Cerita Horor #6 KUNTILANAK DI UJUNG JALAN
KUNTILANAK DI UJUNG JALAN
kisah perjalanan horor seorang ojek online / ojol di malam hari..
Bab 1: Perkenalan dan Beban Hidup
Namaku Andi. Sehari-hari aku bekerja sebagai pengemudi ojek online. Bukan karena ingin, tapi lebih karena keadaan yang memaksaku. Sudah tiga tahun aku menjalani hidup ini, menghabiskan sebagian besar waktuku di jalan, mencari penumpang atau pesanan yang bisa menghasilkan uang untuk keluargaku. Istriku, Dewi, hanya seorang ibu rumah tangga, mengurus anak-anak kami, Dika dan Dini, yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka berdua adalah alasan utama kenapa aku terus bertahan di pekerjaan ini, meski setiap harinya seperti menjalani mimpi buruk tanpa akhir.
Aku bekerja dari pagi hingga malam, hampir tak punya waktu untuk keluarga. Kadang aku hanya bisa melihat anak-anak saat mereka tidur, menciumnya di kening sebelum berangkat kerja, dan saat pulang, mereka sudah terlelap lagi. Kehidupan ini membuatku merasa jauh dari mereka, dari istriku, dari rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, tapi kini terasa seperti tempat asing bagiku.
Beban ekonomi kian menghimpit. Setiap hari aku harus memikirkan uang untuk biaya sekolah, makan, listrik, dan tagihan lain yang tak pernah ada habisnya. Dewi juga sering merasa tak enak hati karena tak bisa membantu banyak, tapi aku selalu bilang padanya, "Udah, kamu di rumah aja, ngurusin anak-anak. Aku yang cari duit." Meskipun dalam hati, aku juga tahu kalau keadaan ini tak ideal. Kami butuh lebih banyak uang, tapi tak ada pilihan. Aku tak bisa membiarkan anak-anakku hidup tanpa perhatian ibunya. Namun, tekanan itu membuatku semakin terjepit—antara tanggung jawab sebagai pencari nafkah dan kebutuhan untuk merasakan kehidupan normal bersama keluargaku.
Malam ini, aku duduk di ruang tamu kecil rumah kontrakan kami. Lelah sekali rasanya setelah seharian mengendarai motor. Rasanya tubuhku sudah seperti besi tua yang berkarat. Dewi menyuguhiku teh hangat, tapi bahkan teh itu pun terasa hambar di lidahku yang sudah terlalu sering merasakan pahitnya hidup.
"Dika tadi tanya, kapan Ayah bisa nganterin dia jalan-jalan lagi," ucap Dewi dengan suara lembut, seolah takut menambah beban yang sudah kusandang. Aku terdiam, jantungku terasa tertekan.
"Maaf... mungkin weekend nanti, kalau nggak ada orderan banyak," jawabku sekenanya, walau aku tahu, akhir pekan pun biasanya penuh dengan pesanan.
Malam itu, setelah semua orang tidur, aku keluar sebentar untuk menatap langit. Malam sangat sepi, hanya suara serangga malam yang terdengar. Entah kenapa, saat menatap kegelapan malam, ada perasaan aneh yang menyelinap dalam hati. Udara yang terasa lebih dingin dari biasanya, seolah ada sesuatu yang mengintai dari balik kegelapan. Rumah-rumah tetangga tampak kosong, tak ada lampu yang menyala, hanya beberapa bayangan samar yang tertangkap dari sudut mataku.
Perasaan aneh itu mulai merayap, seperti ada sesuatu di luar yang tak terlihat tapi terus mengawasi. Biasanya, aku tak terlalu memikirkan hal-hal seperti ini. Tetapi malam itu, rasanya berbeda. Angin yang berhembus di leherku seolah membawa bisikan tak kasat mata. Aku menoleh ke arah semak-semak di dekat rumah, dan mataku terpaku. Di sana, samar-samar kulihat bayangan bergerak cepat, menghilang di balik pepohonan. Seolah ada seseorang atau sesuatu yang bersembunyi di kegelapan.
Aku menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran-pikiran tak masuk akal itu. “Mungkin cuma hewan,” pikirku, mencoba menenangkan diri. Namun, tetap saja, udara malam terasa semakin mencekam. Rasanya seperti ada kehadiran yang tak kasat mata, yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menampakkan dirinya.
Malam itu, aku tidur dengan perasaan tak nyaman. Setiap kali memejamkan mata, ada perasaan bahwa sesuatu sedang berdiri di sudut kamar, mengamatiku. Aku mencoba mengabaikannya, tapi perasaan itu semakin kuat. Bahkan ketika aku berhasil tertidur, aku bermimpi buruk. Dalam mimpi itu, aku berkendara di jalan sepi, dan di belakangku, ada sosok yang tak bisa kulihat dengan jelas. Namun, setiap kali aku menoleh, bayangan itu semakin dekat, mengikuti dengan langkah perlahan tapi pasti.
Aku terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi dahiku. Saat kuamati sekeliling, kamar tidur itu tampak biasa saja. Tapi tetap saja, ada sensasi yang menempel di kulitku—sesuatu yang tak bisa kuterjemahkan. Aku berusaha menenangkan diri, meyakinkan diri bahwa ini hanya akibat kelelahan. Namun, jauh di dalam hati, aku tahu ada yang tidak beres.
Hari-hariku selanjutnya semakin berat. Setiap kali aku keluar rumah untuk bekerja di malam hari, perasaan yang sama kembali datang. Udara malam yang dingin, suasana yang sunyi, dan perasaan diawasi yang terus menghantui setiap langkahku. Aku sering mendengar suara langkah-langkah ringan di belakangku, atau suara bisikan lirih di telingaku saat menunggu penumpang di pangkalan. Suara yang tak pernah ada sebelumnya.
Teman-teman sesama ojek juga sering cerita tentang pengalaman serupa. Jalan-jalan di malam hari memang penuh misteri. Banyak yang bilang, kita tak pernah benar-benar sendiri di jalanan gelap. Ada makhluk-makhluk yang mengintai, siap menunjukkan diri pada siapa saja yang malang. Awalnya, aku menganggap cerita itu hanya bualan, tapi kini, aku mulai merasakan ketakutan yang sama. Ada sesuatu di malam hari yang tak bisa kita lihat, tapi bisa merasakan kehadirannya.
Aku tak bisa mengelak lagi. Setiap malam, saat keluar rumah, aku merasa seperti dikejar bayangan yang tak pernah benar-benar bisa kulihat. Bayangan yang semakin lama semakin dekat, menunggu saatnya untuk menampakkan wujudnya yang sebenarnya. Dan aku tahu, cepat atau lambat, aku akan bertemu dengan sosok itu. Entah kapan atau di mana, tapi aku bisa merasakannya—malam itu akan datang.
Dan malam itu akhirnya tiba, lebih cepat dari yang kubayangkan.
Bab 2: Pangkalan Ojek dan Pesanan Malam
Malam itu seperti malam-malam lainnya. Setelah makan malam yang sederhana bersama Dewi dan anak-anak, aku bersiap untuk keluar lagi. Rasanya tubuhku belum sepenuhnya pulih dari lelah seharian, tapi aku harus terus bekerja. Belum cukup uang yang kudapatkan hari ini. Setiap detik di jalan adalah peluang untuk mendapatkan tambahan penghasilan, meski itu berarti aku harus mengorbankan waktu istirahatku.
Aku melirik jam di dinding, pukul 9 malam. Waktu terbaik untuk mendapatkan pesanan, terutama dari mereka yang baru pulang kerja atau yang butuh layanan antar cepat seperti gosend. Aku mencium kening Dewi dan anak-anak sebelum berangkat. "Jangan terlalu malam, ya," bisik Dewi dengan nada khawatir. Dia selalu khawatir setiap kali aku keluar malam, apalagi setelah beberapa kejadian aneh yang kualami belakangan ini. Tapi, aku hanya tersenyum tipis dan berjanji akan pulang secepat mungkin.
Keluar dari rumah, angin malam langsung menyambut dengan dinginnya. Jalanan sudah mulai sepi, hanya beberapa motor yang melintas sesekali. Aku melaju pelan ke arah pangkalan ojek tempat biasanya aku dan teman-teman berkumpul. Pangkalan itu terletak di sudut jalan, di bawah pohon besar yang selalu tampak menyeramkan setiap kali malam tiba. Pohon itu besar dan tua, ranting-rantingnya seperti tangan raksasa yang mencengkeram langit malam. Banyak cerita yang beredar di antara kami tentang pohon itu. Katanya, pohon itu dihuni oleh sosok makhluk halus sejak dulu kala, dan banyak pengemudi yang melihat penampakan di sekitar sana. Tapi aku selalu berusaha untuk tidak memikirkannya. Sebagai ojek online, aku harus terbiasa dengan tempat-tempat sepi dan angker. Kalau tidak, aku tak akan bisa bekerja.
Setibanya di pangkalan, aku melihat beberapa teman sudah duduk di sana, mengobrol dan tertawa. Suara canda mereka memecah kesunyian malam, tapi entah kenapa malam itu ada sesuatu yang berbeda. Udara terasa lebih dingin, angin berhembus lebih kencang dari biasanya, dan suara dedaunan di atas pohon besar itu seperti berbisik di antara kegelapan. Aku mengusap tengkukku yang mendadak merinding, lalu duduk di bangku panjang bersama mereka.
"Eh, Ndi! Udah dapet berapa trip hari ini?" tanya Dedi, salah satu temanku.
"Baru beberapa, Ded," jawabku sambil mengeluarkan rokok dan menyalakannya. Asap rokok menghangatkan tenggorokanku, tapi tak cukup untuk mengusir perasaan aneh yang perlahan muncul di dalam diriku.
Pembicaraan kami malam itu tak jauh-jauh dari urusan kerjaan dan cerita-cerita lucu yang kadang juga diselingi cerita horor. Dedi dan beberapa teman lain sering bercerita tentang pengalaman mereka melihat sesuatu yang tidak wajar saat bekerja malam. Beberapa kali mereka mengaku melihat sosok-sosok menyeramkan di pinggir jalan, atau merasa diikuti oleh bayangan saat melintasi jalan-jalan sepi di tengah malam. "Ada yang pernah ngikutin gue dari belakang, Ndi. Gue lihat dari kaca spion, tapi pas gue nengok, kosong," cerita Dedi, membuat beberapa dari kami tertawa, tapi juga sedikit cemas.
