Cerita Horor #7 PERJALANAN HOROR DI TENGAH MBULAK 👀

 


"PERJALANAN HOROR DI TENGAH MBULAK"

Sudah menjadi rutinitas harian bagi Marni dan suaminya, Joko, untuk berangkat ke pasar sebelum subuh. Sejak mereka menikah, kegiatan berdagang sayur-mayur ini telah menjadi mata pencaharian mereka.

Setiap hari, mobil pickup tua mereka berderak membelah keheningan pagi, menuju pasar untuk membeli dagangan yang akan dijual kembali di kampung. Selalu ada kebersamaan dalam perjalanan itu, canda tawa ringan atau obrolan hangat yang menemani mereka melintasi jalanan sepi.

Namun pagi ini berbeda.
Joko terbaring lemas di atas tempat tidur. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di dahinya.
"Maaf, Mar. Sepertinya aku tidak bisa ikut hari ini. Badanku rasanya remuk semua," ujar Joko dengan suara serak.

Marni menatap suaminya dengan khawatir. "Mas, tidak apa-apa. Aku bisa berangkat sendiri. Mas istirahat saja, biar cepat sembuh."

Joko menggeleng pelan, tampak ragu. "Apa kamu yakin bisa berangkat sendiri, Mar? Mbulak itu... ya kamu tahu sendiri, banyak yang bilang tempat itu angker."

Marni tersenyum, meskipun hatinya sedikit terguncang. "Sudah berapa kali kita lewat sana, Mas? Tidak pernah ada apa-apa. Aku tidak percaya sama cerita-cerita itu. Paling hanya cerita warga yang suka melebih-lebihkan."

Joko terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. "Ya, memang. Tapi aku tetap khawatir. Jangan terlalu ngebut, dan hati-hati di jalan, ya?"
Marni mengangguk sambil tersenyum, berusaha menenangkan suaminya.

"Tenang saja, Mas. Aku tidak akan kenapa-kenapa. Kamu istirahat saja, biar cepat sembuh."
Joko menghela napas panjang. "Baiklah, kalau kamu yakin, tapi hati-hati ya. Kalau ada apa-apa, langsung balik."
"Tenang saja, aku bawa HP. Kalau ada yang aneh, aku langsung hubungi kamu."

Pukul setengah empat pagi, Marni berdiri di halaman rumah, mengenakan jaket tebal untuk melawan dinginnya udara pagi. Langit masih gelap, hanya ada sejumput bintang yang terlihat samar di balik awan tipis.

Angin malam berhembus pelan, menambah kesunyian yang mencekam. Mobil pickup tua mereka sudah siap di depan, dan Marni membuka pintu pengemudi dengan gerakan yang mantap.

Ia memandang sekeliling sebentar, merasakan ketenangan yang aneh. Meskipun ada sedikit rasa cemas di hatinya, Marni meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. "Ini cuma perjalanan biasa," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri.

Setelah mesin mobil dinyalakan, suara deru mesin tua memecah keheningan pagi. Marni mengemudikan mobil keluar dari halaman rumah, perlahan melaju melewati jalan-jalan kecil di kampung yang masih gelap gulita.

Rumah-rumah di sekitarnya masih tertutup rapat, jendelanya gelap tanpa cahaya, menandakan bahwa para penghuninya masih terlelap.
"Ini pertama kalinya aku berangkat sendirian," pikir Marni sambil menghela napas panjang.

Beberapa menit kemudian, jalan menuju mbulak terbentang di depan matanya. Marni tahu, mbulak adalah jalur yang selalu mereka lewati setiap hari. Jalan panjang ini membelah persawahan luas, dengan pepohonan liar di kedua sisinya. Di siang hari, mbulak terlihat biasa saja.

Tapi di pagi buta seperti ini, dengan langit gelap dan hanya diterangi lampu depan mobil, jalan itu tampak lebih suram.
Marni mengingat percakapan suaminya dengan beberapa tetangga beberapa hari yang lalu.

"Mas Joko, katanya mbulak itu ada penunggunya," ucap salah satu tetangganya dengan nada serius saat mereka berbincang di warung kopi.
Joko hanya tertawa kecil saat itu. "Ah, paling cuma cerita buat nakut-nakutin. Sudah sering lewat sana, tidak pernah ada yang aneh."

Tetapi sekarang, saat Marni melintasi jalan itu sendirian, ia tidak bisa mengabaikan rasa cemas yang perlahan merayap di hatinya. Ia mencoba menepis pikiran-pikiran buruk yang mulai muncul.

"Ah, cerita warga saja. Mana mungkin ada yang aneh-aneh," katanya lagi pada dirinya sendiri, sambil memegang erat kemudi.
Namun, meski ia mencoba terlihat tenang, ada sesuatu di udara yang membuatnya merinding.

Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan suara angin yang berdesir di antara pepohonan seakan membawa bisikan yang tak bisa ia pahami. Jalan di depan semakin gelap, seakan cahaya lampu mobil tidak cukup untuk menembus kegelapan yang menyelimuti mbulak.

Marni memperlambat laju mobilnya, matanya terus fokus pada jalan di depannya. Di dalam hati, ia berharap agar perjalanan ini segera berakhir.

Pukul empat pagi, udara terasa semakin dingin. Marni, yang biasanya berangkat bersama suaminya, kini sendirian mengemudikan mobil pickup tuanya. Kabut tipis mulai melayang di atas hamparan sawah di kanan-kiri jalan, menciptakan suasana yang semakin sunyi.

Hanya deru mesin mobil dan gesekan roda melintasi jalan berbatu yang terdengar di keheningan pagi itu.
"Kenapa rasanya berbeda ya kalau sendirian?" gumam Marni pelan, meski ia mencoba tetap tenang.

Tangan kirinya menggenggam erat kemudi, sementara tangan kanannya sesekali menyeka keringat dingin yang mulai mengalir di dahinya, meskipun udara sangat dingin.
Sepanjang perjalanan menuju mbulak, pikiran Marni melayang pada cerita yang sering ia dengar dari para tetangga.

Ia selalu mengabaikan cerita-cerita tentang keangkeran mbulak, karena selama ini tidak pernah ada kejadian aneh saat ia dan Joko melewati jalan itu bersama. Tapi pagi ini, keheningan yang mencekam dan suasana sekitar yang terasa berbeda mulai menggoyahkan keyakinannya.

"Ah, cuma perasaan saja," ujarnya pelan, berusaha menenangkan diri.
Lampu depan mobil menyinari jalan di depannya, namun hanya sampai beberapa meter saja, seakan kegelapan di depannya menelan cahaya tersebut.

Pohon-pohon liar di sepanjang jalan bergoyang pelan terkena angin pagi, dan dalam keheningan itu, Marni merasa seolah-olah pepohonan tersebut sedang memperhatikannya.

"Apa benar cerita orang-orang itu? Mbulak ini memang angker?" pikir Marni, mulai merasakan kegelisahan yang merayap di hatinya.
Suaranya sendiri terdengar kecil di dalam mobil, dan untuk sejenak, Marni merasa sangat sendirian.

Udara semakin menusuk kulit,dan kabut di sekitar semakin tebal. Marni mulai merasakan bulu kuduknya meremang, namun ia terus berusaha untuk fokus mengemudi. "Sudah berapa kali lewat sini, tidak ada apa-apa kok," Marni berkata dalam hati, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Lagipula, pasti cuma cerita-cerita buat nakut-nakutin orang."
Namun, saat ia melirik ke kaca spion untuk memastikan kondisi di belakangnya, ia mendadak berhenti berpikir.

Sekilas, di kejauhan, tampak ada sesuatu berwarna putih.
"Hah? Apa itu?" Marni bergumam dengan napas tertahan. Matanya menyipit, mencoba memastikan apa yang baru saja dilihatnya.

Ia kembali melirik ke spion, dan kali ini, sosok itu masih ada di sana. Sesuatu yang putih, tampak samar-samar bergerak mendekat. Awalnya, Marni mengira mungkin itu hanya seorang ibu-ibu yang berjalan menuju masjid untuk salat subuh. Namun, perasaan aneh menyelimutinya.

Di sini, di mbulak yang terpencil dan sepi ini, tidak ada rumah, apalagi masjid.
"Masjid? Di sini tidak ada masjid...," bisik Marni, mendadak merasa sangat tak nyaman.
Pikirannya mulai berputar cepat. "Siapa itu? Kenapa di sini? Apa mungkin... bukan manusia?"

Suara hatinya mulai dipenuhi ketakutan, tapi ia berusaha merasionalisasikan apa yang dilihatnya. Ia menelan ludah, dan jantungnya berdegup kencang. Pandangannya kembali tertuju pada sosok putih itu yang kini tampak semakin mendekat.

Gerakannya aneh, seperti tidak berjalan, melainkan melompat.
"Ini tidak mungkin ibu-ibu. Gimana mungkin orang bisa melompat seperti itu?" Marni berbicara pada dirinya sendiri, tangannya mulai gemetar.

Ia memandang lurus ke depan, tidak berani menengok lagi ke spion, tapi perasaan bahwa sesuatu mendekat dari belakang tidak bisa ia abaikan.

"Harus cepat-cepat keluar dari sini," gumamnya, kali ini dengan nada yang lebih panik. Ia mempercepat laju mobil, berharap bisa meninggalkan sosok itu di belakang. Namun perasaan cemas semakin besar, seiring dengan semakin mendekatnya sosok itu.

Suara hatinya kembali berbisik, kali ini lebih kuat. "Apa benar aku harusnya dengar kata Joko tadi pagi? Mungkin aku tidak harus lewat sini sendirian.."
Sesaat kemudian, ponselnya berbunyi pelan. Sebuah pesan masuk. Marni dengan cepat melihat layar ponselnya. Itu pesan dari Joko.

"Mar, hati-hati ya. Kalau ada yang aneh, langsung putar balik. Jangan ambil risiko."
Marni menatap layar ponsel dengan tangan yang gemetar. Joko pasti juga merasa tidak tenang meninggalkannya sendirian.

Ia tahu betapa suaminya selalu memperingatkan tentang jalan ini, meskipun mereka tak pernah benar-benar mengalami hal aneh. Namun kali ini, Marni tahu, ada sesuatu yang tidak beres.

Bulu kuduknya berdiri, dan keringat dingin mulai mengucur lebih deras. Pandangannya kembali ke spion. Sosok putih itu masih ada di sana, meloncat-loncat dengan kecepatan yang tak masuk akal.

Marni terus melirik kaca spion dengan jantung berdebar kencang. Sosok putih itu semakin mendekat. Setiap gerakannya terasa tidak wajar—melompat, bukan berjalan, dengan langkah-langkah panjang yang tidak masuk akal. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.

Tangannya yang memegang setir bergetar hebat, sementara pikirannya dipenuhi rasa takut yang membingungkan.
"Ini… apa?!" Marni bergumam dengan suara serak, nyaris tak terdengar.

Ia menoleh sejenak ke belakang, berharap bisa melihat lebih jelas, tetapi hanya kegelapan dan sosok putih yang semakin dekat. Loncatannya semakin panjang, seolah-olah mengabaikan jarak antara mereka. Setiap loncatannya terasa seperti lima langkah manusia dewasa.

"Ya Tuhan... apa itu?" desis Marni, kali ini suaranya lebih keras, meski masih terdengar gemetar.
Napas Marni semakin cepat, dan keringat bercampur rasa takut menetes di pelipisnya. Ia merasakan detak jantungnya seperti memukul dada dengan keras.

Sosok itu bukan hanya mendekat, tapi juga terlihat lebih nyata—mengerikan, seperti bayangan yang keluar dari mimpi buruk. Marni berusaha keras untuk tidak panik, tetapi otaknya mulai dipenuhi pikiran buruk.

Ia mencoba menenangkan diri, berbicara pada dirinya sendiri, "Ini mungkin cuma halusinasi. Aku terlalu capek, mungkin cuma penglihatanku yang salah."
Namun, semakin ia berusaha mengabaikan, semakin jelas sosok itu terlihat.

Tak ada keraguan lagi, sesuatu yang tak wajar sedang mengejarnya. Wajah Marni memucat, dan tubuhnya mulai menggigil.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini, panggilan masuk. Ia melirik cepat ke layar ponsel yang terletak di kursi sebelahnya. Nama Joko muncul di layar.

Dengan tangan gemetar, Marni meraih ponsel dan menjawabnya. "Ma... Mas," suaranya terputus-putus, antara takut dan panik.
"Mar, kamu di mana sekarang?" suara Joko terdengar khawatir di seberang telepon. "Kenapa suaramu gemetar begitu? Kamu baik-baik saja?"

Marni menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan dirinya, tetapi matanya masih terpaku ke kaca spion. "Aku... aku di mbulak, Mas... Ada... ada yang aneh," suaranya semakin lemah, seolah-olah kata-kata itu sulit untuk keluar.

"Ada apa, Mar? Aneh gimana?" tanya Joko, suaranya semakin cemas.
Marni menggigit bibirnya, berusaha keras menjelaskan. "Ada... ada sosok putih... dia... dia meloncat-loncat, Mas. Tidak seperti manusia. Aku tidak tahu apa itu."

Terdengar keheningan sejenak di telepon, sebelum Joko akhirnya berkata, "Mar, dengar aku baik-baik. Jangan lihat lagi ke belakang. Percepat mobilmu, tapi jangan panik. Fokus saja pada jalan di depan. Sosok itu mungkin bukan sesuatu yang bisa kamu hadapi sendiri."

Marni menelan ludah, matanya kembali menatap jalan di depannya. "Aku takut, Mas... Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
"Kamu harus keluar dari sana secepat mungkin. Jangan pikirkan apapun selain jalan di depanmu," kata Joko dengan tegas, berusaha menenangkan istrinya.

"Aku tunggu kamu di rumah. Kamu pasti bisa, Mar. Jangan panik."
Marni mengangguk, meskipun Joko tidak bisa melihatnya. "Iya, Mas... aku akan coba."
Ia menginjak gas lebih dalam, berusaha mempercepat laju mobil.

Namun, betapapun cepat mobil itu melaju, suara aneh dari belakang membuat Marni merasa bahwa sosok putih itu semakin dekat. Setiap loncatannya terdengar seperti gemuruh kecil yang merayap di telinganya, seolah-olah makhluk itu menembus batas-batas fisik.

Dalam keputusasaan, Marni hampir menangis. "Mas, dia makin dekat. Aku tidak tahu harus bagaimana...," isaknya, kali ini suaranya terdengar pecah. Tangannya semakin kencang mencengkeram setir, sementara matanya berusaha fokus ke jalan.

"Kamu pasti bisa, Mar. Jangan lihat ke belakang lagi, aku mohon. Jangan biarkan sosok itu membuatmu kehilangan kendali," Joko terus mencoba menenangkan, meskipun jelas dari suaranya bahwa ia juga cemas.

Marni memejamkan mata sejenak, mencoba memusatkan pikirannya. "Aku tidak boleh panik. Aku harus tetap fokus," pikirnya. Namun, tiba-tiba sesuatu menghantam mobilnya dari belakang, seperti angin kencang yang mengguncang kendaraan tua itu.

Marni berteriak histeris, suaranya penuh dengan ketakutan. "Mas! Dia ada di sini! Dia ada di sini!"
Joko di seberang telepon terdengar panik, "Marni! Fokus! Jangan biarkan dia mendekat! Percepat mobilmu!"
Marni menekan gas lebih dalam, kali ini melaju dengan kecepatan penuh.

Mobil bergetar, seolah-olah mesin tua itu hampir tidak kuat menahan laju yang begitu cepat. Di depannya, pertigaan yang sering ia lewati setiap hari tampak semakin dekat. Itu jalan keluarnya.
"Mar, kamu hampir sampai. Ayo, sedikit lagi!" Joko berteriak di telepon.

Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Marni memacu mobilnya ke arah pertigaan itu. Sesaat sebelum mencapai pertigaan, sosok putih itu menghilang begitu saja, seperti tertelan oleh kegelapan.

Tidak ada lagi loncatan, tidak ada lagi gemuruh. Hanya suara deru mobil dan nafas Marni yang terengah-engah.
Marni menepikan mobilnya setelah melewati pertigaan, tubuhnya gemetar hebat.

Telepon masih terhubung, tetapi ia hanya bisa mendengar suara Joko yang memanggil namanya berulang kali.
"Mas... aku selamat," ucap Marni pelan, nyaris tidak terdengar, sebelum akhirnya menangis tersedu-sedu.

Tepat di sebuah pertigaan yang gelap, Marni dengan terburu-buru membelokkan mobilnya ke kanan, meninggalkan mbulak yang angker di belakang. Ia memutuskan untuk mengambil jalan perumahan, meskipun rutenya lebih jauh.

"Yang penting aman," pikirnya dengan napas tersengal, berusaha menenangkan diri. Matanya terus melirik kaca spion, memastikan apakah sosok putih mengerikan itu masih mengejarnya. Namun, sejauh matanya bisa melihat, sosok itu sudah tak tampak lagi.

Marni menarik napas panjang, meskipun tubuhnya masih gemetar hebat. "Ya Tuhan, terima kasih...," bisiknya, merasa sedikit lega. Namun ketegangan belum sepenuhnya hilang. Jantungnya masih berdebar keras, dan keringat dingin terus mengalir di pelipisnya.

"Marni... kamu masih di sana?" suara Joko terdengar di telepon yang masih terhubung, membangunkan Marni dari lamunannya.
"Iya, Mas... aku sudah keluar dari mbulak," jawab Marni, suaranya lemah.

Tangannya masih bergetar memegang setir, dan ia terus berusaha mengendalikan napasnya yang berat. "Aku sekarang masuk perumahan. Sosok itu... dia tidak kelihatan lagi."
"Syukurlah," ujar Joko dengan nada lega, meskipun terdengar masih khawatir.

"Tapi tetap hati-hati, Mar. Jangan berhenti sebelum kamu benar-benar sampai di rumah."
Marni mengangguk meski Joko tidak bisa melihatnya. "Iya, Mas... aku masih merinding, rasanya belum sepenuhnya aman."

Suara azan subuh mulai terdengar samar-samar dari kejauhan, membawa sedikit ketenangan bagi Marni. Ia mencoba fokus pada jalan di depannya, tetapi pikirannya masih dipenuhi bayangan sosok putih yang mengejarnya. Sosok itu bukan manusia, ia yakin akan hal itu sekarang.

"Mas, kamu percaya tidak sama cerita orang-orang tentang mbulak yang angker?" Marni tiba-tiba bertanya, suaranya terdengar sedikit gemetar.

Joko terdiam sejenak sebelum menjawab, "Dulu aku tidak terlalu percaya. Tapi, setelah apa yang kamu alami barusan... aku tidak tahu lagi harus bilang apa. Mungkin memang ada hal-hal yang tidak bisa kita pahami."

Marni menghela napas panjang. "Aku juga tidak percaya awalnya. Selama ini kita lewat situ berkali-kali, dan tidak pernah ada apa-apa. Tapi tadi, sosok itu... Mas, dia benar-benar nyata. Dia meloncat-loncat kayak bukan manusia."

Joko mencoba menenangkan istrinya meski ia sendiri merasa ngeri mendengar ceritanya. "Sudah, jangan pikirkan itu sekarang. Yang penting kamu selamat. Nanti kita bisa cari jalan lain biar tidak perlu lewat mbulak lagi."

"Mas, aku tidak mau lewat situ lagi," kata Marni dengan tegas. Suaranya kini terdengar lebih tegar meski hatinya masih dipenuhi ketakutan. "Meskipun jalannya lebih jauh, aku tidak peduli. Aku tidak mau ketemu sosok itu lagi."

Joko mengerti ketakutan istrinya. "Iya, Mar. Nanti kita cari rute yang lain. Yang penting kamu selamat sekarang."
Marni kembali fokus pada jalan, meskipun pikiran tentang sosok putih itu terus membayangi.

Sesekali, ia melirik ke kaca spion, meskipun ia tahu sosok itu sudah hilang. Namun, rasa takut yang masih tersisa membuatnya terus waspada.
Setelah beberapa menit, jalan perumahan yang dilewatinya mulai tampak lebih terang, seiring dengan semakin banyaknya rumah yang terlewati.

Lampu-lampu rumah dan jalan memberikan sedikit perasaan aman, tapi Marni masih merasa cemas.
"Mas, aku sudah dekat sama rumah," katanya pelan, mencoba mengabarkan Joko yang masih di telepon.

"Bagus, Mar. Kalau sudah sampai, langsung masuk ke rumah, ya. Jangan lupa kunci pintunya," ujar Joko, suaranya terdengar lega meskipun masih cemas.

"Ya, Mas..." Marni mengangguk kecil, meskipun matanya tetap waspada. "Aku masih tidak bisa berhenti mikirin sosok itu, Mas. Apa mungkin dia tadi bener-bener hantu?"

Joko terdiam lagi, seakan-akan mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Marni. "Mungkin kita harus terima kalau ada hal-hal di dunia ini yang tidak bisa kita jelaskan, Mar. Yang jelas, jangan terlalu dipikirin sekarang. Kita cari tahu nanti, pelan-pelan."

Marni menelan ludah. Kata-kata suaminya masuk akal, tetapi ketakutan yang masih menggelayut membuat pikirannya sulit tenang. "Iya, Mas... aku akan coba tidak mikirin itu dulu," katanya pelan, meski ia tahu itu tidak mudah.

Ketika Marni akhirnya melihat rumahnya di kejauhan, rasa lega yang luar biasa mulai merayap ke hatinya. "Mas, aku sudah sampai rumah. Aku masuk dulu ya, Mas," ujarnya sambil perlahan memarkir mobil di depan rumah.

"Syukurlah, Mar. Langsung masuk dan istirahat, ya. Aku tunggu di sini," ujar Joko, terdengar lega.
Marni mengangguk lagi, meski tangan dan tubuhnya masih gemetar. Ia mematikan mesin mobil, keluar, dan segera menuju pintu rumahnya.

Setelah memastikan pintu terkunci dengan rapat, ia menyandarkan punggungnya ke pintu, menutup matanya sejenak. Badannya masih lemas, tapi setidaknya ia merasa lebih aman di dalam rumah.

Joko keluar dari kamar dan menghampirinya. "Kamu tidak apa-apa, kan?" tanyanya lembut, memegang pundak istrinya.
Marni mengangguk pelan. "Iya, Mas... tapi aku masih takut," jawabnya sambil menunduk, air matanya mengalir tanpa sadar.

Joko memeluk Marni erat. "Sudah tidak apa-apa, Mar. Kamu aman sekarang," bisiknya menenangkan. "Kita tidak akan lewat jalan itu lagi."

Marni mengangguk dalam pelukan suaminya, meskipun pikirannya masih penuh dengan bayangan sosok putih yang menghantui. Meskipun sekarang sudah aman, ia tahu, malam itu akan terus teringat di benaknya.

-- TAMAT --

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG