#35 KISAH HOROR PENEBANG POHON 👀


Bayang di Balik Pohon

Bab 1: Panggilan Hutan

Pagi itu, langit di atas kampung kecil di kaki Gunung masih diselimuti sisa-sisa malam, abu-abu kelam yang perlahan tersapu oleh sinar matahari yang baru terbit. Pak Manto, seorang penebang pohon berusia 50 tahun, berdiri di depan gubuk kayunya yang sederhana, menatap hutan lebat yang membentang di kejauhan. Rumahnya berdinding papan tua yang sudah lapuk, atap sengnya penuh karat, dan halaman kecilnya dipenuhi rumput liar yang basah oleh embun. Udara pagi terasa dingin dan lembap, membawa aroma tanah basah dan daun-daunan dari lereng gunung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ia mengenakan kaus lusuh berwarna abu-abu yang sudah penuh noda getah, celana panjang yang sobek di lutut, dan sepatu bot karet berlumpur yang ia pakai setiap hari ke hutan.

Di tangannya, ia membawa kapak tua dengan gagang kayu yang sudah usang, permukaannya penuh goresan dari bertahun-tahun menebang pohon. Matanya yang cekung dikelilingi kerutan dalam, tanda kelelahan dari hidup keras dan malam sebelumnya yang ia habiskan untuk menjaga anak bungsunya, Dika, yang demam tinggi. “Semoga hari ini cepet selesai, biar aku bisa beli obat buat Dika,” gumamnya dalam hati, suaranya serak oleh udara dingin yang ia hirup. Ia melirik ke dalam rumah, di mana istrinya, Bu Sari, duduk di samping Dika anak mereka yang masih kecil, yang terbaring di kasur kapuk tua, mengipasi anak itu dengan sehelai kain lusuh. “Aku pergi dulu buk. Doain aku selamet ya,” katanya lantang, mengangkat suara agar terdengar di tengah derit pintu kayu yang ia buka.

Bu Sari menoleh, wajahnya penuh kekhawatiran tapi ia tersenyum tipis. “Iya pak. Hati-hati di hutan, jangan sampe malem. Katanya akhir-akhir ini hutan lagi aneh, orang-orang pada bilang gitu,” jawabnya, nadanya lembut tapi ada getar takut yang terselip. Pak Manto mengangguk, mencoba menepis kekhawatiran itu. “Ah, cuma omongan orang iseng. Aku udah biasa masuk hutan, nggak ada apa-apa kok,” balasnya, tersenyum kecil untuk menenangkan istrinya, meski matanya tak bisa menyembunyikan kelelahan. Ia mengambil tas kain kecil berisi botol air dan sepotong roti kering, lalu melangkah keluar, meninggalkan gubuk yang dikelilingi sawah kecil dan pohon pisang yang bergoyang pelan di angin pagi.

Perjalanan menuju hutan membawanya melewati jalan setapak berbatu yang licin oleh embun, dikelilingi rerumputan tinggi dan semak-semak berduri yang sesekali mencakar kakinya. Hutan di lereng Gunung terkenal lebat, penuh pohon jati, mahoni, dan pinus yang menjulang tinggi, akar-akarnya mencuat dari tanah seperti tangan-tangan tua yang mencoba meraih sesuatu. Kabut tipis menyelimuti pepohonan, membuat pemandangan di depannya tampak samar, dan suara burung hutan bercericit pelan di kejauhan, terputus-putus seperti takut bersuara terlalu keras. Pak Manto sudah puluhan tahun bekerja di hutan ini, menebang pohon untuk kayu bakar, mebel, atau pesanan warga kampung tetangga. Hari ini, ia mendapat tugas dari Pak Karto, pengrajin mebel dari kampung sebelah, untuk menebang pohon jati besar yang katanya sudah tua dan siap dipotong.

Saat ia memasuki hutan, udara menjadi lebih dingin, menusuk kulitnya yang penuh bekas luka kerja—goresan kapak yang tak sengaja, duri semak, dan sengatan serangga. Ia berjalan menyusuri jalur setapak yang ia kenal baik, di antara pohon-pohon tua yang batangnya ditumbuhi lumut tebal dan daun-daun lebar yang meneteskan embun ke tanah. “Pohon jati itu deket sungai kecil, kira-kira sejam dari sini,” pikirnya, mencoba menghitung waktu agar bisa pulang sebelum sore. Tapi hari itu, ada sesuatu yang terasa tak biasa—angin terlalu diam, tak ada hembusan yang menggerakkan daun, dan kabut tak kunjung hilang meski matahari sudah naik lebih tinggi. Suara langkahnya di tanah berderit pelan, dan setiap kali ia berhenti untuk mendengar, keheningan hutan terasa lebih berat, seperti ada yang menahan napas.

Setelah berjalan sekitar satu jam, ia sampai di pohon jati yang dituju—batangnya besar, setinggi dua kali tubuhnya, dengan kulit kayu cokelat tua yang penuh retakan alami. Daun-daunnya masih hijau, tapi beberapa sudah menguning, tanda usianya yang tua. Pak Manto meletakkan tasnya di akar pohon terdekat, lalu mengayunkan kapaknya untuk mengukur kekuatan kayu. Bunyi kapak yang menghantam batang menggema di hutan, tajam dan terputus-putus. “Kayunya keras, tapi aku bisa selesai sebelum siang,” gumamnya, suaranya pelan seperti tak ingin mengganggu keheningan. Tapi saat ia mengayunkan kapak lagi, ia mendengar suara samar—seperti daun yang bergoyang meski tak ada angin—berasal dari balik pohon-pohon di kejauhan.

Ia berhenti, kapak masih di tangan, dan menoleh ke arah suara itu. Kabut membuat pandangannya buram, tapi untuk sesaat, ia merasa ada bayangan hitam yang bergerak di antara pohon-pohon—tinggi, kurus, dan tak berbentuk jelas. “Monyet kali, atau babi hutan,” katanya pada diri sendiri, mencoba menenangkan jantungnya yang tiba-tiba berdegup lebih cepat. Ia menggeleng, menepis perasaan takut itu sebagai imajinasi setelah malam tanpa tidur. “Aku kudu cepet selesai, Dika nunggu aku pulang,” pikirnya, lalu kembali mengayunkan kapak dengan ritme teratur, tak tahu bahwa hutan sedang memperhatikannya—dan sesuatu di dalam kabut mulai mendekat, langkahnya pelan dan tak terdengar.

 Bab 2: Suara di Siang Hari

Matahari sudah naik tinggi di atas hutan lereng Gunung, tapi cahayanya tak mampu menembus kabut tebal yang masih menyelimuti pepohonan. Pak Manto berdiri di depan pohon jati yang besar, kapak tua di tangannya berayun dengan ritme yang teratur, menghantam batang kayu dengan bunyi keras yang menggema di antara pohon-pohon tua. Keringat membasahi kaus lusuhnya yang berwarna abu-abu, menempel di kulitnya yang penuh bekas luka kerja, dan tetesannya jatuh ke tanah berlumpur yang dipenuhi serpihan kayu kecil. Udara siang terasa lembap dan berat, penuh aroma getah pohon yang menyengat dan tanah basah yang tercium setiap kali ia menginjak rerumputan liar di sekitarnya. Pohon-pohon di sekelilingnya menjulang tinggi, daun-daunnya lelet bergoyang meski angin hampir tak terasa, dan kabut membuat pandangannya terbatas hingga beberapa meter saja.

Pak Manto sudah berhasil menebang separuh batang pohon jati itu, kayunya keras tapi mulai retak di bagian bawah, menunjukkan tanda-tanda akan roboh dalam beberapa jam lagi. Kapaknya kini penuh getah lengket yang menempel di mata pisau, dan tangannya terasa pegal setelah berjam-jam bekerja tanpa henti. Ia berhenti sejenak, meletakkan kapak di samping pohon, dan duduk di akar besar yang mencuat dari tanah seperti bangku alami. Tas kain kecilnya ia ambil dari bawah pohon, lalu mengeluarkan botol air plastik yang sudah penyok dan sepotong roti kering yang ia bungkus dengan daun pisang. “Cepet selesai, cepet pulang. Dika butuh obat, aku nggak boleh lama-lama di sini,” gumamnya dalam hati, suaranya serak oleh udara dingin yang masih tersisa di hutan.

