Cerita Horor #13 MALAM PENTAS SENI YANG HOROR
MALAM PENTAS SENI YANG HOROR
Di Desa Sukawani, malam tirakatan menyambut Hari Kemerdekaan selalu menjadi momen yang dinanti-nanti. Sejak pagi hari, seluruh warga desa, dari anak-anak hingga orang tua, bergotong royong menyiapkan segala hal untuk perayaan tersebut.Tenda-tenda dipasang di lapangan utama desa, bendera merah putih berkibar dengan gagah di setiap sudut, dan panggung sederhana dihiasi dengan kain merah putih serta lampu-lampu kecil yang berkedip-kedip.
“Kita harus pastikan semua siap sebelum malam tiba,” ujar Pak Lurah Rahmat, seorang pria paruh baya yang terkenal bijaksana dan dihormati oleh seluruh warga. “Ini adalah hari yang sangat penting bagi kita semua.”
“Iya, Pak Lurah. Anak-anak muda sudah siap dengan penampilan mereka,” jawab Bu Yanti, ketua kelompok ibu-ibu desa yang bertanggung jawab atas dekorasi panggung. “Mereka bahkan berlatih sampai larut malam kemarin.”
Suara anak-anak yang berlarian dan tawa riang ibu-ibu yang sibuk dengan persiapan terdengar di mana-mana. Aroma makanan khas desa, seperti nasi tumpeng dan aneka jajanan pasar, mulai menggoda dari dapur umum yang didirikan di dekat panggung.
Malam itu, warga desa akan berkumpul untuk melakukan tirakatan, sebuah tradisi untuk merenungkan perjuangan para pahlawan dan berdoa untuk kesejahteraan bangsa.
Setelah itu, acara akan dilanjutkan dengan pentas seni di mana
setiap kelompok warga akan menampilkan hiburan yang sudah mereka
persiapkan sejak lama.
Di sisi lain lapangan, kelompok pemuda desa tengah berkumpul membahas penampilan mereka yang paling dinantikan.
Mereka adalah kelompok yang akan mempersembahkan sebuah drama horor yang mengangkat tema hantu-hantu lokal. Di antara mereka, ada Dimas, pemuda yang dikenal berani dan menjadi sutradara drama tersebut.
“Kita harus tampil total malam ini,” kata Dimas sambil mengecek kostum pocong yang akan dipakai salah satu temannya. “Orang-orang pasti akan terkejut dan tertawa melihat kita memparodikan hantu-hantu ini.”
“Iya, Mas Dimas. Aku yakin, kita bakal bikin semua orang terhibur,” balas Toni, salah satu anggota kelompok yang bertugas menjadi kuntilanak. Dia tertawa sambil memegang rambut palsu panjang yang akan dipakainya nanti.
Malam semakin larut, dan suasana desa mulai berubah. Angin dingin yang bertiup dari arah hutan membuat beberapa orang merapatkan jaket atau selendang mereka. Kabut tipis turun perlahan, menyelimuti desa dalam keheningan yang aneh.
Namun, semua itu tidak mengurangi semangat para warga. Mereka justru semakin bersemangat, yakin bahwa malam ini akan menjadi malam yang tidak terlupakan.
“Pak Lurah, apakah tidak apa-apa kita tetap melanjutkan acara
ini? Kabutnya semakin tebal,” tanya seorang warga yang merasa sedikit
cemas.
“Tidak usah khawatir. Ini hanya kabut biasa.
Lagipula, kita sudah mempersiapkan semuanya dengan baik. Tidak ada alasan untuk membatalkannya,” jawab Pak Lurah dengan senyum tenang.
Di tengah keramaian persiapan, tiba-tiba terdengar suara dari
salah satu sudut lapangan. Seorang nenek tua, yang dikenal sebagai Mbah
Sri, datang menghampiri kelompok ibu-ibu yang sedang menyiapkan makanan.
“Apa yang kau lihat, Mbah?” tanya Bu Yanti, sedikit penasaran.
Mbah Sri hanya terdiam sejenak, matanya menatap jauh ke arah panggung yang sudah dihias dengan meriah. “Hati-hati dengan apa yang akan kalian lakukan malam ini,” katanya perlahan. “Tidak semua yang kalian panggil akan pergi dengan damai.”
Suasana mendadak hening. Mbah Sri memang dikenal memiliki indera keenam, dan kata-katanya sering dianggap sebagai peringatan oleh warga desa. Namun, Bu Yanti mencoba mencairkan suasana.
“Mbah, jangan bikin kami takut begitu. Ini hanya pentas seni biasa. Anak-anak muda itu hanya mau bersenang-senang,” ujar Bu Yanti dengan senyum, meski hatinya sedikit merasa tak nyaman.
“Semoga saja begitu, Yanti. Semoga saja begitu,” jawab Mbah Sri, sebelum perlahan berjalan meninggalkan mereka.
Malam pun tiba, dan warga mulai berdatangan ke lapangan. Anak-anak duduk
di barisan depan, sementara orang dewasa duduk di bangku-bangku yang
sudah disediakan.
Lampu-lampu mulai dinyalakan, memberikan cahaya hangat di tengah
dinginnya malam. Panggung utama kini tampak bersinar di bawah sorotan
lampu, siap untuk menyajikan berbagai penampilan.
Pak Lurah naik ke atas panggung, memulai acara dengan kata sambutan dan doa bersama.
Setelah itu, satu per satu penampilan mulai dipersembahkan. Ada yang menari, menyanyi lagu-lagu perjuangan, hingga membaca puisi.
“Kita sudah hampir sampai di penampilan utama, semua siap-siap!”
teriak Dimas dari balik panggung, menyemangati teman-temannya yang
mulai merasa gugup.
Ketika giliran kelompok pemuda tampil, seluruh warga desa sudah bersiap di tempat mereka masing-masing.
Malam tirakatan itu, yang awalnya penuh dengan keceriaan dan rasa syukur, akan segera berubah menjadi malam yang dipenuhi dengan ketakutan yang tak terlupakan.
Malam semakin larut, dan giliran kelompok pemuda Desa Sukawani untuk menampilkan drama horor yang sudah mereka persiapkan selama berminggu-minggu pun tiba. Penonton, yang sebagian besar adalah warga desa, sudah tidak sabar menunggu aksi mereka.
