#37 KISAH HOROR DI KANTIN SEKOLAH


Suara di Kantin Kosong

Bab 1: Malam di Sekolah

Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya di SMP Bunga Kamboja, sebuah sekolah tua yang berdiri di pinggiran kota, dikelilingi pepohonan besar dan jalanan kecil yang jarang dilalui kendaraan. Bangunan sekolah sudah usang, dinding-dindingnya penuh retakan dan cat yang mengelupas, sementara jendela-jendela kayunya sering berderit ditiup angin. Di sudut halaman sekolah, kantin kecil milik Bu Siti menjadi satu-satunya tempat yang masih menyala, lampu neon di langit-langitnya berkedip pelan, menciptakan bayangan yang bergoyang di dinding beton yang dingin. Jam dinding bulat di atas pintu menunjukkan pukul 19.30, jarum detiknya bergerak lambat seperti menyeret waktu ke dalam keheningan yang tak nyaman.

Siti, seorang janda berusia 42 tahun, duduk di meja kecil di sudut kantin, buku catatan lusuh terbuka di depannya. Cahaya lampu neon memantulkan bayangan wajahnya yang lelah—kulitnya kecokelatan karena bertahun-tahun bekerja di bawah matahari, matanya dikelilingi lingkaran hitam akibat tidur yang tak pernah cukup, dan rambutnya yang mulai beruban diikat asal ke belakang. Ia mengenakan daster sederhana dengan celemek tua yang penuh noda minyak, seragam hariannya selama lima tahun menjalankan kantin ini. Tangan kanannya memegang pulpen murah yang tintanya hampir habis, sementara tangan kiri menggenggam laci kecil berisi uang kertas dan koin—hasil penjualan hari itu yang harus ia hitung sebelum pulang.

Hari ini lebih sibuk dari biasanya. Murid-murid kelas tiga mengadakan latihan drama hingga sore, dan Bu Siti harus menyiapkan tambahan roti, nasi bungkus, dan teh manis untuk mereka serta guru-guru yang mengawas. Ia biasanya pulang sebelum maghrib, tapi malam ini ia terpaksa tinggal lebih lama untuk membersihkan dapur dan menghitung stok. Bau sisa gorengan dan teh yang tumpah masih menguar di udara, bercampur dengan aroma kayu lembap dari meja-meja tua yang sudah usang. Di luar, angin malam bersiul melalui celah-celah jendela, membawa suara daun-daun kering yang bergesekan di halaman sekolah yang kosong.

Bu Siti menguap, matanya perih karena menatap angka-angka kecil di buku catatan. “Tiga puluh ribu dari roti, empat puluh dari nasi… masih kurang lima bungkus,” gumamnya pelan, suaranya serak karena hari yang panjang. Ia menggosok lehernya yang kaku, mencium bau minyak di tangannya yang tak pernah benar-benar hilang meski sudah dicuci berkali-kali. Kantin ini adalah sumber hidupnya sejak suaminya meninggal tujuh tahun lalu, meninggalkan ia dan anak perempuannya yang kini duduk di bangku SMA. Setiap hari, ia membuka kantin sejak pagi buta dan menutupnya sore hari, tapi malam ini adalah pengecualian yang membuatnya merasa tak nyaman.

Tiba-tiba, lampu neon di atas kepalanya berkedip lebih cepat, lalu meredup sejenak sebelum kembali menyala. Bu Siti melirik ke atas, alisnya berkerut. “Lagi-lagi mati listrik,” pikirnya, terbiasa dengan kelistrikan sekolah yang sering bermasalah. Ia kembali fokus pada laci uang, menghitung koin seribuan satu per satu, ketika sebuah suara samar memecah keheningan—seperti tawa anak kecil, pendek dan ceria, dari arah dapur kecil di belakang kantin. Bu Siti menghentikan gerakannya, tangannya membeku di atas laci, dan mendengarkan dengan saksama. Angin bersiul lagi di luar, membawa suara daun yang bergoyang, tapi tawa itu terdengar lagi—lebih jelas kali ini, diikuti oleh suara langkah kaki kecil yang berlari di lantai beton dapur.

Bu Siti menoleh perlahan ke arah pintu dapur, yang terbuka sedikit dan hanya diterangi oleh cahaya lampu neon yang bocor dari ruang utama kantin. Dapur itu kecil, penuh dengan rak-rak besi tua, panci berkarat, dan meja kayu yang sudah penuh goresan dari bertahun-tahun digunakan. “Kucing lagi,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Kucing liar memang sering menyelinap ke kantin mencari sisa makanan, tapi langkah kaki itu terdengar terlalu teratur, terlalu mirip dengan anak kecil yang berlari main. Ia berdiri dari kursi, kakinya terasa sedikit kaku setelah duduk lama, dan mengambil senter kecil dari tas kain lusuh yang tergantung di dinding.

“Siapa di sana?” panggilnya, suaranya sedikit lebih keras dari yang ia inginkan, tapi tak ada jawaban. Hanya suara angin dan tetesan air dari atap yang bocor di suatu tempat di kantin. Bu Siti melangkah mendekati pintu dapur, senternya ia pegang erat seperti tameng, meski belum ia nyalakan. Cahaya lampu neon dari ruang utama menyelinap ke dapur, memperlihatkan bayangan samar rak-rak dan wajan yang tergantung. Ia berdiri di ambang pintu, mendengarkan lagi, tapi keheningan kini menyelimuti ruangan itu. “Mungkin aku terlalu capek,” pikirnya, mencoba tersenyum kecil untuk mengusir rasa takut yang mulai merayap di dadanya.

Tapi saat ia berbalik untuk kembali ke meja, suara tawa itu terdengar sekali lagi—kali ini lebih dekat, seperti dari tepat di belakang pintu dapur. Bu Siti tersentak, senternya jatuh ke lantai dengan bunyi keras, dan ia buru-buru memungutnya. Jantungnya berdegup lebih cepat, tangannya gemetar saat ia menyalakan senter dan mengarahkannya ke dapur. Cahaya itu menyapu ruangan, tapi tak ada apa-apa—hanya peralatan tua dan meja kosong yang menatapnya kembali. Namun, di sudut matanya, ia merasa melihat sesuatu bergerak cepat—bayangan kecil yang lenyap sebelum ia bisa memastikannya. Bu Siti menelan ludah, napasnya tersengal, dan memutuskan untuk kembali ke meja. Ia tak tahu bahwa malam itu adalah awal dari sesuatu yang akan mengubah kantin kecilnya menjadi tempat yang tak lagi ia kenali.

Bab 2: Bayangan di Dapur

Bu Siti berdiri di ambang pintu dapur, tangannya mencengkeram senter kecil dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih. Cahaya lampu neon dari ruang utama kantin hanya menyelinap sedikit ke dalam dapur, menciptakan garis tipis yang memisahkan terang dan gelap. Ia menarik napas dalam, mencium bau minyak goreng yang masih menempel di udara, bercampur dengan aroma kayu lembap dari meja tua dan sesuatu yang samar—bau seperti kain basah yang sudah lama tak dicuci, aroma yang tak biasa untuk dapur kecilnya yang selalu ia jaga kebersihannya. Jantungnya masih berdegup kencang setelah mendengar tawa dan langkah kaki kecil tadi, tapi ia mencoba menenangkan diri. “Cuma kucing, pasti kucing,” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh angin yang bersiul di luar.

Ia menyalakan senter, cahayanya yang lemah menyapu dapur dengan gerakan lambat. Ruangan itu kecil dan penuh sesak—rak-rak besi tua berdiri di sisi kiri, dipenuhi panci dan wajan berkarat yang sudah bertahun-tahun ia gunakan untuk menggoreng tempe dan pisang. Di tengah, ada meja kayu besar yang permukaannya penuh goresan dan noda minyak yang tak pernah benar-benar hilang, tempat ia biasa menyiapkan makanan untuk murid-murid. Di sudut kanan, sebuah bak cuci seng tua berdiri di bawah keran yang bocor, meneteskan air pelan ke dalam genangan kecil yang berbau asam. Di belakang meja, sebuah lemari besi tua menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit—pintunya selalu terkunci, dan Bu Siti tak pernah tahu apa yang ada di dalamnya karena kunci aslinya sudah hilang sejak ia mulai berjualan di sini.

“Siapa di sana?” panggilnya lagi, suaranya bergetar meski ia berusaha terdengar tegas. Tak ada jawaban, hanya suara tetesan air dari keran yang mengisi keheningan dengan ritme yang menjengkelkan—tetes, tetes, tetes. Bu Siti melangkah masuk, sepatu kets usangnya menginjak lantai beton yang dingin dan sedikit licin karena sisa minyak yang tak pernah benar-benar bersih. Cahaya senter menyapu rak-rak, menangkap bayangan wajan yang bergoyang pelan seolah baru saja disentuh angin—tapi tak ada angin di dalam ruangan ini. Ia mengerutkan kening, mencoba mencari logika. “Mungkin tikus,” pikirnya, meski ia tahu tikus tak bisa menimbulkan suara langkah kaki seperti yang ia dengar tadi.

Tiba-tiba, sebuah suara baru terdengar—gesekan pelan, seperti piring yang bergoyang di rak besi di sudut dapur. Bu Siti tersentak, senternya langsung mengarah ke sana. Cahaya itu menangkap sebuah piring seng tua yang ia gunakan untuk menyajikan gorengan—piring itu bergoyang pelan, lalu berhenti seolah ada tangan kecil yang baru saja melepaskannya. Bu Siti menahan napas, matanya melebar. “Ini nggak bener,” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Ia melangkah mendekat, kakinya terasa berat seperti ditarik oleh lantai, dan mengarahkan senter ke bawah rak. Tak ada apa-apa—hanya debu dan remah-remah roti yang entah dari mana asalnya, karena ia yakin telah menyapu dapur sore tadi.

Saat ia membungkuk untuk memeriksa lebih dekat, sebuah bayangan kecil melintas di dinding di sisi kanannya—siluet anak kecil dengan rambut panjang yang tergerai, bergerak cepat seperti berlari dari satu sudut ke sudut lain. Bu Siti menoleh seketika, senternya menyapu dinding dengan gerakan panik, tapi tak ada sosok nyata di sana, hanya dinding beton yang kosong dan penuh noda lembap. “Apa tadi itu?” pikirnya, bulu kuduknya berdiri hingga terasa menusuk kulit. Ia berdiri tegak, napasnya tersengal, dan memutuskan untuk mundur. “Ini cuma bayangan, cuma imajinasi,” katanya pada diri sendiri, suaranya dipaksakan agar terdengar yakin meski hatinya berkata sebaliknya.

Bu Siti berbalik, berniat kembali ke meja di ruang utama kantin untuk mengambil tas dan pulang, tapi saat ia melangkah melewati lemari besi tua, ia mendengar suara lagi—ketukan pelan dari dalam lemari, tiga kali berturut-turut, seperti jari kecil yang mengetuk logam. Ia membeku, senternya mengarah ke pintu lemari yang sedikit berkarat di tepinya. “Halo?” panggilnya, suaranya serak dan penuh keraguan. Ketukan itu berhenti, tapi udara di dapur tiba-tiba terasa lebih dingin, seperti ada hembusan angin yang keluar dari celah-celah lemari. Bu Siti mundur perlahan, kakinya hampir tersandung meja di belakangnya, dan berlari kecil kembali ke ruang utama.

Saat ia sampai di meja kecilnya, napasnya masih tersengal-sengal. Ia duduk, mencoba menenangkan diri, dan melirik buku catatan yang tadi ia tinggalkan terbuka. Apa yang ia lihat membuat jantungnya hampir berhenti—di halaman yang tadi penuh angka penjualan, kini ada coretan baru, tulisan anak-anak yang berantakan dengan tinta pulpen yang ia pegang tadi: “Aku lapar.” Bu Siti menatap tulisan itu, tangannya gemetar hingga pulpen jatuh ke lantai. Ia melirik ke arah dapur lagi, tapi tak berani kembali. Di luar, angin malam menderu lebih keras, dan lampu neon berkedip lagi, seolah setuju bahwa ada sesuatu di kantin ini yang tak ia pahami.

 Bab 3: Suara yang Memanggil

Malam semakin larut, dan udara di kantin terasa semakin dingin, menyelinap melalui celah-celah jendela kayu yang sudah usang. Bu Siti duduk di meja kecilnya, tangannya masih gemetar setelah melihat coretan “Aku lapar” di buku catatan. Cahaya lampu neon di atas kepalanya berkedip lebih sering sekarang, seolah-olah listrik di sekolah tua ini ikut merespons ketakutannya. Angin malam menderu di luar, membawa suara daun kering yang bergesekan di halaman, tapi di dalam kantin, keheningan terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menahan udara agar tak bergerak. Bu Siti menarik napas dalam, mencium bau minyak goreng yang bercampur dengan aroma aneh dari dapur—bau kain basah yang kini terasa lebih kuat, lebih mengganggu.

Ia melirik jam dinding—pukul 20.15. “Udah waktunya pulang,” gumamnya, suaranya serak dan penuh keraguan. Ia tak ingin tinggal lebih lama di kantin yang kini terasa asing baginya. Dengan gerakan cepat, ia mengambil tas kain lusuh dari gantungan di dinding, memasukkan buku catatan dan laci uang ke dalamnya tanpa menghitung lagi. Kunci kantin—sebuah gantungan besi tua dengan dua kunci besar—ia ambil dari saku celemeknya, tangannya gemetar saat memegang logam dingin itu. Ia berdiri, melangkah menuju pintu kantin, tapi sebelum ia sempat memutar kunci di lubangnya, lampu neon tiba-tiba mati total. Kegelapan menyelimuti ruangan seperti selimut tebal, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar dari jendela dan senter kecil yang masih ia genggam.

Bu Siti tersentak, napasnya tersengal. “Listrik mati lagi,” pikirnya, tapi sebelum ia bisa menyalakan senter, suara itu kembali terdengar—tawa anak kecil, ceria namun dingin, bercampur dengan bisikan pelan yang memanggil namanya: “Bu Siti… Bu Siti…” Suara itu tak lagi dari dapur, melainkan dari arah lorong sekolah di luar pintu kantin, seperti anak yang bersembunyi di kegelapan dan memanggilnya untuk ikut bermain. Bu Siti membeku, tangannya masih memegang kunci di lubang, tapi ia tak bisa memutarnya. Bisikan itu terdengar lagi, lebih jelas kali ini, seperti ada di tepat di belakang pintu: “Bu Siti… aku di sini…”

Dengan tangan gemetar, Bu Siti menyalakan senter dan mendorong pintu kantin perlahan. Derit engsel tua menggema di lorong panjang yang terbentang di depannya, sebuah koridor sempit yang dikelilingi loker-loker besi tua di sisi kiri dan dinding penuh coretan murid di sisi kanan. Cahaya senter menyapu lorong itu, menangkap bayangan loker-loker yang berkarat dan poster-poster usang yang mengelupas dari dinding—gambar kegiatan sekolah yang sudah pudar warnanya. Lorong itu kosong, hanya ada debu yang beterbangan di udara dan bau cat lama yang bercampur dengan kayu lembap. Tapi suara tawa itu masih ada, kini terdengar dari ujung lorong, dekat deretan kelas-kelas yang sudah tutup.

“Siapa di sana?” panggil Siti, suaranya lebih keras untuk mengusir rasa takut, tapi ada getaran yang tak bisa ia sembunyikan. Ia melangkah keluar, sepatunya menginjak lantai beton yang dingin dan sedikit berderit di bawah berat tubuhnya. Cahaya senter bergerak liar, menyapu setiap sudut lorong, tapi tak ada tanda-tanda kehidupan—hanya bayangan yang bergoyang setiap kali lampu neon di kantin berkedip kembali menyala lalu mati lagi di belakangnya. Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki kecil lagi—cepat, seperti anak yang berlari, menuju arah kelas-kelas di ujung lorong. Bu Siti menoleh ke sana, dan di bawah cahaya bulan yang masuk melalui jendela besar di ujung koridor, ia melihat sesuatu—seorang anak perempuan kecil berdiri diam.

Anak itu mengenakan seragam sekolah yang lusuh—rok abu-abu yang robek di ujungnya dan kemeja putih yang kotor, seolah tak pernah dicuci. Rambutnya panjang dan hitam, menutupi wajahnya seperti tirai basah yang meneteskan air ke lantai. Bu Siti menahan napas, senternya mengarah langsung ke anak itu. “Nak, kamu siapa? Sekolah udah tutup!” teriaknya, suaranya bergema di lorong kosong. Anak itu tak menjawab, hanya memiringkan kepala sedikit, lalu berbalik dan berlari ke arah kelas-kelas dengan langkah yang terlalu ringan, hampir tak bersuara. Bu Siti terpaku sejenak, tapi rasa ingin tahu—orang mungkin menyebutnya kecerobohan—mendorongnya untuk mengejar.

Ia berlari kecil menyusuri lorong, senternya bergoyang di tangan hingga cahayanya memantul ke dinding dan loker-loker, menciptakan bayangan yang seperti menari di sekitarnya. Bau kayu lembap semakin kuat saat ia mendekati kelas-kelas, dan udara terasa lebih dingin, seperti ada hembusan angin dari dalam bangunan tua ini. Ia berhenti di depan kelas 3A, pintunya sedikit terbuka, dan suara tawa anak itu terdengar lagi—pendek, ceria, tapi ada nada sedih yang tersembunyi di dalamnya. Bu Siti mendorong pintu perlahan, engselnya berderit panjang, dan cahaya senter menyapu ruangan—meja-meja kayu tua yang penuh coretan, kursi-kursi yang tersusun rapi, dan papan tulis besar di depan yang tampak kosong pada pandangan pertama.

Tapi saat Bu Siti melangkah masuk, ia melihatnya—di papan tulis, tertulis dengan kapur putih dalam tulisan anak-anak yang berantakan: “Aku mau makan.” Tulisan itu tampak baru, kapurnya masih basah dan meninggalkan serbuk putih di lantai di bawahnya. Bu Siti menoleh ke sekitar, senternya menyapu setiap sudut kelas, tapi anak itu tak ada di mana-mana. Hanya ada keheningan yang kembali menyelimuti ruangan, diikuti suara angin yang menderu di luar jendela kelas yang pecah salah satu kacanya. Bu Siti mundur perlahan, napasnya tersengal, dan berlari kembali ke kantin, meninggalkan pintu kelas terbuka. Ia tak tahu bahwa anak itu masih ada di sana, berdiri di sudut kelas yang tak tersentuh cahaya senter, menatapnya dengan mata hitam yang kosong.

 Bab 4: Makanan yang Hilang

Pagi itu, matahari baru saja terbit di atas SMP Bunga Kamboja, menyelinap melalui celah-celah jendela kayu kantin dan menerangi ruangan kecil yang masih dipenuhi bayangan malam sebelumnya. Bu Siti tiba lebih awal dari biasanya, langkahnya terasa berat saat ia membuka pintu kantin dengan kunci yang sedikit berkarat. Udara pagi membawa aroma tanah basah dari halaman sekolah, tapi di dalam kantin, bau minyak goreng dan sisa makanan masih bercampur dengan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan—bau kain basah yang kini terasa seperti bayangan yang menempel di ingatannya. Ia mengenakan celemek tua yang sudah pudar warnanya, rambutnya diikat rapi untuk menyembunyikan kegelisahan yang masih membayang sejak malam sebelumnya.

Bu Siti mencoba melupakan apa yang ia lihat di kelas 3A—tulisan “Aku mau makan” di papan tulis, suara tawa anak kecil, dan bayangan yang berlari di lorong. “Mungkin aku cuma capek,” gumamnya pelan, suaranya serak saat ia menyalakan lampu neon yang langsung berkedip sebelum stabil. Ia berjalan menuju dapur kecil di belakang kantin, berniat menyiapkan stok untuk hari ini—roti isi, nasi bungkus, dan teh manis yang selalu jadi favorit murid-murid. Tapi saat ia membuka kotak penyimpanan plastik di bawah meja kayu, ia membeku. Stok roti yang ia simpan tadi malam—sepuluh bungkus yang ia bungkus rapi dengan plastik—hilang separuh. Hanya ada lima yang tersisa, dan nasi bungkus yang ia taruh di rak besi juga berkurang tiga dari jumlah semula.

Bu Siti mengerutkan kening, tangannya gemetar saat ia memeriksa kotak itu lagi. “Aku yakin udah kunci pintu semalem,” pikirnya, mencoba mencari logika. Ia berjalan ke pintu kantin, memeriksa kunci dan engsel—tak ada tanda-tanda paksaan, tak ada goresan atau kerusakan. Tapi saat ia kembali ke dapur, ia melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri—di meja kayu yang penuh goresan, ada sisa-sisa remah roti yang berserakan, seolah seseorang baru saja makan di sana. Di antara remah itu, ia menemukan noda kecil seperti darah kering, cokelat tua dan lengket, yang terlihat seperti tetesan dari sesuatu yang basah. Bu Siti mundur selangkah, napasnya tersengal. “Ini nggak mungkin tikus,” gumamnya, suaranya bergetar saat ia menggosok tangan ke celemek untuk menghilangkan rasa dingin yang tiba-tiba menjalar.

Sepanjang hari, kantin berjalan seperti biasa. Murid-murid datang dan pergi, suara tawa dan teriakan mereka memenuhi udara saat jam istirahat. Bu Siti melayani mereka dengan senyum yang dipaksakan, tangannya sibuk membungkus roti dan menuang teh, tapi pikirannya tak bisa lepas dari kejadian malam sebelumnya dan stok yang hilang. Ia terus melirik ke sudut kantin, ke arah dapur, merasa ada yang mengawasinya. Setiap kali ia menoleh, tak ada apa-apa—hanya bayangan lampu neon yang bergoyang di dinding beton dan angin yang sesekali meniupkan daun kering ke dalam melalui jendela yang terbuka. Tapi rasa itu tetap ada, seperti mata tak terlihat yang menatap dari kegelapan, menunggu sesuatu.

Saat murid-murid pulang dan sekolah kembali sepi, Bu Siti duduk di meja kecilnya, menatap stok yang tersisa dengan pandangan kosong. “Ini nggak bisa diterusin,” pikirnya. Ia tak bisa lagi pura-pura bahwa semuanya normal. Malam itu, ia memutuskan untuk memasang jebakan—bukan untuk menangkap pencuri biasa, tapi untuk membuktikan apa yang ia takuti. Ia menyiapkan sepiring nasi putih dengan potongan ayam goreng yang masih hangat, aroma rempahnya mengisi dapur saat ia meletakkannya di tengah meja kayu. Ia sengaja membukanya tanpa penutup, lalu mematikan lampu neon dan bersembunyi di sudut kantin, di balik tumpukan kardus kosong yang biasa ia gunakan untuk menyimpan botol minuman. Senter ia pegang erat, tapi ia tak menyalakannya, membiarkan kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diterangi cahaya bulan yang samar dari luar.

Waktu berjalan lambat. Jam di dinding berdetak pelan, setiap detik terasa seperti menit. Bu Siti duduk meringkuk, lututnya menempel ke dada, napasnya ia tahan agar tak terdengar. Angin malam menderu di luar, membawa suara daun yang bergesekan, tapi di dalam kantin, keheningan terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menahan udara. Tiba-tiba, sekitar tengah malam, ia mendengar suara—gesekan pelan, seperti piring yang digeser di meja kayu. Jantungnya berdegup kencang, tangannya mencengkeram senter lebih erat. Suara itu diikuti oleh kunyahan pelan, terputus-putus, seperti seseorang yang makan dengan tergesa tapi berusaha diam.

Bu Siti menarik napas dalam, lalu menyalakan senter dengan gerakan cepat, mengarahkannya ke meja dapur. Cahaya itu menangkap piring yang kini kosong—nasi dan ayam goreng yang ia tinggalkan sudah hilang, hanya menyisakan remah-remah kecil dan noda minyak di permukaan kayu. Tapi yang membuatnya tersentak adalah jejak di lantai—jejak kaki kecil yang basah, seperti telapak anak yang baru saja melangkah di genangan air, membentang dari meja menuju lemari besi tua di sudut dapur. Jejak itu berhenti tepat di depan lemari, dan pintunya—yang selalu terkunci—kini terbuka sedikit, celah hitamnya seperti mulut yang menganga dalam kegelapan.

Bu Siti menahan jeritan, tangannya menutup mulut saat ia menatap celah itu. Cahaya senter bergoyang di tangannya, menciptakan bayangan yang bergerak liar di dinding. Dari dalam lemari, ia mendengar suara samar—tawa kecil yang pendek, diikuti bisikan pelan: “Makasih Bu…” Suara itu dingin, seperti hembusan angin dari tempat yang jauh, dan Bu Siti merasa udara di sekitarnya tiba-tiba membeku. Ia tak berani mendekat, hanya menatap lemari itu dengan mata melebar, tubuhnya gemetar hingga senter hampir jatuh dari tangan. Ia tahu ada sesuatu di dalam sana—sesuatu yang lapar, sesuatu yang tak seharusnya ada di kantinnya.

 Bab 5: Rahasia di Lemari

Malam itu terasa lebih gelap dan sunyi di kantin kecil SMP Bunga Kamboja, seolah waktu telah membeku sejak Bu Siti memutuskan untuk menghadapi apa yang telah menghantuinya selama beberapa hari terakhir. Cahaya bulan yang samar menyelinap melalui jendela kayu yang retak, memantulkan bayangan panjang di lantai beton yang dingin dan sedikit lengket karena sisa minyak goreng yang tak pernah benar-benar hilang. Bu Siti berdiri di tengah dapur, beberapa langkah dari lemari besi tua yang berdiri tegak di sudut seperti monumen yang terlupakan. Pintu lemari itu sedikit terbuka, celah hitamnya mengeluarkan bau busuk yang menyengat—bau makanan basi yang bercampur dengan udara lembap dan sesuatu yang lebih gelap, seperti kain yang membusuk dalam genangan air kotor. Angin malam menderu pelan di luar, membawa suara daun kering yang bergesekan, tapi di dalam, keheningan terasa berat, seperti ada sesuatu yang menahan udara agar tak bergerak.

Senter kecil di tangan Bu Siti gemetar hebat, cahayanya yang lemah menciptakan lingkaran kecil yang bergoyang di lantai dan dinding penuh noda minyak. Jantungnya berdegup kencang, seperti palu yang memukul dada dari dalam, dan keringat dingin membasahi dahi serta telapak tangannya meski udara malam terasa menusuk hingga ke tulang. Ia masih bisa mendengar suara kunyahan pelan dari jebakan yang ia tinggalkan tadi malam—sepiring nasi dan ayam goreng yang lenyap dalam hitungan jam—dan jejak kaki kecil yang basah di lantai masih terbayang di matanya, membawanya kembali ke lemari ini. “Ini harus selesai,” pikirnya, suaranya dalam hati bergetar antara ketakutan dan tekad. Ia tak bisa lagi membiarkan kantinnya—sumber hidupnya selama lima tahun—menjadi tempat yang asing dan mengerikan.

Bu Siti melangkah mendekati lemari besi, kakinya terasa berat seolah ditarik oleh lantai beton yang dingin. Sepatu kets usangnya meninggalkan jejak samar di debu yang menumpuk, dan setiap langkah disertai suara kecil yang bergema di dapur yang sunyi. Bau itu semakin kuat sekarang, menyelinap ke hidungnya hingga membuatnya mual—bau nasi busuk, air kotor, dan sesuatu yang manis namun membusuk, seperti bunga layu yang dibiarkan terlalu lama. Lemari besi itu tampak lebih tua dari yang ia ingat—cat hijaunya mengelupas parah, memperlihatkan karat cokelat di tepinya, dan gagang pintunya dingin seperti es saat ia menyentuhnya dengan ujung jari yang gemetar. Dari celah pintu, ia mendengar suara samar—napas pelan yang tersengal, seperti anak kecil yang kelelahan, diikuti ketukan kecil yang hampir tak terdengar, seperti jari yang mengetuk logam dengan lemah.

Ia menarik napas dalam, mencium udara yang terasa lebih dingin dan lebih berat, lalu mendorong pintu lemari perlahan dengan tangan yang bergetar hebat. Engsel tua itu berderit panjang, suaranya menggema seperti jeritan logam yang terbangun dari tidur panjang, dan cahaya senter akhirnya menyelinap ke dalam. Apa yang ia lihat membuatnya tersentak hingga hampir jatuh—di dasar lemari, sebuah seragam sekolah lusuh terlipat sembarangan, rok abu-abunya robek di ujung dan kemeja putihnya penuh noda kuning kecokelatan yang tampak seperti sisa makanan atau keringat yang mengering bertahun-tahun lalu. Di sampingnya, sebuah kotak makan plastik kecil terbuka lebar, tutupnya patah di sudut dan bergoyang pelan seolah baru saja disentuh. Di dalam kotak, nasi yang sudah berjamur membentuk gumpalan hijau keabu-abuan, bercampur dengan noda cokelat kering yang bisa jadi saus—atau darah yang telah mengering, seperti yang ia takutkan. Sehelai rambut panjang hitam menempel di sisi kotak, basah dan lengket seperti rumput laut, meski tak ada air di dalam lemari itu.

Bu Siti menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan jeritan yang naik ke tenggorokan. Matanya melebar, napasnya tersengal, dan untuk sesaat, ia merasa seperti akan pingsan. Tapi sebelum ia bisa mundur, sebuah bayangan kecil bergerak di sudut lemari—cepat, seperti anak yang ketakutan bersembunyi. Cahaya senter mengikuti gerakan itu dengan gerakan panik, dan di sudut yang paling gelap, ia melihatnya—anak perempuan itu duduk meringkuk, lututnya ditarik ke dada, tangannya yang kecil dan pucat memeluk tubuhnya sendiri. Wajahnya pucat seperti kertas yang direndam air terlalu lama, matanya hitam kosong tanpa pupil, menatap Bu Siti dengan tatapan yang penuh kesedihan dan sesuatu yang lebih dalam—kelaparan yang tak pernah terpuaskan. Rambutnya panjang dan basah, meneteskan air ke lantai lemari hingga membentuk genangan kecil, dan mulutnya penuh remah roti yang tampak seperti sisa dari jebakan Bu Siti tadi malam.

“Aku lapar Bu…” bisiknya, suaranya serak dan patah-patah, seperti angin yang tersangkut di tenggorokan, namun penuh nada memohon yang menusuk hati. Bu Siti menjerit, tubuhnya terhuyung ke belakang hingga punggungnya membentur meja kayu di belakangnya dengan bunyi keras. Senter terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai dan berguling, cahayanya kini memantul ke dinding dan menciptakan bayangan yang bergoyang liar seperti siluet makhluk hidup. Anak itu tak bergerak dari lemari, hanya menatapnya dengan mata hitam yang tak berkedip, tangannya perlahan menggapai ke arah Bu Siti seolah meminta lebih banyak makanan. Mulutnya terbuka sedikit, memperlihatkan gigi kecil yang penuh remah, dan air mata samar mengalir dari matanya—bukan air mata biasa, tapi cairan hitam yang menetes ke dagunya.

Bu Siti merangkak mundur, napasnya tersengal-sengal, air mata ketakutan membasahi pipinya tanpa ia sadari. “Jangan… jangan dekat-dekat!” teriaknya, suaranya pecah oleh ketakutan saat ia mencari pegangan di meja untuk berdiri. Kakinya gemetar hebat, seperti karet yang meleleh, tapi ia berhasil bangkit dan berlari keluar dari dapur, meninggalkan pintu kantin terbuka lebar. Angin malam menyapu wajahnya yang pucat, membawa suara daun yang bergoyang, tapi bisikan anak itu masih mengikuti—“Aku lapar Bu…”—terdengar samar namun menusuk telinga seperti jarum. Bu Siti tak berhenti berlari hingga sampai di gerbang sekolah, tangannya mencengkeram tas kain lusuh yang ia ambil dalam kepanikan, dan ia tak berani menoleh ke belakang, takut melihat anak itu berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata kosong yang penuh kelaparan.

Keesokan paginya, Bu Siti duduk di warung kopi dekat sekolah, tangannya memegang cangkir teh yang sudah dingin, wajahnya pucat dan matanya dikelilingi lingkaran hitam yang lebih gelap dari biasanya. Ia tak berani kembali ke kantin sendirian, bahkan di siang hari. Ia memanggil Pak Joko, penjaga sekolah tua yang sudah bekerja di SMP Bunga Kamboja selama lebih dari dua puluh tahun, untuk menemani dan memberikan jawaban atas apa yang ia alami. Pak Joko tiba dengan langkah pelan, mengenakan seragam biru tua yang sudah pudar dan topi caping yang sedikit miring di kepala. Wajahnya yang penuh kerutan tampak tegang saat Bu Siti menceritakan semuanya—tawa anak kecil, makanan yang hilang, jejak kaki basah, dan penampakan anak perempuan di lemari besi. Ia mendengarkan dengan diam, tangannya memainkan sebatang rokok yang tak dinyalakan, matanya sesekali melirik ke arah kantin yang terlihat dari jendela warung.

Setelah Bu Siti selesai, Pak Joko menghela napas panjang, suaranya berat seperti membawa beban lama. “Bu Siti, itu… mungkin si Rina,” katanya pelan, matanya kini menatap kosong ke cangkir kopinya. Bu Siti mengerutkan kening, tangannya mencengkeram cangkir lebih erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Rina siapa Pak?” tanyanya, suaranya masih gemetar oleh bayangan malam tadi. Pak Joko menarik napas lagi, lalu mulai bercerita dengan nada rendah, seperti tak ingin ada yang mendengar. “Lima belas tahun lalu, ada murid perempuan namanya Rina. Kelas tiga. Dia anak pendiam, kurus, sering diledekin temen-temennya karena miskin. Baju seragamnya cuma satu, lusuh, dan dia jarang bawa bekal—kadang cuma nasi sama garam, kalo ada. Orangtuanya petani miskin, jarang bisa kasih dia makan cukup. Suatu hari, pas jam istirahat, dia hilang. Guru-guru cari sampe malam, orangtuanya dateng nangis-nangis, polisi dateng, tapi nggak ketemu. Satu hari kemudian, baru ketemu—di saluran air belakang sekolah, udah nggak bernyawa.”

Bu Siti menatap Pak Joko, wajahnya semakin memucat, napasnya tertahan di tenggorokan. “Dia mati di situ?” tanyanya, suaranya hampir hilang. Pak Joko mengangguk pelan, matanya kini kosong seperti mengingat hari itu dengan jelas. “Iya. Dokter bilang dia mati karena luka di kepala—katanya jatuh pas nyoba nyeberang saluran air, kepalanya kebentur batu, mungkin pingsan dulu sebelum tenggelam di air dangkal. Tapi yang aneh, kotak makannya ketemu di kantin, di lemari itu, sama kayak yang Ibu liat. Kosong, cuma sisa nasi kering. Katanya, sebelum ditemuin, dia mungkin nyasar ke kantin, nyari makan, soalnya dia sering kelaperan. Temen-temennya bilang dia suka sembunyi di kantin kalo lagi diledekin, nyari sisa makanan yang dibuang murid lain. Orangtuanya bilang dia tidak pulang ke rumah sama sekali dua hari itu—mungkin dia takut pulang tanpa makan apa-apa.”

Bu Siti terdiam, air mata menggenang di matanya, tapi kali ini bukan hanya ketakutan—ada rasa iba yang menusuk dadanya seperti pisau. Ia membayangkan Rina—anak kecil yang kurus, sendirian, terluka, dan lapar, tersesat di sekolah yang seharusnya jadi tempat aman baginya. “Kenapa… kenapa dia balik ke sini Pak?” tanyanya, suaranya bergetar penuh emosi. Pak Joko menggeleng pelan, wajahnya penuh penyesalan. “Entah, Bu. Mungkin dia nyari yang nggak pernah dia dapet—makan, perhatian, atau tempat yang bikin dia merasa aman. Kantin ini tempat terakhir dia nyoba bertahan sebelum… pergi. Setelah dia hilang, barang-barang di kantin suka hilang—roti, nasi, apa aja yang ditinggal. Penjaga lama bilang dia denger tawa kecil di malam hari, tapi nggak ada yang berani cek. Katanya, Rina masih muter di sini, nggak bisa pergi.”

Bu Siti tak bisa bicara lagi, matanya terpaku pada kantin yang terlihat dari jendela warung. Hari itu, ia memutuskan untuk tak kembali ke kantin hingga malam. Ia meninggalkan sepiring nasi dan sepotong ayam goreng di meja dapur sebagai “persembahan,” berharap itu bisa menenangkan Rina—orang mungkin menyebutnya permintaan maaf atas apa yang tak pernah ia berikan saat Rina masih hidup. Ia mulai menutup kantin lebih awal setiap hari setelah itu, tak pernah lagi tinggal hingga gelap. Tapi warga sekitar bilang, setelah Bu Siti berhenti berjualan lama di sana, mereka masih mendengar tawa anak kecil dan suara piring bergoyang dari kantin kosong di malam hari. Kadang, di pagi hari, Pak Joko menemukan remah-remah roti di lantai atau jejak kaki kecil yang basah di dekat lemari besi, meski pintu kantin selalu terkunci rapat dan tak ada yang masuk ke dalam. Bu Siti tak pernah tahu apakah persembahannya diterima, tapi setiap kali ia melewati sekolah, ia merasa ada mata kecil yang menatapnya dari balik jendela kantin, menunggu sesuatu yang tak pernah cukup—makan, atau mungkin kehangatan yang tak pernah ia rasakan.

 -- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG