Cerita Horor #15 PERJALANAN HOROR SI TUKANG CILOK 👀


PERJALANAN HOROR SI TUKANG CILOK

Pramono adalah seorang penjual cilok keliling yang biasa berkeliling desa dengan sepeda ontelnya. Setiap hari, ia berangkat pagi dan pulang menjelang senja, berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya untuk menjajakan cilok buatannya yang terkenal lezat. Namun, malam itu berbeda. Karena pesanan khusus untuk sebuah acara keluarga, Pramono harus bekerja lebih lama dari biasanya.

Ketika ia akhirnya menyelesaikan pesanan terakhirnya, langit sudah gelap dan malam mulai terasa mencekam. Jalanan desa yang biasanya ramai dengan suara anak-anak bermain kini sunyi senyap. Pramono merasa sedikit tidak nyaman, tapi ia tidak punya pilihan lain. Sepeda ontelnya melaju perlahan di atas jalan yang berbatu, menyusuri jalan setapak yang gelap hanya diterangi oleh lampu sepedanya yang redup.

Saat melewati sebuah pemakaman tua di pinggir desa, angin dingin tiba-tiba berhembus kencang, membuat Pramono merinding. Ia mengayuh lebih cepat, berusaha secepat mungkin melewati tempat itu. Namun, perasaannya semakin tidak enak ketika ia mendengar suara-suara aneh dari arah pemakaman. Seperti suara langkah kaki yang mengikuti dari belakang, meski ia yakin tak ada orang lain di jalan itu.

Ia menoleh ke belakang, tapi tak ada siapa-siapa. Jalanan gelap dan sunyi. Pramono berusaha menenangkan diri, berpikir bahwa itu hanyalah angin atau suara sepeda ontelnya. Namun, suara itu semakin keras, seperti ada seseorang yang benar-benar berjalan di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya.

Dengan jantung berdebar, Pramono kembali menoleh. Kali ini, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di balik kegelapan, di antara pepohonan di pemakaman, tampak bayangan hitam yang bergerak dengan cepat, seolah mengejarnya. Sosok itu tampak lebih jelas setiap kali ia menoleh, semakin dekat, dan semakin menyeramkan.

Panikan, Pramono mulai mengayuh sepeda ontelnya sekuat tenaga, berharap bisa menjauh dari sosok itu. Tapi tidak peduli seberapa cepat ia mengayuh, suara langkah kaki itu tetap terdengar, bahkan semakin dekat. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, dan Pramono merasa seolah-olah dunia di sekitarnya semakin menyempit, hanya ada dirinya dan sosok yang mengejarnya.

Ketika Pramono merasa tak tahan lagi, ia melihat seberkas cahaya di kejauhan. Itu adalah lampu dari warung kecil di pinggir jalan, satu-satunya tempat yang masih terbuka di malam hari. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia memacu sepedanya menuju cahaya tersebut, berharap bisa selamat dari kejaran sosok misterius itu.

Pramono akhirnya tiba di depan warung kecil yang diterangi oleh lampu minyak. Nafasnya tersengal-sengal, dan tubuhnya basah oleh keringat dingin. Tanpa ragu, ia segera memasuki warung, berharap bisa menemukan perlindungan dari sosok yang terus mengikutinya. Warung itu tampak sepi, hanya ada seorang wanita tua yang duduk di balik meja, menjual berbagai barang kebutuhan sehari-hari.

Wanita tua itu menatap Pramono dengan tatapan aneh, seolah-olah sudah menantinya. "Malam, Nak. Kamu terlihat lelah," katanya dengan suara serak.

Pramono mencoba untuk tersenyum, meskipun hatinya masih dipenuhi oleh rasa takut. "Iya, Bu. Saya cuma lewat, mau istirahat sebentar."

Wanita tua itu mengangguk pelan. "Tentu saja. Duduklah dulu, minumlah sedikit air."

Pramono mengikuti saran wanita itu, lalu duduk di bangku kayu yang terletak di sudut warung. Namun, perasaan tidak nyaman kembali menyergapnya saat ia melihat ke sekeliling warung. Dinding warung itu dipenuhi oleh foto-foto tua, potret orang-orang yang tampak sudah lama meninggal. Semua foto itu terlihat berdebu, seperti sudah bertahun-tahun tak tersentuh.

Ia mencoba untuk tidak memikirkan hal itu dan meneguk air yang diberikan wanita tua itu. Namun, tak lama kemudian, ia merasa tubuhnya menjadi berat. Pandangannya mulai kabur, dan kepalanya terasa sangat pusing. Pramono mencoba untuk bangkit, tapi kakinya seolah tidak mau digerakkan.

Wanita tua itu berjalan mendekatinya, kini wajahnya tampak berubah. Garis-garis wajahnya lebih tegas, matanya menyipit tajam, penuh misteri. "Kamu sudah terlalu jauh, Nak," ucapnya, suaranya terdengar menggema di telinga Pramono. "Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu sekarang."

Pramono berusaha untuk melawan rasa kantuk yang tiba-tiba menyerangnya. Namun, kesadarannya semakin memudar. Dalam pandangannya yang semakin gelap, ia melihat bayangan hitam yang tadi mengejarnya kini berdiri di belakang wanita tua itu, menatapnya dengan mata kosong dan tanpa ekspresi.

"Jangan melawan, Nak. Ini takdirmu," bisik wanita itu sebelum semuanya menjadi gelap.

Pramono terbangun dengan kepala yang terasa berat dan tubuh yang sakit. Ia mencoba untuk mengingat apa yang terjadi, tetapi pikirannya masih kabur. Ketika ia akhirnya bisa membuka matanya, pemandangan di sekitarnya membuatnya terkejut. Ia tidak lagi berada di warung tua itu, melainkan di sebuah tempat yang asing dan menyeramkan.

Di sekelilingnya, kabut tebal menyelimuti tanah yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar yang tampak mati. Udara di tempat itu sangat dingin, dan suasananya sunyi mencekam. Hanya ada suara gemerisik daun yang tersapu angin dan desiran air sungai yang tak terlihat. Pramono merasa seluruh tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena rasa takut yang menguasainya.

Ia berusaha untuk berdiri, namun tubuhnya terasa kaku, seolah-olah ia telah tertidur selama bertahun-tahun. Ketika akhirnya ia bisa bangkit, Pramono menyadari bahwa ia masih mengenakan pakaian yang sama saat berjualan cilok, tetapi kini semuanya tampak lusuh dan berdebu.

Pramono mulai berjalan tanpa tujuan di tengah kabut tebal itu, berharap bisa menemukan jalan keluar atau setidaknya menemukan seseorang yang bisa membantunya. Namun, semakin ia berjalan, semakin ia merasa terjebak dalam labirin tanpa akhir. Semua pohon di sekelilingnya tampak serupa, membuatnya sulit membedakan arah.

Di tengah kebingungannya, ia mendengar suara langkah kaki dari kejauhan. Pramono menghentikan langkahnya, mencoba mendengarkan dengan saksama. Suara itu semakin mendekat, dan tiba-tiba muncul sosok wanita tua yang dilihatnya di warung, berjalan pelan di tengah kabut.

Pramono merasa darahnya membeku, tetapi ia tahu bahwa ini mungkin satu-satunya petunjuk yang ia miliki untuk menemukan jalan keluar. Dengan langkah hati-hati, ia mengikuti wanita tua itu, meskipun perasaan waswas terus menghantuinya.

Wanita tua itu berjalan tanpa menoleh, melewati pohon-pohon besar dan melintasi tanah yang terasa basah dan lembek. Pramono terus mengikutinya, tetapi ia merasa seolah-olah mereka tidak bergerak maju. Setiap langkah yang ia ambil, sepertinya hanya membawa mereka semakin dalam ke kegelapan.

Setelah beberapa waktu, wanita tua itu berhenti di depan sebuah danau kecil yang permukaannya dipenuhi kabut. Ia menatap ke dalam air, sementara Pramono berdiri di belakangnya, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

"Danau ini," kata wanita tua itu tanpa menoleh, "adalah pintu antara dunia kita dan dunia mereka. Kamu bisa melarikan diri, Nak, tapi kamu harus membuat pilihan. Apakah kamu ingin kembali atau tetap di sini?"

Pramono merasa bingung dan takut. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud wanita itu, tetapi ia tahu bahwa ia harus segera membuat keputusan. Sebelum ia bisa menjawab, wanita tua itu perlahan berbalik, menatap Pramono dengan mata yang penuh misteri.

"Ini adalah kesempatannya," kata wanita itu pelan. "Pilihlah dengan bijak."

Pramono berdiri terpaku di depan danau yang dipenuhi kabut, perasaan takut dan bingung bercampur aduk dalam benaknya. Suara gemerisik daun di sekitarnya semakin intens, seolah-olah alam sedang menunggu keputusannya. Wanita tua itu tetap diam, menatapnya dengan ekspresi datar yang sulit dibaca.

"Tidak ada jalan kembali, Nak, kecuali kamu berani mengambil risiko," kata wanita tua itu lagi, suaranya seolah menyatu dengan angin yang berhembus dingin.

Pramono merasa panik, tetapi ia tahu bahwa ia harus membuat pilihan. "Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya, berharap mendapat jawaban yang jelas.

Wanita tua itu tersenyum tipis, sebuah senyuman yang tidak menenangkan sama sekali. "Masuki danau ini, dan jika hatimu benar-benar tulus, kamu mungkin bisa kembali ke dunia asalmu. Tetapi jika tidak, kamu akan selamanya terperangkap di sini, menjadi bagian dari kegelapan."

Pramono menelan ludah, menatap air danau yang tenang tapi menakutkan. Ia tidak tahu apa yang menunggunya di bawah sana, tapi ia sadar bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri mimpi buruk ini. Dengan napas yang dalam, ia memutuskan untuk melangkah maju.

Ketika kaki Pramono menyentuh air danau, ia merasakan dingin yang menusuk tulang. Namun, ia terus maju, membiarkan tubuhnya tenggelam lebih dalam ke dalam danau. Air yang dingin itu terasa seperti tangan-tangan yang menariknya ke dasar, semakin dalam dan semakin dalam, hingga akhirnya ia benar-benar tenggelam.

Dalam kegelapan bawah air, Pramono merasa terjebak, tidak bisa bernapas, tidak bisa bergerak. Namun, di saat yang sama, ia merasakan sesuatu yang aneh. Seolah-olah, beban yang selama ini menghantuinya—rasa takut, kebingungan, dan keputusasaan—perlahan-lahan menghilang. Ia merasa lebih ringan, lebih tenang, dan perlahan-lahan mulai menerima nasibnya.

Tiba-tiba, cahaya terang menyilaukan mata Pramono. Ia merasa tubuhnya diangkat ke atas, keluar dari kegelapan. Ia terbangun dengan terengah-engah, mendapati dirinya tergeletak di tepi danau, basah kuyup tapi hidup.

Wanita tua itu berdiri di dekatnya, tersenyum dengan penuh arti. "Kamu telah membuat pilihan yang benar, Nak. Sekarang, pergilah. Dunia asalmu menunggumu."

Dengan tubuh yang masih gemetar, Pramono bangkit dari tanah basah di tepi danau. Perasaan lega bercampur kebingungan melingkupi dirinya. Apakah ini benar-benar akhir dari mimpinya yang buruk, atau justru awal dari sesuatu yang lebih menakutkan? Ia tidak bisa membedakannya lagi.

Wanita tua itu mengisyaratkan Pramono untuk mengikuti jalannya, kali ini ke arah yang berbeda. Tanpa ragu, Pramono mengikuti, meskipun hatinya masih dipenuhi oleh rasa takut. Jalan yang mereka lalui tampak familiar, tapi ada yang berbeda. Suasana yang sebelumnya mencekam kini terasa lebih tenang, meski tetap diselimuti misteri.

Setelah berjalan selama beberapa waktu, mereka tiba di sebuah jalan setapak yang Pramono kenali sebagai jalur menuju desanya. Wanita tua itu berhenti dan menatap Pramono dengan tatapan lembut. "Ingatlah, Nak, apa yang kamu alami malam ini adalah pelajaran hidup. Jangan pernah lupa akan keberanianmu, dan teruslah berjalan dengan hati yang ringan."

Pramono mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi banyak pertanyaan. Ia ingin bertanya lebih banyak, tetapi ketika ia menoleh ke arah wanita tua itu, sosoknya sudah menghilang, seolah-olah dia tidak pernah ada.

Dengan perasaan campur aduk, Pramono melanjutkan perjalanan kembali ke desanya. Saat ia mengayuh sepeda ontelnya, jalanan yang tadinya tampak gelap dan menakutkan kini mulai tampak lebih normal, lebih hidup. Cahaya dari rumah-rumah di desa mulai tampak di kejauhan, memberikan harapan bahwa ia benar-benar telah kembali.

Ketika Pramono akhirnya tiba di rumah, ia disambut oleh keluarganya yang khawatir. Mereka bertanya-tanya ke mana saja Pramono pergi, dan mengapa ia pulang sangat terlambat. Pramono hanya tersenyum, merasa bersyukur bahwa ia bisa kembali dengan selamat. Meskipun ia tahu bahwa tidak ada yang akan percaya cerita yang dialaminya, ia tetap bertekad untuk tidak melupakan pelajaran berharga dari malam itu.

Keesokan harinya, Pramono kembali menjalani rutinitasnya sebagai penjual cilok keliling. Namun, kali ini, ia lebih berhati-hati dalam memilih rute yang akan dilalui. Tidak peduli seberapa jauh atau seberapa banyak yang ia jual, ia tidak akan pernah lagi melewati jalan yang sama saat malam tiba. Perjalanan horor yang dialaminya menjadi sebuah pengingat bahwa ada kekuatan yang lebih besar di luar sana, sesuatu yang tidak selalu bisa dijelaskan dengan akal sehat.

Dan di setiap malam ketika ia melewati jalan yang pernah membawa kengerian itu, Pramono selalu menundukkan kepala, berdoa agar dirinya selalu dilindungi dari kegelapan yang mungkin masih mengintai di baliknya. Karena ia tahu, dalam kehidupan ini, tidak semua hal bisa dilihat dengan mata, dan tidak semua kegelapan bisa dilalui dengan aman.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG