#32 RUMAH BERHANTU 👀



Bayang di Balik Dinding

Bagian 1: Keputusan di Ujung Keputusasaan

Hidupku, Raka Pratama, 29 tahun, tidak pernah benar-benar berada di jalur yang lurus. Sejak lulus kuliah dengan gelar desain grafis yang ternyata tidak seberharga yang kukira, aku berpindah dari satu pekerjaan lepas ke pekerjaan lain, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk bertahan di kota kecil yang semakin mahal. Apartemenku di pusat kota—sebuah kotak sempit dengan dinding tipis dan tetangga yang berisik—adalah tempatku bertahan selama lima tahun terakhir. Tapi dua bulan lalu, klien terbesarku, sebuah startup merchandise lokal, bangkrut tanpa peringatan. Bayaran terakhirku tidak pernah datang, dan tabunganku menyusut seperti air di musim kemarau.

Aku duduk di meja kecil di sudut apartemen, menatap layar laptop yang penuh dengan email penolakan dari klien potensial. Tagihan listrik sudah lelet tiga hari, dan tuan tanah mulai mengirim pesan singkat dengan nada yang semakin tidak sabar. Aku butuh solusi, dan aku butuhnya cepat. Saat itulah aku membuka situs properti murah, lebih karena iseng daripada harapan. Aku menggulir halaman demi halaman—rumah-rumah bobrok, tanah kosong, apartemen sempit—sampai mataku tertuju pada satu iklan: “Rumah dua lantai, Jalan Pinus No. 13, harga nego, kondisi apa adanya.”

Harganya absurd. Sebuah rumah dua lantai dengan luas tanah 300 meter persegi, dijual hanya seharga apartemen studio kecil di pinggiran kota. Foto-fotonya buram—dinding kayu yang mengelupas, jendela besar yang tertutup debu, dan pohon beringin tua di halaman depan—butuh kerja keras untuk membuatnya layak huni, tapi aku bisa melakukannya. Aku langsung menelepon nomor yang tertera, dan sebuah suara serak menjawab di ujung sana.

“Halo Nak. Mau lihat rumah di Jalan Pinus?” kata pria itu, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Pak Darmo, agen properti yang sudah menangani rumah itu selama bertahun-tahun.

“Iya Pak. Masih tersedia?” tanyaku, mencoba menyembunyikan nada putus asa dalam suaraku.

“Masih. Tapi... kamu yakin? Banyak yang mundur setelah tahu lokasinya.”

“Kenapa Pak?”

Dia terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, suaranya kering seperti daun jatuh. “Ya, jauh dari mana-mana. Dan, well, cerita orang lah.”

Aku tersenyum tipis di balik telepon. “Saya tidak takut cerita hantu Pak. Yang penting murah.”

“Baiklah Nak. Besok jam sepuluh pagi, ketemu di depan rumahnya.”

Malam itu, aku hampir tidak tidur. Aku membayangkan rumah itu—mungkin bukan istana, tapi tempatku sendiri, sesuatu yang bisa kuperbaiki dan kujadikan milikku. Aku membayangkan ruang kerja kecil di sudut, meja kayu yang akan kubuat sendiri, dan mungkin sebuah taman kecil di belakang. Aku tidak peduli jika itu tua atau rusak. Aku butuh awal baru, dan Jalan Pinus No. 13 terdengar seperti jawaban.

Keesokan harinya, aku berkendara ke pinggiran kota dengan mobil tua yang berderit di setiap tikungan. Jalan Pinus adalah sebuah jalur sempit yang membentang di antara deretan pohon pinus tua, jarang disentuh sinar matahari karena kanopi daun yang tebal. Udara di sini lebih dingin, lebih lembap, dan ada aroma samar tanah basah yang menyelinap ke dalam mobil meski jendelaku tertutup rapat. Rumah itu berdiri di ujung jalan, terpisah dari tetangga terdekat—anak tangga kayu yang sudah renta menuju pintu depan, dinding kayu yang catnya mengelupas hingga memperlihatkan serat cokelat tua, dan jendela-jendela besar yang tampak gelap, seperti mata kosong yang menatapku.

Pak Darmo sudah menunggu di gerbang berkarat, memegang seikat kunci yang tampak terlalu banyak untuk satu rumah. Dia pendiam, tapi matanya terus melirik ke arah pohon beringin di halaman, seolah ada sesuatu di sana yang membuatnya tidak nyaman. “Ini rumahnya,” katanya sambil membuka gerbang. “Milik keluarga Hartono dulu. Kosong belasan tahun. Yang punya terakhir pindah ke luar negeri, katanya. Tidak mau balik lagi.”

