Cerita Horor #14 KISAH HOROR PENJUAL NASI GORENG


KISAH HOROR PENJUAL NASI GORENG

Malam sudah larut, dan udara dingin perlahan menyelimuti desa. Paijo, seorang penjual nasi goreng yang setia pada profesinya, memulai rutinitas malamnya. Setiap malam, ia mendorong gerobak kayu tuanya yang sudah setia menemaninya selama bertahun-tahun.

Roda gerobaknya berdecit halus, mengiringi langkah-langkahnya di jalanan desa yang sepi. Suara-suara malam, seperti serangga dan angin yang berdesir di pepohonan, menjadi teman setia dalam perjalanannya.

Desa tempat Paijo tinggal adalah desa yang kecil dan tenang, dengan rumah-rumah tua yang berdiri kokoh di sepanjang jalan. Para penduduknya hidup sederhana, dan Paijo adalah salah satu yang paling dikenal.Setiap malam, orang-orang menunggu kedatangan gerobaknya untuk menikmati nasi goreng, bakmi goreng, dan bakmi godog yang dimasaknya dengan penuh keterampilan dan rasa. Hidup Paijo mungkin sederhana, tapi ia bahagia dengan apa yang dilakukannya.

Malam itu, tidak ada yang tampak berbeda dari biasanya. Paijo menyusuri jalan-jalan yang sudah akrab baginya, melewati rumah-rumah yang sebagian besar sudah gelap karena penghuninya sudah tertidur.

Ia berencana untuk kembali ke rumah setelah menyusuri beberapa jalan lagi, tapi tiba-tiba ada sesuatu yang membuatnya berhenti.
Rumah tua di ujung desa itu berdiri dengan megahnya, meski sudah lama tidak berpenghuni.

Rumah itu besar, dengan tembok-temboknya yang sudah ditumbuhi lumut dan jendela-jendela yang tertutup rapat oleh tirai yang sudah kusam. Sejak Paijo masih kecil, rumah itu selalu tampak menyeramkan, dan banyak cerita yang beredar tentang keangkerannya.

Namun, Paijo bukan tipe orang yang percaya pada hal-hal seperti itu.
"Ah, hanya rumah tua yang tak terawat," pikirnya sambil melanjutkan langkahnya.
Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, ia mendengar suara yang memanggilnya.
"Mas... Mas penjual nasi goreng!"

Paijo berhenti seketika. Suara itu lembut namun jelas, datang dari arah rumah tua itu. Ia berbalik, dan melihat seorang wanita muda berdiri di depan gerbang rumah. Wajahnya pucat diterangi oleh sinar bulan, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Paijo merasa aneh.Wanita itu tersenyum padanya, senyum yang tampak ramah tapi juga menyimpan sesuatu yang tak bisa Paijo jelaskan.
"Eh, iya Mbak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Paijo, meski hatinya mulai merasa tidak nyaman.

Wanita itu melangkah mendekat, gaun putih panjangnya mengibas halus di angin malam. "Bisa tolong buatkan nasi goreng 30 porsi, Mas? Di dalam rumah sedang ada pesta ulang tahun. Kami butuh makanan untuk tamu-tamu yang datang."
Paijo mengerutkan kening, menatap rumah tua itu.

Dari luar, tidak tampak ada tanda-tanda kehidupan. Rumah itu tetap gelap, seperti biasa. Tapi wanita ini... dia tampak begitu yakin dengan ucapannya.
"Pesta ulang tahun? Di rumah ini?" Paijo bertanya dengan ragu.

Wanita itu tertawa kecil, suaranya terdengar ringan namun menyisakan gema yang aneh di telinga Paijo. "Iya, keluarga saya semua sudah berkumpul. Saya baru saja berulang tahun yang ke-25. Ini perayaan kecil saja, Mas. Jangan khawatir, nanti saya bayar semuanya."

Paijo terdiam, merasa ada sesuatu yang ganjil. Tapi tawaran wanita itu terdengar masuk akal, dan ia berpikir mungkin ada orang-orang yang baru pindah ke rumah tua itu tanpa sepengetahuannya.

Lagipula, bayaran yang dijanjikan cukup besar, dan Paijo merasa enggan untuk menolak rezeki yang datang.
"Baiklah, saya buatkan sekarang, Mbak. Tunggu sebentar, ya," kata Paijo akhirnya, meski hatinya masih diliputi keraguan.Ia mulai memasak di gerobaknya, menyiapkan nasi goreng dalam jumlah besar, 30 porsi. Tangan Paijo bergerak lincah di atas wajan yang besar, mencampur bumbu-bumbu dengan nasi yang sudah siap.

Asap mengepul, membawa aroma harum yang menggoda selera, memenuhi udara malam yang dingin.
Sambil memasak, Paijo sesekali melirik wanita muda itu yang berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu tampak tenang, dengan senyum tipis yang terus menghiasi wajahnya.

Tapi semakin lama Paijo memandangnya, semakin ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak benar.
Namun, Paijo menepis pikirannya dan fokus pada pekerjaannya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyelesaikan pesanan pertama.

Ia menyusun makanan yang sudah jadi di atas piring-piring dan menyerahkannya kepada wanita itu.
"Ini, Mbak. Sudah jadi. Mau diantar langsung ke dalam?" tanya Paijo dengan sopan.
Wanita itu tersenyum lebih lebar. "Iya, Mas. Ayo, saya antar ke dalam."

Paijo mengangguk dan mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah. Pintu besar rumah tua itu terbuka dengan suara berderit yang membuat bulu kuduk Paijo berdiri. Namun, ketika pintu itu sepenuhnya terbuka,Paijo melihat ke dalam dengan perasaan campur aduk antara penasaran dan takut.

Ruangan di dalam rumah tua itu jauh dari apa yang Paijo bayangkan. Sebelumnya ia berpikir rumah itu kosong dan tidak terawat, namun yang dilihatnya sekarang sangat berbeda. Ruang tamu yang luas itu dipenuhi dengan perabotan antik yang tertata rapi.

Meja-meja besar dihiasi dengan taplak berenda, dan lilin-lilin kecil yang menyala di berbagai sudut ruangan memberikan suasana hangat yang hampir menenangkan.
Paijo melangkah masuk dengan hati-hati, sementara wanita muda itu berjalan mendahuluinya.

Di tengah ruangan, Paijo melihat beberapa orang sedang duduk mengelilingi meja besar yang dipenuhi makanan. Mereka tertawa dan berbicara, seolah-olah sedang menikmati pesta yang meriah.

Paijo bisa merasakan suasana gembira yang mengisi ruangan itu, tapi ada sesuatu yang terasa aneh, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
"Mas, letakkan saja di meja sana," kata wanita itu sambil menunjuk ke sebuah meja makan yang lebih kecil di sisi ruangan.

Paijo berjalan mendekat dan meletakkan piring-piring itu dengan hati-hati di atas meja. Ia mencuri pandang ke arah tamu-tamu yang duduk di sekitar meja utama.

Wajah mereka tampak bahagia, tapi ada sesuatu yang tidak biasa dengan cara mereka bergerak, seolah-olah mereka bergerak terlalu pelan, hampir seperti dalam gerakan lambat. Mata mereka juga tampak kosong, meskipun mereka tertawa dan berbicara dengan riang.Sebuah suara tawa tiba-tiba meledak dari salah satu tamu, membuat Paijo tersentak. Ia menoleh dan melihat seorang pria tua yang tertawa terbahak-bahak sambil memegang gelas di tangannya. Tapi tawa itu terdengar aneh, seperti dipaksakan, dan tidak ada yang bergabung dalam tawanya.

Suara itu menghilang secepat ia datang, meninggalkan keheningan yang mencekam.
Paijo merasa semakin tidak nyaman. Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, wanita muda itu sudah berada di sampingnya lagi.

"Terima kasih, Mas," ucapnya dengan nada yang hampir terdengar seperti bisikan. "Mas bisa kembali ke gerobak dan menyiapkan pesanan berikutnya, ya."
Paijo mengangguk cepat dan melangkah keluar dari rumah.

Saat ia melewati pintu, perasaan dingin menyusup ke tulang-tulangnya, membuatnya menggigil meski malam tidak terlalu dingin. Ketika ia kembali ke gerobaknya, ia mencoba menenangkan dirinya.

"Mungkin aku hanya terlalu capek," gumamnya, mencoba menepis kegelisahan yang semakin membesar di hatinya. "Ini hanya pesta biasa... hanya sedikit aneh saja."
Namun, perasaan itu tetap ada, menempel seperti bayangan yang enggan pergi.

Paijo tidak bisa menghilangkan pikiran tentang tamu-tamu di dalam rumah itu, tentang bagaimana mereka terlihat terlalu pucat dan bagaimana tawa mereka terdengar begitu salah.

Namun, Paijo tetap menjalankan tugasnya. Ia kembali memasak, kali ini dengan sedikit lebih cepat, berharap bisa segera menyelesaikan pekerjaannya dan meninggalkan tempat itu. Wanita muda itu kembali berdiri di dekatnya, tapi kali ini ia tampak lebih serius.

Tidak ada senyum di wajahnya, hanya tatapan kosong yang hampir menyeramkan.
"Semua tamu saya suka masakan Mas Paijo," katanya dengan suara datar. "Mereka ingin lebih banyak lagi."
Paijo mencoba tersenyum, meski dalam hatinya ia semakin cemas. "Baik, Mbak. Saya buatkan lagi."

Paijo memasak dengan segenap kemampuannya, namun kali ini tangannya sedikit gemetar. Bayangan wajah-wajah pucat itu terus terbayang di benaknya, membuatnya merasa semakin tidak nyaman. Ketika ia selesai, ia melihat wanita itu sudah menunggu dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

"Mas, kali ini Mas harus mengantarnya lagi ke dalam," kata wanita itu tanpa ekspresi.
Paijo mengangguk pelan, tidak punya pilihan lain. Ia mengangkat piring-piring yang penuh dengan nasi goreng, lalu berjalan kembali ke rumah tua itu.

Namun kali ini, setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat, seolah-olah kakinya enggan untuk melangkah.

Begitu Paijo memasuki rumah tua itu lagi, ia langsung merasakan perubahan yang drastis. Ruangan yang tadi terasa hangat dan penuh dengan kehidupan, sekarang terasa dingin dan hampa.Paijo terhenti di ambang pintu, matanya terbuka lebar saat melihat pemandangan yang mengerikan di depannya.
Tidak ada pesta, tidak ada tamu-tamu yang tertawa, tidak ada meja yang penuh dengan makanan. Ruangan itu kosong, hanya ada bayangan gelap yang menutupi setiap sudutnya.

Perabotan antik yang tadi tampak megah sekarang terlihat kusam dan berdebu, seolah-olah sudah lama tidak tersentuh.
Tapi yang paling membuat Paijo merinding adalah piring-piring yang ia letakkan tadi.

Mereka berserakan di lantai, nasi goreng yang tadi ia buat dengan susah payah kini berceceran di mana-mana. Sisa-sisa makanan itu tampak seperti telah dilahap dengan rakus, meninggalkan kekacauan yang mengerikan.

"Ya Tuhan... apa yang terjadi di sini?" bisik Paijo, suaranya bergetar karena ketakutan.
Ia berbalik, mencari wanita muda itu, tapi dia sudah tidak ada di sana. Pintu yang tadi terbuka lebar sekarang tertutup rapat, dan Paijo merasa terjebak dalam kegelapan yang dingin ini.

Perasaan panik mulai merayapi dirinya, membuatnya merasa seperti seekor tikus yang terperangkap.
"Mas Paijo..."

Suara itu datang dari arah dalam rumah, suara yang sudah sangat dikenal Paijo. Itu adalah suara wanita muda tadi, tapi kali ini terdengar lebih dalam, lebih menyeramkan. Paijo menoleh, dan melihat wanita itu berdiri di ujung ruangan.

Wajahnya yang tadi tampak cantik dan lembut sekarang berubah menjadi pucat, hampir seperti mayat.
"Tolong bantu kami, Mas Paijo..." suaranya terdengar seperti jeritan yang teredam, penuh dengan rasa putus asa.

Paijo mundur, rasa takut yang luar biasa menguasainya. "Apa... apa yang terjadi di sini? Siapa kalian sebenarnya?"
Wanita itu melangkah maju, setiap gerakannya seperti bayangan yang mengapung.

"Kami semua terjebak di sini... di rumah ini. Pesta ulang tahun yang tidak pernah berakhir..."
Paijo merasa seperti tercekik oleh rasa takut yang semakin menjerat. Ia ingin lari, tapi kakinya terasa berat seperti tertanam di lantai.

"Aku harus pergi... aku harus keluar dari sini!"
Ia berbalik dan berlari menuju pintu, tapi saat tangannya menyentuh gagang pintu, ia merasa ada sesuatu yang menariknya ke belakang.

Ia menoleh, dan melihat wanita itu berdiri di belakangnya, dengan tatapan yang penuh dengan kebencian dan kesedihan.
"Kau tidak bisa pergi, Mas Paijo..." kata wanita itu dengan suara yang hampir tidak terdengar.

"Tidak ada yang bisa keluar dari sini... tidak ada yang bisa meninggalkan pesta ini..."
Paijo meronta, mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman yang tidak terlihat itu terlalu kuat. Ia merasa seperti tercekik, dengan rasa dingin yang merasuk ke dalam tulangnya.

Namun, dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, ia berhasil membuka pintu dan menerobos keluar.
Ia berlari sekuat tenaga, tidak peduli pada apapun selain keinginannya untuk keluar dari rumah itu.

Ia bisa mendengar suara langkah-langkah yang mengikutinya, suara napas yang terdengar seperti erangan dari kegelapan.

Paijo terus berlari tanpa henti, keluar dari rumah itu dan kembali ke jalanan desa yang sepi. Nafasnya tersengal-sengal, dan dadanya terasa sakit karena ketakutan dan kelelahan.

Ia tidak berani menoleh ke belakang, takut apa yang dilihatnya akan lebih menakutkan daripada yang sudah ia alami.
Namun, begitu ia mencapai gerobaknya, ia mendapati bahwa rodanya terjebak dalam lumpur yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

Paijo panik, mencoba menarik gerobaknya keluar, tapi usahanya sia-sia. Roda itu terjebak terlalu dalam, seolah-olah ada sesuatu yang menahannya di bawah tanah.
"Demi Tuhan, aku harus pergi dari sini!" teriaknya, tapi tidak ada yang mendengar.Desa itu begitu sunyi, seolah-olah semua penghuninya sudah lama pergi.
Dengan ketakutan yang semakin memuncak, Paijo akhirnya memutuskan untuk meninggalkan gerobaknya dan lari tanpa menoleh lagi.

Ia berlari melintasi jalan-jalan desa yang gelap, berharap menemukan pertolongan atau setidaknya tempat aman untuk bersembunyi. Tapi semakin jauh ia berlari, semakin ia merasa bahwa kegelapan di belakangnya terus mengejar.

Setiap bayangan tampak mengancam, setiap suara di malam hari terdengar seperti bisikan dari makhluk-makhluk yang tidak ia lihat. Paijo merasa seolah-olah ia sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak akan pernah berhenti sampai ia tertangkap.

Akhirnya, Paijo sampai di batas desa, di mana hutan angker mulai terbentang. Ia terhenti di tepi hutan, di mana kegelapan tampak lebih pekat dan penuh dengan bahaya yang tidak terlihat. Paijo tahu bahwa jika ia masuk ke dalam hutan, ia mungkin tidak akan pernah kembali.

Namun, suara-suara yang mendekat dari arah desa membuatnya tidak punya pilihan lain. Ia tidak mungkin berbalik arah. Dengan perasaan takut yang begitu mendalam, Paijo memutuskan untuk masuk ke dalam hutan, berharap bisa bersembunyi dari apapun yang mengejarnya.

Ia berlari melalui jalan setapak yang sempit di dalam hutan, di antara pohon-pohon yang menjulang tinggi dan ranting-ranting yang tampak seperti cakar.

Setiap langkah terasa seperti ia sedang menjauh dari kenyataan dan semakin dalam ke dalam mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.
Paijo tidak tahu berapa lama ia sudah berlari, tapi ketika akhirnya ia berhenti, ia menyadari bahwa ia sudah sangat jauh dari desa.

Hutan di sekelilingnya begitu gelap, dan hanya suara-suara malam yang menemaninya. Paijo jatuh terduduk di atas tanah yang dingin, tubuhnya gemetar karena kelelahan dan ketakutan.
"Apa yang terjadi padaku...?" gumamnya pelan, mencoba memahami apa yang baru saja dialaminya.

Namun, tidak ada jawaban. Hanya ada keheningan, dan kegelapan yang tampaknya semakin mendekat, seperti bayangan yang akan segera menelannya.

Pagi tiba dengan lambat, dan ketika matahari akhirnya muncul di atas cakrawala, sinarnya menyinari desa yang sekarang tampak tenang dan damai. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi malam sebelumnya, tidak ada yang mendengar teriakan Paijo atau melihat pelariannya yang putus asa.

Ketika warga desa bangun, mereka mendapati gerobak nasi goreng Paijo tergeletak di pinggir jalan, dengan semua barangnya masih ada di dalamnya. Tapi Paijo sendiri tidak pernah ditemukan lagi.

Rumor tentang "pesta di rumah tua" menyebar dengan cepat, menjadi cerita yang diceritakan dari mulut ke mulut. Banyak yang mengatakan bahwa rumah itu dihuni oleh arwah yang tidak tenang, yang mengundang orang-orang ke dalamnya hanya untuk menghilang selamanya.

Dan Paijo, penjual nasi goreng yang selalu ramah, kini menjadi bagian dari legenda menakutkan itu, sebuah peringatan bagi mereka yang berani mendekati rumah tua yang angker di ujung desa.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG