#36 KAMERA BERHANTU


 

Bayang di Balik Cermin Kamera

Bab 1: Penemuan di Pasar Loak

Rian adalah seorang pemuda berusia 23 tahun yang baru saja menyelesaikan studi fotografi di sebuah universitas kecil di pinggiran kota. Ia tinggal di sebuah kamar kos sederhana yang terletak di gang sempit dekat kampung tua, sebuah bangunan tua dengan tembok bata ekspos yang sudah mengelupas di banyak tempat dan jendela-jendela kayu yang berderit setiap kali angin malam bertiup. Kamarnya kecil, hanya berisi kasur busa tipis di lantai, meja kayu sederhana dengan laci yang sering macet, dan sebuah cermin kecil dengan bingkai kayu yang retak di sudut, peninggalan dari penyewa sebelumnya. Di luar jendela, pohon mangga tua berdiri di halaman kos, daun-daunnya bergoyang pelan di bawah sinar bulan, menciptakan bayangan samar yang menari di dinding kamarnya pada malam hari.

Pada suatu hari Minggu yang cerah, Rian memutuskan untuk mengunjungi pasar loak di dekat kampungnya. Pasar itu terkenal sebagai tempat berkumpulnya pedagang barang bekas, sebuah labirin kecil dari lapak-lapak sederhana yang terbuat dari terpal dan kayu, dipenuhi aroma debu, minyak goreng dari warung makan, dan bau logam tua yang berkarat. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa membawa karung besar penuh barang, sementara yang lain sibuk menawar dengan suara keras yang bercampur tawa dan teriakan pedagang. Rian berjalan perlahan di antara tumpukan barang—pakaian usang yang ditumpuk di meja, radio tua dengan antena patah, hingga potongan furnitur yang sudah lapuk. Matanya yang terlatih mencari hal-hal unik segera tertuju pada sebuah benda di sudut lapak seorang pedagang tua: sebuah kamera analog berwarna hitam pekat, bodi logamnya sedikit berdebu, dengan lensa besar yang tampak kusam namun utuh.

Rian mendekati pedagang itu, seorang pria tua dengan wajah penuh kerutan dan rambut putih yang jarang, duduk di kursi plastik kecil yang sudah usang. “Berapa harga kamera ini Pak?” tanya Rian, nada suaranya penuh rasa ingin tahu sambil memegang kamera itu dengan hati-hati, merasakan bobotnya yang cukup berat di tangan. Pria tua itu mengangkat kepala, matanya yang redup menatap Rian sejenak sebelum menjawab, “Murah saja Nak. seratus ribu rupiah. Masih bisa dipakai, cuma perlu film baru.” Suaranya serak, seperti tenggorokan yang kering oleh debu pasar, sambil mengusap permukaan kamera dengan kain lap tua yang sudah kehitaman. Rian mengangguk, tertarik dengan kesederhanaan kamera itu dan harganya yang sangat terjangkau untuk seorang pemuda dengan dompet tipis. Tanpa banyak tanya lagi, ia mengeluarkan selembar uang ratusan ribu dari saku celananya, menyerahkannya kepada pedagang, lalu memasukkan kamera ke dalam tas ranselnya yang sudah lusuh di beberapa bagian.

Sesampainya di kamar kos sore itu, Rian segera mengeluarkan kamera dari tasnya dan meletakkannya di atas meja kayu yang penuh goresan. Cahaya matahari senja menyelinap melalui jendela, menerangi debu halus yang beterbangan di udara saat ia mulai membersihkan kamera dengan kain lembut yang ia ambil dari laci. Ia mengelap lensa dengan hati-hati, terkejut mendapati kaca itu masih jernih meski terlihat tua, dan memeriksa setiap sudut bodi logam yang dingin di tangannya. “Kamera ini pasti punya cerita,” gumamnya sendiri, tersenyum kecil sambil membayangkan bagaimana rasanya memotret dengan alat kuno ini. Ia mengambil gulungan film hitam-putih yang ia beli beberapa hari sebelumnya dari toko fotografi kecil di dekat kampus, lalu memasangnya dengan cekatan, jari-jarinya bergerak lincah karena sudah terbiasa dengan proses ini.

Untuk mencoba, Rian berdiri di dekat jendela, mengarahkan lensa ke arah pohon mangga tua di halaman kos. Langit senja mulai memerah, awan tipis bergerak perlahan di cakrawala, dan ia menekan tombol rana dengan bunyi klik kecil yang memuaskan. Ia tersenyum, merasa puas dengan sensasi mekanis kamera tua itu. Keesokan harinya, ia pergi ke studio kecil milik temannya, Adi, untuk mencuci film itu. Ketika foto pertama muncul di bak cuci, Rian terpana—gambar itu tajam, detail pohon mangga dan langit terlihat hidup, kontras hitam-putihnya sempurna, jauh lebih baik daripada kamera digital murah yang biasa ia gunakan. “Kamera tua ini luar biasa,” katanya pada Adi, yang hanya mengangguk sambil sibuk mengatur alat-alatnya. Namun, saat ia memeriksa foto lebih dekat, matanya tertuju pada sudut gambar: ada bayangan hitam kecil di latar belakang, samar seperti siluet pohon atau tiang, tapi ia yakin tak ada benda seperti itu di halaman saat ia memotret. “Mungkin filmnya cacat,” pikirnya, mengabaikan perasaan aneh yang mulai muncul di dadanya, tanpa tahu bahwa itu adalah awal dari sesuatu yang akan mengubah hidupnya.

Bab 2: Bayangan yang Mendekat

Hari-hari berikutnya, Rian semakin terpikat pada kamera tua itu. Ia membawanya ke mana-mana, memotret apa saja yang menarik perhatiannya: jalan kampung yang sepi dengan deretan rumah kayu tua, teman-temannya yang sedang tertawa di kafe kecil dekat kos, hingga potret dirinya sendiri di depan cermin kecil di kamarnya. Setiap kali ia mencuci film, hasilnya selalu memukau—detailnya tajam, komposisinya hidup, dan ada kehangatan aneh dalam setiap jepretan yang tak bisa ia jelaskan. Namun, ada satu pola yang mulai ia sadari, sebuah pola yang membuat bulu kuduknya berdiri: setiap foto yang ia ambil selalu menangkap bayangan hitam yang samar di latar belakang, tak peduli tempat atau waktu ia memotret.

Pada awalnya, Rian menganggap bayangan itu sebagai gangguan kecil. Di foto jalan kampung, bayangan itu tampak seperti siluet pohon yang berdiri jauh di kejauhan, meski ia yakin tak ada pohon di sudut itu. Di foto teman-temannya di kafe, bayangan itu muncul di sudut jendela, kecil dan buram seperti bayangan tiang listrik yang tak sengaja masuk bingkai. “Mungkin lensa ini kotor atau filmnya bermasalah,” katanya pada Adi saat mereka mencuci foto bersama di studio. Adi, yang lebih berpengalaman dengan kamera analog, memeriksa lensa dengan cermat dan menggeleng. “Lensanya bersih, filmnya juga baru. Mungkin ini cuma kebetulan,” jawab Adi, tapi nadanya ragu, dan Rian bisa melihat kerutan kecil di dahi temannya itu.

Semakin banyak ia memotret, semakin jelas bayangan itu menjadi. Suatu malam, setelah seharian berkeliling kota untuk mengambil gambar, Rian duduk di meja kecil di kamarnya, meneliti tumpukan foto yang ia cuci sore tadi. Cahaya lampu meja kuning redup menerangi ruangan, menciptakan bayangan panjang di dinding bata yang terkelupas. Ia memegang satu foto terbaru—potret dirinya sendiri di depan cermin kecil, diambil saat senja dengan cahaya lembut yang masuk dari jendela. Wajahnya tersenyum tipis di foto itu, tapi di belakangnya, ada bayangan hitam yang berdiri tegak, tinggi dan kurus, tanpa wajah yang jelas, hanya kegelapan pekat yang tampak hidup. Bayangan itu lebih besar dan lebih dekat daripada foto-foto sebelumnya, hampir menyentuh bahunya, padahal ia yakin kamarnya kosong saat ia memotret—pintu terkunci, jendela tertutup rapat, dan tak ada siapa pun selain dirinya.

“Ini tidak mungkin,” gumam Rian, jantungnya berdegup kencang hingga terasa di tenggorokannya. Ia mengambil foto lain dari tumpukan—gambar temen kosnya, Dina, yang berdiri di lorong—dan bayangan itu ada lagi, lebih jelas, berdiri di ujung lorong yang seharusnya kosong. “Ada apa dengan kamera ini?” katanya pada diri sendiri, suaranya bergetar saat ia meletakkan foto-foto itu di meja dengan tangan gemetar. Ia bangkit, berjalan ke cermin kecil di sudut kamar, dan menatap bayangannya sendiri, mencoba mencari tanda-tanda sesuatu yang tak wajar. Cermin hanya memantulkan wajahnya yang pucat dan mata yang penuh ketakutan, tapi perasaan bahwa ada sesuatu di belakangnya tak bisa ia tepis.

Malam itu, saat ia berbaring di kasur dengan lampu tidur kecil menyala di sampingnya, Rian merasa sulit memejamkan mata. Angin malam bertiup pelan, membuat jendela kayu berderit lembut, dan pohon mangga di luar bergoyang, daun-daunnya menggesek dinding dengan suara halus yang biasanya menenangkan. Tapi kali ini, ia mendengar suara lain—samar, terputus-putus, seperti bisikan yang keluar dari sudut ruangan tempat kamera itu diletakkan di atas meja. “Lihat aku…” suara itu pelan, dingin, dan terdengar seperti hembusan angin yang membentuk kata-kata. Rian tersentak, duduk di kasur dengan mata terbuka lebar, menatap kamera yang terdiam di bawah cahaya lampu redup. Lampu tidur berkedip beberapa kali, lalu padam total dengan bunyi klik kecil, meninggalkan kamar dalam kegelapan yang pekat. “Siapa di sana?!” teriaknya, suaranya bergema di ruangan kecil itu, tapi tak ada jawaban—hanya keheningan yang lebih dalam dan perasaan mencekam bahwa ia sedang diperhatikan oleh sesuatu yang tak terlihat.

Bab 3: Usaha Melawan

Kejadian malam itu meninggalkan bekas dalam pikiran Rian. Ia tak bisa tidur nyenyak lagi, sering terbangun oleh mimpi-mimpi aneh yang sama: seorang pria tua dengan wajah pucat dan mata kosong berdiri di tengah hutan gelap yang penuh kabut, memegang kamera yang sama yang kini ada di tangannya. Dalam mimpi itu, pria tua itu menatapnya dengan tatapan tajam, bibirnya bergerak pelan membentuk kata-kata tanpa suara sebelum akhirnya berbisik, “Potret lagi… atau aku datang untukmu.” Setiap kali ia terbangun, tubuhnya basah oleh keringat dingin, napasnya tersengal, dan matanya langsung mencari kamera di meja, seolah takut benda itu akan bergerak sendiri.

Hari-hari berikutnya, Rian menjadi semakin gelisah. Ia mulai menghindari kamera itu, menyimpannya di dalam laci meja yang ia kunci rapat dengan gembok kecil yang ia beli dari toko kelontong. Tapi setiap pagi, ia menemukan laci terbuka dan kamera kembali di atas meja, dingin seperti baru disentuh oleh tangan yang tak terlihat. “Ini tidak masuk akal,” katanya pada Adi saat mereka bertemu di kafe kecil dekat kos, wajahnya pucat dan lingkaran hitam mengelilingi matanya. “Aku kunci lacinya, tapi tiap hari kamera itu balik ke meja. Dan mimpi itu… aku takut.” Adi mendengarkan dengan serius, alisnya berkerut. “Mungkin kamu stres. Tapi kalau memang aneh, buang saja kamera itu,” saran Adi, tapi Rian hanya menggeleng. “Aku takut membuangnya malah bikin lebih buruk,” jawabnya, suaranya penuh ketidakpastian.

Akhirnya, Rian memutuskan untuk mengakhiri teror ini dengan caranya sendiri. Pagi itu, setelah sarapan sepotong roti kering yang rasanya hambar di tenggorokannya, ia mengambil kamera dan berjalan ke tepi sungai di belakang kampung. Sungai itu kecil tapi deras, airnya keruh mengalir di antara bebatuan licin dan semak liar yang tumbuh di tepian. Angin pagi bertiup sepoi-sepoi, membawa bau tanah basah dan rumput segar, tapi Rian tak bisa menikmatinya—tangannya gemetar memegang kamera yang terasa lebih berat dari biasanya. “Aku tak mau lagi berurusan dengan benda ini,” katanya keras, suaranya tegas meski ada getar ketakutan di dalamnya. Ia mengayunkan tangan dan melemparkan kamera ke tengah arus sungai, menyaksikan benda itu tenggelam dengan bunyi kecil sebelum lenyap di bawah air. Lega sesaat mengisi dadanya, dan ia berjalan pulang dengan langkah lebih ringan, berharap itu adalah akhir dari mimpi buruknya.

Namun, keesokan paginya, harapannya runtuh. Saat ia membuka mata, kamera itu ada lagi di atas meja, utuh dan dingin, dengan tetesan air kecil yang membasahi kayu di bawahnya, seolah baru diambil dari sungai. “Bagaimana ini bisa terjadi?!” teriak Rian, tangannya gemetar saat ia memegang benda itu, merasakan permukaannya yang basah dan licin. Ia berlari ke luar, membawa kamera ke halaman kos yang sepi, dan mengambil sekaleng bensin dari gudang kecil di belakang bangunan. Dengan tangan penuh amarah, ia menyiramkan bensin ke kamera dan menyalakan api dengan korek dari sakunya. Api menyala terang, menjilat bodi logam itu, tapi hanya bertahan beberapa detik sebelum padam sendiri, meninggalkan kamera tanpa goresan, hanya sedikit hangat di permukaannya. “Apa yang kau mau dariku?!” bentaknya, suaranya bergema di halaman kosong itu.

Putus asa, Rian mengambil palu tua dari kotak peralatan yang ia pinjam dari Adi. Ia memukul kamera itu berulang-ulang di lantai beton halaman, suara dentang logam memenuhi udara, hingga lensa pecah berkeping-keping dan bodi retak di beberapa bagian. Napasnya tersengal saat ia menatap puing-puing itu, merasa menang untuk sesaat. Tapi malam itu, saat ia kembali ke kamar setelah mencuci muka, kamera itu ada lagi di meja—utuh, dingin, dan bersih, seperti tak pernah disentuh palu. Bayangan hitam itu kini muncul di luar foto: di cermin kamar saat ia menyikat gigi, wajahnya sendiri terpantul tapi ada sesuatu di belakangnya; di jendela saat ia melirik keluar, sesuatu berdiri di bawah pohon mangga; dan di sudut matanya saat ia berjalan di lorong kos yang gelap, sebuah siluet yang bergerak pelan mengikutinya.

Bab 4: Rahasia Fotografer Tua

Rian tak bisa lagi menanggung teror yang menyelimuti hidupnya. Setiap malam, bisikan dari kamera itu semakin keras, menggema di telinganya bahkan saat ia mencoba menutup kepala dengan bantal: “Potret lagi… atau aku ambil matamu.” Wajahnya semakin pucat, matanya merah karena kurang tidur, dan tangannya gemetar setiap kali ia mendengar suara apa pun di kamarnya—derit jendela, gesekan daun, atau ketukan samar di pintu yang tak pernah ada penyebabnya. Ia tahu ia harus mencari tahu asal-usul kamera itu sebelum ia benar-benar kehilangan akal sehatnya.

Pagi itu, dengan sisa tenaga yang ia miliki, Rian kembali ke pasar loak. Langit mendung menutupi matahari, menciptakan suasana suram yang tak biasa di tempat yang biasanya ramai. Orang-orang berjalan dengan langkah cepat, suara tawar-menawar terdengar lebih pelan, dan angin membawa bau debu yang kering bercampur aroma logam tua. Rian berjalan menyusuri lapak-lapak, matanya mencari pedagang tua yang menjual kamera itu kepadanya. Ia menemukannya di sudut yang sama, duduk di kursi plastik kecil dengan wajah pucat dan mata gelisah, tangannya memegang kain lap tua yang sudah kotor. “Pak, dari mana asal kamera ini? Ada sesuatu yang salah dengannya!” tanya Rian, nadanya penuh tekanan sambil meletakkan kamera di meja pedagang dengan bunyi kecil yang menggema di antara barang-barang bekas.

Pria tua itu menatap kamera dengan ekspresi takut, matanya melebar sejenak sebelum ia menunduk, suaranya berbisik pelan seolah takut didengar orang lain. “Aku menemukannya di rumah kosong di kampung sebelah Nak. Rumah itu milik fotografer tua yang mati puluhan tahun lalu—katanya dia gila, suka memotret hal-hal aneh di hutan dekat gunung. Orang bilang dia mati karena memotret sesuatu yang tak boleh dilihat, sesuatu yang mengutuknya.” Rian menelan ludah, jantungnya berdegup kencang hingga terasa di tenggorokannya. “Lalu kenapa Bapak jual ke saya?!” bentaknya, tangannya mencengkeram tepi meja hingga jarinya memutih. Penjual itu menggeleng pelan, matanya menghindari tatapan Rian. “Aku tak tahu itu terkutuk Nak. Tapi kamera itu nggak bisa dilepas. Dia akan balik ke siapa pun yang memakainya, kecuali kau kasih apa yang dia mau,” jawabnya, suaranya bergetar sebelum ia berbalik dan berpura-pura sibuk mengatur tumpukan barang di lapaknya, menandakan percakapan telah berakhir.

Rian pulang dengan pikiran kacau, langkahnya berat menyusuri jalan kampung yang sepi. Di kamarnya malam itu, ia duduk di depan meja, menatap kamera dengan tatapan kosong. Cahaya lampu meja redup menerangi wajahnya yang penuh ketakutan, bayangannya memanjang di dinding bata yang dingin. Bisikan dari lensa semakin keras, menggema di telinganya seperti suara yang keluar dari dalam kepalanya: “Potret lagi… atau aku ambil matamu.” Ia tahu ia tak punya pilihan lain—ia harus mengakhiri ini, apa pun risikonya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil cermin tua dari lemari—cermin kecil dengan bingkai kayu yang sudah retak di banyak tempat, permukaannya berdebu dan sedikit buram. Ia meletakkan cermin di meja, berdiri di depannya, dan mengarahkan kamera ke wajahnya sendiri, jarinya ragu di tombol rana.

“Aku akan kembalikan apa yang kau mau,” katanya pelan, suaranya serak oleh ketakutan dan tekad yang bercampur aduk. Ia menekan tombol rana, kilatan lampu kilat membutakan matanya sejenak, dan suara klik mekanis kamera terdengar seperti dentuman di keheningan kamar. Saat penglihatannya pulih, ia mengambil foto yang baru keluar dari slot kamera, tangannya gemetar hebat saat ia melihat gambar itu: wajahnya sendiri, tapi tanpa mata, hanya dua lubang kosong yang berdarah, dan di belakangnya, sosok hitam itu berdiri dengan tangan terulur, hampir menyentuh pundaknya. Ia menoleh ke cermin di belakangnya—kosong, tak ada bayangannya, hanya kegelapan yang menatapnya kembali. Tiba-tiba, ia merasa tangan dingin memegang bahunya, jari-jari tak terlihat yang menusuk kulitnya seperti es, dan bisikan terakhir terdengar di telinganya, dingin dan penuh kepuasan: “Terima kasih…”

Bab 5: Warisan yang Tak Berakhir

Keesokan paginya, kamar Rian ditemukan kosong oleh Adi, teman kosnya yang datang mengetuk pintu karena khawatir. Pintu kayu tua terbuka dengan derit pelan saat Adi mendorongnya, dan udara dingin menyelinap keluar dari dalam ruangan yang gelap. Kasur busa Rian masih berantakan, selimutnya terlelet di lantai, dan meja kayu kecil penuh goresan tampak kosong—kamera itu hilang, begitu pula Rian. Cahaya pagi yang masuk dari jendela menerangi debu yang beterbangan di udara, dan pohon mangga di luar bergoyang pelan, daun-daunnya menggesek dinding dengan suara halus yang kini terasa mencekam. Adi melangkah masuk, matanya menyapu ruangan dengan rasa takut yang tak bisa ia jelaskan.

Di atas meja, ia menemukan satu foto yang tertinggal—potret Rian yang diambil malam sebelumnya. Wajah Rian tersenyum aneh di foto itu, tapi matanya hilang, hanya dua lubang kosong yang tampak berdarah, dan di belakangnya, sosok hitam itu berdiri dengan jelas, tangannya terulur seperti akan mencengkeram. “Ini… apa maksudnya?” gumam Adi, tangannya gemetar saat ia memegang foto itu, jari-jarinya terasa dingin menyentuh kertas yang lembap. Ia memasukkan foto ke saku celananya, berniat menanyakan ke warga kampung atau polisi, tapi ada perasaan aneh yang menyelimuti dadanya—seperti ia baru saja menyentuh sesuatu yang tak seharusnya.

Beberapa hari kemudian, Adi mengunjungi pasar loak untuk mencari petunjuk. Pasar itu kembali ramai, suara pedagang dan pembeli bercampur menjadi hiruk-pikuk yang biasa, tapi Adi merasa ada yang berbeda—udara terasa lebih berat, dan matanya terus mencari pedagang tua yang pernah disebut Rian. Ia menemukannya di sudut yang sama, duduk dengan wajah pucat dan tangan gemetar, dan di depannya, kamera tua itu ada lagi, diletakkan di atas kain lap tua seperti barang biasa. “Kamera ini… dari mana Bapak dapat lagi?!” tanya Adi, suaranya tinggi oleh kaget dan amarah. Penjual itu menatapnya dengan mata kosong, lalu berbisik, “Dia balik sendiri Nak. Aku cuma jual apa yang ada.” Sebelum Adi bisa bertanya lebih jauh, seorang gadis muda mendekati lapak, tersenyum senang saat melihat kamera itu. “Murah banget! Seratus ribu saja ya Pak?” tanyanya ceria, dan pedagang itu mengangguk tanpa kata, menyerahkan kamera itu kepadanya.

Malam itu, gadis muda itu membawa kamera pulang, memotret pemandangan dari jendela apartemennya dengan antusias, tak tahu apa yang menantinya. Di kampung Rian, warga mulai berbisik tentang keanehan yang terjadi sejak ia hilang. Beberapa mengaku mendengar suara langkah pelan di lorong kos pada malam hari, sementara yang lain melihat bayangan hitam di bawah pohon mangga saat bulan purnama. Suatu malam yang sunyi, Mbak Wati, tetangga kos Rian, terbangun oleh bisikan samar dari luar jendela: “Siapa berikutnya?”—suara yang dingin dan penuh janji yang tak terucapkan, terbawa angin dari arah yang tak diketahui. Kamera itu terus berpindah tangan, membawa kutukan lama yang tak pernah berakhir, menunggu mata baru untuk diambil, dan cermin baru untuk diisi, sementara Rian—orang apa pun yang tersisa darinya—lenyap dalam kegelapan yang tak pernah bisa ia lari darinya.

 -- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG