di
sana, menatap api itu sampai padam. Aku tidak tahu apakah itu cukup—apakah
kuntilanak itu pergi, atau hanya diam untuk sementara. Tapi aku merasa lebih
ringan, seperti ada beban yang terangkat dari pundakku.
Aku kembali
ke rutinitas—memperbaiki radio, kipas angin, dan apa saja yang dibawa pelanggan
ke toko. Aku tidak cerita ke Pak Hadi atau siapa pun tentang apa yang
terjadi—aku takut mereka bilang aku gila, atau lebih buruk, percaya dan
menjauhiku. Tapi setiap malam, aku tidur dengan lampu menyala, dan setiap kali
aku melihat cermin, aku merasa ada bayangan di belakangku—tinggi, dengan rambut
panjang, menatapku dengan mata merah yang tidak pernah lupa.
Aku tahu aku
membawa sesuatu dari malam itu—dari hutan itu, dari televisi itu. Rasa bersalah
yang tidak kusadari selama bertahun-tahun, kenangan yang kubenci tapi tidak
bisa kuhapus. Aku tidak yakin apakah dia benar-benar pergi, atau hanya
menunggu—di hutan, di layar, di dalam diriku. Dan setiap kali aku mendengar suara
tawa samar di malam hari, aku hanya bisa berdoa itu cuma angin—meski aku tahu,
di lubuk hati, itu bukan.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
%20(11).png)
Komentar
Posting Komentar