Ia membuka tutup botol dan meneguk air dengan lahap, rasanya sedikit pahit karena sudah beberapa hari tak diganti, tapi cukup untuk menyegarkan tenggorokannya yang kering. Roti kering ia kunyah perlahan, teksturnya keras dan sedikit berbau apek, tapi ia tak peduli—makanan sederhana seperti ini sudah biasa baginya. Saat ia makan, ia melirik ke sekitar, mencoba menikmati keheningan hutan yang biasanya menenangkan. Tapi hari itu, keheningan itu terasa aneh—terlalu sunyi, hingga suara kapaknya tadi menggema lebih keras dari biasanya, dan suara burung yang biasa bercericit di siang hari kini lenyap sepenuhnya. “Kok sepi banget ya? Biasanya ada burung atau monyet berisik di sini,” pikirnya, alisnya berkerut saat ia mencoba mencari tanda-tanda kehidupan di antara kabut.

Kabut itu sendiri tampak lebih tebal sekarang, bergerak perlahan seperti asap yang hidup, menyelimuti pohon-pohon hingga mereka tampak seperti siluet raksasa yang diam memandang. Pak Manto mengusap wajahnya dengan lengan baju, menyeka keringat yang bercampur debu kayu, lalu berdiri untuk melanjutkan kerja. Ia mengambil kapak lagi, memeriksanya sebentar—mata pisaunya masih tajam meski penuh getah—dan mengayunkannya ke pohon dengan tenaga penuh. Bunyi kapak yang menghantam kayu kembali menggema, tapi kali ini ada suara lain yang menyelinap—seperti bisikan yang terbawa angin: “Jangan ambil…” Suara itu samar, hampir tak terdengar, tapi cukup jelas untuk membuat Pak Manto berhenti sejenak, kapaknya masih menancap di batang pohon.

Ia menoleh ke belakang, matanya menyapu hutan yang diselimuti kabut. “Siapa yang ngomong? Aku salah denger kali ya,” katanya pada diri sendiri, suaranya pelan seperti tak ingin mengganggu keheningan. Tak ada apa-apa di sana—hanya barisan pohon yang berdiri diam, lumut tebal menempel di batangnya, dan kabut yang bergerak perlahan seperti menutupi sesuatu. Ia menggeleng, mencoba menepis perasaan tak nyaman itu. “Mungkin angin, atau aku kecapekan. Semalem nggak tidur sih,” gumamnya lagi, tangannya menggosok leher yang terasa kaku. Ia kembali mengayunkan kapak, kali ini lebih keras, berusaha fokus pada ritme kerja untuk mengusir pikiran aneh yang mulai muncul.

Tapi saat kapaknya menghantam pohon lagi, suara itu kembali, lebih keras dan lebih jelas: “Jangan ambil pohonku…” Pak Manto membeku, tangannya gemetar memegang kapak hingga getah di gagangnya terasa lengket di telapaknya. Suara itu bukan angin—itu seperti bisikan manusia, dingin dan penuh peringatan, terdengar dari arah pohon-pohon di belakangnya. “Siapa di sana?! Kalo orang mainin aku, keluar sekarang!” teriaknya, suaranya menggema di hutan tapi tak ada jawaban, hanya keheningan yang lebih dalam yang menyelimuti udara. Ia menurunkan kapak perlahan, matanya menyapu ke segala arah, mencari tanda-tanda kehadiran siapa pun—orang apa pun—di antara kabut yang kini terasa lebih gelap meski matahari masih tinggi.

Jantungnya berdegup kencang, dan untuk sesaat, ia merasa ada bayangan yang bergerak di sudut matanya—hitam dan tinggi, lenyap secepat ia menoleh. “Aku nggak takut, aku nggak takut,” katanya berulang-ulang dalam hati, mencoba meyakinkan diri sendiri meski napasnya tersengal. Ia memutuskan untuk mengabaikan suara itu, menganggapnya sebagai halusinasi karena kurang tidur dan lapar. “Aku kudu cepet selesai, sebelum hutan ini bikin aku gila,” pikirnya, lalu kembali bekerja dengan gerakan lebih cepat, kapaknya menghantam pohon dengan tenaga yang dipenuhi ketakutan. Tapi di dalam kabut, sesuatu mulai bergerak lebih dekat, diam-diam, menatapnya dari balik pohon-pohon tua yang kini terasa hidup.

 Bab 3: Bayangan yang Bergerak

Sore mulai menyelimuti hutan di lereng Gunung, cahaya matahari yang tadinya terang kini meredup menjadi semburat oranye pucat yang tersaring oleh kabut tebal. Pak Manto berdiri di depan pohon jati yang sudah setengah roboh, kapaknya menancap dalam di batang kayu yang retak, serpihan-serpihannya berserakan di tanah berlumpur yang dipenuhi akar-akar kecil. Keringat mengalir deras dari dahinya, membasahi kaus lusuhnya yang sudah penuh noda getah dan debu, dan tangannya terasa pegal hingga ia harus mengganti pegangan kapak beberapa kali untuk menjaga tenaga. Udara sore terasa lebih dingin dari siang tadi, membawa bau tanah basah yang bercampur aroma kayu segar yang baru dipotong, tapi ada sesuatu di udara—bau samar seperti daun membusuk yang tak bisa ia jelaskan.

Setelah beberapa jam bekerja tanpa henti, pohon jati itu akhirnya menyerah. Dengan satu ayunan kapak terakhir yang penuh tenaga, batangnya patah dengan bunyi keras yang menggema di hutan—kreekk!—dan pohon itu roboh ke tanah, daun-daunnya bergoyang hebat sebelum akhirnya diam. Pak Manto menghela napas lega, menyeka keringat di dahinya dengan lengan baju yang sudah basah. “Akhirnya selesai juga. Tinggal potong cabangnya, terus aku pulang,” gumamnya dalam hati, suaranya serak oleh kelelahan dan udara dingin yang ia hirup. Ia meletakkan kapak di samping pohon yang tumbang, lalu mengambil gergaji tangan dari tas kain kecilnya, berniat memotong cabang-cabang kecil agar kayunya lebih mudah dibawa pulang malam itu.

Kabut semakin tebal sekarang, menyelimuti hutan seperti selimut putih yang bergerak perlahan, membatasi pandangannya hingga hanya beberapa langkah di depan. Pohon-pohon di sekitarnya tampak seperti bayangan raksasa yang berdiri diam, batang-batangnya ditumbuhi lumut tebal yang tampak kehitaman dalam cahaya sore yang redup. Suhu udara turun drastis, hingga uap napasnya terlihat di udara setiap kali ia menghembuskan napas, dan tangannya mulai terasa kaku karena dingin. “Kok cepet banget gelapnya? Biasanya masih terang jam segini,” pikirnya, alisnya berkerut saat ia melirik langit yang hampir tak terlihat di balik kanopi pohon dan kabut. Ia menggeleng, mencoba fokus pada pekerjaannya, dan mulai menggergaji cabang-cabang kecil dengan gerakan cepat, suara gergaji yang berderit menyatu dengan keheningan hutan yang kini terasa lebih berat.

Saat ia memotong cabang ketiga, ia mendengar suara baru—langkah berat dan pelan, seperti kaki yang menapak di tanah basah, berasal dari balik kabut di arah pohon-pohon besar. Pak Manto berhenti, gergajinya masih di tangan, dan menoleh ke sumber suara itu. “Siapa yang jalan di situ? Babi hutan kali ya,” katanya dalam hati, mencoba menenangkan jantungnya yang mulai berdegup lebih cepat. Tapi suara langkah itu terus berlanjut—tup, tup, tup—teratur dan semakin dekat, diikuti bisikan yang ia dengar siang tadi, kini lebih jelas: “Kembalikan pohonku…” Suara itu dingin, seperti hembusan angin yang keluar dari tenggorokan yang tak bernyawa, dan terasa seperti berasal dari segala arah sekaligus.

“Siapa di sana?! Keluar kalo berani!” teriak Pak Manto, suaranya menggema di hutan tapi terputus oleh kabut yang menyerap bunyi. Ia berdiri tegak, tangannya mencengkeram gergaji lebih erat, matanya menyapu ke segala arah mencari tanda-tanda kehadiran. Tak ada jawaban, hanya suara langkah yang kini lebih keras, seperti sesuatu yang besar bergerak di balik pohon-pohon. “Aku nggak takut, aku nggak takut! Ini cuma imajinasi, aku kecapekan,” katanya berulang-ulang dalam hati, napasnya tersengal saat ia mencoba meyakinkan diri sendiri. Ia menjatuhkan gergaji ke tanah dengan bunyi kecil, lalu bergegas mengambil kapak yang ia letakkan di dekat pohon, merasa lebih aman dengan senjata yang lebih besar di tangan.

Saat ia membungkuk untuk mengambil kapak, ia melihatnya—bayangan tinggi dan kurus berdiri di antara dua pohon besar, sekitar sepuluh meter darinya. Tubuhnya hitam pekat seperti arang, tak berbentuk jelas, dengan tangan panjang yang menjuntai hingga ke tanah, ujungnya tampak bergoyang pelan seperti ranting yang hidup. Wajahnya tak terlihat, hanya kegelapan yang menyelimuti, tapi Pak Manto merasa ada mata yang menatapnya dari dalam bayangan itu. “Ya Tuhan, apa itu?! Bukan manusia, bukan babi!” teriaknya dalam hati, tubuhnya membeku sejenak sebelum adrenalin mengambil alih. Ia menjerit keras, suaranya pecah oleh ketakutan, lalu berbalik dan berlari menuruni setapak yang ia gunakan tadi pagi.

Langkahnya cepat tapi tersendat, kakinya tersangkut akar-akar kecil yang mencuat dari tanah, dan kabut membuatnya sulit melihat arah. Kapak masih ia genggam erat, meski tangannya gemetar hebat hingga ia hampir menjatuhkannya. “Aku kudu pulang, aku kudu pulang! Dika nunggu aku!” pikirnya, suaranya dalam hati penuh kepanikan saat ia terus berlari. Tapi suara langkah berat itu mengikuti, selalu beberapa meter di belakangnya, terdengar jelas di antara derit ranting dan gesekan daun yang ia tabrak. Ia tak berani menoleh, takut melihat bayangan itu lebih dekat, dan hanya fokus pada jalur setapak yang kini terasa lebih panjang dari yang ia ingat. Hutan seolah hidup di sekitarnya, pohon-pohon tua seperti menutup jalan, dan kabut menari-nari di depan matanya, menyembunyikan sesuatu yang terus mendekat.

 Bab 4: Malam di Hutan

Malam turun dengan cepat di hutan lereng Gunung, menyelimuti pepohonan tua dengan kegelapan pekat yang hanya diterobos kilatan petir sesekali di langit mendung. Pak Manto berlari sekuat tenaga menyusuri setapak yang kini terasa asing, kakinya tersandung akar pohon yang mencuat dari tanah berlumpur, hingga ia jatuh keras dengan bunyi mendebam yang memecah keheningan. Kapak tua di tangannya terlepas, mendarat beberapa langkah di depannya, dan napasnya tersengal-sengal, uapnya membentuk kabut kecil di udara dingin yang menusuk tulang. Kabut tebal yang menyelimuti hutan kini begitu padat hingga ia tak bisa melihat lebih dari satu meter di depannya, pohon-pohon besar tampak seperti bayangan hitam yang bergoyang samar, dan suara petir yang menggelegar membuat jantungnya berdegup lebih kencang.

Ia merangkak dengan susah payah, tangannya mencari kapak di tanah yang basah dan licin, jari-jarinya penuh lumpur dan daun kering yang menempel. “Mana kapakku?! Aku nggak bisa ninggalin itu!” teriaknya dalam hati, suaranya dalam pikiran penuh kepanikan saat ia akhirnya menemukan gagang kayu yang dingin itu. Ia bangkit dengan tubuh gemetar, kaus lusuhnya robek di lengan karena tergores ranting tajam, dan sepatu botnya penuh lumpur hingga terasa berat di kaki. “Aku kudu pulang, Dika nunggu aku! Aku nggak boleh mati di sini!” katanya pada diri sendiri, suaranya bergetar saat ia mencoba menenangkan napas yang tak terkendali. Ia melangkah mundur perlahan, kapak di tangan diangkat setinggi dada, matanya menyapu kabut yang kini terasa seperti dinding hidup di sekitarnya.

Hutan tak lagi sunyi—suara langkah berat yang mengikutinya tadi kini digantikan oleh derit kayu yang panjang dan dalam, seperti pohon-pohon tua yang hidup dan bergerak, batangnya retak oleh kekuatan tak terlihat. Angin menderu pelan, membawa bau busuk yang lebih kuat—like kayu lapuk yang bercampur darah—dan ranting-ranting kecil berderit di atasnya, seolah hutan sedang berbicara dalam bahasa yang tak ia mengerti. “Apa ini?! Hutan kok hidup gini? Aku salah apa?!” pikirnya, kepalanya menoleh ke segala arah, mencari sumber suara itu. Kabut menari-nari di depan matanya, membentuk bayangan-bayangan aneh yang lenyap saat ia mencoba fokus, dan untuk sesaat, ia merasa pohon-pohon di sekitarnya lebih dekat dari sebelumnya, seperti menutup jalannya.

Pak Manto mencoba berlari lagi, tapi kakinya lelet oleh lumpur yang semakin dalam, sepatunya tersedot tanah hingga ia hampir kehilangan keseimbangan. Ia menoleh ke belakang, dan di bawah kilatan petir yang menyambar langit, ia melihatnya—sosok hitam yang tadi hanya bayangan kini lebih jelas, berdiri sekitar lima meter di belakangnya. Tubuhnya terbuat dari kayu yang retak dan bengkok, seperti pohon tua yang hidup, kulitnya penuh celah-celah dalam yang mengeluarkan getah hitam pekat. Wajahnya tak berbentuk, hanya dua lubang kosong sebagai mata yang menatapnya tanpa ekspresi, dan tangannya penuh ranting tajam yang bergerak seperti cakar, bergoyang pelan seolah ingin meraihnya. “Kembalikan… pohonku…” suaranya menggema, bukan dari mulutnya yang tak ada, tapi dari hutan itu sendiri—dari pohon-pohon, daun-daun, dan angin yang menderu.

“Ya Tuhan, itu apa?! Bukan manusia, bukan setan!” teriak Pak Manto, suaranya pecah oleh ketakutan saat ia tersentak mundur. Ia mengangkat kapak dengan tangan gemetar, lalu melemparkannya ke arah sosok itu dengan seluruh tenaga yang tersisa. Kapak melayang di udara, berputar cepat, dan menancap keras di batang pohon besar di belakang sosok itu dengan bunyi keras—tung!—tapi sosok itu lenyap dalam kabut seolah tak pernah ada, meninggalkan hanya suara derit kayu yang bergema. “Pergi! Jangan deket-deket aku!” teriaknya lagi, suaranya hilang di tengah angin yang semakin kencang. Ia berbalik dan berlari lebih cepat, tak peduli kapaknya tertinggal, hanya fokus pada satu tujuan—keluar dari hutan yang kini terasa seperti makhluk hidup yang memburunya.

Langkahnya tersendat-sendat, kakinya tergores duri semak hingga berdarah, dan napasnya semakin pendek, tapi ia tak berhenti. Kabut membuatnya tersesat, setapak yang ia kenal tadi pagi kini hilang, digantikan oleh labirin pohon-pohon tua yang akarnya mencengkeram tanah seperti jaring. “Aku salah jalan, aku salah jalan! Mana desa?!” pikirnya, kepanikan membuatnya hampir menangis saat ia mencoba mencari tanda-tanda arah. Petir menyambar lagi, menerangi hutan dengan cahaya putih yang tajam, dan di kejauhan, ia melihat lampu pijar kecil dari desa—cahaya samar yang menjadi harapannya. “Itu desa! Aku kudu ke sana, aku hampir selamet!” katanya dalam hati, tenaga baru muncul dari rasa putus asa itu.

Ia terus berlari, ranting-ranting kecil memukul wajahnya hingga meninggalkan goresan, dan suara derit kayu masih terdengar di belakangnya, jauh tapi tak pernah benar-benar hilang. Saat ia mencapai pinggir hutan, kakinya tersandung batu besar, dan ia jatuh keras ke tanah kering di luar batas pohon-pohon. Kepalanya membentur tanah, pandangannya kabur, dan sebelum ia kehilangan kesadaran, ia mendengar bisikan terakhir yang samar: “Kembalikan…” Lampu desa di kejauhan menjadi hal terakhir yang ia lihat sebelum kegelapan menelannya sepenuhnya, tubuhnya tergeletak di antara hutan dan dunia manusia, dikelilingi kabut yang tak pernah pergi.

 Bab 5: Kutukan Penjaga Hutan

Pagi menyingsing di kampung kecil di kaki Gunung, sinar matahari lembut menyelinap melalui celah-celah pohon pisang di halaman gubuk Pak Manto, tapi udara tetap terasa dingin dan berat, seolah membawa sisa-sisa malam mengerikan di hutan. Pak Manto ditemukan oleh Pak Sukri, seorang petani tua yang sedang menuju sawah dengan cangkul di pundak. Tubuhnya tergeletak di pinggir hutan, kaus lusuhnya robek dan penuh lumpur, wajahnya pucat seperti mayat, dan matanya terbuka kosong menatap langit yang masih diselimuti awan tipis. “Ya Tuhan, ini Pak Manto! Cepet panggil orang, sepertinya dia pingsan!” teriak Pak Sukri, suaranya serak oleh kaget saat ia berlari kembali ke kampung, meninggalkan cangkulnya di samping tubuh yang tak bergerak itu.

Beberapa warga segera datang, membawa Pak Manto pulang ke gubuk kayunya yang sederhana. Bu Sari, istrinya, menjerit saat melihat suaminya digotong dalam keadaan tak sadarkan diri, tangannya penuh luka gores dan lumpur kering. “Manto! Bangun Pak! Jangan tinggalin aku sama Dika!” teriaknya, air mata membasahi wajahnya yang penuh kerutan saat ia memegang tangan suaminya yang dingin. Dika, anak bungsunya yang masih demam, terbangun dari kasur kapuk tua dan menangis kecil di sudut, tak mengerti apa yang terjadi tapi merasakan ketakutan ibunya. Warga meletakkan Pak Manto di atas tikar pandan di ruang tamu kecil, atap seng di atasnya berderit pelan ditiup angin pagi, dan bau tanah basah dari luar menyelinap melalui jendela kayu yang sudah lapuk.

Setelah beberapa jam, Pak Manto akhirnya membuka mata, tapi tatapannya kosong, seperti orang yang kehilangan jiwa. Ia tak bicara, hanya duduk di sudut ruang tamu dengan punggung bersandar ke dinding papan, tangannya gemetar setiap kali mendengar suara kayu berderit—entah dari lantai yang ia injak atau angin yang menggoyang pintu. Bu Sari duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat, mencoba memanggilnya kembali. “Pak.. apa yang terjadi.. cerita…, apa yang jadiin kamu gini? Aku takut liat kamu begini,” katanya lembut, suaranya bergetar oleh kekhawatiran, tapi Pak Manto hanya menggeleng pelan, matanya menatap kosong ke arah hutan yang terlihat samar dari jendela. “Aku nggak tau Buk… aku cuma mau pulang… dia nggak kasih aku pulang…” gumamnya akhirnya, suaranya serak dan patah-patah, seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk.

Hari-hari berlalu, tapi Pak Manto tak kembali seperti dulu. Ia tak lagi berani keluar rumah, bahkan untuk mengambil air dari sumur di halaman, dan kapak tuanya dibiarkan berkarat di gudang kecil di belakang gubuk, gagangnya penuh getah kering yang tak pernah dibersihkan. Setiap malam, ia terbangun dari tidur dengan jeritan kecil, tubuhnya basah keringat, dan matanya liar mencari sesuatu di kegelapan kamar. “Dia dateng lagi Buk! Dia bilang ‘kembalikan pohonku’! Aku denger suaranya di sini!” katanya suatu malam, tangannya mencengkeram lengan Bu Sari hingga meninggalkan bekas merah, wajahnya penuh ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. Bu Sari memeluknya erat, mencoba menenangkan, tapi ia tahu ada yang salah—suami yang dulu tangguh itu kini rapuh seperti daun kering.

Akhirnya, setelah seminggu penuh trauma, Bu Sari memanggil Mbah Surip, sesepuh yang sering dianggap orang pintar di kampung, tinggal di gubuk kecil di pinggir sawah. Mbah Surip datang sore itu, tubuhnya kurus dibalut sarung tua dan kaos oblong yang sudah pudar, tangannya memegang tongkat bambu hitam yang penuh ukiran aneh. Ia membawa kantong kain kecil berisi kemenyan dan daun-daunan kering, matanya yang cekung menatap Pak Manto dengan sorot tajam. “Aku udah denger ceritanya dari warga Manto. Kamu ketemu apa di hutan?” tanyanya, suaranya dalam dan pelan, seperti angin yang bertiup di malam sunyi. Pak Manto mengangkat kepala perlahan, matanya masih kosong tapi ada getar di bibirnya. “Aku nggak tau Mbah… ada bayangan hitam, kayak pohon tapi hidup. Dia bilang aku ambil pohonnya… aku cuma tebang jati biasa Mbah!” jawabnya, suaranya pecah oleh air mata yang mulai menggenang.

Mbah Surip duduk bersila di depan Pak Manto, menyalakan kemenyan dalam mangkuk tanah liat kecil hingga asapnya naik membentuk spiral tipis yang penuh bau harum menyengat. Ia menutup mata, mulutnya bergerak pelan mengucap doa dalam bahasa yang tak dimengerti, dan tangannya memegang daun kering yang ia remas hingga hancur. Setelah beberapa menit, ia membuka mata, wajahnya serius. “Kamu kena kutukan Penjaga Hutan Manto. Pohon yang kamu tebang itu pohon larangan, tempat roh penunggu tinggal. Dia nggak terima kayunya diambil,” katanya, nadanya berat seperti membawa vonis mati. Bu Sari tersentak, tangannya menutup mulut. “Terus gimana Mbah? Suami aku bisa sembuh nggak?” tanyanya, suaranya penuh harap bercampur takut.

Mbah Surip menghela napas panjang, asap kemenyan berputar di sekitar wajahnya yang penuh kerutan. “Penjaga Hutan itu makhluk tua, terbuat dari kayu dan dendam. Dia iketin kamu sama kutukan—selama pohon itu nggak balik, dia bakal dateng tiap malem, minta kayunya atau nyawamu sebagai ganti. Tapi pohonnya udah dipotong, udah dijual, nggak bisa balik lagi,” jelasnya, matanya menatap Pak Manto yang kini gemetar hebat. “Aku salah apa Mbah? Aku cuma kerja buat keluarga! Aku nggak tau pohon itu terlarang!” teriak Pak Manto, suaranya penuh penyesalan dan keputusasaan, tangannya mencengkeram tikar hingga jarinya memutih.

Mbah Surip menggeleng pelan. “Hutan punya aturan Manto. Kamu langgar, sekarang kamu bayar. Aku cuma bisa kasih doa pelindung, tapi kalo dia mau ambil, aku nggak bisa nahan,” katanya, lalu memberikan seikat daun kering yang dibungkus kain merah kecil. “Taruh ini di bawah bantal, doa tiap malem. Mungkin dia pergi, mungkin nggak.” Bu Sari mengambil bungkusan itu dengan tangan gemetar, matanya penuh air mata saat ia melirik suaminya yang kini menunduk dalam diam.

Sejak itu, Pak Manto tak pernah lagi masuk hutan. Ia menghabiskan hari-harinya di dalam gubuk, duduk di sudut dengan tatapan kosong, tak berani menyentuh kayu atau mendengar suara apa pun yang mengingatkannya pada hutan. Kapaknya dibiarkan berkarat di gudang, ditutupi kain tua yang berdebu, dan ia menolak setiap tawaran kerja yang berbau pohon. Tapi warga kampung bilang, di malam yang sunyi, mereka sering mendengar suara kayu berderit dan langkah berat dari arah hutan, seperti sesuatu yang berjalan pelan menuju gubuk Pak Manto. Kadang, di tengah malam, Bu Sari terbangun oleh bisikan samar di luar jendela: “Kembalikan pohonku…”—suara yang dingin dan penuh dendam, terbawa angin dari hutan yang tak pernah tidur. Pak Manto hanya memeluk lututnya erat, berdoa dalam hati, “Pergi… aku nggak punya apa-apa lagi…” tapi ia tahu, Penjaga Hutan tak akan pernah puas, menunggu kayunya kembali—atau mungkin dirinya sendiri sebagai ganti.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG