#40 TERSESAT DI HUTAN 👀
Bab 1: Awal Mula Petualangan yang Menyesatkan
Di tengah keramaian kota yang menyesakkan, lima sahabat karib,
Rina, Andi, Budi, Citra, dan Dewi, memutuskan untuk mencari ketenangan di alam
terbuka. Mereka memilih Hutan Asri, sebuah tempat wisata yang terkenal dengan
keindahan alamnya yang masih asri. Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi,
sungai-sungai jernih mengalir, dan udara segar yang menyegarkan menjadi daya
tarik utama tempat ini.
"Wah, aku sudah tidak sabar untuk segera sampai di
sana," seru Rina, matanya berbinar-binar. "Aku ingin sekali merasakan
udara segar dan melihat pemandangan yang indah."
"Sabar Rina," kata Andi, sambil tersenyum. "Kita
masih harus menempuh perjalanan yang cukup jauh. Tapi, aku yakin, semua lelah
kita akan terbayar lunas saat tiba di sana."
Mereka memulai perjalanan dengan semangat yang membara, mengikuti
jalur pendakian yang sudah ditandai dengan jelas. Canda tawa mereka memecah
keheningan hutan, menciptakan suasana yang riang dan penuh keakraban. Namun,
seiring berjalannya waktu, jalur pendakian mulai berubah. Jalan setapak yang
tadinya lebar dan mudah dilalui, kini menyempit dan dipenuhi semak belukar.
"Sepertinya kita salah jalan," kata Budi, sambil melihat
peta yang dipegangnya. "Jalur ini tidak sesuai dengan yang ada di
peta."
"Ah, mungkin hanya sedikit melenceng," kata Citra,
mencoba menenangkan suasana. "Kita lanjutkan saja perjalanan kita.
Sebentar lagi pasti kita akan menemukan jalur yang benar."
Mereka terus berjalan, mengikuti jalur yang semakin tidak jelas.
Matahari mulai condong ke barat, menandakan hari sudah semakin sore. Mereka
mulai merasa khawatir, tetapi mereka berusaha untuk tetap tenang.
"Kita harus segera menemukan jalan keluar sebelum hari
gelap," kata Dewi, suaranya terdengar cemas. "Aku tidak mau bermalam
di hutan ini."
"Tenang Dewi," kata Andi, mencoba menenangkan
sahabatnya. "Kita pasti akan menemukan jalan keluar. Kita hanya perlu
tetap tenang dan fokus."
Namun, semakin mereka berjalan, semakin mereka merasa tersesat.
Hutan ini seperti labirin yang tak berujung, dengan jalan-jalan setapak yang
bercabang ke segala arah. Mereka tidak tahu ke mana harus pergi, dan mereka
tidak tahu bagaimana cara kembali ke jalur yang benar.
"Aku takut," bisik Rina, air matanya mulai mengalir.
"Aku tidak mau mati di hutan ini."
"Jangan bicara seperti itu Rina," kata Budi, memeluk
sahabatnya. "Kita pasti akan keluar dari sini. Kita harus tetap bersama
dan saling menguatkan."
Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak, sambil merencanakan
langkah selanjutnya. Mereka duduk di bawah pohon besar, mencoba untuk
menenangkan diri dan mengatur napas.
"Kita harus mencari tempat yang aman untuk bermalam,"
kata Andi. "Kita tidak mungkin melanjutkan perjalanan dalam keadaan gelap
seperti ini."
"Tapi, bagaimana jika ada binatang buas di hutan ini?"
tanya Citra, suaranya bergetar. "Aku takut kita akan diserang."
"Kita harus membuat api unggun untuk menghalau binatang
buas," kata Dewi. "Kita juga harus mencari tempat yang tinggi dan
aman untuk bermalam."
Mereka mulai mencari ranting-ranting kering untuk membuat api
unggun. Setelah beberapa saat, mereka berhasil menyalakan api unggun yang cukup
besar. Api unggun itu memberikan kehangatan dan cahaya, membuat mereka merasa
sedikit lebih aman.
"Kita harus berjaga-jaga sepanjang malam," kata Budi.
"Kita tidak tahu apa yang mungkin terjadi."
Mereka bergiliran berjaga, sambil mengawasi sekitar. Suara-suara
aneh terdengar dari kejauhan, menambah rasa takut mereka. Mereka merasa seperti
sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak terlihat.
Bab 2: Kegelapan yang Menyelimuti dan Bisikan yang Mencekam
Malam semakin larut, dan kegelapan hutan semakin pekat. Api unggun
yang mereka buat memberikan sedikit kehangatan dan cahaya, tetapi tidak cukup
untuk menghilangkan rasa takut yang menghantui mereka. Suara-suara aneh
terdengar dari kejauhan, seperti bisikan-bisikan yang tak terucapkan, membuat
bulu kuduk mereka merinding.
"Suara apa itu?" bisik Rina, memeluk lututnya erat-erat.
"Aku merasa seperti ada yang mengawasi kita."
"Aku tidak tahu," jawab Andi, matanya menatap tajam ke
sekeliling. "Tapi, aku yakin itu bukan suara binatang biasa."
Mereka berlima saling berpandangan, mencoba untuk menenangkan
diri. Namun, ketakutan mereka semakin menjadi-jadi. Suara-suara aneh itu
semakin dekat, dan bayangan-bayangan gelap mulai terlihat di antara pepohonan.
"Kita harus pergi dari sini," kata Citra, suaranya
bergetar. "Aku tidak tahan lagi."
"Kita tidak bisa pergi dalam keadaan gelap seperti ini,"
kata Budi. "Kita bisa tersesat lebih jauh lagi."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Dewi, air
matanya mulai mengalir. "Aku takut kita akan mati di sini."
"Kita harus tetap bersama dan saling menguatkan," kata
Andi, mencoba untuk memberikan semangat. "Kita pasti akan keluar dari
sini. Kita hanya perlu tetap tenang dan fokus."
Mereka memutuskan untuk berjaga-jaga sepanjang malam, sambil
menunggu pagi tiba. Mereka bergiliran mengawasi sekitar, memastikan tidak ada
yang mendekati perkemahan mereka. Namun, rasa takut mereka tidak kunjung
hilang. Mereka terus mendengar suara-suara aneh di sekitar mereka, dan
bayangan-bayangan gelap yang berkeliaran di hutan.
"Aku merasa seperti ada sesuatu yang jahat di hutan
ini," bisik Rina, suaranya terdengar serak. "Aku merasa seperti kita
telah mengganggu sesuatu yang seharusnya tidak kita ganggu."
"Jangan bicara seperti itu Rina," kata Budi, mencoba
untuk menenangkan sahabatnya. "Itu hanya perasaanmu saja."
Namun, perasaan Rina tidak salah. Hutan ini memang menyimpan
sesuatu yang jahat, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat.
Mereka telah memasuki wilayah yang terlarang, dan mereka telah membangkitkan
sesuatu yang seharusnya dibiarkan tidur.
Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki yang mendekat.
Mereka semua terdiam, gemetar ketakutan. Dari kegelapan muncul sosok tinggi
besar, dengan mata merah menyala dan taring yang tajam. Makhluk itu berjalan
mendekati mereka, dengan langkah yang berat dan lambat.
"Apa itu?" bisik Citra, matanya membelalak ketakutan.
"Aku tidak tahu," jawab Andi, suaranya tercekat di
tenggorokan.
Makhluk itu semakin dekat, dan mereka bisa melihat dengan jelas
wajahnya yang mengerikan. Matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah
mereka, seolah-olah menembus jiwa mereka. Taringnya yang tajam berkilauan dalam
cahaya api unggun, siap untuk merobek-robek tubuh mereka.
"Lari!" teriak Budi, mendorong teman-temannya untuk
melarikan diri.
Mereka berlima berlari tunggang langgang, meninggalkan api unggun
dan perkemahan mereka. Makhluk itu mengejar mereka, dengan langkah yang cepat
dan kuat. Mereka berlari sekuat tenaga, tetapi mereka tahu mereka tidak akan
bisa melarikan diri selamanya.
"Kita harus bersembunyi!" teriak Andi, sambil menarik
teman-temannya ke balik semak-semak.
Mereka bersembunyi di balik semak-semak, mencoba untuk menahan
napas mereka. Makhluk itu melewati mereka, mengendus-endus udara, mencari jejak
mereka. Mereka bisa mendengar suara napasnya yang berat dan suara taringnya
yang bergemeletuk.
"Jangan bersuara," bisik Rina, suaranya bergetar.
"Dia pasti akan menemukan kita jika kita bersuara."
Mereka berlima terdiam, tidak berani bergerak atau bersuara.
Mereka menunggu dengan cemas, berharap makhluk itu akan pergi. Namun, makhluk
itu tidak pergi. Ia terus berputar-putar di sekitar mereka, mencari jejak
mereka.
"Kita terjebak," bisik Dewi, air matanya mengalir deras.
"Kita tidak akan bisa keluar dari sini."
Bab 3: Pertemuan dengan Sang Penghuni Kegelapan
Detak jantung mereka berpacu dengan cepat, napas mereka tertahan
di tenggorokan. Kelima sahabat itu bersembunyi di balik semak-semak lebat, berusaha
untuk tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Makhluk itu, dengan mata merah
menyala dan taring tajam, terus berputar-putar di sekitar mereka,
mengendus-endus udara, mencari jejak mereka.
"Dia tidak akan pergi," bisik Rina, suaranya bergetar.
"Dia pasti akan menemukan kita."
"Jangan bicara seperti itu," sahut Budi, mencoba untuk
menenangkan Rina, meskipun dia sendiri merasa sangat takut. "Kita harus
tetap tenang dan menunggu sampai dia pergi."
Namun, makhluk itu seolah-olah bisa merasakan kehadiran mereka. Ia
semakin dekat, mengendus-endus semak-semak tempat mereka bersembunyi. Mereka
bisa mendengar suara napasnya yang berat dan suara taringnya yang bergemeletuk,
membuat bulu kuduk mereka merinding.
"Dia tahu kita ada di sini," bisik Citra, air matanya mulai
mengalir. "Kita akan mati."
"Jangan menyerah," kata Andi, menggenggam tangan Citra
erat-erat. "Kita pasti akan menemukan cara untuk keluar dari sini."
Tiba-tiba, makhluk itu berhenti bergerak. Ia menatap tajam ke arah
semak-semak tempat mereka bersembunyi, seolah-olah bisa melihat mereka melalui
kegelapan. Mereka berlima terdiam, tidak berani bergerak atau bernapas.
"Dia melihat kita," bisik Dewi, suaranya tercekat di
tenggorokan.
Makhluk itu mulai berjalan perlahan mendekati mereka, langkahnya
berat dan lambat. Mereka bisa melihat dengan jelas wajahnya yang mengerikan,
matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah mereka, seolah-olah menembus
jiwa mereka. Taringnya yang tajam berkilauan dalam cahaya bulan yang redup,
siap untuk merobek-robek tubuh mereka.
"Lari!" teriak Andi, mendorong teman-temannya untuk
keluar dari persembunyian mereka.
Mereka berlima berlari tunggang langgang, melarikan diri dari
makhluk itu. Makhluk itu mengejar mereka, dengan langkah yang cepat dan kuat.
Mereka berlari sekuat tenaga, tetapi mereka tahu mereka tidak akan bisa
melarikan diri selamanya.
"Kita harus bersembunyi!" teriak Budi, sambil menarik
teman-temannya ke balik pohon besar.
Mereka bersembunyi di balik pohon besar, mencoba untuk mengatur
napas mereka. Makhluk itu melewati mereka, mengendus-endus udara, mencari jejak
mereka. Mereka bisa mendengar suara napasnya yang berat dan suara taringnya
yang bergemeletuk, membuat mereka semakin ketakutan.
"Kita terjebak," bisik Rina, air matanya mengalir deras.
"Kita tidak akan bisa keluar dari sini."
"Jangan menyerah Rina," kata Andi, mencoba untuk
memberikan semangat. "Kita pasti akan menemukan cara untuk mengalahkan
makhluk ini."
"Bagaimana caranya?" tanya Citra, suaranya terdengar
putus asa. "Kita tidak punya senjata, kita tidak punya kekuatan."
"Kita punya otak," kata Budi, matanya berkilat-kilat.
"Kita harus menggunakan otak kita untuk mengalahkan makhluk ini."
Mereka berlima mulai berpikir keras, mencari cara untuk
mengalahkan makhluk itu. Mereka tahu mereka tidak bisa melawannya secara fisik,
tetapi mereka mungkin bisa mengalahkannya dengan kecerdikan mereka.
"Kita bisa membuatnya terjebak," kata Dewi, tiba-tiba.
"Kita bisa memancingnya ke jurang atau lubang yang dalam."
"Itu ide bagus," kata Andi, mengangguk setuju.
"Tapi, bagaimana caranya kita memancingnya ke sana?"
"Kita bisa menggunakan api unggun sebagai umpan," kata
Budi. "Kita bisa menyalakan api unggun di dekat jurang atau lubang, dan
kemudian kita bersembunyi di dekatnya."
"Itu ide yang bagus," kata Rina, tersenyum tipis.
"Mari kita lakukan."
Mereka berlima mulai mencari ranting-ranting kering untuk membuat
api unggun. Setelah beberapa saat, mereka berhasil menyalakan api unggun yang
cukup besar. Mereka kemudian membawa api unggun itu ke dekat jurang yang dalam,
dan mereka bersembunyi di balik semak-semak di dekatnya.
Makhluk itu melihat api unggun dari kejauhan, dan ia berjalan
mendekatinya. Ia mengendus-endus api unggun, mencoba untuk mencari tahu apa
itu. Mereka berlima terdiam, menahan napas mereka, menunggu makhluk itu
mendekat.
Ketika makhluk itu berada tepat di depan jurang, mereka berlima
keluar dari persembunyian mereka dan berteriak sekeras mungkin. Makhluk itu
terkejut dan mundur selangkah, dan ia terjatuh ke dalam jurang.
Mereka berlima bersorak gembira, merasa lega karena berhasil
mengalahkan makhluk itu. Namun, kelegaan mereka tidak berlangsung lama. Mereka
mendengar suara gemuruh dari dalam jurang, dan mereka melihat makhluk itu
memanjat keluar dari jurang.
"Dia masih hidup!" teriak Citra, ketakutan.
"Kita harus lari!" teriak Andi, menarik teman-temannya
untuk melarikan diri.
Mereka berlima berlari tunggang langgang, melarikan diri dari
makhluk itu. Makhluk itu mengejar mereka, dengan langkah yang lebih cepat dan
lebih kuat dari sebelumnya. Mereka tahu mereka tidak akan bisa melarikan diri
selamanya.
Bab 4: Jejak Darah dan Bisikan yang Menggema
Langkah kaki mereka menggema dalam kegelapan hutan, suara napas
terengah-engah memecah kesunyian malam. Kelima sahabat itu berlari sekuat
tenaga, berusaha menjauhkan diri dari makhluk mengerikan yang terus mengejar
mereka. Duri dan ranting tajam mencakar kulit, namun rasa sakit itu tidak
sebanding dengan ketakutan yang mencengkeram hati mereka.
"Kita tidak bisa lari terus!" teriak Andi, suaranya
parau. "Kita harus mencari tempat berlindung!"
"Tapi di mana?" sahut Citra, matanya membelalak
ketakutan. "Hutan ini terlalu luas, kita bisa tersesat lebih jauh
lagi!"
"Kita harus tetap bersama!" seru Budi, berusaha
menyemangati teman-temannya. "Jangan ada yang terpisah, kita akan saling
membantu!"
Mereka terus berlari, hingga akhirnya tiba di sebuah gua kecil
yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Tanpa ragu, mereka memasuki gua
tersebut, berharap bisa menemukan perlindungan dari kejaran makhluk itu.
"Kita istirahat sebentar di sini," kata Dewi, suaranya
bergetar. "Semoga dia tidak menemukan kita."
"Kita harus berjaga-jaga," timpal Rina, matanya menatap
waspada ke arah pintu masuk gua. "Dia pasti akan mencari kita."
Gua itu gelap dan lembap, bau tanah dan lumut menyengat hidung
mereka. Mereka duduk berdekatan, saling berpelukan untuk menghangatkan diri dan
menenangkan pikiran. Suara napas mereka yang terengah-engah terdengar begitu
jelas dalam keheningan gua.
"Aku merasa seperti kita tidak akan pernah keluar dari
sini," bisik Citra, air matanya mulai mengalir. "Kita akan mati di
sini, dimakan oleh makhluk itu."
"Jangan bicara seperti itu!" bentak Budi, suaranya
bergetar. "Kita akan keluar dari sini, kita pasti bisa!"
"Tapi bagaimana?" tanya Dewi, suaranya terdengar putus
asa. "Makhluk itu terlalu kuat, kita tidak punya kesempatan."
"Kita punya otak," kata Andi, matanya berkilat-kilat.
"Kita harus menggunakan otak kita untuk mengalahkannya."
Mereka berlima mulai berpikir keras, mencari cara untuk
mengalahkan makhluk itu. Mereka tahu mereka tidak bisa melawannya secara fisik,
tetapi mereka mungkin bisa mengalahkannya dengan kecerdikan mereka.
"Kita bisa membuatnya terjebak," kata Rina, tiba-tiba.
"Kita bisa memancingnya ke dalam gua ini, dan kemudian kita tutup pintu
masuknya dengan batu besar."
"Itu ide bagus!" seru Andi, mengangguk setuju.
"Tapi bagaimana caranya kita memancingnya ke sini?"
"Kita bisa menggunakan suara," kata Budi. "Kita
bisa membuat suara-suara aneh untuk menarik perhatiannya."
Mereka berlima mulai membuat suara-suara aneh, meniru suara
binatang buas dan suara-suara lain yang mungkin menarik perhatian makhluk itu.
Tak lama kemudian, mereka mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Makhluk
itu datang!
"Cepat, bersiap-siap!" bisik Andi, memberi isyarat
kepada teman-temannya.
Mereka bersembunyi di balik batu-batu besar di dalam gua, menunggu
makhluk itu masuk. Makhluk itu masuk ke dalam gua, mengendus-endus udara,
mencari sumber suara. Ia berjalan perlahan, matanya yang merah menyala menatap
tajam ke sekeliling.
Ketika makhluk itu berada tepat di tengah gua, mereka berlima
keluar dari persembunyian mereka dan berteriak sekeras mungkin. Makhluk itu
terkejut dan mundur selangkah, dan mereka segera mendorong batu besar untuk
menutup pintu masuk gua.
"Kita berhasil!" seru Dewi, melompat kegirangan.
"Jangan senang dulu," kata Budi, matanya menatap waspada
ke arah batu besar yang menutup pintu masuk gua. "Dia masih di dalam
sana."
Mereka berlima terdiam, mendengarkan suara gemuruh dari dalam gua.
Makhluk itu mengamuk, mencoba untuk menghancurkan batu besar yang menutup pintu
masuk gua. Mereka bisa mendengar suara cakaran dan geramannya, membuat mereka
semakin ketakutan.
"Kita harus pergi dari sini," kata Citra, suaranya
bergetar. "Dia pasti akan keluar dari gua ini."
"Tapi ke mana?" tanya Rina, matanya menatap sekeliling.
"Hutan ini terlalu berbahaya."
"Kita harus mencari jalan keluar," kata Andi, matanya
berkilat-kilat. "Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya."
Mereka berlima keluar dari gua, meninggalkan makhluk yang mengamuk
di dalamnya. Mereka berjalan dengan hati-hati, berusaha untuk tidak membuat
suara. Mereka tahu makhluk itu bisa mendengar mereka, dan mereka tidak ingin
menarik perhatiannya.
"Lihat itu!" bisik Dewi, menunjuk ke arah jejak kaki
berlumuran darah di tanah. "Sepertinya ada yang terluka."
Mereka berlima mengikuti jejak kaki itu, berharap bisa menemukan
jalan keluar atau tempat berlindung yang aman. Jejak kaki itu membawa mereka
semakin jauh ke dalam hutan, ke tempat yang semakin gelap dan menakutkan.
Bab 5: Pengungkapan dan Jalan Keluar yang Berliku
Jejak kaki berlumuran darah itu membawa mereka semakin dalam ke
kegelapan hutan, ke tempat yang terasa asing dan menakutkan. Pohon-pohon
raksasa menjulang tinggi, menghalangi cahaya bulan, menciptakan
bayangan-bayangan aneh yang menari-nari di sekitar mereka. Suara-suara aneh
terdengar dari kejauhan, seperti bisikan-bisikan yang tak terucapkan, membuat
bulu kuduk mereka merinding.
"Ke mana jejak ini membawa kita?" bisik Rina, suaranya
bergetar. "Aku merasa seperti kita sedang menuju ke sarang makhluk
itu."
"Kita tidak punya pilihan lain," sahut Andi, matanya
menatap tajam ke depan. "Kita harus terus mengikuti jejak ini, semoga kita
menemukan jalan keluar."
Mereka terus berjalan, mengikuti jejak kaki itu, hingga akhirnya
tiba di sebuah gubuk tua yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Gubuk
itu tampak reyot dan lapuk, seolah-olah sudah lama ditinggalkan. Namun, ada
cahaya redup yang bersinar dari dalam gubuk, menarik perhatian mereka.
"Siapa yang tinggal di sini?" tanya Citra, suaranya
berbisik.
"Aku tidak tahu," jawab Budi, matanya menatap waspada ke
arah gubuk. "Tapi, kita harus berhati-hati."
Mereka berlima mendekati gubuk dengan hati-hati, mengintip melalui
celah-celah dinding kayu yang lapuk. Di dalam gubuk, mereka melihat seorang
wanita tua duduk di depan perapian, mengaduk-aduk sesuatu di dalam kuali.
Wanita itu tampak mengerikan, dengan rambut putih panjang yang kusut, wajah
keriput yang penuh bekas luka, dan mata yang merah menyala.
"Dia pasti penyihir!" bisik Dewi, ketakutan.
"Jangan bicara sembarangan," tegur Andi, suaranya
berbisik. "Kita tidak tahu siapa dia."
Mereka berlima memutuskan untuk masuk ke dalam gubuk, berharap
wanita tua itu bisa membantu mereka. Wanita tua itu menoleh ke arah mereka,
tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang kuning dan tajam.
"Selamat datang, anak-anak," sapanya, suaranya serak dan
mengerikan. "Sudah lama sekali aku tidak menerima tamu."
"Kami tersesat di hutan ini," kata Andi, mencoba untuk
bersikap sopan. "Kami mencari jalan keluar."
"Oh, kalian tersesat," kata wanita tua itu, tertawa
kecil. "Hutan ini memang penuh dengan jalan yang berliku-liku. Tapi, jangan
khawatir, aku bisa membantu kalian."
"Benarkah?" tanya Rina, matanya berbinar-binar.
"Terima kasih banyak!"
"Tapi, ada satu syarat," kata wanita tua itu, matanya
berkilat-kilat. "Kalian harus membantuku menyelesaikan ramuan ini."
"Ramuan apa?" tanya Budi, curiga.
"Ramuan untuk mengembalikan jiwaku yang hilang," jawab
wanita tua itu, suaranya serak. "Aku kehilangan jiwaku bertahun-tahun yang
lalu, dan aku membutuhkan bantuan kalian untuk mendapatkannya kembali."
Mereka berlima saling berpandangan, tampak ragu-ragu. Mereka tidak
yakin apakah mereka bisa mempercayai wanita tua itu. Namun, mereka juga tidak
punya pilihan lain. Mereka terjebak di hutan ini, dan mereka membutuhkan
bantuan.
"Baiklah," kata Andi, akhirnya. "Kami akan
membantumu."
Wanita tua itu tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang
kuning dan tajam. "Bagus sekali," katanya. "Sekarang, mari kita
mulai."
Mereka berlima membantu wanita tua itu mengumpulkan bahan-bahan
ramuan, yang terdiri dari berbagai macam tumbuhan aneh dan benda-benda
misterius. Mereka mencampur bahan-bahan itu ke dalam kuali, mengikuti instruksi
wanita tua itu.
Saat ramuan itu mendidih, asap tebal berwarna hijau keluar dari
kuali, memenuhi gubuk dengan bau yang menyengat. Mereka berlima terbatuk-batuk,
menutup hidung mereka.
"Ramuan ini sudah siap," kata wanita tua itu, matanya
berkilat-kilat. "Sekarang, kita hanya perlu meminumnya."
Wanita tua itu menuangkan ramuan itu ke dalam lima cangkir kecil,
dan memberikan satu cangkir kepada masing-masing dari mereka. Mereka berlima
menatap cangkir itu dengan ragu-ragu, tidak yakin apakah mereka harus
meminumnya.
"Minumlah," kata wanita tua itu, suaranya serak.
"Ini tidak akan menyakiti kalian."
Mereka berlima akhirnya meminum ramuan itu, merasa mual dan
pusing. Mereka merasa seperti sedang kehilangan kesadaran, dan mereka jatuh
pingsan.
Ketika mereka sadar, mereka berada di tempat yang berbeda. Mereka
berada di jalan setapak yang lebar dan terang, jalan yang sama yang mereka
lalui ketika memasuki hutan. Mereka melihat ke belakang, dan mereka melihat
gubuk tua itu menghilang, seolah-olah tidak pernah ada di sana.
"Kita berhasil!" seru Dewi, melompat kegirangan.
"Kita keluar dari hutan!"
"Tapi, apa yang terjadi dengan wanita tua itu?" tanya
Citra, bingung.
"Aku tidak tahu," jawab Andi, matanya menatap ke arah
hutan yang gelap. "Tapi, aku merasa seperti kita telah melakukan sesuatu
yang salah."
Mereka berlima berjalan menyusuri jalan setapak, meninggalkan
hutan yang menakutkan itu. Mereka merasa lega karena berhasil keluar dari sana,
tetapi mereka juga merasa bersalah karena telah membantu wanita tua itu. Mereka
tidak tahu apa yang akan terjadi pada wanita tua itu, dan mereka tidak tahu
apakah mereka telah melakukan sesuatu yang benar.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
%20(21).png)
Komentar
Posting Komentar