“Kenapa?” tanyaku, melangkah masuk ke halaman yang ditumbuhi rumput liar setinggi lutut.

“Entah. Orang bilang mereka takut. Tapi ya, rumah tua gini kan biasa ada cerita.”

Aku mengangguk, mencoba mengabaikan nada aneh dalam suaranya. Aku masuk, dan udara di dalam terasa berat, seperti membawa sisa-sisa kehidupan yang sudah lama pergi. Lantai kayu berderit di bawah kakiku, dan setiap langkah mengeluarkan suara yang bergema di ruangan kosong. Ruang tamu luas, tapi gelap, dengan plafon tinggi yang penuh jaring laba-laba. Dapur di belakang memiliki wastafel berkarat dan lemari kayu yang pintunya miring. Tangga kayu menuju lantai atas tampak rapuh, tapi masih kuat saat aku naik perlahan. Koridor panjang di atas memiliki empat pintu tertutup—empat kamar tidur, dua di antaranya kecil, satu kamar mandi dengan keramik retak, dan kamar terakhir, kamar tidur utama, yang pintunya sedikit lebih besar dan terkunci.

“Ini kuncinya,” kata Pak Darmo, menyerahkan seikat kunci tua. “Tapi hati-hati ya Nak. Rumah ini... butuh perhatian.”

Aku tersenyum. “Saya suka tantangan, Pak.”

Dia mengangguk, tapi matanya tidak ikut tersenyum.

Dua minggu kemudian, setelah menjual beberapa barangku untuk membayar uang muka, akta jual beli selesai. Rumah itu resmi jadi milikku. Aku berdiri di depan gerbang, menatap bangunan tua itu dengan campuran harapan dan ketakutan kecil yang tidak bisa kujelaskan. Ini adalah awal baru, pikirku. Tapi di sudut pikiranku, ada suara kecil yang bertanya: apakah aku benar-benar siap untuk apa yang ada di dalam?

Bagian 2: Malam Pertama dan Suara yang Tidak Diundang

Aku pindah dengan barang minimal: kasur lipat yang kubeli murah dari toko online, beberapa kardus pakaian, laptopku yang sudah tua tapi masih bisa diandalkan, dan sebuah lampu meja dari zaman kuliah yang cahayanya kuning pucat. Aku memilih ruang tamu sebagai tempat tinggal sementara—lantai atas terlalu berdebu, dan aku belum punya tenaga untuk membersihkannya. Hari pertama kuhabiskan untuk menyapu lantai, membuka jendela-jendela besar yang berderit keras saat didorong, dan mencoba menghilangkan bau lembap yang menempel di udara. Angin dari luar masuk perlahan, membawa aroma pinus dan sesuatu yang lain—mungkin tanah basah, mungkin sesuatu yang lebih tua.

Malam itu, aku berbaring di kasur lipat, lampu meja menyala di sudut ruangan. Aku mencoba membaca buku untuk menenangkan pikiran, tapi suara-suara kecil rumah tua terus menggangguku. Derit kayu dari plafon, desis angin yang menyelinap melalui celah-celah dinding, dan sesekali suara seperti tetesan air dari jauh—mungkin pipa bocor di dapur. Aku bilang pada diriku sendiri itu wajar. Rumah tua selalu punya cerita, selalu punya suara. Tapi sekitar tengah malam, aku terbangun oleh sesuatu yang berbeda.

Langkah kaki. Pelan, teratur, seperti seseorang berjalan di lantai atas, tepat di atas kepalaku. Aku menahan napas, mendengarkan dengan saksama. Langkah itu berhenti sejenak, lalu mulai lagi, kali ini lebih cepat, seperti seseorang berlari bolak-balik di koridor. Jantungku berdegup kencang, tapi aku mencoba rasional. Mungkin seekor kucing liar masuk dari jendela yang terbuka. Mungkin angin menggerakkan sesuatu di atas.

Aku meraih ponselku, menyalakan senter, dan berdiri perlahan. Kasurku berderit saat aku bangun, dan suara itu terasa terlalu keras di keheningan malam. Aku menaiki tangga kayu dengan hati-hati, setiap anak tangga dingin di telapak kakiku yang telanjang. Cahaya senter menyapu koridor gelap di lantai atas, memantulkan bayangan panjang dari tubuhku sendiri di dinding. Aku memeriksa kamar pertama—kosong, hanya ada lemari tua dengan pintu miring yang sedikit terbuka. Aku mendorong pintu itu, dan engselnya berderit keras, tapi di dalam hanya ada debu dan udara pengap.

Kamar kedua sama kosongnya, kecuali sebuah jendela retak yang memantulkan cahaya senterku kembali ke wajahku. Aku melangkah masuk, mencoba melihat ke luar, tapi kaca itu terlalu buram, dan di luar hanya ada kegelapan pekat yang menyelimuti pohon-pohon pinus. Kamar ketiga memiliki bau yang lebih kuat—tanah basah bercampur sesuatu yang busuk, seperti daun membusuk yang dibiarkan terlalu lama. Aku mengarahkan senter ke sudut-sudut, tapi tidak ada apa-apa selain dinding kayu yang melengkung karena usia.

Kamar terakhir, kamar tidur utama, masih terkunci. Aku memegang gagang pintunya, dingin seperti es, dan mendorongnya dengan pundakku. Pintu itu tidak bergeming, bahkan dengan dorongan keras. Aku mundur, berniat kembali ke bawah, tapi saat aku berbalik, langkah kaki itu terdengar lagi—kali ini dari ruang tamu, tepat di tempat aku meninggalkan kasurku. Suaranya lebih berat sekarang, seperti langkah orang dewasa, bukan anak kecil atau hewan.

Aku berlari turun, tangga berderit di bawah kakiku, dan saat sampai di ruang tamu, aku membeku. Kasurku masih ada, kardus pakaianku masih utuh, lampu meja masih menyala dengan cahaya kuningnya yang lemah. Tapi tidak ada siapa-siapa. Aku berdiri di tengah ruangan, napasku tersengal, mendengarkan dengan saksama. Hening. Hanya suara jantungku sendiri yang memenuhi telinga.

Aku duduk di kasur, mencoba menenangkan diri. “Imajinasi,” gumamku, meski aku tahu itu tidak sepenuhnya benar. Aku mematikan lampu dan berbaring lagi, menutup mata, berharap tidur akan datang. Tapi saat aku hampir terlelap, langkah kaki itu kembali—pelan, mendekati kasurku, berhenti tepat di samping kepalaku. Aku tidak berani membuka mata. Aku tidak berani bergerak. Dan akhirnya, menjelang subuh, suara itu hilang, meninggalkan aku dalam keheningan yang lebih menakutkan daripada kebisingan.

Bagian 3: Penemuan yang Mengganggu

Hari kedua, aku memutuskan untuk mengalihkan pikiran dengan membereskan rumah. Aku menyapu lantai yang penuh debu, mengelap jendela-jendela besar dengan kain basah, dan mencoba memperbaiki wastafel di dapur yang ternyata bocor. Aku menemukan sebuah pintu kecil di belakang dapur yang menuju gudang—sebuah ruangan sempit dengan dinding kayu yang penuh jamur dan lantai tanah yang lembap. Di sudut gudang, di antara tumpukan kardus lapuk dan kaleng cat kosong, aku melihat sesuatu yang tertutup kain tua berdebu.

Aku menarik kain itu, dan di bawahnya ada sebuah cermin tua. Bingkainya kayu, diukir dengan pola bunga yang rumit tapi sudah retak dan menghitam di beberapa tempat. Kaca cermin itu buram, penuh goresan kecil, tapi masih bisa memantulkan bayangan dengan jelas. Aku mengangkatnya dengan hati-hati—berat, mungkin 20 kilogram—dan membawanya ke ruang tamu. Aku memutuskan untuk menggantungnya di dinding kosong di atas sofa tua yang kubeli dari toko barang bekas beberapa hari sebelumnya. Aku pikir itu akan memberi sedikit karakter pada ruangan yang terlalu polos.

Saat aku memasangnya, aku melirik bayanganku di cermin—dan ada sesuatu yang salah. Mataku di pantulan tampak lebih gelap, seperti dua lubang hitam yang tidak memiliki pupil, dan mulutku melengkung ke atas dalam senyum tipis, padahal aku tidak tersenyum. Aku menggosok mata, mengira itu hanya efek cahaya atau kelelahan. Tapi saat aku melihat lagi, bayanganku normal—hanya wajahku yang pucat dan sedikit kusut karena kurang tidur. Aku tertawa kecil, merasa bodoh, tapi tanganku gemetar saat aku melepaskan cermin dari peganganku.