Sorakan dan tepuk tangan menggema ketika Pak Lurah mengumumkan
bahwa penampilan berikutnya adalah drama yang berjudul “Malam di Alam
Gaib.”
“Siap-siap, teman-teman! Ini momen kita,” bisik Dimas penuh semangat di balik panggung.
“Jangan sampai kita salah naskah, ya!” ujar Siti, satu-satunya perempuan di kelompok itu yang akan memerankan karakter Wewe Gombel.
“Aku rasa tidak bakal ada yang sadar kalau kita salah naskah.
Orang-orang pasti terlalu sibuk ketakutan atau tertawa,” celetuk Toni
sambil mengenakan rambut palsunya yang panjang.
Semua anggota kelompok sudah mengenakan kostum mereka.Dimas menjadi pocong, tubuhnya dibalut kain kafan yang sudah
diberi noda merah agar terlihat lebih menyeramkan. Toni, dengan rambut
panjang dan baju putihnya, siap beraksi sebagai kuntilanak. Siti, dengan
riasan wajah yang menyeramkan, tampak siap memerankan Wewe Gombel.
Ada juga Wawan yang memerankan genderuwo, tubuhnya yang besar dan tinggi sangat mendukung peran tersebut.
“Tenang saja. Kita sudah berlatih keras. Mereka pasti suka dengan
penampilan kita,” kata Dimas, mencoba menenangkan anggota kelompoknya
yang tampak sedikit gugup.
Saat lampu panggung redup, dan suara angin mendesir melalui speaker untuk menciptakan suasana horor, penonton pun mulai terdiam. Mereka menunggu dengan antusias, beberapa anak kecil bahkan bersembunyi di balik punggung orang tua mereka.
“Mulai sekarang, kita semua harus dalam karakter kita, ya!” kata Dimas sebelum melangkah ke atas panggung.
Adegan pertama dimulai dengan keheningan yang mencekam. Di tengah
kegelapan, muncul sosok pocong yang diperankan oleh Dimas,
melompat-lompat di sekitar panggung.
Penonton mulai berteriak kaget, tapi segera tertawa ketika Dimas mulai melakukan gerakan-gerakan kocak yang tidak sesuai dengan karakter hantu tersebut.
“Hantu apaan itu, loncat-loncat kayak kangguru!” teriak seorang penonton sambil tertawa terbahak-bahak.
Toni, yang memerankan kuntilanak, muncul dari balik layar dengan tertawa
mengikik, mencoba menakuti penonton dengan gerakan-gerakan menyeramkan.
Namun, ia tiba-tiba berhenti dan berkata dengan nada yang
dibuat-buat, “Aduh, rambutku kusut nih! Ada yang punya sisir tidak?”
Penonton kembali tertawa, kali ini lebih keras. Beberapa bahkan mulai menyoraki mereka dengan kata-kata semangat.
Siti, yang memerankan Wewe Gombel, muncul dengan gerakan lambat dan menyeramkan. Ia menggeram pelan, memperlihatkan taring palsunya kepada penonton. “Kalian semua anak-anak nakal! Aku Wewe Gombel akan mengambil kalian!” katanya dengan suara serak.
“Tapi jangan bawa anak-anak beneran, Mbak Wewe!” teriak seorang
ibu dari bangku penonton, diikuti gelak tawa dari sekitarnya.
Adegan demi adegan berlangsung, dengan kelompok pemuda itu memparodikan
setiap hantu lokal dengan gaya yang kocak dan penuh humor.
Penonton terus tertawa, dan suasana semakin meriah. Namun, di
balik layar, beberapa anggota kelompok mulai merasa ada yang tidak
beres.
“Eh, Dimas,” bisik Wawan, yang berdiri di sudut panggung, menunggu gilirannya. “Kamu merasa tidak sih, ada yang aneh malam ini?”
“Aneh gimana?” jawab Dimas, masih dalam karakter pocongnya.
“Tidak tahu deh, tapi dari tadi perasaanku tidak enak. Kayak ada yang
ngikutin kita,” kata Wawan sambil melirik ke arah belakang panggung,
seolah mencari sesuatu di balik bayangan.“Udah, jangan mikir yang aneh-aneh. Fokus aja ke pertunjukan.
Ini kan cuma buat seru-seruan,” jawab Dimas, meski dalam hati ia juga
merasa sedikit cemas.
Mereka melanjutkan pertunjukan, dan sampai pada adegan puncak, di mana semua hantu berkumpul di tengah panggung untuk menakuti seorang tokoh yang diperankan oleh Toni. Saat mereka semua sudah berkumpul, tiba-tiba suasana di lapangan desa berubah.
Angin dingin berhembus lebih kencang, membuat dedaunan di
sekitar panggung berbisik-bisik seperti suara lirih yang tak jelas.
“Eh, kalian lihat itu tidak?” tanya Siti pelan, matanya melebar melihat ke arah sudut panggung.
“Apa?” jawab Toni yang sedang mencoba mengikuti dialognya.
“Itu... di sana, pojok panggung,” kata Siti dengan suara
gemetar. “Kok ada pocong lagi? Bukannya cuma Dimas yang jadi pocong?”
Mata semua anggota kelompok kini tertuju ke arah yang ditunjuk Siti. Di
sudut panggung, di balik cahaya temaram, terlihat sesosok pocong lain.
Penampilannya berbeda dari kostum Dimas. Wajahnya pucat dengan mata yang terbuka lebar tanpa ekspresi, dan kain kafannya kotor, berwarna kekuningan dengan bercak-bercak merah yang terlihat nyata.
“Siapa lagi yang pakai kostum pocong?” bisik Dimas, kini mulai merasa bulu kuduknya berdiri. “Kita tidak ada yang tambahan, kan?”
Wawan, yang seharusnya segera maju ke depan untuk mengambil peran genderuwonya, justru terdiam di tempatnya berdiri, pandangannya terkunci pada sosok itu. “Itu bukan kita... Itu bukan bagian dari pertunjukan,” katanya pelan, suaranya serak karena ketakutan.
Sementara itu, penonton mulai menyadari ada yang aneh. Beberapa orang yang duduk di barisan depan mulai berbisik-bisik, melihat ke arah panggung dengan tatapan bingung. Penonton yang sebelumnya tertawa, kini mulai diam. Suasana yang tadinya riuh rendah, tiba-tiba menjadi sunyi.
“Eh, Mas Lurah... itu siapa yang pakai kostum pocong tambahan?” tanya seorang penonton, mencoba mencari tahu.
Pak Lurah, yang duduk di barisan depan, juga mulai merasa ada yang
salah. “Saya tidak tahu. Bukannya cuma ada satu pocong di naskah
mereka?” jawabnya, kebingungan.
“Kayaknya bukan salah satu dari mereka,” ujar Bu Yanti yang duduk di sebelahnya, menahan napas.
Panggung yang tadinya penuh dengan suara dan tawa, kini terasa begitu
sunyi. Hanya ada satu suara yang terdengar, suara kain pocong yang
menyeret di atas panggung.
Sosok pocong itu mulai bergerak mendekati para pemain, membuat mereka mundur perlahan.
“Turun! Turun dari panggung!” bisik Dimas panik, sambil mencoba menahan temannya agar tidak lari.
“Ayo cepat! Kita turun!” kata Wawan yang tak tahan lagi.
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, sosok pocong itu tiba-tiba berhenti di tengah panggung, tepat di depan mereka. Matanya yang kosong menatap langsung ke arah penonton, dan tiba-tiba terdengar suara tawa lirih yang menyeramkan, seperti berasal dari dalam tanah.
Penonton mulai panik, beberapa orang mulai berdiri dan mundur,
sementara yang lain masih terpaku di tempat mereka, tidak percaya dengan
apa yang mereka lihat.
“Lari!” teriak salah satu penonton, dan tiba-tiba suasana menjadi kacau.
Orang-orang mulai berdesakan untuk menjauh dari panggung,
sementara para pemuda yang sedang tampil pun berusaha keluar secepat
mungkin.
Namun, ketika Dimas mencoba melangkah mundur, kakinya tersangkut di kain kafan yang dikenakannya.
Ia terjatuh ke lantai panggung, dan saat itulah pocong misterius
itu menunduk, menatap Dimas dengan pandangan kosong dan dingin.
“A... apa yang kau inginkan?” tanya Dimas dengan suara bergetar, namun sosok pocong itu hanya diam, tanpa ekspresi.
Sebelum Dimas sempat bereaksi lebih jauh, sosok pocong itu menghilang begitu saja, seolah tertelan oleh bayangan panggung. Lampu-lampu panggung mendadak padam, menyisakan kegelapan yang pekat dan hanya terdengar suara angin yang dingin berhembus.
Malam itu, yang awalnya dipenuhi dengan canda tawa, berubah menjadi malam yang akan selalu diingat oleh warga Desa Sukawani dengan perasaan takut yang tak terlupakan.Suasana di lapangan Desa Sukawani berubah drastis setelah penampakan pocong misterius itu. Kegelapan menyelimuti desa ketika lampu-lampu panggung tiba-tiba padam, menyisakan hanya suara angin yang mendesir dan gemerisik dedaunan yang tersapu oleh angin malam.
Di tengah kegelapan itu, para penonton yang sebelumnya tertawa kini terdiam dalam ketakutan. Suasana yang awalnya penuh keceriaan kini dipenuhi dengan kecemasan dan ketidakpastian.
“Kenapa tiba-tiba mati lampu?!” seru Toni panik sambil mencoba
meraba-raba di kegelapan, mencari jalan keluar dari panggung.
“Sabar, sabar! Jangan panik! Mungkin cuma korsleting,” kata Dimas
mencoba menenangkan, meski dalam hatinya ia pun diliputi kecemasan.
“Cuma korsleting? Kamu lihat tadi? Itu pocong dari mana? Bukan
dari kita kan?” balas Siti dengan suara gemetar, hampir menangis.
“Jangan pikirin itu dulu! Kita harus keluar dari sini!” ujar Wawan yang sudah tidak bisa menahan rasa takutnya lagi.
Ia meraih tangan Siti dan Toni, mencoba menuntun mereka keluar dari panggung.
Di sisi lain, para penonton mulai berdesakan, berusaha menjauh dari
panggung yang kini tampak seperti pusat dari sesuatu yang mengerikan.
Beberapa orang tua berteriak memanggil anak-anak mereka, sementara yang lain hanya terdiam, terpaku dalam ketakutan.
“Semua tenang! Jangan panik! Biarkan mereka yang bertanggung jawab
mengurus ini!” teriak Pak Lurah Rahmat dari barisan depan, meski
suaranya sedikit bergetar.
Namun, usahanya untuk menenangkan massa tidak banyak membantu. Panik sudah terlanjur menyebar di antara warga.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang berat terdengar dari arah panggung.
Suara itu menggelegar, seperti sesuatu yang besar sedang bergerak di
atas kayu yang berderit.
Para pemain yang masih berada di atas panggung segera menghentikan langkah mereka. Dimas, yang paling dekat dengan sumber suara itu, perlahan berbalik.
“Ada lagi... Astaga, ada lagi!” bisik Dimas dengan suara hampir tak terdengar, matanya terbuka lebar melihat ke arah panggung yang mulai tersinari cahaya bulan yang menembus kabut tipis.
Di atas panggung, terlihat sosok lain yang lebih besar dari pocong tadi. Wujudnya seperti genderuwo, dengan tubuh yang besar, hitam, dan berbulu. Matanya merah menyala, menatap tajam ke arah Dimas dan teman-temannya.
Genderuwo itu berdiri di tengah panggung, mengeluarkan suara geraman yang dalam dan menakutkan.
“Wawan! Itu bukan kamu, kan?!” seru Siti, matanya dipenuhi ketakutan.
“Bukan, itu bukan aku! Aku di sini!” balas Wawan dengan napas tersengal, tubuhnya gemetar ketakutan.
Para penonton yang menyaksikan dari jauh kini benar-benar ketakutan. Beberapa dari mereka mulai menangis, sementara yang lain mencoba berlari menjauh. Di tengah kekacauan itu, seorang nenek tua, Mbah Sri, yang duduk di pojok lapangan, tiba-tiba berdiri.
Matanya tajam menatap ke arah panggung, seolah melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.
“Ini bukan pertanda baik! Kita telah memanggil mereka!” seru Mbah Sri, suaranya terdengar jelas di tengah kekacauan.
Pak Lurah yang mendengar teriakan itu segera menghampiri Mbah Sri. “Mbah, apa yang harus kita lakukan? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya, kini benar-benar panik.
“Ini semua karena mereka. Hantu-hantu itu merasa dihina, kita telah memparodikan mereka, dan sekarang mereka datang untuk menunjukkan diri!” jawab Mbah Sri, suaranya penuh keyakinan.
“Bagaimana mungkin? Ini semua hanya pertunjukan! Mereka cuma memerankan hantu-hantu itu untuk hiburan,” balas Pak Lurah, berusaha merasionalisasi situasi yang tak bisa ia pahami.
“Hiburan atau tidak, mereka merasa terganggu. Kita harus minta
maaf dan menghentikan ini sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi,”
kata Mbah Sri tegas.
Di atas panggung, Dimas yang masih terpaku dengan wujud genderuwo itu mulai merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.Setiap langkah yang diambil genderuwo itu, panggung berderak
keras, seolah akan runtuh. “Ini bukan bagian dari naskah kita, kan?”
bisiknya pelan, berharap salah satu temannya akan mengatakan ini semua
hanya lelucon.
“Ini nyata, Dimas. Kita harus keluar dari sini sekarang juga!”
teriak Toni sambil mencoba menarik Dimas dari tempatnya berdiri.
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, suara tertawa menyeramkan terdengar dari sudut panggung lain.
Dari sana, muncul lagi sosok lain, kali ini seorang perempuan dengan rambut panjang, berbaju putih, dan wajahnya yang tertutup sebagian oleh rambutnya—sebuah kuntilanak yang terlihat nyata, lebih nyata daripada kostum yang dikenakan Toni.
“Dia... Dia bukan dari kita!” seru Siti, tubuhnya mulai lemas dan hampir jatuh ke lantai panggung.
Penonton yang melihat kemunculan kuntilanak ini mulai semakin panik.
Anak-anak menangis, orang-orang dewasa mulai berteriak histeris, dan sebagian mencoba mencari jalan keluar dari lapangan yang sudah penuh sesak. Pak Lurah melihat situasi semakin kacau dan memutuskan untuk mengambil tindakan.
“Matikan pertunjukan! Matikan semuanya! Suruh orang-orang kembali ke rumah mereka!” teriak Pak Lurah kepada tim pengelola acara yang berada di balik panggung.
Namun, suara-suara aneh mulai terdengar dari seluruh penjuru lapangan, seperti suara tawa kecil, tangisan, dan bisikan yang tak bisa dimengerti.
Cahaya bulan yang tadinya menerangi sedikit lapangan desa,
tiba-tiba tertutup awan tebal, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang
lebih pekat.
Di tengah kekacauan itu, seorang anak kecil tiba-tiba berdiri di tengah
lapangan, memandang ke arah panggung dengan tatapan kosong.
Ia berjalan perlahan, tanpa ekspresi, menuju ke arah genderuwo yang masih berdiri di sana.
“Reza! Reza, jangan ke sana!” teriak seorang ibu yang melihat anaknya
mulai mendekati panggung. Namun, Reza tidak merespon. Ia terus berjalan,
seolah-olah ada sesuatu yang memanggilnya.
Dimas yang melihat hal itu segera berlari turun dari panggung dan meraih anak itu sebelum ia terlalu dekat. “Reza, kamu harus pergi dari sini! Ini tidak aman!” katanya, mencoba menyadarkan anak itu.
Namun, saat Dimas menyentuhnya, Reza tiba-tiba menatap Dimas dengan mata yang dingin, hampir tidak berjiwa. “Dia memanggilku...” bisik Reza, suaranya hampir seperti suara orang dewasa, bukan suara seorang anak kecil.
Dimas segera merasa bulu kuduknya berdiri. “Apa maksudmu? Siapa yang memanggilmu?” tanyanya dengan gemetar.
“Dia... dari tempat yang gelap. Dia ingin kita semua datang ke sana,” jawab Reza dengan suara yang nyaris tidak manusiawi.
Ketika Dimas mencoba menarik anak itu kembali, genderuwo di atas panggung tiba-tiba menggeram keras, dan sosok pocong serta kuntilanak yang muncul sebelumnya mulai mendekat, seolah mereka tidak akan membiarkan siapapun pergi.
“Lepaskan anak itu!” teriak Pak Lurah yang melihat kejadian tersebut dari kejauhan, mencoba menghampiri Dimas dengan langkah tergesa-gesa.
Namun, sebelum ia bisa mencapai mereka, genderuwo di atas panggung menggeram lagi, kali ini lebih keras, membuat tanah di bawah kaki mereka bergetar.
Siti dan Toni, yang masih di panggung, berusaha melarikan diri, tetapi kaki mereka terasa berat seolah-olah ada sesuatu yang menahan mereka. Wawan yang paling dekat dengan mereka, mencoba menarik mereka keluar, tapi sia-sia.
“Ini tidak mungkin terjadi... Ini tidak mungkin nyata!” teriak Wawan, hampir menangis dalam ketakutan.
Tiba-tiba, di tengah kegelapan, cahaya kilat menyambar langit, dan
selama sesaat, semuanya tampak beku dalam terang yang tiba-tiba.
Suara gemuruh guntur menyusul, membuat suasana semakin mencekam. Di saat yang bersamaan, Reza tiba-tiba terkulai di pelukan Dimas, pingsan. Dimas yang panik segera membawa anak itu menjauh dari panggung, diikuti oleh Pak Lurah dan beberapa warga lainnya.
“Kita harus menghentikan ini sekarang! Ini sudah terlalu jauh!”
teriak Pak Lurah kepada Mbah Sri yang berdiri tak jauh dari panggung.
Mbah Sri mengangguk, matanya masih tajam menatap ke arah panggung yang kini dipenuhi oleh wujud-wujud menyeramkan.
“Kita harus melakukan sesuatu sebelum mereka mengambil lebih banyak dari kita,” katanya dengan nada serius.
Pak Lurah, Mbah Sri, dan beberapa warga yang berani segera berkumpul untuk mencari cara menghentikan apa yang terjadi.
Namun, dalam hati mereka semua tahu, malam ini, sesuatu yang lebih dari sekadar pertunjukan telah terbebas, dan mereka tidak tahu bagaimana cara mengembalikan semuanya ke tempat semula.
Kekacauan yang terjadi di panggung dan di antara penonton malam itu, bukan hanya akan menjadi kisah horor yang diceritakan dari mulut ke mulut, tetapi juga sebuah kenyataan yang mengancam kehidupan Desa Sukawani selamanya.
Setelah peristiwa mengerikan yang terjadi di panggung, malam yang semula dipenuhi dengan canda tawa berubah menjadi malam yang dipenuhi ketakutan dan kekhawatiran.
Warga Desa Sukawani segera membubarkan diri dari lapangan, membawa serta anak-anak mereka dan bergegas kembali ke rumah masing-masing. Namun, mereka tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu yang jahat telah dilepaskan malam itu.
Di balai desa, Pak Lurah Rahmat mengumpulkan beberapa tokoh masyarakat dan para pemuda yang terlibat dalam pertunjukan untuk mencari solusi atas kejadian aneh tersebut. Suasana di balai desa penuh dengan ketegangan.
Setiap orang tampak cemas, memikirkan apa yang telah mereka saksikan.
“Ini tidak mungkin terjadi! Aku sudah bertahun-tahun hidup di sini, tapi
belum pernah melihat hal semacam ini!” ujar Pak Karman, salah satu
sesepuh desa, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Apa yang kita lihat tadi bukanlah hal biasa. Mereka bukan hanya sekadar aktor dengan kostum, mereka nyata!” kata Bu Yanti dengan suara gemetar, masih teringat jelas dengan penampakan pocong dan genderuwo di panggung.
“Aku tidak bisa berhenti memikirkan mata anak itu, Reza. Matanya seperti... seperti tidak ada kehidupan di dalamnya,” bisik Dimas yang masih terguncang dengan kejadian yang ia alami. “Dan kata-katanya, dia bilang dia dipanggil oleh sesuatu dari tempat gelap... Apa maksudnya?”
“Mungkin ini semua karena kita sudah menghina mereka,” jawab Wawan yang duduk di sudut ruangan, tubuhnya masih gemetar. “Kita meniru hantu-hantu itu dan menjadikan mereka bahan tertawaan. Mungkin mereka marah.”
“Tapi kita hanya melakukan ini untuk hiburan! Tidak ada niat untuk menghina,” kata Siti, suaranya hampir tak terdengar karena ketakutan. “Lalu, bagaimana kita bisa meminta maaf pada mereka? Apakah itu mungkin?”
“Memang benar, ini semua hanya untuk hiburan, tapi dunia lain tidak selalu memahami niat kita. Mereka merasakan energi yang kita ciptakan, dan jika mereka merasa terganggu, mereka bisa marah,” kata Mbah Sri yang duduk di ujung meja dengan tatapan serius.
Pak Lurah Rahmat menghela napas panjang, wajahnya penuh dengan kekhawatiran. “Mbah, apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana kita bisa mengusir mereka?”
Mbah Sri terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat. “Kita harus melakukan ritual pembersihan desa. Ini tidak bisa dibiarkan. Kita harus mengembalikan mereka ke tempat asalnya, sebelum mereka membuat lebih banyak kekacauan di sini.”
“Ritual pembersihan desa? Bukankah itu hanya dilakukan jika ada kematian atau bencana besar?” tanya Pak Lurah, ragu-ragu.
“Benar, tapi ini bukan situasi biasa. Yang kita hadapi adalah makhluk dari dunia lain yang sudah merasa terganggu. Jika kita tidak segera bertindak, desa kita bisa berada dalam bahaya yang lebih besar,” jawab Mbah Sri dengan tegas.
“Tapi bagaimana kita bisa yakin mereka akan pergi setelah ritual itu?” tanya Toni, suaranya penuh ketakutan. “Bagaimana jika mereka tetap di sini dan terus mengganggu kita?”
“Kita harus yakin. Ritual ini telah dilakukan oleh nenek moyang kita selama berabad-abad, dan selalu berhasil. Tapi kita harus melakukannya dengan benar, dengan niat yang tulus, dan memohon maaf kepada mereka,” jawab Mbah Sri.
Dimas yang mendengar penjelasan itu segera berdiri. “Kalau begitu, kapan kita mulai? Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku sudah merasa ada yang tidak beres sejak kita keluar dari panggung.”
“Setuju. Kita harus melakukannya malam ini, sebelum semuanya semakin parah,” kata Pak Lurah sambil mengangguk setuju. “
Kita butuh beberapa hal untuk ritual ini: dupa, bunga tujuh rupa, air suci, dan... darah ayam hitam,” tambah Mbah Sri sambil menatap wajah-wajah yang kini tampak semakin cemas.
“Juga, kita harus melibatkan semua warga dalam doa bersama. Ini bukan hal yang bisa dilakukan oleh beberapa orang saja.”
“Kami akan segera mengumpulkan semua yang diperlukan,” kata Wawan yang mulai bangkit dari tempat duduknya.
Meski ketakutan masih melingkupi dirinya, ia tahu mereka tidak punya pilihan lain.
“Mbah, aku akan membantu mempersiapkan ritualnya,” ujar Bu Yanti, meski jelas terlihat ia berusaha menahan gemetar di suaranya.
“Kalian semua yang terlibat dalam pertunjukan juga harus ikut. Kalian yang paling banyak berinteraksi dengan mereka, jadi kalian harus ikut meminta maaf,” perintah Mbah Sri dengan nada yang tidak bisa dibantah.
Malam itu, meski sudah larut, desa Sukawani kembali sibuk. Beberapa warga dikerahkan untuk mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk ritual, sementara yang lain diberi tahu untuk berkumpul di balai desa untuk doa bersama.
Ketakutan masih menyelimuti setiap sudut desa, namun mereka tahu bahwa mereka harus menghadapi ketakutan itu jika ingin desa mereka kembali aman.
Dimas dan teman-temannya yang terlibat dalam pertunjukan duduk bersama di sudut balai desa, menunggu Mbah Sri dan Pak Lurah menyiapkan segala sesuatunya. Wajah mereka pucat dan cemas, belum bisa sepenuhnya memahami apa yang telah mereka alami.
“Bagaimana kalau ritual ini tidak berhasil?” tanya Siti dengan suara lirih.
“Kita harus percaya bahwa ini akan berhasil. Kita tidak punya pilihan
lain,” jawab Toni, meski jelas dari suaranya bahwa ia juga tidak
sepenuhnya yakin.
“Mungkin kita tidak seharusnya melakukan pertunjukan itu sejak awal,” kata Wawan, menyesali apa yang telah mereka lakukan. “Kalau saja kita tahu ini akan terjadi…”
“Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, Wawan,” ujar Dimas. “Yang bisa kita lakukan sekarang adalah memperbaikinya. Dan kita harus melakukannya dengan sungguh-sungguh.”
Ketika segala sesuatunya sudah siap, Mbah Sri memimpin mereka menuju lapangan desa, tempat di mana semua kekacauan itu bermula. Para warga mengikuti dengan cemas, membawa obor dan lentera untuk menerangi jalan yang gelap.
Di tengah lapangan, Mbah Sri menyiapkan altar sederhana dengan bahan-bahan ritual yang sudah dikumpulkan. Dupa dinyalakan, asapnya yang harum mulai mengisi udara, memberikan sedikit ketenangan di tengah kegelapan yang mencekam.
Mbah Sri mulai membaca mantra-mantra dalam bahasa Jawa kuno, memohon maaf kepada roh-roh yang telah terganggu dan memohon mereka untuk kembali ke tempat asal mereka. Para warga, dipimpin oleh Pak Lurah, bergabung dalam doa bersama, berharap agar desa mereka kembali aman.
Di tengah mantra yang dilantunkan, tiba-tiba terdengar suara angin kencang yang berputar di sekitar lapangan. Asap dupa yang semula naik perlahan kini berputar mengikuti arah angin, seolah terbawa oleh kekuatan yang tidak terlihat.
“Jangan berhenti! Lanjutkan doanya!” seru Mbah Sri, suaranya tegas meski angin semakin kencang.
Para warga, meski ketakutan, tetap melanjutkan doa mereka. Beberapa dari
mereka mulai menangis, merasakan beban ketakutan yang begitu kuat
menghimpit mereka.
Dimas dan teman-temannya saling berpegangan tangan, berusaha mencari kekuatan dari satu sama lain. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa pertunjukan sederhana mereka bisa membawa malapetaka seperti ini.
“Mbah, apa yang terjadi? Apa ini pertanda buruk?” tanya Pak
Lurah yang mulai khawatir melihat angin yang berputar semakin kencang.
“Ini adalah ujian. Mereka sedang mendengar kita. Kita harus menunjukkan
bahwa kita sungguh-sungguh ingin meminta maaf,” jawab Mbah Sri tanpa
ragu.
Tiba-tiba, di tengah angin yang berputar, terdengar suara tawa lirih yang samar, seolah berasal dari dalam tanah. Suara itu semakin lama semakin jelas, bergabung dengan suara angin yang menderu. Para warga mulai panik, beberapa di antaranya mulai mundur ketakutan.
“Tenang! Tetap di tempat kalian!” teriak Pak Lurah mencoba menenangkan warga yang mulai bergerak mundur.
Mbah Sri menambahkan mantra dengan lebih kuat, memohon kepada leluhur desa dan roh-roh baik untuk melindungi mereka.
Tiba-tiba, angin berhenti seketika, meninggalkan keheningan yang mendalam di tengah lapangan.
Semua mata tertuju pada Mbah Sri, menunggu apa yang akan terjadi
selanjutnya. Asap dupa kembali naik perlahan, tidak lagi berputar
seperti sebelumnya.
Mbah Sri menutup ritual dengan doa terakhir, memohon agar
roh-roh yang terganggu dapat kembali tenang dan meninggalkan desa
mereka.
“Mbah, apakah kita berhasil?” tanya Pak Lurah dengan suara cemas setelah doa selesai.
Mbah Sri terdiam sejenak, merasakan perubahan energi di sekitarnya. “Kita telah melakukan yang terbaik. Sekarang, kita hanya bisa berharap mereka menerima permintaan maaf kita dan pergi.”
Para warga mulai berangsur-angsur meninggalkan lapangan dengan hati yang masih penuh dengan kecemasan, namun ada sedikit harapan bahwa ritual itu telah berhasil.
Meski tidak ada yang bisa memastikan, mereka tahu bahwa mereka telah berusaha sebaik mungkin untuk mengembalikan ketenangan di Desa Sukawani.
Namun, di dalam hati setiap orang, masih tersisa pertanyaan: apakah ini benar-benar sudah berakhir, atau justru awal dari sesuatu yang lebih menakutkan?
Pagi setelah ritual, Desa Sukawani masih diselimuti suasana tegang. Meski matahari sudah terbit, keceriaan yang biasanya menyelimuti desa itu tak kunjung muncul.
Warga yang biasanya keluar rumah untuk beraktivitas, kali ini memilih untuk tetap di dalam rumah, menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Di setiap rumah, hanya bisikan-bisikan ketakutan yang terdengar, seolah seluruh desa berada dalam keadaan waspada.
Pak Lurah Rahmat sejak subuh sudah berada di balai desa, mengatur para pemuda untuk berjaga-jaga di setiap sudut desa.
Meski Mbah Sri telah memastikan bahwa ritual pembersihan semalam harusnya sudah cukup untuk mengusir roh-roh yang terganggu, Pak Lurah merasa perlu untuk tetap waspada.
Di balai desa, Pak Lurah duduk bersama Mbah Sri, Dimas, dan beberapa tokoh masyarakat lainnya. Mereka membicarakan kejadian semalam dan mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.
“Pak Lurah, bagaimana kalau kita membuat pengumuman kepada warga, agar mereka bisa merasa sedikit tenang?” usul Bu Yanti, salah satu tokoh masyarakat yang juga ikut dalam ritual semalam.
“Kita bisa coba, Bu. Tapi, jujur saja, saya sendiri belum yakin
kalau semuanya sudah beres. Saya merasa seperti ada yang masih belum
selesai,” jawab Pak Lurah sambil menghela napas panjang.
Mbah Sri mengangguk pelan. “Saya setuju dengan Pak Lurah.
Meskipun ritual sudah kita lakukan, energi di desa ini masih terasa berat. Saya merasa masih ada sesuatu yang mengganjal, tapi saya belum bisa memastikan apa itu.”
Dimas yang mendengar percakapan itu, merasa gelisah. “Mbah, apa mungkin ada yang kita lewatkan dalam ritual semalam? Atau mungkin... ada sesuatu yang lebih besar yang tidak kita sadari?”
Mbah Sri menatap Dimas dengan serius. “Bisa jadi, Nak. Dunia gaib itu rumit, dan tidak selalu mudah untuk dipahami. Mereka bisa merasa terganggu bukan hanya karena satu hal, tapi mungkin karena ada sesuatu yang lebih besar yang kita belum tahu.”
“Tapi kita sudah meminta maaf, kita sudah melakukan semua yang
Mbah minta. Apa lagi yang harus kita lakukan?” tanya Wawan dengan nada
putus asa.
“Kita harus tetap waspada, Nak. Kita tidak bisa berasumsi bahwa semuanya
sudah berakhir hanya karena kita sudah melakukan ritual.
Dunia mereka dan dunia kita sangat berbeda, dan kita tidak bisa
sepenuhnya memahami apa yang mereka inginkan,” jawab Mbah Sri dengan
nada bijaksana.
Pak Lurah mengangguk setuju. “Yang jelas, kita harus menjaga desa ini, apapun yang terjadi.
Aku akan mengerahkan para pemuda untuk berjaga-jaga setiap malam sampai kita yakin desa ini benar-benar aman.”
Pada sore harinya, warga desa kembali berkumpul di balai desa untuk mendengarkan pengumuman dari Pak Lurah.
Suasana tegang masih terasa, dan wajah-wajah cemas terlihat di antara kerumunan warga.
“Warga Desa Sukawani, kita sudah melakukan ritual untuk memohon maaf
kepada roh-roh yang mungkin terganggu dengan acara pentas seni kita
semalam,” ujar Pak Lurah memulai pengumumannya.
“Namun, kita harus tetap waspada. Malam ini, saya minta semua warga untuk tidak keluar rumah setelah maghrib. Para pemuda akan berjaga di setiap sudut desa. Ini semua demi keselamatan kita bersama.”
“Pak Lurah, apakah kita benar-benar aman sekarang?” tanya seorang warga dengan nada cemas dari tengah kerumunan. “Kita sudah melakukan semua yang bisa kita lakukan. Namun, tidak ada salahnya untuk tetap berjaga-jaga.
Yang paling penting sekarang adalah menjaga keselamatan diri sendiri dan keluarga,” jawab Pak Lurah.
Setelah pengumuman selesai, warga kembali ke rumah mereka masing-masing, masih dengan perasaan yang tidak tenang.
Suasana di desa kembali sunyi setelah maghrib, sesuai dengan anjuran Pak Lurah.
Di rumahnya, Dimas duduk bersama keluarganya, mencoba menenangkan diri.
Namun, rasa gelisah yang tak bisa dijelaskan terus mengganggu
pikirannya.
Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang masih mengancam desa mereka.
“Dek, aku tidak tahu kenapa, tapi aku masih merasa cemas. Seperti ada
yang salah,” kata Dimas kepada adiknya, Rani, yang duduk di sampingnya.
“Kenapa kamu ngomong begitu, Mas? Kamu sendiri yang bilang kalau semuanya sudah selesai setelah ritual semalam,” jawab Rani, meski dari nada suaranya terdengar ia pun masih cemas.
“Iya, aku tahu. Tapi entah kenapa, perasaan ini tidak hilang. Aku merasa ada sesuatu yang masih mengintai kita,” jawab Dimas dengan wajah serius.
Rani menatap kakaknya dengan khawatir. “Mas, jangan berpikir
terlalu jauh. Kita harus percaya kalau semuanya sudah berakhir. Kita
sudah melakukan yang terbaik.”
Namun, sebelum Dimas bisa menjawab, terdengar suara ketukan di pintu depan.
Ketukan itu terdengar pelan, tapi cukup untuk membuat semua orang di rumah itu terdiam.
“Siapa yang datang malam-malam begini?” tanya ibunya, Bu Siti, dengan suara berbisik.
“Tidak tahu, Bu. Aku akan cek,” jawab Pak Harun, ayah Dimas,
sambil bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu depan.
Ketika Pak Harun membuka pintu, ia terkejut melihat siapa yang berdiri di sana.
Seorang anak kecil dengan wajah pucat dan mata kosong, berdiri
di ambang pintu. Itu adalah Reza, anak yang semalam dirasuki oleh
sesuatu di panggung.
“Reza? Kenapa kamu ada di sini? Mana orang tuamu?” tanya Pak Harun bingung.
Reza tidak menjawab. Ia hanya menatap Pak Harun dengan tatapan kosong, seolah-olah jiwanya tidak ada di tempat itu.
“Reza, kamu baik-baik saja? Ayo, masuk ke dalam,” kata Pak Harun dengan lembut, merasa khawatir melihat kondisi anak itu.
Namun, ketika Pak Harun mengulurkan tangan untuk menyentuh Reza, anak itu tiba-tiba tersenyum lebar, senyum yang aneh dan menakutkan. “Dia belum pergi, Pak,” kata Reza dengan suara yang dingin, bukan seperti suara anak-anak.
Pak Harun segera mundur ke belakang dengan wajah terkejut. “Apa maksudmu, Reza?”
“Dia belum pergi. Dia masih di sini. Dan dia marah,” jawab Reza dengan
suara yang tidak berubah, senyum menakutkan itu masih terpampang di
wajahnya.
Dimas yang mendengar percakapan itu segera menghampiri pintu.
“Reza, kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?” tanyanya cemas.
Reza hanya menatap Dimas tanpa ekspresi. “Kamu semua sudah membuatnya
marah. Dan sekarang, dia akan mengambil apa yang dia inginkan.”
Saat itu, terdengar suara angin kencang dari luar, meski malam
itu langit cerah tanpa tanda-tanda badai. Angin itu berputar-putar di
sekitar rumah Dimas, menciptakan suara yang mencekam.
“Pak, tutup pintunya! Sekarang juga!” teriak Dimas, merasa ada bahaya yang mendekat.
Pak Harun segera menutup pintu dengan keras, namun angin itu
tetap berputar-putar di sekitar rumah mereka, seperti ada sesuatu yang
mencoba masuk.
“Mbah Sri benar. Ini belum selesai. Dia masih di sini,” kata Dimas dengan suara bergetar.
Ia berbalik melihat keluarganya yang kini berkumpul di ruang tengah dengan wajah penuh ketakutan.
“Kita harus lakukan sesuatu, Mas! Kita tidak bisa hanya duduk di sini!” kata Rani dengan panik.
“Apa yang bisa kita lakukan, Ran? Dia marah, dan sekarang dia mengincar kita!” jawab Dimas, mencoba menahan rasa takut yang makin menguat.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu kembali terdengar, kali ini lebih keras dan berirama, seolah-olah ada sesuatu yang mencoba masuk dengan paksa.
“Kita harus pergi dari sini! Kita harus ke rumah Mbah Sri, dia
satu-satunya yang bisa membantu kita!” kata Dimas sambil menggenggam
tangan adiknya.
Pak Harun dan Bu Siti mengangguk setuju.
Mereka tahu bahwa di situasi seperti ini, hanya Mbah Sri yang
punya pengetahuan untuk menghadapi apa yang sedang terjadi.
Dengan cepat, Dimas dan keluarganya keluar melalui pintu belakang,
berusaha menghindari suara ketukan yang semakin keras di pintu depan.
Mereka berlari di tengah malam yang gelap, menuju rumah Mbah Sri yang berada di pinggir desa. Saat mereka tiba di depan rumah Mbah Sri, pintu rumah sudah terbuka seolah-olah nenek itu sudah tahu mereka akan datang.
Mbah Sri berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan tatapan serius.
“Kalian datang tepat waktu. Kita harus bertindak sekarang juga,” kata
Mbah Sri tanpa basa-basi, mengisyaratkan mereka untuk masuk ke dalam
rumahnya.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Mbah? Reza bilang dia belum pergi dan dia marah!” ujar Dimas dengan napas terengah-engah.
“Reza benar. Roh yang terganggu itu belum sepenuhnya pergi. Ritual semalam hanya menenangkannya sementara. Tapi sekarang, kita harus menghadapinya secara langsung, sebelum dia mengambil nyawa orang lain,” jawab Mbah Sri dengan tegas.
“Kita harus melakukan apa, Mbah?” tanya Pak Harun dengan cemas.
“Kita harus memanggilnya dan mengusirnya dari desa ini selamanya. Tapi ini tidak akan mudah. Kalian semua harus siap menghadapi apapun yang terjadi,” kata Mbah Sri sambil mengambil beberapa benda dari rak di rumahnya, termasuk dupa, keris, dan beberapa jimat kuno.
“Kami akan melakukan apapun yang perlu, Mbah. Kami hanya ingin ini berakhir,” jawab Dimas dengan tekad kuat.
Mbah Sri mengangguk, lalu memimpin mereka menuju sebuah ruang kecil di belakang rumahnya yang digunakan untuk ritual.
Di sana, Mbah Sri menyiapkan semua yang diperlukan untuk memanggil roh itu kembali dan mengusirnya.
Mereka semua duduk mengelilingi Mbah Sri, yang mulai membakar dupa dan mengucapkan mantra-mantra dalam bahasa Jawa kuno.
Suara mantra itu menggetarkan udara di sekitar mereka, membuat suasana menjadi semakin mencekam. Ketika mantra mencapai puncaknya, tiba-tiba suasana di dalam ruangan menjadi dingin, dan bayangan-bayangan aneh mulai muncul di sudut-sudut ruangan.
Asap dupa berputar di sekitar mereka, menciptakan pola-pola aneh di udara.
Mbah Sri membuka matanya dan memandang Dimas. “Kamu yang paling banyak
berinteraksi dengannya. Kamu harus memanggilnya sekarang.”
Dimas menelan ludah, merasa tangannya mulai gemetar.
Namun, ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan desanya.
Dengan suara yang bergetar, Dimas mulai memanggil roh itu. “Kalau kamu
mendengarku, aku memanggilmu! Tunjukkan dirimu dan biarkan kami
mengusirmu dengan damai!”
Suasana hening sejenak, sebelum tiba-tiba terdengar suara tawa yang mengerikan, tawa yang sama seperti yang mereka dengar di lapangan malam itu. Tawa itu semakin keras, membuat semua orang di ruangan itu merasa takut.
Bayangan di sudut-sudut ruangan mulai bergerak, membentuk sosok yang menyeramkan. Sosok itu perlahan-lahan mendekat, menatap Dimas dengan mata yang kosong dan penuh kebencian.
“Kamu sudah membuatku marah. Sekarang, aku akan mengambil apa
yang menjadi hakku,” kata sosok itu dengan suara yang dingin dan
menakutkan.
Mbah Sri dengan cepat mengangkat kerisnya dan mengarahkannya ke sosok tersebut.
“Kamu tidak berhak atas apapun di sini! Ini bukan tempatmu! Pergilah sekarang, atau kami akan memaksamu pergi!” Sosok itu tertawa lagi, namun kali ini tawanya disertai dengan suara jeritan yang menyakitkan.
Mbah Sri mulai melafalkan mantra dengan suara yang lebih keras, mengusir sosok tersebut dengan kekuatan penuh.
Sosok itu berusaha melawan, tapi semakin Mbah Sri melafalkan mantra, semakin lemah sosok itu menjadi.
Akhirnya, dengan teriakan terakhir yang melengking, sosok itu menghilang, meninggalkan ruangan kembali hening.
Semua orang di ruangan itu terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja
terjadi. Dimas merasa kakinya lemas, seolah-olah semua kekuatannya telah
terkuras.
“Mbah, apakah... apakah dia sudah pergi?” tanya Dimas dengan suara yang hampir tak terdengar.
Mbah Sri mengangguk pelan. “Dia sudah pergi. Untuk sekarang. Tapi kita
harus terus menjaga desa ini. Jangan biarkan hal seperti ini terjadi
lagi.”
Dimas menghela napas lega, meski dalam hatinya, ia tahu bahwa pengalaman ini akan membekas selamanya.
Mereka semua tahu bahwa malam itu, mereka bukan hanya menghadapi roh yang marah, tetapi juga kenyataan bahwa dunia yang mereka tinggali lebih rumit dan menakutkan daripada yang pernah mereka bayangkan.
Ketika mereka keluar dari rumah Mbah Sri, udara di desa terasa lebih ringan, seolah-olah beban yang menghantui desa itu telah diangkat.
Namun, Dimas, keluarganya, dan seluruh warga Desa Sukawani akan selalu ingat bahwa malam itu,mereka telah bersentuhan dengan sesuatu yang lebih dari sekadar mitos dan legenda. Dan meski desa mereka kembali tenang, mereka tidak akan pernah melihat dunia dengan cara yang sama lagi.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar