Cerita Horor #17 MISTERI HOROR PENGHUNI LANTAI 2
PENGHUNI LANTAI 2
Bab 1: Kejadian Aneh di Lantai Dua
Pada hari pertama dan kedua aku menempati rumah baru kami, ada sesuatu yang sangat aneh terjadi di lantai dua. Setiap malam, tepat setelah pukul delapan, suara-suara ramai mulai terdengar dari atas sana. Seperti ada sebuah pesta kecil yang sedang berlangsung. Aku bisa mendengar dengan jelas suara bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan anak-anak yang berlarian. Suara pintu yang terbuka dan tertutup dengan keras, seolah-olah ada orang yang terburu-buru. Terkadang, suara pintu itu begitu keras tertutup, seolah-olah dibanting. "Bam! Bam! Bam!" suaranya bergema hingga ke ruang tamu.
Awalnya, aku berpikir mungkin itu suara dari tetangga yang sedang mengadakan acara, atau mungkin ada sesuatu yang tidak aku ketahui di rumah ini. Tetapi semakin lama, aku merasa ada yang tidak beres. Kejadian itu terus berulang setiap malam, hampir sama persis, dengan suara yang tak pernah berhenti hingga tengah malam. Suamiku yang saat itu sedang berada di Jakarta tidak bisa membantu, jadi aku memutuskan untuk menghubungi iparku.
“Kamu harus datang ke sini sekarang,” kataku dengan suara cemas di telepon. “Ada suara-suara aneh dari lantai dua. Aku takut, benar-benar takut.”
Iparku, yang tinggal tidak terlalu jauh, langsung merespons. “Tenang, aku segera ke sana. Jangan khawatir, aku bawa pemukul baseball. Aku akan periksa ke atas.”
Aku duduk di depan rumah, tidak berani masuk. Hati berdebar kencang, dan rasa takut semakin menyesakkan dada. Tak lama kemudian, iparku tiba. Ia keluar dari mobil dengan wajah serius, menggenggam pemukul baseball di tangan. “Ayo, kita periksa,” katanya mengajakku masuk.
Kami naik ke lantai dua. Langkah kami pelan, setiap suara yang kami dengar terasa semakin jelas di telinga. Begitu kami sampai di atas, iparku langsung memeriksa setiap kamar satu per satu. “Ada apa sebenarnya?” tanyanya saat membuka pintu kamar pertama. Ruangan itu kosong. Tidak ada siapa pun. Lalu ia lanjut ke kamar berikutnya. Begitu seterusnya, hingga seluruh ruangan di lantai dua kami periksa, dan tidak ada satu pun tanda-tanda orang lain.
“Ini tidak masuk akal,” ucap iparku, kebingungan tampak di wajahnya. “Semua kamar kosong. Tidak ada siapa pun di sini.”
Namun, suara-suara itu tetap terdengar. Meskipun kami tahu bahwa tidak ada seorang pun di atas sana, suara langkah kaki, percakapan samar, bahkan suara pintu yang tertutup keras, masih menggema di telingaku.
Kami turun ke ruang tamu dan duduk. “Apa sebenarnya yang terjadi?” tanyaku, mencoba memahami situasi ini. “Kenapa suara-suara itu bisa muncul setiap malam?”
Iparku terlihat berpikir sejenak, lalu berkata pelan, “Mungkin ada hal-hal yang belum kamu ketahui tentang rumah ini. Kita harus berhati-hati.”
Aku hanya terdiam, perasaan gelisah semakin merambat dalam hati. Suara-suara itu memang tidak bisa aku jelaskan dengan akal sehat. Kejadian itu berulang setiap malam, dan meskipun aku mencoba untuk tetap tenang, rasa takutku semakin membesar. Aku merasa seperti ada yang mengawasi kami, seperti ada sesuatu yang tak terlihat tetapi sangat nyata.
Pada malam berikutnya, aku semakin tertekan dengan suara-suara itu. Meskipun sudah beberapa kali memeriksa dan memastikan tidak ada orang lain di rumah, suara-suara itu terus mengganggu kami. Aku mulai merasa tidak nyaman, seolah-olah ada sesuatu yang salah dengan rumah ini. Perasaan aneh yang tak bisa aku jelaskan, tetapi tetap menghantuiku.
Namun, aku tahu ada sesuatu yang harus dilakukan. Mungkin aku perlu mencari tahu lebih jauh tentang sejarah rumah ini. Aku pun memutuskan untuk pergi ke tetangga sekitar dan bertanya apakah mereka tahu sesuatu yang bisa menjelaskan kejadian-kejadian aneh ini.
Bab 2: Suara-Suara yang Tak Terlihat
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh tentang rumah yang baru kutempati ini. Perasaan tidak nyaman terus menghantuiku, dan suara-suara aneh dari lantai dua setiap malam membuatku tidak bisa tidur dengan tenang. Setelah berbincang dengan iparku, aku yakin ada sesuatu yang harus aku ketahui tentang rumah ini.
Siang itu, aku mengunjungi salah satu tetangga yang tinggal di sebelah rumahku. Ibu Dewi, seorang wanita paruh baya yang ramah, menyambutku dengan senyum saat aku mengetuk pintunya.
“Ada yang bisa saya bantu, Nak?” tanyanya sambil mengajak aku duduk di ruang tamunya.
Dengan hati-hati, aku mencoba menyampaikan kegelisahanku. “Maaf, Bu Dewi, mungkin ini sedikit aneh… tetapi setiap malam di rumah kami, terutama di lantai dua, selalu terdengar suara-suara seperti ada banyak orang. Seperti ada pesta atau semacamnya. Apa Ibu tahu sesuatu tentang rumah itu?”
Ibu Dewi terlihat agak terkejut mendengar pertanyaanku. Raut wajahnya berubah, seperti menyiratkan sesuatu yang tidak nyaman. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Sebenarnya, saya ingin bercerita, tetapi khawatir kamu akan merasa takut.”
“Apa maksud Ibu?” tanyaku, kini rasa penasaranku semakin besar.
Ibu Dewi pun melanjutkan dengan suara pelan, seolah-olah takut terdengar oleh siapa pun. “Rumah itu… dulu ditempati oleh sebuah keluarga besar. Mereka sering mengadakan acara di sana, bahkan ketika malam hari. Sering terdengar suara ramai dari sana, mirip seperti yang kamu dengar sekarang. Tetapi, beberapa tahun yang lalu, sebuah tragedi terjadi. Seluruh keluarga itu… meninggal dalam kecelakaan mobil ketika hendak pergi ke luar kota. Sejak saat itu, tidak ada yang menetap lama di rumah itu. Banyak yang mengatakan mereka mendengar suara-suara aneh…”
Punggungku terasa dingin mendengar cerita tersebut. “Jadi, keluarga itu…?”
Ibu Dewi mengangguk pelan. “Beberapa tetangga bilang, arwah mereka masih sering ‘berkumpul’ di rumah itu, terutama di malam hari. Kamu harus hati-hati, Nak. Kalau merasa ada yang tidak beres, lebih baik minta bantuan orang yang lebih paham.”
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Mungkin inilah alasan mengapa suara-suara aneh itu terus terdengar di rumahku. Tetapi, aku masih tidak bisa sepenuhnya percaya bahwa ini adalah hal gaib. Sebagian diriku berharap ini hanya kebetulan atau hal yang bisa dijelaskan secara logis.
Setelah berpamitan dengan Ibu Dewi, aku pulang ke rumah. Sepanjang jalan, pikiranku terus dipenuhi bayangan keluarga yang pernah tinggal di rumah ini. Sesampainya di rumah, aku berusaha melanjutkan aktivitas seperti biasa, namun pikiranku terus terganggu oleh cerita yang baru saja kudengar.
Malamnya, seperti yang sudah kuduga, suara-suara aneh itu kembali muncul. Suara percakapan, langkah kaki, dan pintu yang tertutup dengan keras bergema di seluruh lantai dua. Rasa takut mulai menyelimuti hatiku. Aku memberanikan diri naik ke atas untuk memastikan tidak ada orang yang benar-benar masuk.
“Siapa pun yang ada di sini… tolong berhenti,” kataku pelan, meskipun aku tahu mungkin itu tidak ada gunanya.
Namun, suara-suara itu terus berlanjut, seolah-olah mengabaikan keberadaanku. Dengan langkah berat dan dada yang berdebar, aku memeriksa kamar demi kamar. Semua pintu tertutup rapi, tidak ada satu pun tanda kehadiran orang lain di rumah ini. Namun, suara-suara itu tetap terdengar, semakin membuat bulu kudukku meremang.
Aku akhirnya turun dan mengunci semua pintu, berharap suara itu akan berhenti jika aku menunjukkan bahwa rumah ini milikku sekarang. Aku duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri, namun suara di atas terus terdengar. Lantunan suara tawa anak-anak, percakapan orang dewasa, dan hentakan langkah kaki seolah semakin keras di telingaku.
Tak lama kemudian, ponselku berdering. Suara suamiku terdengar dari seberang, menanyakan kabarku. “Apa kamu baik-baik saja? Kamu terdengar cemas.”
“Aku tidak tahu, Mas,” jawabku dengan nada gemetar. “Setiap malam di rumah ini, selalu ada suara-suara aneh dari lantai dua. Suara langkah kaki, percakapan… seperti ada acara besar di atas.”
Suamiku terdiam sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Mungkin sebaiknya kamu minta bantuan seseorang yang bisa memberkati rumah itu. Mungkin ada hal-hal yang memang tidak kita pahami.”
Aku mengangguk, meskipun ia tak bisa melihat. “Baiklah, Mas. Aku akan mempertimbangkannya.”
Percakapan itu sedikit memberiku ketenangan. Setidaknya aku tahu, aku tidak sendirian menghadapi situasi ini. Namun, suara-suara di lantai dua tetap mengganggu hingga malam semakin larut. Dan aku pun hanya bisa berdoa, berharap bahwa esok pagi akan membawa kedamaian bagi rumah ini.
Bab 3: Pertemuan dengan Orang Pintar
Setelah kejadian aneh yang terus berulang setiap malam, aku memutuskan untuk mengikuti saran suamiku dan Ibu Dewi. Mungkin sudah saatnya meminta bantuan seseorang yang lebih paham tentang hal-hal gaib. Aku akhirnya menghubungi seorang tetua desa, Pak Surya, yang dikenal memiliki pengetahuan tentang cara menangani hal-hal mistis seperti ini.
Sore harinya, Pak Surya datang ke rumahku bersama asistennya, seorang pria muda bernama Anton. Mereka datang dengan pakaian sederhana namun membawa aura tenang yang sedikit menenangkan hatiku.
“Sore, Nak. Saya sudah mendengar dari Bu Dewi soal masalah di rumah ini,” ujar Pak Surya dengan suara tenang dan tatapan bijak.
“Sore, Pak,” jawabku sambil mengangguk. “Terima kasih sudah datang. Saya benar-benar merasa terganggu. Setiap malam, selalu ada suara-suara dari lantai dua, dan saya tidak tahu apa yang terjadi.”
Pak Surya mengangguk pelan, seolah-olah sudah memahami keadaanku. “Tidak apa-apa, Nak. Mari kita coba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Biasanya, jika ada hal-hal seperti ini, mungkin ada arwah yang masih tertinggal dan belum tenang.”
Aku mengangguk sambil menggigit bibir. “Iya, Pak. Saya sudah mencoba mencari tahu dari tetangga, dan mereka bilang dulu rumah ini pernah ditempati oleh keluarga yang mengalami kecelakaan.”
Pak Surya tampak terdiam sejenak, seperti sedang mencerna informasi tersebut. “Baiklah, kalau begitu. Mari kita mulai saja.”
Aku mengantar Pak Surya dan Anton ke lantai dua. Suasana di sana, meskipun terang karena masih sore, tetap terasa agak berat. Pak Surya melangkah perlahan, mengamati setiap sudut ruangan dengan seksama. Ia menutup mata sejenak dan mulai berkomat-kamit, seperti membaca doa atau mantra tertentu. Anton berdiri di sampingnya, memperhatikan dengan serius.
“Apakah suara-suara itu hanya muncul di malam hari?” tanya Pak Surya sambil membuka matanya.
“Iya, Pak,” jawabku. “Setiap kali jam menunjukkan sekitar pukul delapan malam, suara-suara itu mulai terdengar. Kadang hanya langkah kaki, kadang percakapan, bahkan suara pintu tertutup keras.”
Pak Surya mengangguk pelan. “Baik. Rumah ini memang terasa ada energi yang tersisa dari masa lalu. Sepertinya energi itu datang dari kejadian-kejadian yang tidak selesai dengan baik. Mereka masih merasa perlu untuk ‘menghuni’ tempat ini, mungkin karena ada keterikatan tertentu.”
Aku terdiam, mendengarkan penjelasan Pak Surya dengan cemas namun juga penasaran. “Lalu, apakah itu berarti mereka tidak akan pergi?”
Pak Surya tersenyum tipis. “Tidak sepenuhnya begitu, Nak. Arwah-arwah yang tersisa biasanya hanya memerlukan sedikit bantuan agar bisa melanjutkan perjalanan mereka. Saya akan mencoba melakukan ritual kecil di sini malam ini untuk menenangkan mereka.”
Aku mengangguk. “Baik, Pak. Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu?”
Pak Surya meminta aku untuk menyiapkan beberapa barang, seperti bunga melati, air bersih, dan sesajen sederhana berupa kue tradisional. Aku segera bergegas untuk menyiapkan semua yang diminta, sementara Pak Surya dan Anton menata ruangan di lantai dua, memilih tempat di dekat tangga yang menurutnya paling sering menjadi pusat aktivitas gaib.
Malam pun tiba, dan suara-suara mulai terdengar seperti biasanya. Langkah kaki, percakapan samar, dan pintu yang tertutup keras seolah kembali bergema di seluruh lantai dua. Pak Surya dan Anton sudah siap di atas, sementara aku menunggu di bawah, tak berani naik ke sana.
“Tenang saja, Nak. Kami akan menangani ini dengan baik,” ucap Pak Surya, memberi isyarat agar aku tidak terlalu cemas.
Aku duduk di ruang tamu, mendengarkan Pak Surya mulai membaca doa dan mantra dengan suara pelan namun tegas. Suara-suara di lantai dua perlahan-lahan memudar, seolah-olah terbawa oleh alunan doa yang dibacakan Pak Surya. Ada semacam ketenangan yang mulai menyelimuti rumah ini, menggantikan suasana mencekam yang biasanya muncul setiap malam.
Setelah beberapa lama, Pak Surya dan Anton turun ke ruang tamu, wajah mereka tampak lega.
“Bagaimana, Pak?” tanyaku dengan harap-harap cemas.
Pak Surya tersenyum dan menjawab, “Mereka sudah mulai tenang, Nak. Saya sudah mencoba berbicara dengan arwah-arwah itu. Sepertinya mereka hanya terjebak di sini karena keterikatan lama. Saya sudah meminta mereka untuk melanjutkan perjalanan mereka.”
Aku merasa lega mendengar penjelasan Pak Surya, namun masih ada sedikit keraguan dalam hatiku. “Apakah mereka benar-benar tidak akan kembali lagi, Pak?”
Pak Surya mengangguk dengan tenang. “Saya akan kembali beberapa kali lagi untuk memastikan semuanya benar-benar bersih. Namun, saya yakin rumah ini akan jauh lebih tenang mulai sekarang.”
Aku mengucapkan terima kasih kepada Pak Surya dan Anton. Malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa ada ketenangan yang menyelimuti rumah kami. Suara-suara itu tidak lagi terdengar, dan lantai dua terasa lebih damai.
Namun, meskipun perasaan takutku mulai mereda, aku tahu perjalanan ini belum sepenuhnya selesai.
Bab 4: Gangguan yang Kembali
Setelah Pak Surya melakukan ritual di rumahku, beberapa malam berlalu dengan tenang. Tidak ada lagi suara langkah kaki, percakapan samar, atau suara pintu yang tertutup keras dari lantai dua. Aku merasa lebih nyaman berada di rumah, dan untuk pertama kalinya, aku bisa tidur nyenyak tanpa terbangun di tengah malam.
Namun, di malam keempat setelah ritual, gangguan itu tiba-tiba kembali. Waktu menunjukkan pukul delapan malam ketika aku mendengar suara langkah kaki yang samar di lantai dua. Awalnya, aku mencoba mengabaikannya, berpikir mungkin itu hanya imajinasi. Namun, suara itu semakin jelas. Bukan hanya langkah kaki; kali ini terdengar suara anak-anak yang berlari dan suara tawa pelan.
Aku duduk terdiam di ruang tamu, berusaha mendengarkan lebih seksama. Ada suara seorang laki-laki yang berbicara samar-samar, seperti memimpin percakapan. Kemudian, suara langkah kaki yang semakin berat terdengar mendekati tangga. Jantungku berdegup kencang, dan aku mencoba menenangkan diri, berharap suara itu akan berhenti dengan sendirinya.
Namun, saat suara langkah kaki itu terdengar seperti sedang menuruni tangga, aku mulai panik. Aku meraih ponsel dan segera menelepon Pak Surya.
“Halo, Pak Surya?” suaraku bergetar.
“Iya, ada apa, Nak?” suara Pak Surya terdengar tenang di seberang sana.
“Suara-suara itu kembali, Pak. Langkah kaki dan suara orang berbicara. Bahkan… rasanya mereka mendekat ke arah tangga,” kataku cepat.
Pak Surya terdiam sejenak sebelum menjawab, “Baik, Nak. Saya akan segera ke sana. Tolong tetap tenang, ya. Jangan panik, dan coba tahan di tempat yang menurut kamu nyaman.”
Aku mengangguk, meskipun ia tidak bisa melihatku. “Baik, Pak. Saya tunggu.”
Sambil menunggu kedatangan Pak Surya, aku duduk di ruang tamu dengan cemas. Suara langkah kaki itu berhenti di tengah tangga, namun suasana tegang tetap terasa. Aku merasa seperti diawasi, meskipun tidak ada orang lain di rumah selain aku.
Setengah jam kemudian, Pak Surya dan Anton tiba. Mereka masuk dengan membawa beberapa barang ritual tambahan dan langsung naik ke lantai dua tanpa banyak bicara. Aku mengikuti mereka dari belakang, meskipun rasa takut masih menguasai hatiku.
Pak Surya berhenti di tengah-tengah lorong lantai dua, di tempat di mana suara-suara itu sering terdengar. Ia mengeluarkan dupa dan menyalakannya, kemudian mulai mengucapkan doa-doa dengan suara yang lebih lantang dan jelas. Anton berdiri di sampingnya, membantu menata sesajen yang dibawanya.
“Nak, apa kamu merasa ada perubahan dari suara-suara yang muncul kali ini?” tanya Pak Surya setelah selesai membaca mantra.
Aku berpikir sejenak sebelum menjawab, “Iya, Pak. Suara mereka seperti lebih jelas, dan terasa lebih dekat. Malah tadi saya merasa langkah-langkah itu hampir sampai ke ruang tamu.”
Pak Surya mengangguk, wajahnya tampak serius. “Ini mungkin karena mereka merasa terganggu dengan keberadaan kita di sini. Biasanya, arwah-arwah yang belum tenang akan mencari cara untuk menunjukkan keberadaan mereka saat ada perubahan yang mengusik mereka.”
Aku mengerutkan kening. “Maksud Bapak, mereka belum benar-benar pergi?”
Pak Surya menatapku, mencoba menjelaskan dengan lebih lembut, “Ritual pertama kita mungkin hanya membuat mereka sedikit tenang, namun mereka belum sepenuhnya menerima keberadaan kita di sini. Ada beberapa arwah yang merasa rumah ini masih milik mereka.”
Aku terdiam, perasaan tidak nyaman kembali menyelimuti. “Lalu, apa yang bisa kita lakukan, Pak?”
Pak Surya tersenyum tipis, menepuk pundakku. “Kali ini, saya akan melakukan ritual yang lebih mendalam. Kita akan coba berkomunikasi dengan mereka untuk meminta izin dan memberi mereka pemahaman bahwa rumah ini sudah menjadi tempat tinggalmu.”
Aku mengangguk, mencoba menenangkan diri. Pak Surya meminta aku untuk menyiapkan beberapa barang tambahan, termasuk air bersih, bunga tujuh rupa, dan sedikit minyak wangi yang ia bawa. Ia menata barang-barang tersebut di atas meja di tengah ruangan dan mulai membaca mantra yang lebih panjang.
Suasana di lantai dua terasa semakin berat saat Pak Surya memulai doa. Beberapa kali, aku merasa angin dingin berhembus melewati ruangan, padahal semua jendela tertutup rapat. Rasa takut bercampur harap membuatku bertahan di sana, berharap ritual ini akan membawa ketenangan yang benar-benar permanen.
Setelah beberapa lama, Pak Surya mengakhiri ritualnya. Ia menoleh kepadaku dengan pandangan tenang. “Sudah, Nak. Semoga mereka kini mengerti. Rumah ini adalah rumahmu sekarang, dan mereka sebaiknya melanjutkan perjalanan mereka.”
Aku menarik napas lega. “Terima kasih, Pak. Saya benar-benar berharap ini bisa mengakhiri semua kejadian aneh ini.”
Pak Surya tersenyum dan mengangguk. “Kamu tenang saja, Nak. Semoga semuanya berjalan lancar mulai sekarang. Jika masih ada gangguan, jangan ragu untuk menghubungi saya.”
Aku mengantar Pak Surya dan Anton keluar rumah dengan perasaan lebih tenang. Malam itu, rumah kembali sunyi, tanpa suara-suara aneh dari lantai dua. Aku berdoa dalam hati, berharap bahwa ini benar-benar adalah akhir dari semua gangguan yang mengusik kami.
Bab 5: Mimpi yang Menghantui
Malam setelah ritual kedua yang dilakukan oleh Pak Surya, rumah terasa jauh lebih tenang. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa semua gangguan benar-benar telah berakhir. Dengan perasaan lega, aku tidur lebih awal dari biasanya, berharap bisa mendapatkan istirahat yang tenang.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Tengah malam, aku terbangun dari tidur oleh mimpi yang begitu nyata dan mengganggu. Dalam mimpi itu, aku melihat lantai dua rumahku yang gelap dan sunyi. Cahaya remang-remang samar menerangi ruangan, seolah-olah ada seseorang yang mengintip dari balik pintu. Ketika aku mencoba mendekat, sosok-sosok itu menghilang satu per satu, menyisakan suara-suara samar yang memenuhi ruangan.
Dalam mimpi itu, suara seorang lelaki tua terdengar berbisik, “Ini rumah kami... kami belum siap pergi...”
Aku terbangun dengan keringat dingin, jantungku berdetak kencang. Mimpi itu terasa begitu nyata, dan suara lelaki tua itu masih terngiang di telingaku. Rasanya seperti sebuah pesan atau peringatan. Aku mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa mungkin ini hanya efek dari rasa takut yang masih tersisa.
Namun, perasaan tidak nyaman tetap menghantuiku hingga pagi tiba.
Ketika suamiku menelpon pagi itu, aku langsung menceritakan mimpi yang mengganggu tersebut.
"Sayang, sepertinya masih ada sesuatu yang belum selesai di rumah ini," kataku pelan.
Di seberang telepon, suamiku terdengar bingung. "Kamu yakin itu bukan hanya mimpi buruk? Mungkin kamu terlalu cemas."
Aku menggeleng, meskipun ia tak bisa melihatnya. "Tidak tahu, tapi mimpi itu terasa sangat nyata. Suaranya begitu jelas, seperti ada seseorang yang ingin menyampaikan sesuatu."
"Kalau begitu, coba kita pikirkan lagi. Mungkin Pak Surya bisa membantu lebih jauh. Kalau perlu, kita bisa cari solusi yang lebih besar," kata suamiku menenangkanku.
Aku hanya bisa mengiyakan, namun tetap merasa cemas sepanjang hari. Meskipun Pak Surya sudah mencoba membantu, aku mulai merasakan bahwa apa pun yang mengusik rumah ini masih enggan pergi. Entah kenapa, aku merasa ada sejarah kelam di rumah ini yang belum terungkap. Mungkin, aku memang perlu lebih dalam mencari tahu tentang sejarah rumah ini dan apa yang terjadi pada penghuni sebelumnya.
Bab 6: Menggali Sejarah Rumah
Keesokan harinya, dengan perasaan was-was namun tekad kuat, aku mulai bertanya-tanya kepada tetangga sekitar tentang rumah yang baru kami tempati ini. Dengan harapan bisa menemukan petunjuk, aku memilih beberapa tetangga yang sudah tinggal lama di lingkungan ini, mungkin saja mereka tahu sejarah rumah tersebut.
Tetangga pertama yang kudatangi adalah Bu Ratna, seorang wanita paruh baya yang ramah. Ia menyambutku dengan senyum hangat dan mempersilakan aku masuk ke rumahnya. Setelah berbasa-basi sejenak, aku memberanikan diri menanyakan tentang sejarah rumahku.
"Bu Ratna, apa Ibu tahu sesuatu tentang rumah yang sekarang kutempati?" tanyaku, mencoba menyembunyikan kegelisahan di balik senyumanku.
Bu Ratna terdiam sejenak, seperti sedang berpikir. “Rumah itu… sudah lama kosong sebelum kamu pindah, Nak. Setahu Ibu, rumah itu dulu milik keluarga Pak Darma. Mereka sekeluarga tinggal di sana sekitar lima belas tahun yang lalu.”
Aku mengangguk, merasa sedikit lega mendapat informasi baru. “Apakah ada sesuatu yang aneh tentang rumah itu, Bu? Maksud saya… sesuatu yang tidak biasa?”
Bu Ratna menatapku dengan sorot mata yang seakan-akan enggan bercerita. “Sebenarnya, memang ada cerita yang beredar, tapi Ibu tidak tahu pasti benar atau tidak. Katanya, anak bungsu Pak Darma sering bermain sendiri di lantai dua, bahkan suka berbicara sendiri. Warga dulu sering mendengar suara-suara aneh dari rumah itu saat malam.”
Aku merasakan bulu kudukku meremang mendengar penjelasan Bu Ratna. Suara-suara yang kudengar di lantai dua setiap malam, apakah itu suara dari… anak yang dulu tinggal di rumah ini?
“Apa yang terjadi dengan keluarga itu, Bu?” tanyaku, penasaran namun dengan sedikit ketakutan.
Bu Ratna menarik napas panjang, lalu melanjutkan. “Pada suatu malam, terjadi kebakaran di lantai dua rumah itu. Sumber api tidak pernah diketahui secara pasti, tapi konon katanya, api itu muncul begitu saja. Anak bungsu Pak Darma tidak berhasil keluar… dia terjebak di sana.”
Aku menutup mulut, menahan keterkejutan yang meluap. "Astaga... lalu apa yang terjadi setelah itu?"
“Setelah kejadian itu, keluarga Pak Darma pindah dari rumah tersebut. Mereka sepertinya tak sanggup tinggal di sana lagi setelah kehilangan anak mereka. Sejak saat itu, rumah itu kosong. Hingga akhirnya, kamu dan keluargamu pindah ke sana.” Bu Ratna menatapku dengan tatapan penuh empati.
Aku terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja kudengar. Semua ini mulai terasa masuk akal, suara-suara yang kudengar mungkin berasal dari anak itu, yang terjebak di lantai dua pada malam kebakaran. Apa mungkin arwahnya masih berada di sana, belum sepenuhnya tenang?
Aku mengucapkan terima kasih kepada Bu Ratna atas informasi yang diberikan dan berpamitan. Dalam perjalanan pulang, pikiranku penuh dengan perasaan campur aduk. Rasa takut, kasihan, dan sedih bercampur jadi satu. Kini, aku tahu bahwa anak itu mungkin adalah penyebab dari semua suara aneh di lantai dua.
Bab 7: Mencoba Berkomunikasi
Setelah mengetahui kisah tragis yang terjadi di rumahku, aku memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda. Aku ingin berusaha berkomunikasi dengan arwah anak itu, berharap bisa memberikan ketenangan dan membantunya beristirahat dengan damai.
Malam itu, aku duduk sendirian di ruang tamu, menyalakan lilin, dan menyiapkan bunga sebagai bentuk penghormatan. Dengan suara bergetar, aku berbicara ke arah lantai dua, berharap ia mendengarkan.
"Adik kecil… jika kamu masih ada di sini, aku ingin kamu tahu bahwa kami tidak berniat mengganggu. Aku ingin membantumu beristirahat dengan tenang. Kamu tidak perlu merasa terjebak di sini. Ini rumahku sekarang, tapi aku akan selalu mengenangmu sebagai bagian dari tempat ini."
Aku menunggu dalam keheningan, berharap ada tanda atau jawaban. Lantai dua tetap sunyi, namun entah mengapa, aku merasakan perasaan damai menyelimuti ruangan. Malam itu, untuk pertama kalinya, tidak ada suara langkah kaki, tawa, atau pintu yang tertutup keras.
Aku tersenyum tipis, berharap bahwa kata-kataku telah sampai kepadanya. Mungkin, dengan mengetahui bahwa aku memahami kehadirannya, arwah anak itu bisa perlahan-lahan pergi dan menemukan kedamaian.
Bab 8: Ketenangan yang Semu
Beberapa malam berlalu dalam keheningan yang menenangkan. Gangguan-gangguan yang sebelumnya kerap terjadi di lantai dua seolah hilang tanpa jejak. Meski perasaan lega mulai hadir, tetap ada kecemasan yang tak sepenuhnya lenyap dari benakku. Setiap kali melewati tangga menuju lantai dua, ada rasa dingin yang masih menyelimuti, seperti ada sesuatu yang tak terlihat mengawasi.
Di suatu malam, saat aku hendak tidur, terdengar ketukan samar dari arah tangga. Aku berusaha menenangkan diri, meyakinkan bahwa ini hanyalah suara biasa. Tapi ketukan itu semakin jelas dan teratur, hingga membuatku tak bisa mengabaikannya.
Dengan langkah pelan, aku keluar dari kamar, memandang ke arah tangga. Ketika aku menyalakan lampu, tak ada apa pun di sana, namun jejak basah terlihat di setiap anak tangga, mengarah ke lantai dua.
"Siapa... siapa di sana?" tanyaku, suaraku hampir bergetar.
Namun, hanya kesunyian yang menjawabku. