Cerita Horor #16 PERJALANAN HOROR NAIK SEPEDA JENGKI

 

Malam itu, hujan deras mengguyur kota tanpa henti sejak sore. Gemericik air yang jatuh di atap rumah menciptakan irama monoton, menambah kesan sunyi di antara perumahan lama yang tampak semakin sepi. Handayani mengemasi buku-buku dan alat tulisnya sambil melihat jam di dinding ruang tamu, jarum pendek yang sudah melewati angka sembilan membuatnya sedikit khawatir.

“Bu Guru, apa besok akan datang lagi?” tanya Ridho, anak muridnya yang selalu menyambut kedatangan Handayani dengan semangat.

“Tentu, besok ibu datang lagi ya. Kamu belajar baik-baik malam ini, ingat yang tadi kita pelajari tentang pecahan,” jawab Handayani sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya tentang hujan yang semakin deras di luar.

Ibunya Ridho datang menghampiri, membawa segelas teh hangat. “Bu Handayani, berteduhlah sebentar. Hujannya deras sekali. Takut nanti malah masuk angin di jalan.”

Handayani tersenyum sopan. “Terima kasih, Bu, tapi saya takut semakin larut malah makin sulit pulang.”

Ibunya Ridho menatap Handayani dengan raut cemas. “Hati-hati ya, Bu. Jalan lewat pemakaman di dekat sini suka seram kalau malam, apalagi sedang hujan begini.”

Handayani mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ia tahu betul cerita yang beredar tentang pemakaman tua yang harus ia lewati di perjalanan pulang. Namun, sebagai guru yang sudah terbiasa bersepeda malam hari, ia berusaha berpikir logis.

Saat keluar dari rumah Ridho, angin dingin menyambutnya. Hujan masih mengguyur deras, dan dengan satu tangan yang menggenggam payung kecil, Handayani menuntun sepeda jengkinya sambil mencoba menyesuaikan tubuhnya dengan terpaan angin. Udara malam begitu menusuk, menambah rasa berat dalam setiap langkahnya.

Saat ia akhirnya berhasil naik ke sepeda, Handayani sempat berbisik pada dirinya sendiri, “Yani, kamu bisa. Ini hanya perjalanan seperti biasa… hanya hujan yang membuatnya terasa lebih berat.”

Ia mulai mengayuh pelan-pelan, payung kecilnya berusaha menahan hujan yang merembes dari samping. Genangan air sesekali memercik ke kaki dan celana panjangnya. Sepanjang perjalanan, hanya suara derasnya hujan dan rantai sepeda yang sesekali berdecit yang terdengar, mengisi kesunyian malam.

Ketika melewati beberapa rumah tua di tepi jalan, Handayani merasakan bulu kuduknya berdiri. Dalam hatinya, ia mencoba menenangkan diri, mengingatkan bahwa rasa takutnya mungkin hanya dipicu oleh bayangan cerita orang tentang pemakaman tua yang akan ia lewati.

“Tidak ada apa-apa di sini, Yani,” gumamnya lagi, berusaha menghibur diri.

Namun, meskipun mencoba menenangkan dirinya, ia tak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan.

Handayani terus mengayuh sepedanya di tengah jalan yang licin. Gemuruh hujan di atas pepohonan yang tinggi seolah mengikuti ritme ketukan jantungnya yang semakin cepat. Ia sudah terbiasa pulang malam, tetapi malam ini terasa berbeda—entah karena hujan yang semakin deras atau karena suara-suara samar yang mulai menyusup di antara bunyi hujan.

Sesampainya di jalan kecil yang diapit oleh pohon-pohon besar, pandangan Handayani tertuju pada bayangan gelap di kejauhan. Ia mengenal betul jalan ini—tepi makam dengan pohon beringin besar yang sudah tua. Tapi malam ini, pohon itu terlihat lebih gelap dan menyeramkan, seperti ada yang berdiri di sana, menanti.

Handayani menelan ludah, lalu berbisik kepada dirinya sendiri, “Hanya pohon. Hanya pohon beringin itu… Tidak ada yang lain.”

Namun, ketika ia melewati pohon beringin tersebut, ia mendengar suara samar yang jelas memanggil namanya.

“Handayani…”

Handayani tersentak, memandang sekeliling dengan jantung berdegup kencang. Tidak ada siapa-siapa, hanya kegelapan dan hujan. Berusaha menenangkan diri, ia mencoba mengabaikan suara itu dan melanjutkan kayuhannya.

Tiba-tiba, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. “Handayani… pinjamkan payungmu…”

Suara itu seolah datang dari bawah pohon beringin. Handayani menggigil, tetapi ia mencoba bersikap tegar. Ia memberhentikan sepedanya dan memaksakan diri untuk menoleh ke arah pohon tersebut, mencoba memastikan kalau itu hanya ilusi.

“Ada… ada orang di sana?” suaranya gemetar, hampir tak terdengar.

Tidak ada jawaban, hanya suara hujan yang semakin deras. Namun, ketika matanya menyesuaikan diri dengan gelap, samar-samar ia melihat sosok perempuan berambut panjang yang berdiri kaku di bawah pohon, mengenakan baju putih yang basah oleh hujan.

Jantung Handayani serasa berhenti. Ia segera menundukkan kepala, tak sanggup menatap sosok itu lebih lama.

“Bu… Guru…”

Suara itu memanggilnya lagi, suaranya seperti berbisik tepat di belakang telinganya. Ia ingin berteriak, namun suaranya tak keluar. Tubuhnya mulai bergetar hebat, kakinya seakan tak bisa bergerak, tertahan oleh rasa takut yang mencengkram.

Dalam ketakutan yang luar biasa, Handayani berusaha berbicara, “Saya… saya tidak punya payung lebih…”

Sosok itu tetap diam di tempatnya, tanpa gerakan, tapi tatapan matanya seolah menusuk tajam ke arah Handayani. Hawa dingin menyeruak, membuat Handayani ingin segera melarikan diri.

Ia akhirnya memaksakan diri untuk mengayuh sepedanya secepat mungkin, meninggalkan pohon beringin itu beserta sosok misterius yang memanggilnya. Napasnya tersengal, dan ia tidak menoleh lagi, berharap rasa takutnya bisa sirna jika ia berhasil keluar dari jalan kecil ini.

“Aku harus cepat sampai di rumah... aku harus cepat…”

Handayani mengayuh sepedanya lebih cepat, berharap bisa segera meninggalkan pohon beringin dan jalan sempit ini. Hatinya masih berdebar kencang, memikirkan sosok wanita berambut panjang yang baru saja dilihatnya. Hujan yang semakin deras membuat jarak pandangnya semakin terbatas, dan genangan air yang bertambah dalam membuat kayuhannya semakin sulit. Namun, ia tidak ingin berhenti.

“Cepat, Yani… kamu harus keluar dari sini!” desisnya, berusaha menguatkan diri.

Lampu sepeda yang redup hampir tak mampu menembus gelapnya malam, sementara deru hujan dan suara ranting patah di sepanjang jalan membuat suasana semakin menegangkan. Saat mulai merasa agak tenang, Handayani melihat gapura pemakaman tua di kejauhan, batas yang harus dilewatinya untuk kembali ke jalan utama.

“Sedikit lagi… hanya sedikit lagi,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.

Namun, saat ia mendekati gapura, ia menyadari ada sosok yang berdiri di tengah jalan, tepat di bawah gapura tersebut. Sosok itu tak bergerak, kaku seperti patung, mengenakan kain putih lusuh yang menggantung dari kepala hingga kaki. Handayani merasa darahnya membeku saat mengenali sosok yang tak asing dalam cerita-cerita seram: pocong.

“Astaga… jangan sekarang… jangan sekarang…” bisiknya dengan suara tertahan, berharap sosok itu hanya ilusi.

Dengan tubuh gemetar, Handayani memberhentikan sepedanya beberapa meter dari sosok tersebut, tak sanggup untuk melanjutkan. Pocong itu hanya berdiri diam, tanpa gerakan, tapi tatapannya yang kosong seolah menembus Handayani, membuat tubuhnya semakin dingin.

“Pergi… tolong pergi…” Handayani berbisik sambil memejamkan mata, berharap ketika membuka mata lagi sosok itu akan menghilang.

Namun, ketika ia membuka matanya perlahan, pocong itu tetap ada di sana, bahkan tampak lebih dekat dari sebelumnya. Tubuhnya semakin kaku, ia tak mampu bergerak. Hatinya berdebar-debar, sementara keringat dingin mengalir di sepanjang wajahnya, bercampur dengan air hujan.

“Bagaimana ini… harus bagaimana?” pikirnya dalam kepanikan.

Handayani mencoba memutar sepedanya, berniat mencari jalan lain. Namun, ketika berbalik, ia mendengar suara lembut yang berbisik dari belakang.

“Handayani…”

Suara itu terdengar pelan namun jelas, memanggil namanya dengan intonasi yang membuat bulu kuduknya meremang. Ia tahu, ini bukan suara manusia. Jantungnya semakin berdetak cepat, dan ia merasa seluruh tubuhnya lemas.

“Tolong… jangan ganggu aku,” katanya pelan, berharap suara itu tak akan menyahut lagi.

Namun suara itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat, seolah berada tepat di samping telinganya, “Kamu mau pulang… tapi aku di sini menunggumu…”

Tanpa berpikir panjang, Handayani segera memutar sepedanya ke arah gapura lagi. Ia menundukkan kepala, tak ingin melihat pocong yang masih berdiri di sana, dan mengayuh sepedanya secepat mungkin melewati sosok tersebut, berusaha mengabaikan ketakutannya.

Saat melintasi gapura, ia bisa merasakan sesuatu seperti angin dingin yang menghempas wajahnya. Ia tidak berani menoleh ke kiri atau kanan, hanya berfokus pada jalan di depannya. Setelah berhasil melewati gapura, Handayani tidak menoleh lagi dan terus mengayuh sepedanya dengan tenaga yang tersisa.

Dalam hatinya, ia berdoa, “Ya Tuhan, lindungi aku… biarkan aku pulang dengan selamat…”

Setelah berhasil melewati gapura pemakaman dengan segala ketakutannya, Handayani terus mengayuh sepeda dengan sekuat tenaga, meski napasnya tersengal dan seluruh tubuhnya terasa lelah. Hujan masih turun dengan deras, membuat pandangannya semakin terbatas. Sesekali ia terbatuk karena air hujan yang masuk ke mulutnya, tapi ia tak berani berhenti. Di benaknya, bayangan pocong dan suara aneh yang memanggil namanya terus menghantui.

“Cepat, aku harus sampai rumah… ini tidak mungkin nyata… tidak mungkin…” gumamnya pelan, mencoba menghibur diri, meski hatinya tetap diliputi rasa takut.

Setelah beberapa menit melintasi jalan sepi itu, akhirnya ia melihat cahaya dari deretan lampu jalan di kejauhan, pertanda ia hampir sampai di area perkampungan. Handayani menarik napas panjang, sedikit merasa lega. Namun, bayangan sosok-sosok yang barusan dilihatnya terus membayangi pikirannya.

Saat ia hampir mendekati area perkampungan, tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi. Suara itu mengejutkannya, hingga hampir saja ia tergelincir. Dengan gemetar, ia merogoh tasnya dan melihat nama di layar telepon. Itu adalah suaminya.

“Pak! I…iya, halo?” jawabnya cepat dengan suara bergetar.

“Bu, kamu di mana? Udah jam setengah sepuluh malam. Aku sudah nunggu dari tadi di rumah, kok belum pulang juga?” Suaminya terdengar cemas.

Handayani menahan napas sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab, “Aku… aku baru saja sampai di jalan perkampungan. Tadi… ada hujan deras, jadi agak terlambat pulangnya.”

Suaminya terdiam sejenak sebelum bertanya dengan suara lembut, “Kamu baik-baik saja, kan?”

Handayani mengangguk pelan, meski sadar suaminya tidak bisa melihat anggukan itu. “Iya, Pak, aku baik-baik saja… hanya sedikit… lelah.”

Namun, suaminya bisa merasakan ada yang berbeda dari nada suaranya. “Bu, kenapa terdengar gemetar? Ada apa sebenarnya?”

Mendengar kekhawatiran suaminya, Handayani merasa tak bisa menyembunyikan perasaannya lebih lama. “Aku… aku tadi lewat makam tua, dan… melihat sesuatu… Aku nggak tahu apa itu, tapi… rasanya sangat menyeramkan…”

Suaminya terdiam sesaat, lalu berkata dengan nada khawatir, “Kenapa nggak bilang dari tadi, Bu? Tunggu di situ, aku akan jemput kamu.”

Handayani menggeleng meski sadar suaminya tak bisa melihatnya. “Tidak perlu, Pak. Aku sudah hampir sampai, hanya perlu beberapa menit lagi.”

“Baiklah… tapi hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku,” balas suaminya dengan tegas.

“Iya, Pak. Terima kasih… aku akan segera pulang.”

Setelah mematikan telepon, Handayani merasa sedikit lebih tenang. Suara suaminya yang penuh perhatian membuatnya merasa lebih aman, meski rasa takut masih tersisa. Ia kembali mengayuh sepedanya, kali ini dengan perasaan lebih tenang.

Akhirnya, Handayani tiba di depan rumahnya, dengan tubuh basah kuyup dan wajah yang masih pucat. Suaminya sudah menunggu di depan pintu, langsung berlari mendekatinya begitu melihat kedatangannya.

“Bu, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sangat ketakutan,” kata suaminya sambil meraih pundaknya.

Handayani mengangguk lemah. “Aku… aku baik-baik saja, Pak. Tapi malam ini benar-benar mengerikan…”

Ia berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai, lalu duduk di kursi ruang tamu sambil mengatur napasnya. Suaminya duduk di sampingnya, menatapnya dengan penuh perhatian.

“Apa yang sebenarnya kamu lihat di makam tadi, Bu?” tanyanya perlahan.

Handayani menggigil, seolah ingatan tentang pocong dan suara misterius itu kembali menghantuinya. “Aku… aku melihat sosok pocong di depan gapura makam, dan… ada suara yang memanggil namaku dari arah pohon beringin. Seolah-olah mereka… benar-benar ingin aku berhenti…”

Suaminya menarik napas panjang, berusaha menenangkan istrinya. “Sudah, Bu. Semua sudah berlalu. Kamu aman sekarang. Mulai besok, biar aku saja yang mengantar dan menjemput kamu kalau jadwal mengajarnya sampai malam.”

Handayani tersenyum lemah. “Terima kasih, Pak. Aku nggak tahu harus bagaimana kalau harus melewati jalan itu lagi sendiri.”

Suaminya mengangguk sambil menggenggam tangan Handayani dengan erat, memberikan rasa aman yang sangat ia butuhkan. Handayani tahu, malam ini mungkin akan terus menghantui pikirannya, namun dengan suaminya di sisinya, ia merasa lebih tenang.

Malam itu, setelah membersihkan diri dan beristirahat, Handayani tertidur dengan hati yang masih waswas. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah lagi melewati jalan makam tua itu sendirian di malam hari.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri


Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG