#29 KISAH HOROR DI WARUNG KOPI

 


Bayang di Warung Kopi

Bagian 1: Malam yang Biasa

Namaku Sigit, 32 tahun, seorang penjaga warung kopi kecil di pinggir jalan desa yang ramai dilewati truk dan motor buruh pabrik. Warung ini bukan milikku—aku cuma kerja buat Pak Maman, pemiliknya, yang tinggal di kota dan jarang mampir. Aku orang biasa, hidup sederhana dengan gaji pas-pasan, tinggal di kontrakan kecil bersama istriku, Sari, dan anakku, Bima, yang baru masuk SD. Warung kopi ini jadi nyawa buat keluargaku—aku buka dari sore sampai larut malam, melayani buruh, sopir truk, dan siapa saja yang butuh kopi murah atau sekadar tempat duduk sambil ngobrol.

Warungnya kecil, cuma gubuk kayu dengan atap seng dan dinding bambu yang sudah rapuh di beberapa tempat. Ada meja panjang di tengah, beberapa bangku plastik yang goyah, dan sebuah kompor gas tua yang kugunakan buat masak air. Lampu neon kecil tergantung di atap, berkedip-kedip karena kabelnya sering korslet, dan sebuah radio transistor di sudut memainkan lagu dangdut pelan-pelan kalau malam sepi. Di luar, jalan tanah berdebu membentang, dikelilingi sawah yang gelap dan pohon-pohon pisang yang daunnya bergoyang pelan kalau angin malam bertiup.

Hari itu, adalah malam biasa. Langit gelap, bintang-bintang berserakan di atas, dan udara terasa dingin karena hujan baru reda sore tadi. Aku duduk di bangku kecil di belakang meja, mengaduk kopi hitam di cangkir besi sembari menunggu pelanggan. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan warung agak sepi—cuma ada Pak Joko, sopir truk yang sering mampir, duduk di ujung meja sambil merokok kretek dan ngobrol tentang harga solar yang naik lagi.

“Sigit, kopinya tambah pahit apa gimana ya? Lidahku kok nggak enak malem ini,” kata Pak Joko, meniup asap rokok yang membubung ke atap seng.

Aku tersenyum kecil, menuang air panas ke cangkirnya. “Mungkin Bapak capek Pak. Perjalanan jauh tadi ya? Ini aku tambahin gula dikit, biar enak.”

Dia mengangguk, menyesap kopinya pelan, dan kami ngobrol santai tentang hal-hal biasa—cuaca, kerjaan, dan anak-anak yang susah disuruh belajar. Aku suka kerja di warung ini—meski capek, ngobrol sama pelanggan bikin aku lupa sejenak sama tagihan listrik yang numpuk di kontrakan. Tapi malam itu, entah kenapa, aku merasa ada yang aneh. Udara terasa lebih berat dari biasanya, dan suara jangkrik di sawah sebelah kok kayak lebih pelan, seperti tertahan sesuatu.

Sekitar pukul sebelas, Pak Joko pamit pulang—dia bilang mau istirahat sebelum lanjut nyopir besok pagi. Aku mengangguk, membersihkan cangkirnya, dan menatap jalan yang sekarang sepi. Aku biasanya tutup jam satu malam, kadang lebih kalau ada buruh lewat yang mampir, jadi aku duduk lagi, menyalakan rokok kretek dari paketan murah yang kubeli di pasar, dan menunggu. Aku suka keheningan malam—memberi waktu buat mikir, meski kadang pikiran itu cuma bikin cemas.

Tapi malam itu, keheningan itu terpecah oleh suara langkah kaki—pelan, berat, seperti seseorang jalan di tanah berdebu di luar warung. Aku melirik ke jalan, berharap pelanggan baru, dan melihat seseorang masuk ke warung—pria tua, kurus, dengan baju lusuh yang penuh noda cokelat. Topinya miring, menutupi sebagian wajahnya, dan dia jalan pelan, seperti orang capek habis kerja berat. Dia duduk di bangku sudut, di tempat yang biasanya nggak aku perhatiin karena gelap—lampu neon nggak nyampe ke sana.

“Selamat malam Pak. Mau pesen apa?” tanyaku, berdiri buat nyiapin kompor.

Dia tidak langsung jawab. Kepalanya miring sedikit, dan aku dengar suara napasnya—pelan, berat, seperti orang lagi sesak. “Kopi hitam. Tanpa gula,” katanya akhirnya, suaranya serak, seperti orang yang lama nggak ngomong.

Aku mengangguk, menuang air panas ke cangkir besi, mencampur kopi bubuk, dan membawanya ke bangku sudut. Aku taruh cangkir di depannya, dan saat aku melirik wajahnya, aku merasa aneh—kulitnya pucat banget, seperti kertas yang basah, dan matanya cuma keliatan samar di bawah bayangan topi. Tapi aku nggak mau mikir macem-macem—mungkin dia cuma buruh yang capek, atau orang tua dari desa sebelah yang kebetulan lewat di sini.

Dia nggak bilang apa-apa lagi, cuma duduk diam, tangannya memegang cangkir tapi nggak minum. Aku balik ke meja, nyalain radio buat ngusir sepi, dan coba fokus ke lagu dangdut yang lagi diputer. Tapi aku nggak bisa nggak perhatiin dia—dia duduk terlalu diam, kayak patung, dan cangkir kopinya nggak gerak sama sekali. Aku mikir, mungkin dia cuma butuh tempat duduk, bukan kopinya, jadi aku biarin aja.

Bagian 2: Pelanggan yang Tak Biasa

Malam itu berjalan pelan—nggak ada pelanggan lain yang dateng, dan aku mulai ngantuk. Aku nyanyi pelan ikut lagu di radio, ngeliatin jam dinding yang udah goyang jarumnya—pukul setengah satu. Pria tua di sudut masih duduk di sana, nggak gerak, cangkirnya masih utuh di depannya. Aku mulai risih—dia udah sejam lebih duduk, tapi nggak minum, nggak ngomong, cuma diam. Aku pikir, mungkin dia ketiduran, atau lagi mikirin sesuatu berat, jadi aku coba panggil.

“Pak, kopinya udah dingin. Mau aku panasin lagi?” tanyaku, nadaku santai biar nggak keliatan takut.

Dia nggak jawab. Kepalanya miring sedikit, kayak denger, tapi nggak ada suara. Aku bangkit, jalan ke arahnya, dan pas aku deket, aku ngerasa dingin—bukan dingin biasa, tapi kayak ada angin masuk dari bawah lantai, padahal jendela warung cuma buka setengah. Aku berdiri di depannya, coba lihat wajahnya lebih jelas. Topinya masih nutupin, tapi aku bisa lihat dagunya—pucat banget, kayak nggak ada darah, dan ada bercak hitam di kulitnya, kayak noda lumpur kering.

“Pak? Bapak baik-baik aja?” tanyaku lagi, suaraku agak gemetar.

Dia angkat kepala pelan, dan aku mundur selangkah. Matanya—aku akhirnya lihat matanya—kosong, cuma putih, kayak bola mata orang mati yang digulung ke atas. Mulutnya melengkung sedikit, kayak senyum, tapi nggak ada ekspresi hidup di wajahnya. Aku ngerasa bulu kudukku berdiri, tapi aku coba tenang—mungkin dia sakit, mungkin buta, aku nggak mau buru-buru takut.

“Kopi hitam,” katanya lagi, suaranya serak dan pelan, kayak ngulang kata yang sama tanpa mikir.

Aku mengangguk cepet, balik ke meja, dan coba ngatur napas. Aku bilang ke diri sendiri, dia cuma orang tua biasa, mungkin capek, mungkin rada linglung. Aku ambil cangkir kosong, nyiapin kopi baru, dan balik ke sudut buat ganti cangkirnya. Pas aku taruh cangkir baru, aku lihat cangkir lama—kopinya utuh, nggak disentuh, tapi ada bercak cokelat tua di pinggirnya, kayak darah kering, bukan kopi. Aku ngerasa perutku mual, tapi aku buru-buru balik ke meja, nggak mau mikir lebih jauh.

Tiba-tiba lampu neon di atap berkedip—sekali, dua kali, terus mati. Warung jadi gelap, cuma ada cahaya samar dari luar yang masuk lewat celah-celah bambu. Aku dengar suara napas berat dari sudut—pelan, tapi jelas, kayak orang lagi sesak. Aku ambil senter dari bawah meja, nyalain, dan arahin ke arah dia. Bangku sudut kosong—dia nggak ada di sana, cangkir kopinya terbalik di meja, dan ada genangan cairan hitam di lantai, bau amisnya nyengat hidungku.

Aku ngerasa jantungku berhenti sebentar. Aku arahin senter ke seluruh warung—nggak ada siapa-siapa, pintu nggak gerak, jendela nggak buka lebih lebar. Dia hilang, kayak ditelen kabut yang mulai masuk dari luar. Lampu nyala lagi setelah beberapa detik, dan aku lihat genangan itu masih ada—cairan hitam, kental, bercampur bau kopi dan sesuatu yang busuk. Aku ambil kain lap, bersihin cepet-cepet, dan coba bilang ke diri sendiri itu cuma kopi yang tumpah—tapi aku tahu itu bohong.

Bagian 3: Suara di Malam Sepi

Aku tutup warung lebih cepet malam itu—pukul satu lewat, aku matiin kompor, kunci pintu, dan balik ke kontrakan dengan motor tua yang bensinnya udah mau abis. Jalan pulang sepi, cuma ada suara mesin motor sama angin yang bersiul pelan lewat sela sela pohon-pohon pisang di pinggir sawah. Aku coba lupain apa yang kulihat—pria tua itu, cangkirnya, genangan hitam—tapi bayangannya nempel di kepala, kayak noda yang nggak bisa dibersihin.

Sampai di kontrakan, aku masuk pelan biar nggak bangunin Sari sama Bima. Rumah kecilku cuma dua ruang—kamar buat kami bertiga, sama ruang depan yang jadi dapur sekaligus tempat duduk. Aku taruh kunci di meja, mandi cepet pake air dingin dari bak, dan berbaring di kasur di samping Bima yang lagi mendengkur pelan. Sari bangun sebentar, matanya setengah terbuka.

“Udah pulang Mas? Malem ini cepet?” tanyanya, suaranya ngantuk.

“Iya, sepi. Buruh nggak banyak yang mampir,” jawabku, coba senyum meski hati masih nggak enak.

Dia mengangguk, balik tidur, dan aku coba ikutan—tapi aku nggak bisa. Setiap kali nutup mata, aku denger suara napas berat—pelan, jauh, tapi jelas, kayak dari sudut kamar. Aku buka mata, lihat ke arah pintu—nggak ada apa-apa, cuma bayangan pohon yang masuk lewat jendela. Aku bilang ke diri sendiri itu cuma angin, cuma imajinasi, tapi aku tidur dengan lampu nyala malam itu, tangan pegang erat tangan Sari biar ngerasa aman.

Besoknya, aku balik ke warung sore seperti biasa. Aku buka pintu, nyalain kompor, dan coba lupain malam kemarin. Pelanggan dateng satu-satu—buruh pabrik yang abis shift, sopir motor yang bawa barang, sama Pak Joko yang mampir lagi sebelum jalan ke kota sebelah. Aku layanin mereka kayak biasa, ngobrol santai, bikin kopi, dan nyanyi pelan ikut radio. Tapi setiap kali aku lihat bangku sudut, aku ngerasa ada yang salah—kayak ada yang duduk di sana, meski kosong.

Malam itu, sekitar pukul sebelas, dia dateng lagi—pria tua yang sama, dengan baju lusuh dan topi miring. Dia jalan masuk pelan, duduk di bangku sudut, dan aku ngerasa dingin nyelinap ke tulangku. Aku coba tenang, bilang ke diri sendiri dia cuma pelanggan biasa, tapi tanganku gemetar pas nyiapin kopinya.

“Kopi hitam ya Pak? Tanpa gula?” tanyaku, coba bikin suara normal.

Dia angkat kepala sedikit, matanya putih kosong lagi, dan senyumnya lebih lebar kali ini—gigi kuningnya keliatan samar di bawah topi. “Kopi hitam,” katanya, suaranya serak kayak angin bocor dari pipa.

Aku taruh cangkir di depannya, buru-buru balik ke meja, dan coba fokus ke radio—apa aja buat ngalihin pikiran. Pak Joko yang duduk di ujung meja lihat aku, mengerutkan kening. “Sigit, kamu kenapa? Pucat banget. Sakit apa?”

Aku geleng cepet, coba ketawa. “Nggak Pak. Cuma capek aja. Malem tadi nggak tidur nyenyak.”

Dia mengangguk, tapi matanya melirik ke bangku sudut. “Itu siapa? Nggak pernah lihat dia di sini sebelumnya. Buruh baru?”

Aku ngerasa jantungku berhenti. “Bapak lihat dia Pak?” tanyaku, suaraku pelan banget.

Pak Joko nyengir, nyalain rokoknya lagi. “Ya lihat lah. Orang tua kan? Duduk di sudut. Tapi kok nggak minum kopinya. Sedang apa dia?”

Aku nggak jawab—aku cuma ngerasa lega sekaligus takut. Kalau Pak Joko lihat dia, berarti aku nggak gila—tapi itu juga berarti dia beneran ada, bukan cuma bayangan di kepalaku. Aku coba lihat ke sudut lagi, tapi lampu berkedip, dan pas nyala lagi, dia hilang—cangkirnya terbalik, genangan hitam ada di meja, bau amisnya nyengat lagi.

Pak Joko melotot, rokoknya jatuh dari mulut. “Lho, ke mana dia? Baru aja aku lihat!”

Aku nggak bisa jawab—aku cuma duduk, tanganku gemetar, dan bilang ke Pak Joko buat pulang cepet. Dia ngeliatin aku aneh, tapi akhirnya pergi, ninggalin aku sendirian di warung yang tiba-tiba terasa lebih gelap.

Bagian 4: Bayang yang Menempel

Malam berikutnya, aku nggak mau buka warung—aku bilang ke Pak Maman aku sakit, meski cuma bohong buat ngumpet dari apa yang aku takutin. Aku tinggal di kontrakan, duduk sama Sari sama Bima, coba nikmatin malam biasa sama keluarga. Tapi aku nggak bisa tenang—setiap suara angin di luar, setiap bayangan di jendela, bikin aku takut dia dateng lagi. Sari lihat aku aneh, pegang tanganku pas kami duduk di depan TV kecil yang cuma nyiarin saluran lokal.

“Mas, kamu kenapa dari kemaren? Nggak cerita apa-apa. Kerja terlalu capek ya?” tanyanya, matanya penuh khawatir.

Aku coba senyum, pegang tangannya balik. “Nggak apa-apa sayang. Cuma lagi nggak enak badan. Besok aku balik kerja, tenang aja.”

Dia mengangguk, tapi aku tahu dia nggak percaya penuh. Bima main di lantai, nyanyi pelan sama mainan truk plastiknya, dan aku coba fokus ke suaranya—apa aja buat ngusir pikiran buruk. Tapi tengah malem, pas aku bangun buat ke kamar mandi, aku denger suara napas berat—pelan, dari luar pintu kontrakan. Aku buka pintu pelan, senter di tangan, dan lihat ke jalan—nggak ada apa-apa, cuma pohon pisang yang daunnya bergoyang sama angin.

Aku balik tidur, tapi mimpi buruk dateng—aku berdiri di warung, lampu mati, dan pria tua itu duduk di sudut, matanya putih, tangannya pegang cangkir penuh darah. Dia bangkit, jalan ke arahku, dan aku ngerasa pundakku berat—kayak ada yang duduk di atasnya. Aku terbangun penuh keringat, ngerasa pundakku beneran sakit, tapi nggak ada apa-apa di kamar—cuma Sari sama Bima yang masih tidur.

Besoknya, aku balik ke warung—nggak bisa lari selamanya, aku butuh duit buat bayar kontrakan. Aku buka pintu, nyalain kompor, dan coba kerja kayak biasa. Pelanggan dateng—buruh, sopir, tetangga—dan aku layanin mereka, coba lupain pria tua itu. Tapi malam itu, dia balik lagi—duduk di sudut, pesen kopi hitam, dan aku ngerasa dingin nyelinap ke tulangku. Aku taruh cangkir, buru-buru balik ke meja, dan coba nggak lihat ke arahnya.

Pak Joko mampir lagi, duduk di ujung meja, lihat aku pucat. “Sigit, itu dia lagi. Orang tua tadi malem. Dia siapa sih? Kok aneh banget?”

Aku ngerasa jantungku berdegup kencang. “Bapak lihat dia lagi Pak? Bapak nggak takut?”

Dia nyengir, nyalain rokok. “Takut apa? Orang biasa aja. Tapi iya, aneh—nggak minum, cuma duduk. Mungkin orang gila dari desa sebelah.”

Aku nggak bilang apa-apa—aku cuma lihat ke sudut, dan pas lampu berkedip lagi, dia hilang. Cangkirnya terbalik, genangan hitam di meja, dan Pak Joko melotot. “Lho, ke mana lagi? Ini beneran aneh Sigit!”

Aku cuma geleng, bersihin genangan itu, dan bilang ke Pak Joko buat pulang. Aku tutup warung cepet malam itu, pulang ke kontrakan, dan coba tidur—tapi aku tahu dia nggak pergi. Dia nempel ke warung, ke aku, kayak bayang yang nggak bisa dilepas.

Bagian 5: Cerita dari Jalan

Besoknya, aku putusin buat cari tahu lebih banyak—aku nggak bisa terus takut kayak gini. Aku tanya ke Pak Joko pas dia mampir sore, duduk di warung sambil nyalain rokok kreteknya yang bau tembakau murah. Aku duduk di depannya, tanganku megang cangkir kosong, coba bikin suara tenang.

“Pak, Bapak sering lewat jalan ini kan? Pernah denger cerita aneh? Soal orang tua yang suka duduk di warung, tapi... nggak bener?” tanyaku, suaraku pelan.

Pak Joko mengerutkan kening, nyedot rokoknya dalam-dalam sebelum jawab. “Jalan ini? Banyak cerita, Sigit. Ini kan jalur truk sama buruh, tapi dulu sering ada kecelakaan—truk nabrak motor, motor nabrak pohon. Orang bilang, yang mati di sini nggak semua tenang. Ada yang bilang lihat pocong di pinggir sawah, ada yang bilang denger suara ketawa dari hutan kecil sebelah.”

Aku ngerasa bulu kudukku berdiri, tapi aku coba tanya lagi. “Terus soal orang tua Pak? Kayak yang kita lihat kemaren? Pucat, nggak minum kopi, tiba-tiba ilang?”

Dia berhenti, matanya melotot ke aku. “Kamu serius lihat gitu? Aku kira cuma capek, salah lihat. Tapi... iya, aku pernah denger. Sopir lama bilang, ada buruh tua yang mati di jalan ini—tertabrak truk, taun berapa gitu, lama banget. Katanya dia suka nongkrong di warung kopi dulu, sama temen-temennya. Tapi pas kecelakaan, temennya lari, ninggalin dia sendirian. Orang bilang, dia masih nyari temen ngopi—muncul di warung-warung, duduk, pesen kopi, tapi nggak pernah minum.”

Aku ngerasa perutku mual. “Jadi dia... hantu Pak? Dia nyari aku buat apa?”

Pak Joko geleng, buang rokoknya ke tanah. “Entah Sigit. Mungkin dia cuma kesepian. Tapi hati-hati—katanya, kalau dia suka sama orang, dia ngajak ikut. Jangan lama-lama di warung malem-malem.”

Aku mengangguk, tapi pikiranku penuh bayang pria tua itu—matanya yang putih, suara napasnya, genangan hitam. Aku tutup warung sore itu, nggak mau buka malem, dan pulang ke kontrakan. Tapi malamnya, aku denger suara lagi—napas berat, dari luar pintu, dan pas aku buka, aku lihat bayangan samar di bawah pohon pisang—tinggi, kurus, berdiri diam, ngeliatin aku.

Aku tutup pintu cepet, kunci rapet, dan duduk di kasur sama Sari sama Bima. Aku nggak cerita ke Sari—takut dia panik, takut dia bilang aku gila. Tapi aku tahu dia ngerasa ada yang salah—dia pegang tanganku lebih erat malam itu, dan aku ngerasa pundakku berat lagi, kayak ada yang duduk di atasnya.

Bagian 6: Warung yang Hidup

Besoknya, aku balik ke warung—aku nggak bisa terus tutup, Pak Maman udah tanya kenapa aku bolos, dan aku butuh duit buat bayar sekolah Bima. Aku buka pintu, nyalain kompor, dan coba kerja kayak biasa—tapi aku takut, setiap suara angin, setiap bayangan di sudut, bikin aku takut dia balik lagi. Pelanggan dateng—buruh, sopir, tetangga—dan aku layanin mereka, coba senyum meski hati nggak tenang.

Malam itu, dia dateng lagi—pukul sebelas, pas warung mulai sepi. Dia jalan masuk pelan, duduk di bangku sudut, dan aku ngerasa dingin nyelinap ke tulangku. Aku taruh cangkir kopi di depannya, buru-buru balik ke meja, dan coba nggak lihat ke arahnya. Tapi aku denger suara—napas berat, diikuti tawa pelan, rendah, kayak orang lagi batuk. Aku lihat ke sudut, dan dia berdiri sekarang—tinggi, kurus, matanya putih, tangannya pegang cangkir yang tiba-tiba penuh cairan hitam.

“Kopi hitam,” katanya, suaranya serak, dan dia jalan ke arahku—pelan, tapi pasti.

Aku ngerasa kakiku kaku, nggak bisa gerak, cuma bisa lihat dia mendekat. Pelanggan lain—dua buruh yang duduk di meja tengah—nggak lihat apa-apa, cuma ngobrol sama mereka sendiri. Aku jerit dalam hati, coba lari, tapi dia udah deket—wajahnya pucat, penuh bercak hitam, dan aku lihat lubang di dadanya, kayak bekas luka gede yang nggak sembuh.

Lampu berkedip, dan dia hilang—tapi aku denger suara napasnya di belakangku sekarang. Aku ngerasa pundakku berat banget, kayak ada yang duduk, dan aku jatuh ke lantai, napasku sesak. Buruh yang duduk di meja lari ke aku, bantu aku berdiri.

“Sigit, kamu kenapa? Pingsan apa?” tanya salah satunya, matanya penuh khawatir.

Aku cuma geleng, nggak bisa ngomong—aku ngerasa dia masih ada, di warung, di pundakku. Aku tutup warung cepet, pulang ke kontrakan, dan malam itu aku bilang ke Sari aku nggak mau kerja di warung lagi.

Bagian 7: Cari Jawaban

Besoknya, aku ke rumah Pak Maman—aku bilang aku mau berhenti, tapi aku ceritain semuanya, meski takut dia nggak percaya. Dia duduk di ruang tamunya, dengerin aku dengan muka serius, tangannya megang cangkir teh yang udah dingin.

“Pak, aku nggak bisa lanjut di warung. Ada yang aneh—pria tua, dateng tiap malem, duduk di sudut, pesen kopi tapi nggak minum. Dia ilang tiba-tiba, ninggalin darah, dan aku ngerasa dia ikutin aku,” kataku, suaraku gemetar.

Pak Maman mengerutkan kening, taruh cangkirnya di meja. “Sigit, kamu serius? Aku tahu jalan itu banyak cerita, tapi aku nggak pernah denger soal warungku. Pria tua ya? Pucat, matanya putih?”

Aku mengangguk, dan dia diam lama sebelum ngomong lagi. “Aku inget sesuatu. Dulu, sebelum aku beli warung itu, pemilik lama bilang ada buruh tua yang suka nongkrong di sana—namanya Pak Tarmo, mati tertabrak truk pas malem hujan. Katanya dia buruh bangunan, temennya banyak, tapi pas kecelakaan, mereka lari, ninggalin dia sendirian. Orang bilang, dia nggak tenang—suka balik ke tempat dia suka duduk, nyari temen ngopi.”

Aku ngerasa perutku mual. “Jadi dia hantu Pak? Dia nyari aku buat apa?”

Pak Maman geleng, matanya penuh takut. “Entah Sigit. Mungkin dia suka sama kamu—kamu baik, suka ngobrol sama pelanggan. Tapi hati-hati—katanya, kalau dia suka, dia ngajak ikut. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. Berhenti aja, aku cari orang baru.”

Aku pulang dari rumah Pak Maman dengan kepala penuh bayang—Pak Tarmo, buruh tua yang mati sendirian, nyari temen ngopi. Aku bilang ke Sari aku berhenti, dan dia lega, meski aku tahu kami bakal susah tanpa gaji warung. Aku coba cari kerja lain—bantu tetangga angkut barang, apa aja—tapi aku nggak bisa lupain dia.

Malam itu, aku duduk di kontrakan, denger suara napas berat dari luar—pelan, tapi jelas. Aku buka pintu, lihat ke jalan, dan dia ada di sana—berdiri di bawah pohon pisang, matanya putih, tangannya pegang cangkir kosong. Aku tutup pintu, kunci rapet, dan duduk sama Sari sama Bima, takut dia masuk.

Bagian 8: Bayang yang Tak Pergi

Aku berhenti dari warung, tapi dia nggak pergi—dia ikut aku ke kontrakan, ke mimpi-mimpiku, ke setiap malam yang aku coba laluin. Aku denger suara napasnya di luar pintu, lihat bayangannya di jendela, ngerasa pundakku berat kayak ada yang duduk. Sari mulai takut—dia bilang dia denger suara tawa pelan pas aku nggak di rumah, dan Bima bilang dia lihat “bapak tua” di depan pintu, senyum ke dia.

Aku putusin buat cari bantuan—aku ke rumah Mbah Sukri, dukun tua di desa sebelah yang katanya bisa ngusir hantu. Aku bawa motor ke sana, ceritain semuanya, dan dia dengerin dengan muka serius, tangannya megang tasbih kayu yang udah usang.

“Mbah, ada hantu ikutin aku dari warung kopi. Pria tua, matanya putih, pesen kopi tapi nggak minum. Dia bilang aku temennya, tapi aku takut dia ambil aku,” kataku, suaraku gemetar.

Mbah Sukri mengangguk, matanya kecil tapi tajam. “Itu arwah yang kesepian Nak. Dia mati sendirian, ninggalin dendam sama temen-temennya yang lari. Dia suka sama kamu—mungkin karena kamu baik, ngobrol sama dia. Tapi dia nggak tau batas—dia mau bawa kamu ikut, biar nggak sendiri lagi.”

Aku ngerasa dingin. “Gimana caranya ngusir dia, Mbah? Aku nggak mau mati...”

Dia bangkit, ambil garam sama lilin dari lemari kayunya. “Kembali ke warung, bawa ini. Taburin garam di sudut tempat dia duduk, nyalain lilin, terus bilang dia pergi—bilang kamu bukan temennya, bilang dia cari damai. Kalau dia nggak mau, aku dateng bantu.”

Aku pulang dengan garam sama lilin, dan malam itu, aku ke warung sendirian—Sari takut, tapi aku bilang aku harus akhiri ini. Aku buka pintu warung, ngerasa dingin nyelinap masuk, dan lihat dia duduk di sudut—matanya putih, tangannya pegang cangkir, senyumnya lebar banget.

Aku taburin garam di sudut, nyalain lilin, dan bilang dengan suara gemetar. “Pak Tarmo, aku bukan temenmu. Aku cuma penjaga warung. Pergi cari damai, jangan ikutin aku lagi!”

Dia berdiri, jalan ke arahku, dan aku ngerasa pundakku berat banget—tapi lilin tiba-tiba nyala besar, dan dia berhenti. Dia lihat aku, matanya putih penuh kesedihan, dan dia ilang—cairannya tumpah ke lantai, bau amisnya nyengat, tapi dia nggak balik lagi malam itu.

Bagian 9: Hidup yang Baru

Aku nggak balik ke warung setelah itu—Pak Maman jual warung ke orang lain, dan aku cari kerja di pasar, angkut barang buat pedagang. Aku coba hidup normal sama Sari sama Bima, tapi aku tahu aku beda—aku takut gelap, takut bayangan, takut suara napas yang mungkin balik kapan aja.

Aku pindah kontrakan beberapa bulan kemudian—ke tempat yang lebih jauh dari jalan itu, dari warung itu. Aku coba lupain, coba bilang ke diri sendiri dia udah pergi. Tapi kadang, pas aku duduk sama Bima di malam hari, aku ngerasa pundakku berat—pelan, samar, kayak ada yang duduk. Aku nggak bilang ke Sari, nggak bilang ke siapa-siapa—aku cuma pegang tangan Bima erat-erat, takut dia balik, takut dia nyari temen ngopi lagi.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG