#26 DESA ANGKER
Desa di Bawah Bayang
Bab 1: Jalan ke Sukamati
Namaku Ardi,
29 tahun, seorang fotografer lepas yang hidup dari motret pemandangan aneh dan
terpencil untuk proyek pribadiku yang kuharap suatu hari bisa jadi buku—atau
setidaknya pameran kecil di galeri pinggir kota. Aku tinggal di sebuah kota
kecil yang sibuk, di kontrakan sempit dekat pasar tradisional yang bau ikan
asinnya nyelinap ke kamarku tiap pagi, bercampur bau kopi dari warung tetangga.
Pekerjaanku nggak tetap—kadang aku motret buat koran lokal, kadang buat turis
yang minta foto estetik di candi-candi tua yang tersembunyi di bukit, tapi yang
bikin aku hidup adalah petualangan ke tempat-tempat yang orang lain nggak
berani datengi. Aku suka sawah yang hijau terhampar kayak karpet tua di kaki
perbukitan, kabut yang nutupin puncak-puncak kecil di pagi hari, dan desa-desa
terpencil yang punya cerita—cerita yang bikin bulu kuduk berdiri, meski aku
nggak terlalu percaya sama hal-hal gaib itu. Bagiku, cerita horor cuma
bumbu—yang aku cari adalah frame sempurna, cahaya yang pas, dan bayangan yang
bikin orang takut tapi takjub.
Bulan lalu,
aku ketemu Bayu—temen SMA yang sekarang kerja jadi sopir truk antar kota—di
warung kopi deket terminal tua yang atapnya bocor. Dia duduk di bangku kayu
yang goyah, nyedot rokok kretek yang asapnya ngepul ke atap seng, sambil cerita
tentang rute-rutenya yang aneh. Aku pesen kopi hitam, duduk di depannya, dan
dengar dia ngomong dengan suara serak yang khas abis nyanyi karaoke semaleman.
“Ardi, kamu pernah denger Desa Sukamati nggak?” tanyanya, matanya kecil tapi
tajam, kayak tahu sesuatu yang aku nggak tahu. Aku geleng—aku tahu perbukitan
dekat kota, tahu desa-desa wisata yang rame turis, tapi Sukamati? Nggak pernah
denger. Dia nyengir, buang abu rokok ke lantai yang penuh bekas puntungan, dan
lanjutin, “Desa kecil di kaki bukit—katanya udah mati, nggak ada orang lagi di
sana. Orang bilang angker—nggak ada yang masuk ke situ kalo nggak kepepet.
Kamera kamu bakal suka, tapi kamu berani nggak?”
Aku
ketawa—suara kecil yang coba nutupin rasa nggak enak yang mulai muncul di
perutku. “Bayu, kamu tahu aku nggak takut hantu—aku cuma takut bensin abis di
tengah jalan!” Dia ngakak, tapi matanya nggak ikut ketawa—dia lihat aku lama,
kayak mau bilang sesuatu, tapi cuma bilang, “Coba aja—cari jembatan kayu tua
deket sungai, trus belok kiri ke jalan tanah. Sukamati ada di ujung—tapi
hati-hati ya.” Aku ngangguk, pura-pura santai, tapi kata-katanya nempel di
kepalaku—aku suka tantangan, dan desa mati di kaki bukit terdengar kayak
jackpot buat portfolioku.
Hari itu,
aku siapin semuanya—kamera Canon tua yang lensa depannya udah penuh goresan
halus dari petualangan sebelumnya, tripod yang salah satu kakinya bengkok
karena pernah jatuh di sungai kecil waktu motret air terjun, sama tas kecil
yang isinya senter, botol air, pisau lipat dari bapak, dan dua batang rokok
kretek yang aku simpen buat malam panjang. Aku nyetir mobilku—Kijang tua warna
hijau pudar yang bensinnya selalu bikin aku was-was, apalagi pas jarum
bensinnya goyang di tengah-tengah. Aku cek tangki pagi itu—penuh, cukup buat
bolak-balik dari kota ke bukit, asal nggak macet atau nyasar. Aku taruh tas di
jok belakang, nyalain radio—lagu dangdut tua “Rindu Berat” mengalir pelan,
suara speakernya sember karena udah tua—dan mulai perjalanan jam satu siang,
pas matahari masih tinggi di langit yang mulai berawan.
Jalan dari
kota ke arah bukit mulus—aspal hitam membentang di antara sawah yang hijau sama
pohon-pohon kelapa yang berdiri tegak di pinggir, daunnya bergoyang pelan
ditiup angin siang. Aku lewat sebuah desa kecil, beli bensin di pom sederhana
yang papan namanya udah pudar—petugasnya, bapak tua pake topi caping anyaman,
bilang, “Mau ke mana Mas? Bukit? Hati-hati ya, kabutnya tebel kalo sore.” Aku
ngangguk, bilang, “Iya Pak—cuma motret bentar, nggak lama.” Dia senyum, tapi
matanya nggak ikut—aku ngerasa dia tahu sesuatu, tapi aku nggak tanya lebih
jauh, cuma bayar bensin sama beli sebotol teh manis dingin yang aku simpen di
dashboard, botolnya dingin bikin tanganku sedikit kaku.
Dari desa
itu, aku masuk ke jalan kecil—jalan berbatu yang penuh lubang, ditutup pohon
pinus tinggi yang jarum-jarumnya jatuh ke tanah bikin karpet cokelat kering
yang berderit pas aku lewat. Aku buka jendela mobil—bau pinus nyengat, segar
tapi dingin, bercampur bau tanah yang lembap karena hujan kecil tadi pagi,
bikin udara terasa berat. Peta di ponselku mulai ngaco—sinyal yang tadi penuh
jadi satu baris, trus ilang sama sekali pas aku masuk hutan pinus yang lebat,
pohon-pohonnya berdiri rapet kayak tembok hidup. GPS cuma nunjukin garis
putus-putus—nggak jelas arahnya, cuma bilang “mencari sinyal” sampe aku matiin
ponselnya, simpen di saku jaket yang udah bau rokok samar. Aku cuma punya
petunjuk kasar dari Bayu—“Cari jembatan kayu tua deket sungai, trus belok kiri
ke jalan tanah—Sukamati ada di ujung.”—dan aku harap itu cukup, meski perutku
mulai ngerasa nggak enak, kayak ada yang bilang aku seharusnya balik aja.
Langit udah
gelap pas aku nyetir lebih dalam—awan tebal nutupin matahari yang tadi masih
cerah, bikin suasana jadi abu-abu kelam, kayak lukisan tua yang warnanya pudar
dan penuh debu. Angin bertiup kenceng—daun pinus berdesir keras, dan
ranting-ranting kecil jatuh ke kap mobil, bikin suara “tak-tak” yang bikin aku
sedikit kaget tiap kali aku ngerasa udah tenang. Aku nyanyi pelan—lagu dangdut
“Rindu Berat” yang tadi aku denger di radio—“Rindu berat, rindu yang pahit, di
hati ini...”—cuma buat ngusir sepi, buat bilang ke diri sendiri aku nggak
takut, meski suaraku serak dan tenggorokan kering. Aku ambil teh manis dari
dashboard, minum setengah botol—rasanya manis, dingin, tapi nggak bikin aku
tenang, malah bikin aku ngerasa lebih dingin di dalam.
Aku sampe di
jembatan kayu tua yang Bayu bilang sekitar jam lima sore—jembatan kecil, cuma
cukup buat satu mobil, papan-papannya lapuk, penuh lumut hijau yang licin, dan
bergoyang pelan pas aku lewat pake Kijangku, bikin aku takut mobilnya bakal
ambruk ke bawah. Di bawahnya, sungai kecil mengalir—airnya hitam kayak tinta,
keruh, penuh daun-daun kering yang nyangkut di bebatuan pinggir, bikin suara
gemericik pelan yang aneh, kayak ada bisikan samar di dalemnya, meski aku cuma
bilang ke diri sendiri itu cuma air sama angin. Aku ngerasa bulu kudukku
berdiri—aku buru-buru lewat jembatan, ngerasa lega pas roda mobil nyentuh tanah
lagi di sisi seberang, meski jantungku masih cepet.
Aku belok
kiri ke jalan tanah—semakin aku masuk, semakin sempit jalannya, dikelilingi
pohon-pohon besar yang rantingnya bengkok-bengkok, kayak tangan-tangan tua yang
mau nyambar mobilku dari samping. Cahaya sore udah ilang—hutan pinus nutupin
langit, bikin aku ngerasa kayak masuk gua yang nggak ada ujungnya, gelap dan
dingin. Aku nyalain lampu depan—cahaya kuningnya nyapu jalan, nunjukin batu-batu
kecil sama rumput liar yang tumbuh sembarangan, bikin bayangan aneh di pinggir
jalan. Aku ngerasa mobil goyang—jalannya penuh lubang, dan aku coba
pelan-pelan, takut ban kempes atau as roda patah di tengah hutan yang nggak ada
sinyal ini, nggak ada orang yang bisa aku panggil kalo sesuatu jadi salah.
Setengah jam
lewat jalan tanah, aku sampe di Sukamati—atau apa yang tersisa dari Sukamati.
Desa itu berdiri di lembah kecil, dikelilingi hutan lebat yang pohon-pohonnya
kayak pagar raksasa, nutupin desa dari dunia luar kayak nggak mau ada yang
masuk atau keluar. Rumah-rumahnya cuma bangunan kayu yang udah reyot—atap
seng-nya karatan, beberapa udah bolong bikin aku bisa lihat langit kelam di
dalemnya, dindingnya penuh lubang kayak digerogoti rayap selama bertahun-tahun,
dan pintu-pintunya terbuka lebar, bergoyang pelan ditiup angin, kayak ditinggal
buru-buru sama penghuninya yang nggak balik lagi. Sawah di pinggir desa penuh
rumput liar yang tinggi sampe pinggang—nggak ada tanda-tanda tanaman padi atau
jagung yang biasa aku lihat di desa-desa lain, cuma alam yang ambil alih, bikin
tempat ini terasa mati. Di tengah desa, ada pohon beringin besar—batangnya
tebel, kulitnya kasar, penuh retakan kecil yang bikin aku ngerasa nggak nyaman,
akarnya nyelonong ke tanah kayak cakar-cakar hitam yang nyoba nyambar apa aja
yang lewat, daun-daunnya lebat, bergoyang pelan, bikin bayangan aneh di tanah
yang basah sama embun sore.
Aku parkir
mobil di pinggir jalan tanah—mesin aku matiin, dan keheningan langsung nutupin
semuanya, bikin telingaku berdengung pelan karena nggak ada suara lain. Aku
buka pintu, turun, dan ngerasa udara dingin banget—bikin jaketku yang tipis
nggak cukup, bikin tanganku kaku meski aku coba gesek-gesek biar hangat. Bau
tanah basah nyengat—bercampur bau kayu lapuk sama sesuatu yang aku nggak bisa
kenalin, bau yang bikin perutku nggak enak, samar tapi nyata, kayak bau sesuatu
yang udah lama mati. Desa itu sunyi—nggak ada suara burung yang biasa aku
denger di hutan, nggak ada jangkrik yang nyanyi pas sore, cuma angin yang
bersiul lewat celah-celah kayu, bikin suara kayak orang nangis pelan dari jauh,
meski aku tahu itu cuma pikiran.
Aku ambil
kamera dari tas di jok belakang—Canon tua yang lensa depannya penuh goresan
halus dari petualangan sebelumnya, tapi masih bisa nangkep detail yang bikin
orang takjub kalo aku pasang di Instagram atau cetak buat temen. Aku gantungin
di leher, ambil tripod dari bagasi—kakinya yang bengkok aku tarik pelan biar
nggak patah, meski aku tahu itu udah rapuh—dan jalan masuk ke desa. Aku nyanyi
pelan lagi—“Rindu berat, rindu yang pahit...”—tapi suaraku mati di tenggorokan,
kayak angin nyedot kata-kataku, bikin aku ngerasa kecil di tengah desa yang
terlalu sunyi ini. Aku ngerasa pundakku berat—aku bilang ke diri sendiri itu
cuma tas sama tripod yang aku bawa, tapi aku nggak bisa bohong, aku ngerasa ada
yang salah, ada yang lihat aku dari jauh.
Aku jalan ke
arah rumah pertama—pintunya terbuka, kayunya udah lapuk, penuh serpihan kecil
yang jatuh pas aku lewat, dan aku lihat ke dalem—gelap, cuma ada meja kayu
kecil yang kakinya patah, sama sebuah tungku tanah yang penuh abu dingin, kayak
udah lama nggak disentuh api. Aku nyalain lampu kecil di kamera, arahin ke
dalem—cahaya putihnya nyapu dinding, nunjukin coretan-coretan samar, kayak gambar
anak-anak, tapi buram, kayak digores pake arang yang udah ilang separuh, bikin
aku ngerasa nggak nyaman. Aku ambil foto—klik suara shutter bikin aku sedikit
tenang, bikin aku ngerasa aku masih kontrol suasana, meski tanganku sedikit
gemetar pas aku tekan tombolnya.
Aku lanjut
ke jemuran di samping rumah—ada kain usang yang tergantung, robek-robek di
ujungnya, bergoyang pelan sama angin, kayak masih nunggu yang punya jem duit
buat ambil. Aku motret—cahaya lampu kamera bikin kain itu keliatan lebih tua,
lebih kotor, dan aku ngerasa ada bau aneh—bau tanah basah bercampur sesuatu
yang busuk, samar tapi nyata, bikin aku buru-buru minggir. Aku lanjut ke sumur
batu di deket rumah kedua—tutupnya patah, setengah terbuka, dan aku lihat ke
dalem—gelap, cuma ada bau air yang nggak enak, kayak air yang udah lama nggak
gerak, bikin aku ngerasa perutku mual. Aku ambil foto—aku suka bayangan sumur
yang dalam, bikin suasana desa ini terasa lebih mati, lebih sepi.
Aku sampe di
pohon beringin—pohon raksasa yang jadi pusat desa, batangnya tebel, kulitnya
kasar, penuh retakan kecil yang bikin aku ngerasa nggak nyaman, kayak ada
sesuatu yang sembunyi di dalemnya. Di bawahnya ada meja kayu kecil yang udah
lapuk—kakinya miring, kayak mau rubuh kapan aja—sama beberapa batu besar yang
tersusun rapi, kayak tempat duduk warga dulu pas ngumpul, meski sekarang cuma
debu sama daun kering yang nutupin. Aku taruh tripod di tanah—kaki bengkoknya
aku tekan biar stabil meski tanahnya lembek—dan motret dari sudut rendah, coba
nangkep akar beringin yang nyelonong ke tanah, bikin bayangan aneh yang aku
suka buat foto. Aku atur lensa, fokus ke akar yang hitam dan bengkok—klik,
klik, aku ambil beberapa frame, dan aku lihat hasilnya di layar kamera, coba
ngerasa bangga sama kerjaanku.
Tapi pas aku
lihat layar, aku ngerasa jantungku berhenti—di salah satu foto, ada
bayangan—kecil, berdiri di deket sumur yang aku motret tadi, kayak anak-anak,
tapi buram, kayak kabut yang bentuknya mirip orang, berdiri diam di tengah
frame. Aku nengok ke sumur—nggak ada apa-apa, cuma batu sama rumput liar yang
bergoyang pelan sama angin, nggak ada tanda-tanda apa pun yang aku lihat di
foto. Aku bilang ke diri sendiri itu cuma bayangan pohon—cahaya sore bikin
trik, lensa aku kotor, atau mungkin debu yang nyangkut—tapi pundakku ngerasa
lebih berat, dan aku ngerasa ada yang lihat aku dari jauh, dari balik kabut
yang mulai turun.
Aku nengok
ke sekitar—kabut tipis mulai turun dari hutan, nutupin rumah-rumah tua di
kejauhan, bikin desa ini terasa lebih kecil, lebih sempit, kayak aku dikurung
di dalemnya. Aku ngerasa napasku cepet—aku buru-buru balik ke mobil, tripod aku
bawa dengan tangan gemetar, kamera aku gantungin di leher, langkahku cepet
meski kakiku ngerasa lemas, kayak tanah narik aku biar tinggal. Aku sampe di
mobil, buka pintu, dan duduk di jok—aku tarik napas dalam, coba tenang, coba
bilang ke diri sendiri aku baik-baik aja, dan nyalain mesin.
Tapi mesin
nggak nyala—aku puter kunci, cuma ada bunyi “klik” pelan, trus mati lagi, kayak
mobilku ikut takut sama tempat ini. Aku coba berkali-kali—nggak nyala, meski
aku tahu bensinnya cukup, aku cek jarumnya tadi pagi, tangki masih setengah
penuh. Aku ngerasa bulu kudukku berdiri—aku nengok ke luar jendela, dan aku
lihat mereka—bayangan, banyak bayangan, berdiri diam di tengah kabut, di deket
pohon beringin, di deket sumur, di deket rumah-rumah tua yang pintunya terbuka.
Mereka nggak gerak—cuma berdiri, lihat ke arahku, dan kabut mulai tebal,
nutupin desa, bikin aku ngerasa terperangkap, nggak bisa lari.
Aku ngerasa
napasku cepet banget—aku tahu aku nggak bisa tinggal di sini, aku tahu aku
harus keluar, tapi aku nggak tahu caranya, nggak tahu apa yang aku hadepin. Aku
nengok ke tas di jok belakang—senter, pisau, botol air—aku ambil semuanya, buka
pintu mobil, dan lari masuk ke desa lagi—aku nggak tahu ke mana, aku cuma tahu
aku nggak bisa tinggal di mobil yang nggak nyala, nggak bisa nunggu di tengah
bayangan yang lihat aku dari kabut, bayangan yang bikin aku ngerasa aku nggak
sendirian.
Bab 2: Malam yang Dingin
Aku duduk di
jok pengemudi Kijang tua yang aku parkir di pinggir jalan tanah, tanganku
gemetar memutar kunci kontak yang dingin di ujung jari—mesin cuma mengeluarkan
bunyi “klik-klik” pelan, seperti batuk kecil yang mati sebelum sempat hidup,
lalu hening lagi, meninggalkan aku dengan suara napasku sendiri yang cepat dan
pendek. Aku ngerasa jantungku berdetak kencang—kabut di luar udah tebal banget,
menempel di jendela mobil kayak selimut putih yang hidup, bergerak pelan,
menutupi apa pun di luar sampai aku cuma bisa lihat bayangan samar pohon
beringin yang menjulang di kejauhan, akar-akarnya yang hitam kayak cakar
raksasa menyelinap ke dalam kegelapan. Aku nengok ke jarum bensin di dashboard—setengah
penuh, aku cek tadi pagi sebelum berangkat dari kota, nggak ada tanda-tanda
kebocoran, nggak ada suara aneh dari mesin sepanjang perjalanan, cuma mati
begitu saja, tiba-tiba, kayak ada yang memutuskan nyawanya dari luar.
Aku tarik
napas dalam, coba tenang—mungkin aki-nya soak, mungkin kabelnya leleh karena
dingin, atau mungkin bensinnya bermasalah meski aku yakin udah isi penuh di pom
kecil tadi. Aku bilang ke diri sendiri itu cuma masalah teknis—aku capek, aku
panik, nggak lebih dari itu—tapi aku nggak bisa bohong, pundakku ngerasa berat,
lebih berat dari biasanya, kayak ada yang duduk di atasnya, meski aku tahu tas
sama tripodku cuma ada di jok belakang, nggak cukup berat buat bikin aku
ngerasa begini. Aku ngerasa ada yang salah—ada yang lihat aku, ada yang berdiri
di luar sana, di tengah kabut yang makin tebal, di tengah desa Sukamati yang
sunyi kayak kuburan.
Aku nengok
ke jendela samping—kabut nutupin kaca, bikin pantulan muka aku sendiri keliatan
buram, pucat, mataku merah karena udah dua malam nggak tidur nyenyak, cuma
baring sambil mikirin proyek foto ini dan cerita aneh Bayu. Tapi di balik
pantulan itu, aku lihat sesuatu—bayangan, banyak bayangan, berdiri diam di
kejauhan, di deket pohon beringin yang akarnya nyelonong ke tanah, di deket
sumur batu yang tutupnya patah, di deket rumah-rumah tua yang pintunya terbuka
lebar kayak mulut yang nggak nutup lagi. Mereka nggak gerak—cuma berdiri, lihat
ke arahku, bentuknya buram tapi jelas manusia, meski nggak bener-bener manusia,
kayak bayangan yang salah bentuk, terlalu tinggi, terlalu kurus, terlalu mati.
Aku ngerasa napasku tersendat—aku nengok ke jendela lain, ke kaca depan, dan
mereka ada di mana-mana, berdiri di tengah kabut, nggak deket, tapi nggak jauh,
cukup buat bikin aku ngerasa dikepung.
Aku ngerasa
bulu kudukku berdiri—aku tarik napas cepet, buka pintu mobil dengan tangan yang
gemetar, dan keluar—nggak ada pilihan, aku nggak bisa tinggal di sini, nggak
bisa nunggu apa yang bakal dateng dari kabut yang udah nutupin segalanya. Udara
dingin langsung nyelinap ke jaketku yang tipis—bikin kulitku merinding, bikin
tanganku kaku kayak kayu yang basah, bikin napasku keluar kayak asap putih yang
langsung ilang di tengah kabut. Aku ngerasa bau tanah basah yang
nyengat—bercampur bau kayu lapuk dari rumah-rumah tua di sekitar, sama bau aneh
yang samar, bau yang bikin perutku mual, kayak bau sesuatu yang udah lama mati,
sesuatu yang nggak seharusnya ada di sini. Aku nengok ke jok belakang, buka tas
kecil yang aku bawa dari kota—senter tua yang batrenya udah lemah, casingnya
penuh goresan dari petualangan sebelumnya, botol air setengah penuh yang aku
beli tadi di pom kecil, sama pisau lipat dari bapak, bilahnya kecil tapi tajam,
gagangnya kayu yang udah usang, peninggalan dia yang aku bawa buat jaga-jaga,
meski aku nggak pernah bener-bener pake.
Aku ambil
semuanya—senter aku genggam erat di tangan kanan, aku getok pelan ke telapak
tangan kiri biar nyala, dan cahaya kuning pucat keluar, goyang-goyang karena
tanganku nggak bisa tenang. Botol air aku simpen di saku jaket—dinginnya nempel
di dada, bikin aku ngerasa lebih kedinginan. Pisau lipat aku taruh di saku
celana—aku ngerasa gagangnya di jari, bikin aku sedikit tenang, meski aku tahu
itu nggak bakal cukup kalo sesuatu beneran dateng. Aku nengok ke mobil lagi—aku
pikir buat tinggal, buat sembunyi di dalem sampe pagi, tapi aku tahu itu nggak
mungkin—bayangan-bayangan itu udah deket, aku ngerasa mereka tahu aku di sini,
dan mobil yang mati cuma jadi kotak besi yang nggak bisa nyelametin aku.
Aku nyalain
senter—cahaya kuningnya nyapu kabut di depan, bikin lingkaran kecil yang cuma
ngasih aku pandangan beberapa meter, tapi cukup buat lihat tanah basah di bawah
kakiku, penuh rumput liar yang licin sama daun-daun kering yang udah cokelat.
Aku jalan balik ke desa—aku nggak tahu kenapa, aku cuma tahu aku nggak bisa
tinggal di mobil, nggak bisa duduk diam nunggu apa yang bakal dateng. Langkahku
pelan—aku coba nggak bikin suara, tapi sepatuku yang udah aus nepuk tanah bikin
bunyi kecil, “cep-cep,” yang terasa terlalu keras di tengah keheningan yang
bikin telingaku berdengung. Kabut udah tebal banget—aku ngerasa kayak jalan di
dalem awan yang dingin, bikin rambutku basah, bikin jaketku lembap, bikin aku
ngerasa nggak bisa lihat apa-apa selain bayangan samar rumah-rumah tua yang
muncul satu-satu dari kabut.
Aku ngerasa
ada yang salah—suara angin yang bersiul lewat celah-celah kayu bercampur sama
sesuatu—seperti bisikan, pelan, jauh, kayak orang ngomong di dalem hutan, tapi
nggak jelas apa yang mereka bilang, cuma bikin aku ngerasa nggak sendirian. Aku
coba bilang ke diri sendiri itu cuma pikiran—aku capek, aku takut, nggak lebih
dari itu—tapi aku nggak bisa nutupin rasa nggak enak yang makin gede di dada.
Aku lewat salah satu rumah tua—pintunya terbuka lebar, kayunya lapuk penuh
serpihan kecil yang jatuh pas aku sampe di depannya, dan aku ngerasa bau kayu
basah yang nyengat, bercampur bau tanah yang lembap. Aku arahin senter ke
pintu—cahaya nyapu ruangan dalem, nunjukin meja kayu yang kakinya patah
separuh, sama lantai tanah yang penuh debu tebel, kayak nggak ada yang injek
selama puluhan tahun. Tapi pas aku mau lewat, aku denger suara—langkah pelan,
berat, dari dalam rumah, kayak ada yang jalan di dalem, tapi nggak cepet, nggak
buru-buru, cuma pelan dan teratur.
Aku ngerasa bulu
kudukku berdiri lagi—aku arahin senter ke dalem, coba lihat lebih jelas—nggak
ada apa-apa, cuma meja yang patah, tungku tanah yang udah retak, sama dinding
kayu yang penuh lubang kecil kayak digerogoti rayap. Tapi suara itu ada
lagi—langkah pelan, “tap... tap...” kayak kaki yang nepuk tanah, dateng dari
arah belakang rumah, dari balik pintu kayu kecil yang tertutup rapet di sudut
ruangan. Aku ngerasa napasku tersendat—aku tahu aku seharusnya lari, tapi kaki
aku malah jalan masuk, pelan, kayak ditarik apa gitu—mungkin penasaran, mungkin
takut kalo aku cuma berdiri di luar bakal lebih buruk. Cahaya senter aku arahin
ke lantai—debu tebel bergoyang kecil pas aku injek, bikin jejak sepatuku
keliatan jelas, bikin aku ngerasa nggak bisa sembunyi kalo ada yang nyari aku.
Aku sampe di
pintu kayu kecil—gagangnya dingin banget, kayak besi yang udah lama nggak
disentuh, penuh karat yang bikin tanganku ngerasa kasar pas aku pegang. Aku
tarik napas dalam, coba tenang—aku bilang ke diri sendiri itu cuma tikus, cuma
angin, cuma apa aja yang masuk akal—tapi aku tahu itu bohong, suara langkah itu
nggak kayak tikus, nggak kayak angin. Aku buka pintu pelan—engselnya berderit
keras, “kriiit,” bikin aku ngerasa kayak teriak di tengah desa sunyi ini, dan
aku lihat ke dalem—ruangan kecil, gelap, bau tanah basah sama kayu lapuk lebih
nyengat di sini, bikin aku ngerasa mual tapi nggak bisa mundur.
Dan di sudut
ruangan itu, aku lihat sesuatu—orang, atau sesuatu yang mirip orang, berdiri
diam, nggak gerak, kayak patung yang salah tempat. Tinggi, kurus, pake kain
putih yang robek-robek di ujungnya, kain yang lusuh dan basah, kayak kain kafan
yang udah usang, penuh noda cokelat tua yang bikin aku ngerasa nggak enak.
Kepalanya miring ke kiri—rambutnya panjang, kusut, nutupin muka, hitam pekat
kayak malam, tapi aku tahu dia lihat aku—aku ngerasa matanya, meski nggak
keliatan, meski cuma gelap di balik rambut itu. Aku arahin senter ke
arahnya—cahaya kuning pucat nyapu badannya, dan aku lihat kulitnya—pucat,
kering, kayak kulit mati yang udah lama membusuk, penuh retakan kecil yang
bikin aku ngerasa perutku mual. Tangannya bengkok—jari-jarinya panjang,
kuku-kukunya hitam, melengkung kayak cakar, dan aku ngerasa napasnya—pelan,
berat, serak, kayak angin yang bocor dari paru-paru yang udah nggak hidup lagi.
Aku jerit
kecil—suara yang nggak aku sadar keluar dari tenggorokan aku, pendek tapi
keras, bikin aku kaget sendiri. Aku mundur cepet—kaki aku kesandung meja patah
di belakang, aku jatuh ke lantai tanah yang keras, senter lepas dari tangan
aku, cahayanya goyang liar nyapu dinding sama langit-langit kayu yang penuh
sarang laba-laba. Aku nengok ke pintu kecil—dia gerak, pelan, jalan ke arah
aku, langkahnya berat, kainnya diseret di tanah bikin suara gesekan yang bikin
bulu kudukku berdiri, “serr... serr...” kayak kain yang narik debu tebel. Aku
ngerasa napasku tersendat—aku bangkit, lari ke luar—nggak ambil senter, nggak
mikir apa-apa, cuma lari, kaki aku nepuk tanah bikin debu beterbangan, bikin
aku ngerasa makin panik.
Aku sampe di
luar—kabut udah nutupin segalanya, bikin aku nggak bisa lihat lebih dari dua
meter ke depan, bikin aku ngerasa kayak lari di dalem mimpi yang nggak ada
ujungnya. Aku ngerasa dingin—kabut basah nyelinap ke jaketku, bikin rambutku
lengket di dahi, bikin aku ngerasa kedinginan sampe ke tulang. Aku ngerasa
pundakku berat banget—aku nengok ke belakang, cuma kabut, cuma bayangan samar
rumah yang aku tinggalin, tapi aku tahu dia ada di sana, aku ngerasa dia ikut
aku, nggak cepet, tapi nggak jauh. Aku lari ke arah mobil—aku pikir buat masuk lagi,
buat kunci pintu, buat sembunyi sampe pagi—tapi pas aku sampe, aku ngerasa ada
yang salah.
Kabut udah
nutupin mobil—aku cuma bisa lihat bentuk buram Kijangku, lampu depannya yang
mati cuma jadi titik kuning samar di tengah putih kabut. Tapi aku denger
suara—langkah, banyak langkah, pelan, berat, dateng dari segala arah—nggak cuma
dari rumah tadi, tapi dari kiri, dari kanan, dari depan. Aku ngerasa napasku
cepet banget—aku arahin pandangan ke kabut, coba lihat apa yang ada di sana,
dan aku lihat mereka—mayat hidup, puluhan, berdiri di tengah kabut, kain putih
yang robek-robek nutupin badan mereka, kepala miring ke samping, tangan terulur
ke depan, jari-jarinya panjang dan hitam. Mereka nggak cepet—langkahnya pelan,
terseret, tapi mereka deket, bikin aku ngerasa nggak ada tempat buat lari. Aku
nengok ke mobil—pintunya masih terbuka, kunci masih di dalam, tapi aku tahu aku
nggak bisa balik, aku tahu mereka udah terlalu deket.
Aku ngerasa
tangan aku gemetar—aku tarik pisau lipat dari saku celana, buka bilahnya dengan
jari yang kaku, pegang erat meski aku tahu itu nggak bakal cukup. Aku ngerasa
pundakku dingin—aku nengok ke kanan, dan aku lihat satu dari mereka—deket
banget, cuma beberapa meter, berdiri di tengah kabut, kainnya basah, rambutnya
panjang nutupin muka, tapi aku ngerasa matanya, aku ngerasa dia tahu aku di
sini. Aku jerit kecil lagi—aku lari, nggak tahu ke mana, cuma lari, kaki aku
nepuk tanah basah, bikin sepatuku licin, bikin aku ngerasa bakal jatuh kapan
aja. Aku ngerasa suara langkah mereka—banyak, pelan, tapi deket, bikin aku
ngerasa nggak ada jalan keluar, bikin aku ngerasa aku nggak bakal sampe pagi.
Aku lari
sampe napasku habis—aku sampe di deket pohon beringin lagi, nggak sengaja,
nggak tahu caranya, tapi aku ada di sana, di tengah desa, di tengah kabut. Aku
ngerasa pundakku berat banget—aku nengok ke belakang, dan aku lihat
mereka—mayat hidup, berdiri di sekitar pohon, di sekitar aku, kepala miring,
tangan terulur, kain putih mereka basah sama kabut, bikin aku ngerasa aku nggak
bisa lari lagi. Aku ngerasa napasku tersendat—aku tahu aku salah masuk ke
Sukamati, aku tahu aku nggak seharusnya ada di sini, dan aku tahu malam ini
bakal panjang banget.
Bab 3: Teror di Rumah Kosong
Aku berdiri
di tengah kabut yang tebal, napasku cepat dan pendek, tangan kananku gemetar
pegang pisau lipat yang bilahnya kecil tapi tajam, gagang kayunya basah sama
keringat dingin yang keluar dari telapakku. Kabut udah nutupin segalanya—aku
cuma bisa lihat bayangan samar pohon beringin di kejauhan, akar-akarnya yang
hitam kayak cakar raksasa menyelinap ke dalam kegelapan, dan mobilku yang aku
tinggalin tadi cuma jadi bentuk buram yang udah nggak jelas di tengah putih
pekat ini. Aku ngerasa suara langkah mereka—mayat hidup yang aku lihat tadi—di
sekitar aku, pelan, berat, teratur, kayak tahu aku nggak bisa lari jauh, kayak
tahu aku nggak punya tempat buat sembunyi. Aku ngerasa pundakku berat
banget—aku nggak tahu itu cuma takut atau sesuatu yang beneran ada di sana,
tapi aku nggak berani nengok ke belakang, nggak berani mikir apa yang bakal aku
lihat kalo aku nekat.
Aku ngerasa
udara dingin nyelinap ke jaketku yang tipis—bikin kulitku merinding dari leher
sampe kaki, bikin rambutku yang basah kabut lengket di dahi, bikin aku ngerasa
kedinginan sampe ke tulang, sampe gigiku gemeretak kecil meski aku coba tahan.
Aku tahu aku nggak bisa balik ke mobil—mesinnya mati, pintunya terbuka lebar,
dan bayangan-bayangan itu udah terlalu deket, aku ngerasa mereka ada di
mana-mana, di tengah kabut yang bikin aku nggak bisa lihat lebih dari dua meter
ke depan. Aku ngerasa napasku tersendat—aku lari, nggak tahu ke mana, cuma
lari, kaki aku nepuk tanah basah yang licin, sepatuku yang udah aus nyangkut
rumput liar yang tinggi, bikin aku hampir jatuh berkali-kali, tapi aku nggak
berhenti, nggak bisa berhenti.
Aku sampe di
depan sebuah rumah tua—rumah yang paling deket dari tempat aku berdiri,
pintunya terbuka lebar, kayunya lapuk penuh serpihan kecil yang bergoyang pelan
ditiup angin, bikin suara “krek-krek” kecil yang bikin aku ngerasa nggak enak.
Aku nggak mikir dua kali—aku masuk, dorong pintu pake pundakku, dan tutup
sekuat mungkin meski engselnya berderit keras, “kriiit,” bikin aku ngerasa kayak
teriak di tengah desa yang sunyi ini. Pintu nggak nutup rapet—ada celah kecil
di samping, bikin kabut nyelinap masuk kayak asap putih yang tipis, bikin aku
ngerasa nggak aman meski aku udah di dalem. Aku nengok ke sekitar—gelap, cuma
ada cahaya samar dari bulan yang masuk lewat celah-celah dinding kayu yang
penuh lubang, bikin bayangan aneh di lantai tanah yang penuh debu tebel.
Aku ngerasa
napasku cepet—aku dorong meja kayu kecil yang ada di deket pintu, kakinya patah
separuh, bikin aku harus angkat biar nggak jatuh, dan aku taruh di depan pintu
buat nahan—aku tahu itu nggak bakal cukup, aku tahu itu cuma buat bikin aku
ngerasa sedikit tenang, meski aku ngerasa itu cuma bohongan. Aku duduk di
lantai, punggungku nempel ke dinding kayu yang dingin dan kasar, penuh serpihan
kecil yang nyangkut di jaketku, bikin aku ngerasa nggak nyaman tapi nggak
berani gerak. Aku ngerasa bau tanah basah yang nyengat—bercampur bau kayu lapuk
sama bau aneh yang aku cium tadi, bau yang bikin perutku mual, kayak bau
sesuatu yang udah lama mati, sesuatu yang nggak seharusnya ada di sini.
Aku coba
denger—suara langkah mereka ada di luar, pelan, berat, “tap... tap...” kayak
kaki yang nepuk tanah basah, dateng dari depan rumah, dari samping, dari segala
arah. Aku ngerasa bulu kudukku berdiri—aku nengok ke celah pintu, coba lihat
apa yang ada di luar, dan aku ngerasa jantungku berhenti sebentar—mereka ada di
sana, mayat hidup, berdiri di tengah kabut, kain putih yang robek-robek nutupin
badan mereka, kepala miring ke samping, tangan terulur ke depan, jari-jarinya
panjang dan hitam, kuku-kukunya melengkung kayak cakar yang udah usang. Aku
ngerasa napasku tersendat—aku liat satu dari mereka deket banget, cuma beberapa
meter dari pintu, berdiri diam, kepalanya miring, rambutnya panjang nutupin
muka, tapi aku ngerasa matanya, aku ngerasa dia tahu aku di dalem.
Aku nengok
ke dalam rumah—aku harus cari tempat buat sembunyi, atau sesuatu buat nahan
mereka, apa aja yang bikin aku ngerasa nggak cuma duduk nunggu mati. Cahaya
bulan yang samar nyapu ruangan—ada meja tua di tengah, penuh debu tebel yang
bergoyang kecil pas angin masuk dari celah-celah, sama sebuah lemari kayu di
sudut yang pintunya setengah terbuka, bikin bayangan aneh di dinding yang
retak. Aku bangkit pelan—kaki aku gemetar, sepatuku nepuk lantai tanah bikin
suara kecil yang aku coba tahan, tapi debu tebel bangkit, bikin aku ngerasa
tenggorokan kering, bikin aku ngerasa jejakku bakal keliatan kalo mereka masuk.
Aku jalan ke lemari—pintunya kayu, penuh goresan samar yang kayak dibikin pake
kuku, dan aku ngerasa gagangnya dingin banget pas aku pegang, kayak besi yang
udah lama nggak disentuh, penuh karat yang bikin tanganku ngerasa kasar.
Aku tarik
napas dalam—aku buka pintu lemari pelan, engselnya berderit kecil, “krik,”
bikin aku ngerasa takut suaranya bakal narik mereka masuk. Di dalem, aku lihat
kain putih yang dilipet rapi—kain lusuh, penuh noda cokelat tua yang bikin aku
ngerasa nggak enak, kayak kain kafan yang udah lama nggak dicuci, yang
seharusnya ada di kuburan, nggak di sini. Di bawah kain, ada kotak kayu
kecil—tutupnya patah, salah satu sudutnya retak, dan aku ngerasa tanganku
gemetar pas aku ambil, bikin debu beterbangan kecil di sekitar aku. Aku buka
kotak itu—di dalem, ada foto tua, buram, gambar keluarga—pria, wanita, sama
anak kecil, berdiri di deket pohon beringin yang aku lihat tadi di tengah desa.
Tapi ada yang aneh—wajah mereka dicoret pake tinta hitam, coretan kasar yang
bikin aku ngerasa nggak nyaman, kayak sengaja dihapus, kayak seseorang nggak
mau mereka dilihat lagi.
Aku ngerasa
pundakku dingin—aku nengok ke pintu, dan aku denger suara—ketukan pelan,
teratur, “tok... tok...” kayak jari yang ngetok kayu, nggak keras, tapi jelas,
bikin aku ngerasa jantungku mau copot. Aku ngerasa bulu kudukku berdiri—aku
balik ke pintu, pegang meja yang aku taruh tadi, dorong lebih kuat meski kakiku
gemetar, dan lihat ke celah-celah kayu yang udah lapuk. Aku lihat mereka—mayat
hidup, berdiri di luar, kepala miring, tangan terulur, kain putih mereka basah
sama kabut, bikin aku ngerasa nggak ada tempat buat lari. Aku ngerasa napasku
cepet—aku lihat satu dari mereka ngetok pintu—jari-jarinya panjang, kuku hitam,
kulitnya pucat dan kering, dan tiap ketukan bikin pintu bergetar pelan, bikin
debu jatuh dari engsel, bikin aku ngerasa mereka bakal masuk kapan aja.
Aku
mundur—aku ngerasa pundakku nempel dinding lagi, aku ngerasa nggak ada jalan
keluar, aku ngerasa mereka tahu aku di dalem, tahu aku nggak bisa lari. Aku
nengok ke dalam rumah—ada pintu kecil di dapur, di sudut ruangan, kayunya lebih
utuh dari pintu depan, gagangnya penuh karat tapi keliatan kuat. Aku ngerasa
napasku tersendat—aku lari ke arah pintu itu, langkahku cepet meski kakiku
ngerasa lemas, aku buka pintu dengan tangan gemetar—engselnya berderit keras,
“krit…,” bikin aku ngerasa takut mereka denger, tapi aku nggak mikir lagi, aku
lari ke luar, masuk ke kabut yang tebal, nggak tahu ke mana, cuma lari.
Aku ngerasa
tanah basah di bawah kakiku—rumput liar yang tinggi nyangkut di sepatu, bikin
aku ngerasa bakal jatuh kapan aja, bikin aku ngerasa nggak bisa lari cepet. Aku
ngerasa dingin—kabut basah nyelinap ke jaketku, bikin rambutku lengket di dahi,
bikin aku ngerasa kedinginan sampe gigiku gemeretak. Aku lari sampe kakiku
kesandung—akur pohon, besar, hitam, bikin aku jatuh ke tanah yang basah dan dingin,
bikin pisau lipatku lepas dari tangan, nyangkut di rumput liar yang licin. Aku
ngerasa napasku cepet—aku nengok ke bawah, coba cari pisau, tapi aku ngerasa
tangan dingin pegang kaki aku, dingin banget, kayak es yang hidup, bikin aku
ngerasa tulangku kaku.
Aku nengok
ke belakang—dia ada di sana, mayat hidup, deket banget, cuma dua meter dari
aku, wajahnya pucat, kering, matanya kosong, cuma lubang hitam di balik rambut
panjang yang nutupin muka, kain putihnya basah dan robek-robek, bikin aku
ngerasa nggak enak. Dia tarik kakiku pelan—jari-jarinya panjang, kuku hitam,
kulitnya retak-retak kayak tanah kering, dan aku ngerasa napasnya—pelan, serak,
bikin aku ngerasa mual. Aku jerit—aku tendang sekuat mungkin, kaki aku nepuk
tangannya, bikin dia lemah, bikin aku ngerasa kulitku sakit karena dinginnya.
Aku bangkit—aku lari lagi, nggak ambil pisau, nggak mikir apa-apa, cuma lari,
sampe aku sampe di pohon beringin yang besar di tengah desa.
Aku sembunyi
di balik akar—aku duduk di tanah basah, ngerasa napasku cepet, pundakku berat,
tanganku gemetar coba pegang akar yang kasar dan dingin biar aku ngerasa
stabil. Aku ngerasa kabut nutupin aku—aku nggak bisa lihat apa-apa, cuma
bayangan samar pohon, cuma suara angin yang bersiul pelan. Tapi aku denger
suara lain—langkah, banyak langkah, pelan, berat, dari segala arah, bikin aku
ngerasa nggak ada tempat buat lari lagi. Aku ngerasa pundakku dingin—aku nengok
ke samping, dan aku lihat mereka—mayat hidup, berdiri di sekitar pohon, di
tengah kabut, kepala miring, tangan terulur, kain putih mereka basah sama
kabut, bikin aku ngerasa aku nggak bisa lewat, bikin aku ngerasa mereka bakal
sampe ke aku kapan aja.
Aku ngerasa
napasku tersendat—aku ngerasa suara ketukan tadi, “tok... tok...” dari jauh,
dari rumah yang aku tinggalin, bikin aku ngerasa mereka tahu aku pindah, tahu
aku sembunyi. Aku ngerasa tangan aku gemetar—aku nengok ke tanah, coba cari apa
aja, batu, kayu, apa pun buat nahan, tapi cuma ada rumput basah sama daun
kering yang rapuh. Aku ngerasa pundakku berat banget—aku nengok ke atas, ke
pohon beringin, dan aku lihat sesuatu—bayangan di balik akar, kecil, buram,
berdiri diam, lihat aku, bikin aku ngerasa jantungku mau copot. Aku ngerasa
nggak ada jalan keluar—aku tahu aku salah masuk ke Sukamati, aku tahu aku nggak
seharusnya ada di sini, dan aku tahu malam ini nggak bakal selesai gampang.
Bab 4: Rahasia di Bawah Pohon
Aku lari
keluar dari pintu kecil di dapur rumah tua itu, kaki aku nepuk tanah basah yang
licin, sepatuku yang udah aus nyangkut rumput liar yang tinggi, bikin aku
tersandung kecil tapi aku nggak berhenti—aku nggak bisa berhenti, nggak bisa
mikir apa yang bakal terjadi kalo aku jatuh, nggak bisa bayangin apa yang bakal
nyusul dari balik pintu yang aku tinggalin terbuka lebar. Kabut tebal udah
nutupin segalanya—putih pekat kayak asap yang hidup, bikin aku nggak bisa lihat
lebih dari dua meter ke depan, bikin aku ngerasa kayak lari di dalem mimpi
buruk yang nggak ada ujungnya, yang cuma kasih aku gelap sama dingin. Aku
ngerasa napasku cepet—udara basah dari kabut masuk ke tenggorokan aku, bikin
aku ngerasa sesak, bikin aku ngerasa kayak tenggelam meski aku masih lari di
darat.
Aku ngerasa
pundakku berat banget—aku bilang ke diri sendiri itu cuma takut, cuma capek,
tapi aku tahu itu bohong, aku ngerasa ada yang ikut aku, ada yang deket, meski
aku nggak berani nengok ke belakang, nggak berani lihat apa yang mungkin ada di
sana. Aku ngerasa dingin—kabut basah nyelinap ke jaketku yang tipis, bikin
rambutku lengket di dahi, bikin kulitku merinding sampe ke tulang, sampe aku
ngerasa gigiku gemeretak kecil meski aku coba tahan. Bau tanah basah
nyengat—bercampur bau kayu lapuk dari rumah-rumah tua yang aku lewatin, sama
bau aneh yang aku cium sejak tadi, bau yang bikin perutku mual, kayak bau
sesuatu yang udah lama mati, sesuatu yang nggak seharusnya ada di sini, nggak
seharusnya gerak.
Aku ngerasa
suara langkah mereka—mayat hidup yang aku lihat tadi—di sekitar aku, pelan,
berat, “tap... tap...” kayak kaki yang nepuk tanah basah, nggak cepet, tapi
teratur, kayak tahu aku nggak punya tempat buat lari, kayak tahu aku bakal
balik lagi ke mereka. Aku ngerasa napasku tersendat—aku lari tanpa arah, cuma
lari, sampe kakiku kesandung sesuatu—akar besar yang nyelonong dari tanah,
keras dan licin, bikin aku jatuh ke depan, tangan aku nyentuh tanah basah yang
dingin, bikin pisau lipatku lepas dari tangan, nyangkut di rumput liar yang
tinggi. Aku ngerasa panik—aku cari pisau itu dengan tangan gemetar,
ngeraba-raba di tengah kabut, sampe jari aku nyentuh gagang kayunya yang basah,
aku tarik cepet, pegang erat meski aku tahu itu nggak bakal cukup buat apa yang
ada di luar sana.
Aku ngerasa
pundakku dingin—aku nengok ke atas, dan aku sadar aku ada di bawah pohon
beringin lagi—pohon raksasa yang aku lihat tadi, batangnya tebel kayak tembok,
kulitnya kasar penuh retakan kecil yang bikin aku ngerasa nggak nyaman,
akar-akarnya nyelonong ke tanah kayak cakar-cakar hitam yang nyoba nyambar apa
aja yang deket. Aku nggak tahu caranya aku balik ke sini—aku lari tanpa arah,
tapi aku ada di tengah desa lagi, di tengah pohon yang bikin aku ngerasa
terperangkap. Kabut udah nutupin segalanya—aku cuma bisa lihat batang pohon
yang gelap, sama meja kayu kecil yang lapuk di bawahnya, kakinya miring, penuh
lumut hijau yang licin, bikin aku ngerasa nggak ada yang hidup di sini, nggak
ada yang normal.
Aku ngerasa
napasku cepet—aku duduk di balik salah satu akar besar, punggungku nempel ke
kulit pohon yang dingin dan kasar, bikin jaketku nyangkut di retakan kecil yang
penuh debu kering. Aku ngerasa bau tanah basah yang lebih nyengat di sini—aku
nengok ke bawah pohon, dan aku lihat sesuatu—tumpukan kain putih, lusuh,
dilipet rapi, kayak kain kafan yang aku temuin di lemari tadi, tapi lebih
banyak, lebih tua, penuh noda cokelat tua yang bikin aku ngerasa nggak enak, kayak
darah yang udah kering bertahun-tahun. Aku ngerasa tanganku gemetar—aku nengok
lebih deket, dan aku lihat ada lubang kecil di tanah, deket tumpukan kain itu,
kayak makam yang udah digali tapi ditinggalin, bikin aku ngerasa bulu kudukku
berdiri.
Aku ngerasa
pundakku berat—aku pegang salah satu kain dengan tangan yang gemetar, aku
angkat pelan, dan aku lihat noda cokelat tua yang lebih jelas di bawah cahaya
samar bulan yang nyelinap dari kabut. Aku ngerasa perutku mual—aku taruh kain
itu balik, dan aku nengok ke lubang kecil di tanah—aku ngerasa ada yang salah,
aku ngerasa aku nggak seharusnya ada di sini, tapi aku nggak bisa lari, aku
nggak tahu ke mana lagi. Aku ngeraba-raba di tepi lubang—tanahnya dingin,
lembap, bikin jari aku kaku, dan aku ngerasa sesuatu—tulang, kecil, rapuh,
kayak tulang anak-anak, bikin aku ngerasa jantungku berhenti sebentar. Aku
tarik tangan cepet—aku ngerasa napasku tersendat, aku nengok lebih dalam, dan
aku lihat lagi—ada kalung kayu di dalem lubang, kecil, lapuk, tali-nya udah robek
separuh, tapi ada ukiran samar di kayunya, kayak huruf atau simbol yang udah
ilang separuh.
Aku ngerasa
bulu kudukku berdiri—aku mundur pelan, coba bangkit, tapi aku ngerasa kaki aku lemas,
aku ngerasa ada yang tarik aku dari dalam, meski aku tahu itu cuma pikiran. Aku
ngerasa suara langkah mereka—mayat hidup—deket banget sekarang, “tap... tap...”
bikin tanah bergetar kecil di bawah aku, bikin aku ngerasa mereka udah di
sekitar pohon, udah di sekitar aku. Aku nengok ke kabut—dan aku lihat bayangan,
banyak bayangan, berdiri di tengah putih pekat, kepala miring, tangan terulur,
kain putih mereka basah sama kabut, bikin aku ngerasa nggak ada jalan keluar.
Aku ngerasa napasku cepet—aku nengok ke kiri, ke kanan, dan aku lihat mereka
lebih jelas—tinggi, kurus, kulit pucat yang kering, rambut panjang yang nutupin
muka, tapi aku ngerasa matanya, aku ngerasa mereka tahu aku di sini, tahu aku
nggak bisa lari lagi.
Aku ngerasa
pundakku dingin—aku nengok ke belakang, ke pohon beringin, dan aku lihat
sesuatu di atas—bayangan kecil, berdiri di salah satu cabang yang rendah, kain
putihnya bergoyang pelan sama angin, kepalanya miring, rambutnya pendek tapi
kusut, dan aku ngerasa jantungku berhenti lagi—itu anak kecil, atau sesuatu
yang mirip anak kecil, berdiri diam, lihat ke arah aku, meski aku nggak bisa
lihat wajahnya, cuma gelap di balik rambut itu. Aku ngerasa napasku
tersendat—aku nengok ke bawah, ke lubang, dan aku sadar kalung kayu itu mirip
kalung yang aku lihat di foto keluarga tadi, bikin aku ngerasa ada sesuatu yang
salah, ada sesuatu yang nyambung, tapi aku nggak tahu apa.
Aku ngerasa
suara langkah mereka lebih deket—aku bangkit, lari lagi, nggak tahu ke mana,
cuma lari, sampe aku sampe di sebuah rumah besar di ujung desa—rumah yang lebih
utuh dari yang lain, kayunya tebel, atap seng-nya karatan tapi nggak bolong,
pintunya terbuka lebar, bikin aku ngerasa kayak dipanggil masuk. Aku nggak
mikir—aku masuk, dorong pintu pake pundakku, tapi nggak nutup rapet, cuma sampe
setengah, bikin kabut nyelinap masuk kayak asap putih yang tipis. Aku ngerasa
napasku cepet—aku nengok ke dalam, dan aku lihat ruangan besar—gelap, cuma ada
cahaya samar dari bulan yang masuk lewat celah-celah dinding sama jendela kecil
yang kacanya udah pecah separuh. Ada meja kayu panjang di tengah—penuh debu
tebel, penuh goresan samar yang kayak dibikin pake kuku, bikin aku ngerasa
nggak nyaman. Di dinding, ada cermin besar—bingkainya kayu, retak di tengah,
kacanya buram penuh bercak hitam, bikin aku ngerasa nggak mau lihat ke sana,
tapi aku nggak bisa tahan.
Aku ngerasa
pundakku berat—aku jalan pelan ke cermin, langkahku nepuk lantai tanah bikin
debu beterbangan kecil, bikin aku ngerasa tenggorokan kering. Aku nengok ke
cermin—dan aku lihat pantulan aku, buram, pucat, mataku merah, rambutku basah
nutupin dahi, tapi di belakang aku, aku lihat mereka—mayat hidup, berdiri di
dalem cermin, kepala miring, tangan terulur, kain putih mereka basah, bikin aku
ngerasa jantungku mau copot. Aku nengok ke belakang—nggak ada apa-apa, cuma
dinding kayu yang kosong, cuma meja yang penuh debu, tapi aku ngerasa mereka
ada di sana, aku ngerasa mereka deket. Aku nengok ke cermin lagi—dan salah satu
dari mereka gerak, pelan, kepalanya miring lebih jauh, tangannya terulur ke
arah aku, dan aku denger suara—“Kamu nggak seharusnya ada di sini...”—pelan,
serak, kayak angin yang bawa kata-kata mati, bikin aku ngerasa bulu kudukku
berdiri, bikin aku ngerasa nggak bisa gerak.
Aku
jerit—suara yang keluar dari tenggorokan aku, keras, bikin debu jatuh dari
langit-langit kayu yang penuh sarang laba-laba. Aku ngerasa napasku cepet—aku
lari ke pintu belakang, langkahku cepet meski kakiku ngerasa lemas, aku dorong
pintu kecil di sudut ruangan—engselnya berderit keras, “kriiit,” bikin aku
ngerasa takut mereka denger, tapi aku nggak mikir lagi, aku lari ke luar, masuk
ke kabut yang tebal, nggak tahu ke mana, cuma lari. Aku ngerasa tanah basah di
bawah kakiku—rumput liar yang tinggi nyangkut di sepatu, bikin aku ngerasa
bakal jatuh, bikin aku ngerasa nggak bisa lari cepet. Aku ngerasa dingin—kabut
basah nyelinap ke jaketku, bikin aku ngerasa kedinginan sampe ke tulang, bikin
aku ngerasa kayak nggak ada harapan.
Aku ngerasa
suara langkah mereka—banyak, pelan, deket, bikin aku ngerasa nggak ada tempat
buat lari, bikin aku ngerasa mereka udah di sekitar aku, udah di dalem kabut
yang nutupin segalanya. Aku ngerasa pundakku berat banget—aku nengok ke
belakang, dan aku lihat mereka—mayat hidup, berdiri di tengah kabut, kepala
miring, tangan terulur, kain putih mereka basah, bikin aku ngerasa nggak bisa
lari lagi, bikin aku ngerasa malam ini nggak bakal selesai.
Bab 5: Malam Terakhir
Aku berdiri
di tengah kabut yang tebal, napasku cepat dan pendek, terputus-putus kayak
angin yang bocor dari paru-paru yang udah capek, tangan kananku gemetar pegang
pisau lipat yang bilahnya kecil tapi tajam, gagang kayunya basah sama keringat
dingin yang keluar dari telapakku, bikin aku ngerasa nggak bisa pegang apa-apa
dengan tenang. Kabut udah nutupin segalanya—putih pekat kayak asap yang hidup,
bergerak pelan di sekitar aku, bikin aku nggak bisa lihat lebih dari dua meter
ke depan, bikin aku ngerasa kayak terkurung di dalem dunia yang nggak nyata,
yang cuma kasih aku gelap, dingin, sama suara-suara yang bikin aku takut. Aku
ngerasa mayat hidup itu ada di sekitar aku—puluhan, berdiri di tengah kabut,
kain putih mereka yang robek-robek basah sama kabut, kepala miring ke samping,
tangan terulur ke depan, jari-jarinya panjang dan hitam, kuku-kukunya
melengkung kayak cakar yang udah usang, bikin aku ngerasa nggak ada tempat buat
lari, nggak ada harapan buat keluar.
Aku ngerasa
udara dingin nyelinap ke jaketku yang tipis—bikin kulitku merinding dari leher
sampe kaki, bikin rambutku yang basah kabut lengket di dahi, bikin aku ngerasa
kedinginan sampe ke tulang, sampe gigiku gemeretak kecil meski aku coba tahan
biar nggak bikin suara. Aku ngerasa bau tanah basah yang nyengat—bercampur bau
kayu lapuk dari rumah-rumah tua yang aku lewatin, sama bau aneh yang aku cium
sejak masuk desa ini, bau yang bikin perutku mual, kayak bau sesuatu yang udah
lama mati, sesuatu yang udah lama seharusnya tinggal di kuburan, nggak gerak di
tengah kabut kayak gini. Aku ngerasa pundakku berat banget—aku bilang ke diri
sendiri itu cuma takut, cuma capek dari lari, tapi aku tahu itu bohong, aku
ngerasa ada yang duduk di atas aku, ada yang lihat aku, meski aku nggak berani
nengok ke belakang, nggak berani mikir apa yang bakal aku lihat kalo aku nekat.
Aku ngerasa
suara langkah mereka—pelan, berat, “tap... tap...” kayak kaki yang nepuk tanah
basah, dateng dari segala arah, bikin tanah bergetar kecil di bawah kakiku,
bikin aku ngerasa mereka udah deket, udah ngepung aku, udah tahu aku nggak
punya tempat buat lari lagi. Aku ngerasa napasku tersendat—aku nengok ke kabut,
coba lihat apa yang ada di sana, dan aku lihat mereka lebih jelas
sekarang—tinggi, kurus, kulit pucat yang kering kayak kertas tua yang udah
retak-retak, rambut panjang yang nutupin muka, hitam pekat kayak malam, bikin
aku nggak bisa lihat wajah mereka, tapi aku ngerasa matanya, aku ngerasa mereka
tahu aku di sini, tahu aku nggak bisa apa-apa. Aku ngerasa tangan aku
gemetar—pisau lipatku aku angkat, coba kasih aku sedikit tenang, tapi aku tahu
itu cuma bohongan, aku tahu itu nggak bakal cukup buat nahan mereka, nggak
bakal cukup buat apa yang ada di depan aku.
Aku ngerasa
pundakku dingin—aku nengok ke depan, ke pohon beringin yang berdiri di tengah
desa, batangnya tebel kayak tembok, kulitnya kasar penuh retakan kecil yang
bikin aku ngerasa nggak nyaman, akar-akarnya nyelonong ke tanah kayak
cakar-cakar hitam yang nyoba nyambar apa aja yang deket, bikin aku ngerasa
pohon itu hidup, pohon itu tahu aku di sini. Aku lihat dia—mayat hidup yang
pertama aku temuin di rumah tadi, yang tinggi, kurus, rambutnya panjang nutupin
muka, berdiri di deket pohon, cuma beberapa meter dari aku, kain putihnya
basah, robek-robek di ujungnya, bergoyang pelan sama angin yang bersiul lewat
celah-celah kabut. Aku ngerasa jantungku berhenti sebentar—dia nggak gerak,
cuma berdiri, lihat ke arah aku, meski aku nggak bisa lihat matanya, cuma gelap
di balik rambut itu, cuma hawa dingin yang aku ngerasa dari dia.
Aku ngerasa
napasku cepet—aku nengok ke tangan aku, dan aku sadar aku masih pegang
sesuatu—kalung kayu kecil yang aku ambil dari lubang di bawah pohon tadi,
tali-nya robek separuh, ukiran samarnya udah ilang separuh, tapi aku nggak
sadar aku megang itu sampe sekarang, nggak sadar aku bawa itu sepanjang aku
lari. Aku ngerasa pundakku berat banget—aku nengok ke dia lagi, ke mayat hidup
yang berdiri di deket pohon, dan dia gerak—jalan pelan ke arah aku, langkahnya
berat, kainnya diseret di tanah bikin suara gesekan, “serr... serr...” yang
bikin aku ngerasa bulu kudukku berdiri, bikin aku ngerasa nggak bisa lari lagi.
Aku ngerasa napasku tersendat—aku coba mundur, tapi kakiku lemas, aku ngerasa
tanah basah narik sepatuku, bikin aku nggak bisa gerak cepet, bikin aku ngerasa
bakal jatuh kapan aja.
Aku ngerasa
dingin—dia sampe deket banget sekarang, cuma beberapa langkah dari aku,
rambutnya yang panjang bergoyang pelan sama angin, kain putihnya basah nutupin
badan yang kurus, bikin aku ngerasa dia nggak bener-bener manusia, nggak
bener-bener hidup. Aku ngerasa tanganku gemetar—aku angkat pisau lipat, coba
bilang ke diri sendiri aku bisa lawan, tapi aku tahu itu bohong, aku tahu aku
nggak punya apa-apa buat nahan dia. Aku ngerasa kakiku lemas—aku mundur lagi,
tapi aku kesandung akar pohon yang nyelonong dari tanah, aku jatuh ke belakang,
punggungku nyentuh tanah basah yang dingin, bikin aku ngerasa napasku habis,
bikin pisau lipatku lepas lagi, nyangkut di rumput liar yang tinggi di samping
aku.
Aku ngerasa
pundakku dingin—aku nengok ke atas, dan dia ada di depan aku sekarang, berdiri
tinggi, kepalanya miring, rambutnya yang panjang terbuka sedikit sama angin,
dan aku lihat wajahnya—pucat, kering, kayak kulit mati yang udah lama membusuk,
matanya kosong, cuma lubang hitam yang dalam, bikin aku ngerasa jantungku mau
copot, bikin aku ngerasa aku nggak bisa gerak. Aku ngerasa napasku
tersendat—aku lihat wajahnya lebih jelas, dan aku sadar dia mirip anak kecil di
foto yang aku temuin tadi di rumah, cuma lebih tua, lebih mati, bikin aku
ngerasa ada yang salah, ada yang nyambung, tapi aku nggak tahu apa. Aku ngerasa
air mataku jatuh—aku nggak sadar aku nangis, aku nggak sadar aku takut sampe
gitu, tapi aku bilang pelan, “Maaf... aku nggak tahu...”—suara aku serak,
kecil, ilang di tengah kabut, bikin aku ngerasa nggak ada yang bakal denger.
Aku ngerasa
pundakku berat—dia nggak jawab, cuma berdiri, lihat aku, dan aku ngerasa
tangannya gerak—pelan, terulur ke arah aku, jari-jarinya panjang, kuku hitam,
kulitnya pucat dan kering, bikin aku ngerasa nggak bisa lari, nggak bisa lawan.
Aku ngerasa napasku cepet—dia pegang kalung kayu yang ada di tangan aku, dan
aku ngerasa tangannya dingin banget—dingin kayak es yang mati, bikin aku
ngerasa kulitku terbakar meski itu dingin, bikin aku ngerasa ada yang narik aku
dari dalam. Aku ngerasa dunia jadi gelap—aku nggak tahu kenapa, aku nggak tahu
apa yang dia lakuin, tapi aku ngerasa mataku berat, aku ngerasa pundakku ringan
tiba-tiba, aku ngerasa kabut yang tebal ilang dari sekitar aku.
Aku buka
mata—dan aku nggak tahu caranya, aku ada di dalam mobil lagi, duduk di jok
pengemudi Kijang tua yang aku tinggalin tadi, mesin nyala, suara “brum” kecil
dari mesin bikin aku ngerasa kaget, bikin aku ngerasa nggak nyata. Aku ngerasa
napasku cepet—aku nengok ke luar jendela, dan kabut udah ilang, cuma ada hutan
pinus yang gelap di sekitar aku, pohon-pohon tinggi yang jarum-jarumnya jatuh
ke tanah bikin karpet cokelat kering, bikin aku ngerasa aku nggak di Sukamati
lagi. Aku ngerasa pundakku ringan—aku nengok ke tangan aku, dan kalung kayu itu
udah nggak ada, cuma ada bekas merah samar di telapak aku, kayak jejak tangan
yang dingin tadi, bikin aku ngerasa nggak yakin apa yang bener-bener jadi.
Aku ngerasa
dingin—aku tarik napas dalam, coba tenang, dan nengok ke jok belakang—tas aku
masih ada, senter aku masih ada, botol air aku masih ada, tapi kamera aku nggak
ada, tripod aku nggak ada, bikin aku ngerasa ada yang salah, ada yang ilang,
tapi aku nggak berani mikir lebih jauh. Aku ngerasa napasku cepet—aku taruh
tangan ke setir, coba bilang ke diri sendiri aku baik-baik aja, dan aku nyetir
keluar dari hutan itu, lampu depan mobil nyapu jalan tanah yang sempit, bikin
aku ngerasa lega meski aku tahu itu cuma bohongan, aku tahu aku nggak
bener-bener aman.
Aku nyetir
sampe pagi—aku nggak berhenti, nggak nengok ke belakang, nggak mikir apa yang
aku tinggalin di Sukamati, cuma nyetir sampe aku sampe di kota kecil aku, sampe
aku sampe di kontrakan sempit yang bau ikan asinnya nyelinap ke kamarku. Aku
nggak cerita ke siapa-siapa—aku nggak buka tas aku, aku nggak cek apa yang ada
di dalem, aku cuma duduk di ranjang kayu yang berderit, lihat ke dinding yang
penuh retakan kecil, coba bilang ke diri sendiri aku selamat, cuma mimpi, nggak
nyata. Tapi aku ngerasa pundakku berat—aku ngerasa ada yang duduk di atas aku,
aku ngerasa ada yang lihat aku, meski aku nggak berani nengok ke cermin kecil
di sudut kamar, nggak berani lihat apa yang mungkin ada di belakang aku.
Aku ngerasa napasku cepet—aku denger suara langkah pelan di luar kontrakan, “tap... tap...” pelan, berat, kayak kaki yang nepuk tanah basah, bikin aku ngerasa nggak bisa tidur, bikin aku ngerasa mereka masih ada di sana, nunggu aku, nunggu aku balik. Aku ngerasa tangan aku gemetar—aku tarik selimut, tutup muka aku, coba bilang ke diri sendiri itu cuma angin, cuma pikiran, tapi aku tahu itu bohong, aku tahu mereka tahu aku bawa sesuatu dari Sukamati, aku tahu malam itu nggak bener-bener selesai. Aku ngerasa pundakku dingin—aku ngerasa ada yang pegang aku, ada yang bisik pelan di telinga aku, “Kamu bawa aku pulang...”—serak, kecil, bikin aku ngerasa nggak bisa lari lagi, bikin aku ngerasa aku nggak bakal pernah bebas.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
%20(7).png)
Komentar
Posting Komentar