"Aku sih nggak percaya sama begituan," jawabku mencoba santai, meskipun dalam hati aku tahu pengalaman aneh itu bukan hanya cerita kosong. Aku sendiri pernah merasakan hal-hal ganjil, tapi selalu berusaha mengabaikannya. Bagiku, hantu hanya akan muncul kalau kita terlalu memikirkannya.
Tiba-tiba, ponselku berdering, menggetarkan suasana sepi di sekitar kami. Notifikasi pesanan masuk. Aku segera membuka aplikasi dan melihat ada pesanan gosend, mengambil dan mengantar barang dari sebuah rumah di pinggiran kota menuju desa terpencil di ujung kota. Pesanannya tampak biasa saja, tapi alamat tujuannya membuatku sedikit merinding.
"Lo dapet orderan, Ndi?" tanya Joko yang duduk di sebelahku.
"Iya, ada orderan gosend. Barangnya harus dianter ke desa itu..." jawabku sambil menyebutkan nama desa yang terkenal angker. Wajah Dedi langsung berubah serius.
"Eh, hati-hati, Ndi. Itu desa terkenal angker loh. Banyak cerita soal penampakan di sana. Jalan menuju ke sana juga sepi banget, apalagi malem-malem begini," kata Dedi dengan nada serius.
Aku tertawa kecil, meskipun dalam hati mulai merasa cemas. "Ah, lo lebay aja, Ded. Udah biasa gue lewat jalan sepi. Lagian, gue nggak sendirian, kan? Ada motor gue," candaku, berusaha menyembunyikan kegelisahan.
Tapi kata-kata Dedi terngiang di telingaku. Desa yang disebutkannya memang sudah sering kudengar dari teman-teman sesama ojek. Jalan menuju desa itu melewati perkampungan yang sepi dan gelap, tanpa penerangan jalan. Dulu, sebelum aku bekerja sebagai ojek, aku pernah mendengar cerita soal kecelakaan yang menewaskan seorang wanita di sana. Wanita itu dikabarkan sering menampakkan diri pada pengendara yang melintas di malam hari, menunggu di pinggir jalan atau tiba-tiba muncul di tengah jalan dengan wajah penuh darah.
Aku mengabaikan cerita itu dan berpamitan pada teman-teman, lalu menyalakan motor dan melaju menuju lokasi pengambilan barang. Tapi perasaan ganjil mulai muncul saat aku meninggalkan pangkalan. Jalan yang kulewati mendadak terasa lebih gelap dari biasanya, meski tak ada lampu jalan yang padam. Suara mesin motorku terdengar lebih keras, seakan menggema di antara pepohonan di sekitar. Ada angin dingin yang tiba-tiba berhembus, menusuk hingga ke tulang. Aku menggigil dan menarik jaketku lebih erat.
Dalam perjalanan menuju rumah pengirim, aku merasa seperti ada yang memperhatikanku. Entah kenapa, mataku terus terpaku pada bayangan di kaca spion. Seperti ada sesuatu yang bergerak di belakangku, tapi setiap kali aku menoleh, tak ada apa-apa. Jalanan kosong, hanya suara angin yang sesekali berdesir dan dedaunan yang bergoyang. Namun, firasat buruk semakin menguat di dalam hatiku.
Setibanya di rumah pengirim, suasana kembali terasa aneh. Rumah itu tampak tua, terletak di ujung jalan yang jauh dari rumah-rumah lainnya. Pintu depannya berderit saat dibuka, dan dari dalam muncul seorang wanita tua, mengenakan pakaian lusuh yang tampak seperti sudah puluhan tahun tidak diganti. Ia menyodorkan sebuah paket kecil, matanya tajam menatapku dari balik keriput wajahnya. "Ini harus segera diantar, jangan terlambat," katanya dengan suara serak. Aku merasakan ada sesuatu yang aneh dari caranya menatapku, seolah ada rahasia gelap yang disembunyikannya di balik senyuman tipis itu.
Setelah mengambil paket, aku segera beranjak. Saat aku menoleh sekali lagi ke arah rumah itu, wanita tua itu sudah tak terlihat di depan pintu. Pintu rumahnya tertutup, dan suasana di sekitar rumah terasa semakin mencekam. Aku mempercepat laju motorku, berharap bisa segera menyelesaikan pengiriman ini. Namun, bayangan tentang cerita-cerita horor yang sering kudengar mulai menghantui pikiranku. Malam semakin larut, dan aku tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah.
Bab 3: Perjalanan Sepi dan Pertemuan dengan Sosok Kuntilanak
Jalanan malam itu begitu lengang, seolah-olah dunia tiba-tiba menjadi sunyi, hanya menyisakan suara deru mesin motorku yang melaju melintasi gelapnya malam. Sesekali suara angin berhembus di antara pepohonan, menghasilkan bunyi yang seperti bisikan halus—membuat bulu kudukku meremang tanpa sebab yang jelas. Suasana di jalan ini terasa begitu berbeda dari biasanya, lebih mencekam, lebih sunyi, seperti ada sesuatu yang tak kasat mata mengintai di balik bayang-bayang gelap.
Aku mencoba fokus, memegang stang motor dengan erat, mataku menatap lurus ke jalan yang semakin sepi. Jalan setapak yang kulewati ini adalah jalan yang sudah terkenal angker di kalangan pengendara malam. Sebelumnya, aku tak pernah mengambil pesanan yang menuju ke desa ini, tapi karena tekanan ekonomi, aku tak punya pilihan lain. Perjalanan ini harus kuselesaikan, meski jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
Hanya ada beberapa rumah di sepanjang jalan, dan itu pun jaraknya berjauhan. Lampu jalan? Lupakan. Penerangan di sini hanya mengandalkan lampu-lampu kecil dari rumah-rumah penduduk yang sesekali terlihat di kejauhan. Sisanya, kegelapan. Pohon-pohon besar di tepi jalan seakan menutup pandangan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak mengikuti angin. Suara jangkrik pun terdengar semakin keras, berpadu dengan hembusan angin dingin yang menusuk tulang.
Setiap kali aku melewati tikungan tajam atau jalan menurun, ada perasaan ganjil yang menyelinap di dalam diriku. Perasaan bahwa ada sesuatu yang memperhatikanku, dari kejauhan, dari balik pepohonan itu. Telingaku menangkap suara-suara aneh, seperti desahan atau bisikan yang sangat lembut, tetapi cukup untuk membuatku merinding.
Aku melirik ke kaca spion, memastikan tidak ada yang mengikutiku. Tapi saat mataku tertuju pada pantulan di kaca itu, jantungku hampir berhenti. Di sana, samar-samar, aku melihat bayangan putih, melayang di kejauhan. Itu hanya sekejap, sebelum akhirnya lenyap. Kutepis pikiran buruk yang mulai memenuhi kepalaku. "Mungkin hanya pantulan cahaya," bisikku dalam hati, berusaha meyakinkan diriku sendiri. Tapi semakin lama aku berkendara, semakin nyata perasaan itu—bahwa aku tidak sendirian di jalan ini.
Udara semakin dingin, anehnya, bahkan lebih dingin dari sebelumnya. Seolah-olah aku sedang menembus kabut es, padahal tidak ada kabut sama sekali. Motor yang kukendarai tiba-tiba terasa berat, seolah-olah ada beban tak terlihat yang menahan laju roda. Napasku semakin pendek, udara malam yang kusesap terasa pekat dan berat, seperti ada sesuatu yang salah.
Tiba-tiba, di kejauhan, aku melihat sesuatu yang membuatku ngeri. Di tengah jalan, berdiri seorang wanita dengan rambut panjang tergerai, mengenakan pakaian serba putih. Dia membelakangiku, tubuhnya kaku, diam tak bergerak, hanya rambut panjangnya yang tertiup angin malam. Jantungku berdegup kencang. Aku tak bisa menghentikan laju motorku secepat itu. Tapi yang membuatku semakin ngeri adalah, sosok itu tiba-tiba menghilang, seolah-olah ditelan kegelapan.
Aku mencoba mempercepat motor, berharap bisa segera melewati jalan angker ini dan sampai ke tempat tujuan. Tapi semakin cepat aku melaju, semakin jelas perasaan itu—perasaan bahwa aku sedang diikuti. Tiba-tiba, dari sudut mataku, aku melihatnya lagi. Sosok wanita berambut panjang itu muncul lagi, kali ini lebih dekat, hanya beberapa meter di depanku. Tubuhnya tetap tak bergerak, dan wajahnya masih tak bisa kulihat dengan jelas. Tapi aku tahu, ini bukan manusia biasa.
Jantungku berdegup kencang, dan aku mulai panik. “Astaga, jangan sampai ini benar-benar terjadi,” pikirku. Aku mencoba mempercepat motor, memutar gas sekencang mungkin, berharap bisa meninggalkan sosok itu jauh di belakang. Tapi saat aku melaju melewatinya, angin dingin berhembus dengan kuat, dan aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh punggungku, seolah-olah ada tangan tak terlihat yang mencoba meraihku.
Tiba-tiba, suara tangis samar terdengar dari belakangku. Suara itu begitu pelan, seperti desahan, tapi cukup jelas untuk membuat bulu kudukku berdiri. Aku menoleh seketika, dan mataku terbelalak saat melihat sesuatu yang tak seharusnya ada. Di kaca spion, tepat di belakangku, ada sosok wanita dengan wajah pucat pasi, mulutnya terbuka, menangis tanpa suara. Rambutnya yang panjang menjuntai menutupi sebagian wajahnya, tapi tatapan matanya yang kosong langsung membuat jantungku nyaris berhenti.
Kuntilanak. Sosok yang sering hanya kudengar dari cerita-cerita horor, kini ada tepat di belakangku, mengikutiku, seolah-olah dia tak akan pernah melepaskanku.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak panik, tapi tubuhku mulai gemetar. Tangan yang memegang stang motor mulai terasa dingin dan basah oleh keringat. Suara tangis itu semakin keras, seperti menggema di telingaku. Aku mencoba untuk tidak menoleh lagi, fokus ke jalan di depanku, tapi itu tak mudah. Perasaan takut yang mencekam terus menggerogoti setiap saraf di tubuhku.
Seketika itu juga, lampu motor redup. Hanya sisa cahaya lemah yang tersisa, cukup untuk menerangi beberapa meter ke depan. Aku semakin panik. Jika lampu motor mati total di tempat sepi seperti ini, aku tak tahu apa yang akan terjadi. Dalam ketakutan, aku terus memacu motor sekuat tenaga, berharap sosok itu akan lenyap. Tapi perasaanku tak bisa dibohongi—sosok itu masih ada di belakangku, mengikuti setiap gerakanku dengan tatapan matanya yang mengerikan.
Tiba-tiba, motorku seperti tersendat. Aku merasakan roda belakangku terangkat sedikit, seolah-olah ada sesuatu yang menariknya. Jantungku berdebar semakin kencang. Aku berusaha keras menyeimbangkan motor, tapi sesuatu yang tak kasat mata tampaknya mencoba menghentikanku. Aku bisa merasakan udara semakin dingin di sekelilingku, seperti berada di dalam freezer. Suara tangisan itu semakin keras, seakan sosok di belakangku semakin dekat, dan rasa dingin semakin menjalar di seluruh tubuhku.
Aku tak bisa menahan ketakutan ini lebih lama. Dengan nekat, aku membelokkan motor ke sisi jalan, mencoba meloloskan diri dari sesuatu yang tampak terus mengikutiku. Aku berharap dengan mengubah arah, aku bisa menghilangkan bayangan sosok itu. Namun, yang kutemui justru lebih menakutkan.
Di tikungan jalan, tepat di depan pohon besar yang menjulang tinggi, sosok itu muncul lagi. Kali ini, dia berdiri tegak menghadapku, memperlihatkan wajahnya yang rusak dan menyeramkan. Mata hitamnya menatapku tajam, mulutnya yang penuh darah tersenyum lebar, dan dari tenggorokannya keluar suara tawa kecil yang mengerikan. Kuntilanak itu tak lagi hanya berdiri di kejauhan—dia sekarang ada tepat di depanku, menghalangi jalanku, siap menerkam kapan saja.
Aku tak punya pilihan. Dengan tangan gemetar dan keringat dingin mengucur deras, aku menarik gas motorku sekencang mungkin, berharap bisa melarikan diri dari teror ini. Tapi dalam hati, aku tahu, kuntilanak ini tidak akan mudah membiarkanku pergi. Suara tawa kecilnya terus menggema di telingaku, seolah-olah dia menikmati rasa takut yang kini menguasai diriku sepenuhnya.
Bab 4: Teror Kuntilanak yang Tak Terhindarkan
Aku tak bisa berhenti mengingat sosok itu—wajahnya yang mengerikan, tawa kecilnya yang menggema di telingaku, dan mata hitamnya yang seperti menusuk masuk ke dalam jiwaku. Meskipun aku telah berusaha untuk memacu motor secepat mungkin, rasanya bayangan gelap yang menghantui pikiranku tak bisa pergi begitu saja. Kuntilanak itu bukan sekadar penampakan biasa. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar makhluk halus yang menghuni jalan-jalan angker—dia sepertinya ingin sesuatu dariku, sesuatu yang takkan bisa kuberikan.
Jalanan di depanku masih gelap, hanya disinari oleh lampu motor yang kini tampak redup dan hampir padam sepenuhnya. Setiap deru mesin motor, setiap desiran angin malam yang menyentuh kulitku, terasa seperti bisikan maut yang mengingatkanku bahwa aku sedang diincar oleh sesuatu yang tak bisa kutangani. Motorku bergetar pelan, seperti sudah kelelahan setelah perjalanan yang panjang dan penuh ketegangan.
Namun, ketakutanku belum berakhir. Sebenarnya, teror baru saja dimulai.
Saat aku mulai merasa sedikit lega karena jalanan mulai datar dan tak ada tikungan tajam lagi, tiba-tiba suhu udara di sekelilingku terasa semakin dingin. Ini bukan lagi sekadar hawa malam yang biasa. Rasanya seperti aku sedang berada di dalam ruangan freezer yang membeku, tetapi anehnya, tidak ada embun di udara, hanya rasa dingin yang menusuk tulang. Napasku mulai berat, setiap kali aku menghirup udara, paru-paruku terasa seperti diisi es.
Telingaku menangkap suara samar di balik suara mesin motorku yang meraung-raung. Awalnya aku pikir hanya suara angin atau dedaunan yang bergesekan, tapi lama-kelamaan suara itu semakin jelas. Terdengar seperti suara tawa lirih, suara perempuan yang tertawa pelan, namun di dalam nada tawanya terkandung kebencian dan kesedihan yang mendalam. Suara itu membuat darahku membeku. Aku tahu suara itu. Itu adalah suara kuntilanak yang tadi kulihat di tengah jalan.
Mataku melirik ke kaca spion, berharap tidak melihat apa-apa, namun apa yang kulihat membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Di sana, tepat di belakangku, ada bayangan putih yang melayang-layang dengan rambut panjang tergerai. Wajahnya tak terlihat jelas karena rambutnya menutupi sebagian besar wajahnya, tapi aku bisa melihat mata hitamnya bersinar tajam di balik rambut kusut itu. Bayangan itu semakin dekat, semakin jelas, dan yang paling mengerikan, dia melayang mengikuti laju motorku, seakan-akan kecepatan motorku tak ada artinya bagi makhluk ini.
"Astagfirullah…" desisku, hampir tak sadar. Tubuhku bergetar hebat, tanganku yang memegang stang motor mulai kehilangan kontrol. Aku tak pernah berdoa sekeras ini sebelumnya. Seumur hidup, aku tidak pernah merasa seputus asa ini. Apa pun itu, aku hanya ingin lepas dari teror ini.
Aku coba memacu motor lebih cepat, tapi seberapa pun cepat aku pergi, suara tawa itu masih mengikutiku. Kegilaan mulai merambat dalam pikiranku. Apa ini mimpi? Apakah aku sudah mati? Rasa panik mulai menguasai pikiranku sepenuhnya. Suara tawa kuntilanak itu semakin keras, semakin jelas, hingga suara angin dan motor seperti tertelan oleh suara menyeramkan itu. Aku merasa seperti dikelilingi oleh kegelapan. Dunia di sekitarku seolah lenyap, hanya menyisakan aku, motorku, dan sosok kuntilanak itu.
Tiba-tiba, motorku tersentak. Aku hampir jatuh dari motor saat tiba-tiba mesin motorku mati mendadak. Semua terasa salah. Tidak mungkin ini terjadi—tidak sekarang! Aku berkali-kali mencoba menghidupkan mesin motor, tapi percuma. Suara mesin hanya terdengar seperti rintihan, seperti sedang sekarat. Di tengah kepanikan, aku mendengar sesuatu yang lebih jelas dari sebelumnya—suara isakan. Bukan tawa lagi, tapi suara tangis perempuan. Tangis itu seperti memanggil, mengundangku untuk mendekat. Itu suara yang begitu putus asa, seperti memohon pertolongan, tapi aku tahu lebih baik daripada itu. Ini bukan suara manusia. Ini suara makhluk yang ingin menyeretku ke dalam kegelapan abadi.
Aku mencoba menoleh, dengan harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, sosok itu sudah pergi. Tapi apa yang kulihat membuat tubuhku nyaris lumpuh. Kuntilanak itu kini berdiri di belakangku, lebih dekat dari sebelumnya. Tubuhnya yang putih pucat melayang beberapa sentimeter di atas tanah, tangannya yang kurus dan pucat menjulur ke depan, seolah-olah ingin meraihku. Wajahnya kini terlihat jelas di bawah sinar bulan yang redup—wajah itu rusak parah, dengan mata hitam yang cekung dan mulut yang lebar menyeringai. Darah mengalir dari sudut bibirnya, menetes ke bawah, seolah-olah baru saja memakan sesuatu yang mengerikan.
Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Tubuhku membeku, tak mampu bergerak. Sosok itu semakin mendekat, tangannya kini hampir menyentuh punggungku. Aku bisa merasakan napas dinginnya di tengkukku, seperti kabut es yang merayap naik di kulitku. Dalam kepanikan, aku berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkan motor lagi. Tangan gemetar saat memutar kunci kontak. Mesinnya berderak, batuk, lalu… hidup kembali. Tanpa berpikir panjang, aku segera menarik gas sekuat tenaga, meninggalkan sosok itu di belakang.
Namun, baru beberapa meter aku melaju, suara tangisan itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, seperti berasal dari segala arah. Aku menoleh cepat, dan kali ini, kuntilanak itu melayang di sisi kiriku, seakan-akan melayang sejajar dengan motorku. Matanya yang kosong menatap lurus ke arahku, senyum lebar penuh darah itu tak pernah pudar. Tangan kurusnya mencoba meraih kepalaku, seolah ingin menarikku keluar dari tubuhku sendiri.
"Aku nggak kuat...!" aku berteriak, panik.
Aku menunduk, berusaha tidak melihat sosok itu lagi, mencoba fokus pada jalan di depan, tapi tawa lirihnya terus menggema, seperti membisikkan sesuatu di telingaku. "Kau tak bisa lari..." bisik suara itu, lembut tapi penuh ancaman.
Jalan yang kutempuh semakin gelap, semakin sepi, dan tiba-tiba, aku merasa ada yang berat di punggungku. Perasaan seperti ada seseorang yang duduk di belakangku, berat sekali, seperti menindihku. Aku tahu, aku tak boleh menoleh. Aku tak boleh melihat ke belakang. Tapi beban di punggung itu semakin nyata, seolah-olah ada sesuatu yang menumpang di motorku sekarang. Dengan tangan gemetar, aku berusaha mempertahankan laju motor, tapi perasaan itu terus menghantui, dan akhirnya aku menyerah pada rasa penasaran yang begitu kuat.
Aku menoleh sedikit, hanya untuk memastikan.
Dan di sana, tepat di belakangku, duduklah kuntilanak itu. Dia sekarang benar-benar menempel di punggungku, rambutnya yang panjang terurai hingga hampir menyentuh roda belakang motor. Tangannya melingkari pinggangku dengan erat, wajah pucatnya yang rusak dan penuh darah menyeringai lebar di dekat telingaku, seakan-akan dia sedang menikmati teror yang dirasakanku.
Aku ingin berteriak, tapi suaraku hilang entah ke mana. Aku hanya bisa menatap jalan di depan, sementara kuntilanak itu terus menempel di punggungku, membisikkan sesuatu yang tak bisa kumengerti, namun penuh dengan ancaman. Setiap kali dia tertawa atau menangis, aku merasa darahku mengalir lebih cepat, jantungku berdetak begitu keras hingga kurasa bisa meledak kapan saja.
Dengan napas tersengal-sengal, aku mencoba yang terakhir kalinya. Aku menarik gas motor sekuat mungkin, berusaha meninggalkan sosok mengerikan itu. Dan tiba-tiba, jalan di depanku berubah. Ada cahaya! Lampu jalan mulai terlihat lagi, rumah-rumah penduduk mulai muncul di kejauhan, dan perasaan lega itu mulai hadir di dalam dadaku. Tapi ketika aku menoleh ke belakang untuk memastikan, sosok itu sudah tak ada lagi.
Kuntilanak itu menghilang—tapi aku tahu, aku takkan pernah melupakan teror yang baru saja kualami.
Bab 5: Trauma yang Tak Terlupakan
Aku masih bisa mendengar suara mesin motor yang meraung-raung, tapi entah bagaimana rasanya kini terasa seperti suara yang jauh, tak nyata. Malam itu, meskipun akhirnya aku berhasil keluar dari jalan angker dan terhindar dari teror kuntilanak, bayangannya masih terus melekat di benakku. Setiap kali aku mencoba mengingat kembali sosok itu, wajahnya yang rusak dan senyumnya yang penuh darah selalu kembali menghantui pikiranku, membuatku merinding meskipun aku sudah jauh dari tempat kejadian.
Setelah mengantarkan paket ke alamat tujuan, tanganku masih gemetar ketika menyerahkan barang kepada penerima. Si penerima, seorang pria tua dengan senyum lebar, menatapku sejenak dengan tatapan bingung. “Mas nggak apa-apa? Kelihatan pucat begitu,” tanyanya. Aku hanya mengangguk lemah, tak mampu berbicara, tak ingin menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Bahkan jika aku menceritakannya, siapa yang akan percaya? Aku hanya seorang tukang ojek online yang bekerja sampai larut malam untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Apa alasanku untuk mendramatisir kejadian itu?
Setelah menyelesaikan transaksi, aku langsung memacu motorku kembali, mencoba menjauh sejauh mungkin dari tempat itu. Sepanjang perjalanan pulang, meski aku sudah berada di jalanan yang lebih ramai dan diterangi lampu-lampu jalan, aku merasa ada yang mengawasiku. Seolah-olah bayangan dari dunia gelap tadi masih mengikuti langkahku. Setiap lampu yang berkedip, setiap hembusan angin dingin yang tiba-tiba menerpa wajahku, membuatku teringat akan napas dingin kuntilanak itu di tengkukku.
Aku terus mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya sudah berakhir, bahwa yang tadi hanyalah bayangan, ilusi, atau akibat kelelahan bekerja sepanjang hari. Tapi suara tawa kecil itu... suara lirih yang menggema dalam pikiranku... terus saja berbisik, “Kau tak bisa lari... Kau tak bisa lari...”
Sesampainya di rumah, malam sudah terlalu larut. Aku memarkir motor di halaman rumah dengan tangan yang masih bergetar, bahkan saat menarik kunci kontak keluar, aku hampir menjatuhkannya. Aku menatap ke sekeliling, mencoba meyakinkan diri bahwa aku sudah aman. Namun, bayangan dari peristiwa tadi terus bermain di benakku. Aku merasa ada yang tak beres. Meskipun rumahku ada di tengah perkampungan yang cukup ramai, keheningan malam ini terasa berbeda, mencekam. Aku bisa mendengar suara jangkrik dan sesekali anjing tetangga menggonggong, tapi semuanya terdengar begitu jauh, seperti suara-suara dari dunia lain.
Aku membuka pintu rumah dengan perlahan, berharap istriku dan anak-anak sudah tidur. Tubuhku terasa lelah, bukan hanya karena perjalanan panjang, tetapi juga karena teror yang baru saja kualami. Tapi begitu aku melangkah masuk, hawa dingin yang aneh menyambutku. Udara di dalam rumah terasa begitu dingin, lebih dingin daripada malam-malam sebelumnya. Suasana yang biasanya terasa nyaman kini berubah. Seolah-olah rumahku sendiri menolak kehadiranku, atau lebih buruk lagi, ada sesuatu di dalamnya yang sedang menunggu.
Aku berusaha mengesampingkan perasaan itu, meyakinkan diriku bahwa semuanya hanya imajinasiku. Tapi saat aku melewati ruang tamu menuju kamar, aku merasakan sesuatu yang mengerikan. Bayangan di sudut-sudut ruangan tampak bergerak. Mataku menangkap sesuatu yang aneh—seperti ada sosok hitam berdiri di dekat jendela, memandangi ke arahku. Aku berhenti, menatap bayangan itu dengan tajam, berharap itu hanya permainan cahaya. Namun, ketika aku mencoba mendekat, bayangan itu perlahan menghilang, seolah-olah mencair ke dalam kegelapan. Aku tahu aku tidak sendirian.
Aku segera masuk ke kamar, berharap dapat mengabaikan segala rasa takut yang menyelimuti pikiranku. Istriku tertidur di samping anak-anak yang tampak lelap di kasurnya. Pemandangan ini biasanya memberiku ketenangan, tetapi tidak malam ini. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengintai kami semua dari kegelapan.
Dengan hati-hati, aku berbaring di samping mereka. Tapi mataku tidak bisa terpejam. Setiap kali aku menutup mata, bayangan wajah kuntilanak itu kembali muncul. Matanya yang kosong, mulutnya yang lebar penuh darah, dan tawa kecilnya yang memekakkan telinga. Aku bergidik, mencoba menahan rasa takut yang terus merayap naik. Tidur terasa mustahil.
Waktu berlalu, dan entah kapan aku akhirnya tertidur, tapi mimpi buruk segera menyergapku. Dalam mimpiku, aku kembali berada di jalan angker itu, sendirian, dengan motor yang mati mendadak. Sekali lagi, kuntilanak itu muncul, kali ini lebih dekat, merangkak mendekatiku dengan tangan panjangnya yang kurus. Dia memanggil namaku, suaranya berbisik lembut, namun mematikan. Aku mencoba berteriak, tapi suaraku hilang, tenggelam dalam kegelapan.
Ketika aku terbangun, aku langsung terengah-engah. Keringat dingin membasahi tubuhku, meskipun udara di dalam kamar terasa semakin dingin. Jantungku berdetak begitu kencang hingga terasa menyakitkan. Aku duduk tegak di tempat tidur, menoleh ke arah jendela yang sedikit terbuka. Angin malam yang dingin berhembus masuk, tapi itu bukan hal yang membuatku waspada.
Di luar jendela, tepat di halaman rumah, aku melihat sesuatu. Sosok putih itu berdiri lagi. Kuntilanak itu. Rambutnya yang panjang berantakan melayang di udara, dan mata hitamnya menatap lurus ke arahku. Wajahnya pucat pasi dengan senyum penuh darah yang mengerikan. Dia tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri di sana, tapi tatapannya menusuk, membuatku merasa seperti sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan. Dia sudah mengikutiku sampai ke rumah...
Dengan tangan gemetar, aku segera menutup jendela dan menurunkan tirai, berharap itu bisa menyingkirkan bayangannya. Tapi aku tahu, ini bukan hanya sekadar bayangan. Kuntilanak itu telah menanamkan dirinya dalam pikiranku, dalam hidupku. Tak peduli seberapa jauh aku berlari, dia akan selalu ada, mengintai, menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi.
Malam itu, aku tak bisa tidur lagi. Setiap suara kecil membuatku terlonjak, setiap bayangan di ruangan membuat jantungku berdebar kencang. Rasanya seperti kuntilanak itu tak pernah benar-benar pergi, hanya menunggu di sudut gelap untuk kembali. Aku mencoba memejamkan mata, tapi teror itu terlalu nyata.
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku tak lagi berani mengambil pesanan di malam hari. Setiap kali malam tiba, aku mulai merasa waswas, seolah-olah kuntilanak itu akan muncul lagi. Aku merasa terjebak dalam trauma yang tak berkesudahan. Bahkan ketika siang hari tiba, aku tak bisa melupakan peristiwa itu. Sosok putih itu terus menghantuiku di setiap sudut pandanganku, bahkan dalam pikiran dan mimpiku.
Anak-anak dan istriku mulai khawatir melihat perubahan pada diriku. Mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan aku pun tak berani menceritakannya. Aku tak ingin membuat mereka takut, tapi di dalam diriku, aku tahu bahwa apa yang kualami lebih dari sekadar kejadian biasa. Ini bukan hanya mimpi buruk yang bisa berlalu begitu saja.
Dan di setiap malam, saat aku duduk di ruang tamu dengan jendela tertutup rapat, aku selalu merasa ada sesuatu yang mengintip dari balik tirai. Sesuatu yang tak terlihat tapi nyata. Aku tak pernah menyingkap tirai itu lagi, tak peduli seberapa penasaran atau ketakutan yang menghantuiku. Sebab aku tahu, di luar sana, di antara bayang-bayang malam, kuntilanak itu masih menunggu, menatapku dengan senyum mengerikan yang takkan pernah kulupakan.
Aku selamat malam itu, tapi teror itu telah meninggalkan bekas yang mendalam di jiwaku. Trauma ini seperti bayangan yang tak bisa kuhindari, selalu mengikuti setiap langkahku. Dan setiap kali aku melihat jalanan sepi di malam hari, bayangan kuntilanak itu kembali muncul di benakku, mengingatkanku bahwa aku tak akan pernah benar-benar bisa lari dari terornya.
-TAMAT-
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
.png)
Komentar
Posting Komentar