Malam itu, aku terbangun oleh suara ketukan. Tiga kali, pelan tapi jelas, dari arah pintu depan. Aku melirik jam di ponselku—03:12. Aku duduk di kasur, mendengarkan lagi, berharap itu hanya angin atau ranting yang jatuh. Tapi ketukan itu datang lagi, tiga kali, lebih keras. Aku bangun, mengambil senter, dan melangkah ke pintu dengan hati-hati. Aku mengintip dari jendela samping—jalan di luar gelap, lampu jalan di ujung Jalan Pinus berkedip lelet seperti akan mati, dan tidak ada siapa-siapa.

Aku membuka pintu perlahan, dan udara malam menyelinap masuk, dingin seperti es yang membekukan napasku. Aku mengarahkan senter ke teras—dan di sana, di lantai kayu yang kotor, ada bekas kaki basah. Telapak kecil, seperti milik anak-anak, membentuk jejak dari tepi teras menuju ke dalam rumah, melewati ambang pintu, dan berhenti tepat di depan cermin. Jantungku berhenti sejenak. Aku menutup pintu dengan cepat, mengunci rapat, dan berbalik untuk memeriksa lantai di dalam. Bekas kaki itu masih ada, basah dan mengilap di bawah cahaya senter, tapi tidak ada siapa-siapa.

Aku mendekati cermin, napasku tersengal. Pantulanku menatapku balik, normal kali ini, tapi ada sesuatu di sudut ruangan yang terpantul—bayangan samar, kecil, berdiri di dekat tangga. Aku berbalik cepat, tapi tidak ada apa-apa di sana. Aku menatap cermin lagi, dan bayangan itu hilang. Aku mundur, duduk di sofa, dan memandangi cermin itu sampai matahari terbit. Tidak ada suara lagi malam itu, tapi aku tahu sesuatu telah berubah. Rumah ini tidak hanya tua—ia hidup.

Bagian 4: Tetangga dan Cerita Pertama

Pagi itu, aku memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak. Aku tidak bisa terus pura-pura semua baik-baik saja. Aku berjalan ke rumah tetangga terdekat, dua rumah dari tempatku, sebuah bangunan sederhana dengan halaman kecil penuh tanaman dalam pot. Seorang bapak tua sedang menyiram bunga dengan selang, matanya tersembunyi di balik topi jerami tua. Aku memperkenalkan diri, dan dia mengangguk pelan.

“Pak Sutar,” katanya, memperkenalkan diri sambil mematikan selang. “Kamu yang pindah ke rumah di ujung jalan, ya?”

“Iya Pak. Baru dua hari.”

Dia menatapku lama, matanya kecil tapi tajam. “Bisa tahan berapa lama Nak?”

Aku tersenyum canggung. “Maksudnya?”

“Rumah itu,” katanya, menunjuk ke arah Jalan Pinus dengan dagunya. “Kamu tahu kenapa murah, kan?”

Aku menggeleng, meski perutku mulai mual.

“Sepuluh tahun lebih yang lalu, keluarga Hartono tinggal di situ. Suami, istri, dan anak perempuan mereka, Lila. Anaknya hilang, entah ke mana. Ibunya bilang dia dibawa sesuatu di malam hari. Polisi cari berminggu-minggu, gali tanah di sekitar rumah, periksa hutan pinus, tapi tidak ketemu apa-apa. Setelah itu, bapaknya bunuh diri di kamar tidur utama. Gantung diri dengan tali dari plafon.”

Aku menelan ludah, mencoba mencerna kata-katanya. “Lalu ibunya?”

“Bu Sari? Pergi. Tidak ada yang tahu ke mana. Ada yang bilang dia gila, ada yang bilang dia ikut mati di hutan, tapi tidak ada yang menemukan jasadnya. Rumah itu kosong sejak saat itu. Banyak yang bilang angker—suara tangis, langkah kaki, bayangan. Orang-orang yang coba beli sebelumnya tidak pernah bertahan lama.”

“Cerita hantu biasa ya, Pak?” tanyaku, berharap dia akan tertawa.

Tapi Pak Sutar tidak tertawa. “Bukan biasa Nak. Kalau cuma cerita, kenapa tidak ada yang mau tinggal?”

Aku pulang dengan kepala penuh bayangan. Langkah kaki malam tadi, bekas basah, cermin—apakah itu Lila? Atau ayahnya yang bunuh diri? Aku mencoba tidur siang untuk menghilangkan rasa lelah, tapi mimpi buruk datang. Aku berdiri di koridor lantai atas, pintu kamar tidur utama terbuka perlahan, dan di dalamnya ada sosok tergantung—wajahnya buram, tapi matanya menatapku, penuh amarah dan kesedihan. Aku terbangun dengan keringat dingin, jantungku berdegup kencang, dan suara langkah kaki samar terdengar lagi dari atas.

Bagian 5: Bayangan yang Hidup

Malam ketiga, aku terbangun oleh suara tangis. Pelan, seperti isakan anak kecil, datang dari lantai atas. Aku mencoba mengabaikannya, menutup telinga dengan bantal, tapi suara itu semakin keras, semakin memohon. Aku bangun, mengambil senter, dan menaiki tangga dengan kaki gemetar. Udara di koridor terasa lebih dingin, lebih berat, seperti ada sesuatu yang menekan dadaku. Suara tangis itu datang dari kamar tidur utama—kamar yang selalu terkunci.

Aku mendekati pintu, memegang gagangnya, dan kali ini, pintu itu terbuka dengan derit panjang yang menggema di seluruh rumah. Aku masuk, senterku menyapu ruangan kosong yang penuh debu. Bau tanah basah lebih kuat di sini, bercampur dengan sesuatu yang manis dan busuk—seperti bunga layu yang dibiarkan terlalu lama. Di sudut kamar, aku melihatnya: bayangan kecil, duduk membelakangiku, rambutnya panjang dan basah seperti baru keluar dari air. Tangisnya berhenti, dan dia berbalik perlahan.

Wajahnya pucat, matanya kosong seperti dua lubang hitam, tapi mulutnya tersenyum lebar—terlalu lebar untuk wajah manusiawi. Aku menjerit, senter jatuh dari tanganku, dan cahayanya memantul liar di dinding. Bayangan itu bangkit, melangkah mendekatiku dengan gerakan yang tidak alami—kaku, seperti boneka yang digerakkan tali. Aku berbalik dan lari, pintu kamar membanting keras di belakangku, dan aku tidak berhenti sampai aku keluar rumah.

Aku duduk di trotoar Jalan Pinus, napasku tersengal, memandangi rumah itu dalam kegelapan. Jendela-jendela besar tampak seperti mata yang menatapku balik, dan untuk sesaat, aku yakin melihat bayangan kecil itu berdiri di salah satu jendela, tersenyum padaku. Aku tidak masuk lagi malam itu. Aku duduk di trotoar sampai matahari terbit, dingin menusuk tulangku, tapi aku lebih takut pada apa yang ada di dalam daripada udara malam.

Bagian 6: Panggilan Bantuan

Hari berikutnya, aku menghubungi Bayu, temanku dari kuliah yang dulu sering bercerita tentang pengalamannya dengan hal-hal mistis. Dia bukan dukun atau paranormal, tapi dia punya pengetahuan aneh tentang ritual dan cerita-cerita gaib yang dia pelajari dari kakeknya. Aku mengiriminya pesan singkat: “Bayu, aku butuh bantuan. Rumahku aneh.” Dia membalas dalam hitungan menit: “Aku ke sana sore ini. Bawa buku dan beberapa barang.”

Bayu tiba saat matahari mulai tenggelam, membawa tas kain tua yang penuh dengan benda-benda aneh: sebuah buku tua dengan sampul kulit yang sudah mengelupas, sebotol kecil garam kasar, beberapa potong kayu cendana, dan seutas tali merah yang tampak usang. Dia tinggi, kurus, dengan rambut acak-acakan yang selalu membuatnya terlihat seperti baru bangun tidur. Matanya tajam, dan dia langsung memandangi rumahku dengan ekspresi yang sulit dibaca.

“Rumah ini punya jejak,” katanya setelah berjalan keliling ruang tamu, dapur, dan gudang. “Ada yang terikat di sini. Energinya berat Raka. Kamu dengar apa saja?”

Aku menceritakan semuanya—langkah kaki, bekas basah, cermin, bayangan anak kecil di kamar tidur utama. Bayu mendengarkan dengan saksama, mencatat sesuatu di buku tuanya dengan pensil kecil.

“Mungkin anak itu,” katanya akhirnya. “Atau sesuatu yang pura-pura jadi dia. Rumah tua kayak gini sering jadi tempat ‘mereka’ tinggal.”

“Mereka siapa?” tanyaku, suaraku bergetar.

“Entitas. Arwah. Apa pun yang tertinggal atau dipanggil ke sini. Kamu tahu cerita rumah ini?”

Aku mengangguk, menceritakan apa yang kudengar dari Pak Sutar. Bayu mengernyit. “Kalau anaknya hilang dan bapaknya bunuh diri, ada yang tidak beres. Mungkin ibunya melakukan sesuatu—ritual, mungkin—untuk membawa anaknya kembali. Tapi yang datang bukan anaknya.”

Bayu memutuskan untuk melakukan ritual kecil malam itu. Dia menabur garam di sudut-sudut ruang tamu, membakar potongan kayu cendana hingga asapnya memenuhi udara dengan bau menyengat, dan mengikat tali merah di kusen pintu kamar tidur utama. “Ini cuma penutup sementara,” katanya. “Mencegah ‘mereka’ keluar dari kamar itu. Tapi kalau mau aman, kamu harus tahu cerita lengkapnya. Cari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Aku mengangguk, meski aku tidak yakin ingin tahu lebih dalam. Bayu pulang malam itu, meninggalkanku dengan rumah yang terasa lebih sunyi tapi tidak lebih aman.

Bagian 7: Cermin yang Berbicara

Malam itu, setelah Bayu pergi, ketukan datang lagi—tapi bukan dari pintu depan. Suara itu berasal dari cermin di ruang tamu. Tiga ketukan pelan, seperti jari kecil mengetuk kaca. Aku mendekat, senter di tangan, dan berdiri di depan cermin. Pantulanku menatapku balik, tapi di sudut kaca, aku melihatnya—wajah anak kecil, pucat, dengan senyum lebar yang tidak wajar. Dia mengetuk lagi, dan cermin bergetar sedikit.

Aku mundur, tapi kakiku terasa berat, seperti ada yang menahanku. Di cermin, anak itu mengangkat tangan, menunjuk ke arah tangga, dan mulutnya membuka perlahan, mengeluarkan suara yang bukan tangis—sebuah bisikan, pelan tapi jelas: “Dia masih di sini.” Aku menjatuhkan senter, dan saat aku membungkuk mengambilnya, cermin itu sudah kosong lagi. Tapi aku tahu, dia tidak pergi. Dia ada di mana-mana.

Hari-hari berikutnya semakin buruk. Aku mulai mendengar bisikan di malam hari—nama yang tidak kukenal, kata-kata yang terdengar seperti doa tapi penuh amarah. Bekas kaki basah muncul lagi, kali ini membentuk lingkaran di sekitar kasurku, seperti seseorang berjalan mengelilingiku saat aku tidur. Dan cermin itu—setiap kali aku meliriknya, aku melihat bayangan seseorang berdiri di belakangku, tapi saat aku berbalik, tidak ada apa-apa.

Aku mulai takut meninggalkan ruang tamu. Aku tidur dengan lampu menyala, pintu depan terkunci rapat, dan cermin itu kututup dengan kain tua yang kutemukan di gudang. Tapi suara-suara itu tidak berhenti. Malam kelima, aku terbangun oleh suara pintu kamar tidur utama membuka—derit panjang yang menggema di seluruh rumah, meski tali merah Bayu masih terikat di kusen. Aku mendengar langkah kaki turun dari tangga, pelan tapi pasti, menuju ruang tamu. Aku duduk di kasur, menahan napas, dan saat langkah itu berhenti di depan pintu ruang tamu, kain penutup cermin jatuh ke lantai dengan sendirinya.

Di cermin, aku melihatnya lagi—anak kecil itu, berdiri tepat di belakangku, tersenyum. Aku berbalik, tapi tidak ada siapa-siapa. Saat aku menoleh ke cermin lagi, dia sudah lebih dekat, tangannya terulur seolah ingin menyentuhku. Aku menjerit, meraih kunci mobilku, dan lari keluar rumah tanpa menoleh lagi.

Bagian 8: Pencarian Kebenaran

Aku tidak bisa terus begini. Aku harus tahu apa yang terjadi di rumah itu. Keesokan harinya, aku pergi ke perpustakaan kota, membawa laptop dan secarik kertas dengan catatan dari cerita Pak Sutar. Aku menghabiskan berjam-jam di ruang arsip, mencari koran-koran lama yang mungkin menyebut keluarga Hartono. Akhirnya, aku menemukan beberapa artikel yang relevan.

Artikel pertama, dari 12 tahun lalu, berjudul: “Misteri Hilangnya Lila Hartono, 7 Tahun, di Jalan Pinus.” Lila dilaporkan hilang dari kamarnya di malam hari, pintu dan jendela terkunci dari dalam. Ibunya, Sari Hartono, bersikeras ada sesuatu yang masuk dan mengambil anaknya—dia menyebutnya “bayang hitam”—tapi polisi tidak menemukan bukti intrusi. Pencarian dilakukan selama berminggu-minggu, menyisir hutan pinus di belakang rumah, tapi Lila tidak pernah ditemukan.

Artikel kedua, dua bulan kemudian: “Tragedi di Jalan Pinus: Ayah Gantung Diri Setelah Anak Hilang.” Pak Hartono, yang bernama lengkap Hartono Wijaya, ditemukan tergantung di kamar tidur utama oleh tetangga yang curiga karena bau busuk dari rumah. Tidak ada surat wasiat, tapi di dinding kamar, ada coretan dengan tinta hitam: “Maafkan aku, Lila.” Polisi menyimpulkan itu bunuh diri karena depresi, tapi tidak ada penjelasan tentang ke mana perginya Sari Hartono.

Aku mencari lebih jauh dan menemukan artikel kecil dari enam bulan kemudian: “Warga Laporkan Suara Aneh dari Rumah Kosong di Jalan Pinus.” Beberapa tetangga melaporkan mendengar tangis anak kecil dan suara langkah kaki dari rumah yang sudah ditinggalkan. Polisi memeriksa, tapi tidak menemukan apa-apa, dan kasus itu ditutup sebagai “gangguan psikologis massa.”

Aku kembali ke Pak Sutar sore itu, membawa salinan artikel-artikel itu. Dia duduk di beranda rumahnya, menyeruput teh dari cangkir lusuh, dan mendengarkan saat aku membacakan temuan-temuan itu. “Ibunya bilang anaknya dikembalikan,” katanya setelah aku selesai. “Beberapa minggu sebelum bapaknya mati, Bu Sari datang ke rumahku, minta garam dan lilin. Dia bilang dia coba ritual untuk memanggil Lila kembali. Aku kasih, tapi aku bilang itu bahaya. Malam itu, aku dengar dia teriak dari rumah—bukan teriak takut, tapi seperti bicara sama seseorang. Besoknya, dia hilang.”

Aku menatapnya, mencoba mencerna. “Jadi dia memanggil sesuatu?”

“Kayaknya. Tapi yang datang bukan Lila. Orang bilang, kalau kamu panggil arwah dengan cara salah, yang datang bisa jadi sesuatu yang lain—sesuatu yang lapar.”

Aku pulang dengan kepala penuh teka-teki. Apakah Sari memanggil sesuatu yang mengambil tubuh Lila? Apakah Hartono bunuh diri karena tahu itu? Dan kenapa mereka masih di sini, menggangguku?

Bagian 9: Malam Terakhir

Malam itu, aku memutuskan untuk menghadapi apa pun yang ada di rumah itu. Aku tidak bisa lari selamanya. Aku duduk di depan cermin, kain penutupnya kulepaskan, dan menyalakan lampu meja di sampingku. Aku membawa garam dan lilin yang kubeli dari toko terdekat, meniru apa yang kulihat Bayu lakukan. Aku menabur garam di sekitar kasurku, menyalakan lilin, dan berbicara ke cermin.

“Lila, kalau kamu ada, bicara padaku. Apa yang kamu inginkan?”

Hening sejenak, lalu cermin bergetar. Bayangan anak kecil itu muncul, lebih jelas sekarang—rambutnya basah menempel di wajahnya, matanya kosong, dan senyumnya melebar. “Kenapa kamu di sini?” tanyaku, suaraku bergetar. Senyumnya memudar, dan mulutnya membuka lebar, mengeluarkan jeritan yang bukan manusiawi—seperti angin bercampur tangis dan amarah. Cermin mulai retak, dan aku merasa udara di sekitarku mengeras, seperti tangan tak terlihat mencengkeram leherku.

Aku mencoba bangkit, tapi kakiku terpaku. Di cermin, bayangan Lila memudar, dan wajah lain muncul—wajah wanita, rusak, penuh luka, dengan mata yang menatapku penuh dendam. “Kamu bukan dia,” bisiknya, suaranya seperti desis ular. Ruangan bergetar, lilin padam, dan cermin pecah menjadi serpihan kecil yang berhamburan ke lantai. Aku jatuh ke belakang, kepalaku membentur sofa, dan pandanganku menggelap.

Aku terbangun di trotoar Jalan Pinus, tubuhku penuh keringat dingin, dan rumah itu diam seperti tidak terjadi apa-apa. Matahari baru terbit, dan burung-burung mulai berkicau di pohon pinus. Aku berdiri, memandangi rumah itu untuk terakhir kalinya. Aku tidak masuk lagi. Aku meninggalkan semua barangku—kasur, pakaian, cermin yang kini hancur—dan pergi dengan mobilku.

Bagian 10: Bayang yang Tak Pernah Pergi

Aku pindah ke kota tetangga setelah malam terakhir itu, menyewa kamar kecil di sebuah rumah kos sederhana dengan sisa uang yang kumiliki. Aku mencoba membangun hidup baru, mencari pekerjaan lepas lagi, dan berusaha melupakan Jalan Pinus No. 13. Tapi itu tidak pernah benar-benar mudah. Rumah itu masih milikku—akta jual beli ada di tanganku, tersimpan di dalam kotak kardus kecil bersama dokumen-dokumen penting lainnya. Aku tidak pernah berencana menjualnya, bukan karena aku ingin kembali, tapi karena aku tidak tahu harus mulai dari mana untuk melepaskannya. Terlalu banyak kenangan buruk yang menempel di sana, dan aku tidak yakin ada orang waras yang mau membelinya setelah tahu ceritanya.

Malam-malamku kini diisi mimpi yang sama. Aku berdiri di depan cermin tua itu, pecahannya berserakan di lantai ruang tamu, dan Lila—orang yang kukira Lila—menatapku dengan senyum lebar yang tidak wajar. Kadang, wajah wanita itu muncul, kulitnya penuh luka, matanya penuh dendam, berbisik kata-kata yang tidak bisa kuingat saat aku terbangun. Aku sering terjaga di tengah malam, keringat dingin membasahi bantal, mendengarkan keheningan kamar kosku dengan paranoia bahwa langkah kaki itu akan terdengar lagi. Dan kadang, di sudut mata, aku merasa melihat bayangan kecil berdiri di dekat pintu atau di balik jendela, tapi saat aku berbalik, tidak ada apa-apa.

Aku tidak pernah kembali ke Jalan Pinus. Mobil tuaku kutinggalkan di kota baru ini, dan aku menghindari jalan-jalan yang mengarah ke pinggiran kota, takut tanpa alasan bahwa aku akan terseret kembali ke sana. Tapi beberapa bulan setelah aku pergi, sebuah pesan masuk ke ponselku dari nomor yang kukenal—Pak Sutar. Aku ragu membukanya, jari-jariku gemetar di atas layar, tapi akhirnya aku menekan tombol itu.

“Nak Raka, apa kabar? Rumahmu di Jalan Pinus masih berdiri, tapi akhir-akhir ini ada yang nanya-nanya. Katanya mau beli murah. Kamu masih mau pegang rumah itu, atau mau dilepas?” 

Aku menatap pesan itu lama, jantungku berdegup kencang. Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Rumah itu memang masih milikku, tapi aku tidak pernah memikirkan apa yang akan kulakukan dengannya. Aku membayangkan seseorang—mungkin seperti aku dulu, putus asa dan tidak curiga—berjalan masuk ke dalam rumah itu, mendengar langkah kaki di lantai atas, melihat bekas basah di teras, dan bertemu dengan apa pun yang masih bersemayam di sana. Aku mengetik balasan dengan tangan gemetar.

“Pak Sutar, saya belum tahu. Biarkan saja dulu. Saya tidak mau orang lain masuk ke sana sekarang.”

Dia membalas cepat. “Baik Nak. Tapi hati-hati. Orang bilang rumah itu tidak diam. Ada yang dengar suara lagi malam-malam. Kayak dulu.”

Aku mematikan ponselku, tidak ingin membaca lebih jauh. Aku duduk di tepi ranjang kosku, menatap dinding polos di depanku. Rumah itu masih berdiri di ujung Jalan Pinus, masih atas namaku, tapi aku tahu aku bukan lagi yang menguasainya. Sesuatu di sana—Lila, wanita itu, atau apa pun yang dipanggil Sari Hartono—telah mengambil alih. Aku tidak akan pernah menjualnya, bukan karena aku ingin memilikinya, tapi karena aku takut melepaskan apa yang ada di dalam ke tangan orang lain.

Kadang, aku bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika aku kembali. Apakah cermin itu masih ada, meski sudah pecah? Apakah langkah kaki itu masih akan mengelilingiku di malam hari? Tapi aku tidak cukup berani untuk mencari tahu. Aku memilih hidup dengan bayang-bayang itu dari jauh, membiarkannya mengintai di sudut pikiranku, daripada menghadapinya lagi.

Rumah itu tetap di sana, menunggu. Mungkin suatu hari akan ada yang cukup nekat—orang cukup bodoh—untuk masuk, tapi itu bukan urusanku lagi. Aku hanya berharap mereka tidak mendengar apa yang kudengar, tidak melihat apa yang kulihat, dan tidak merasakan cengkeraman dingin yang masih kuingat hingga kini.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG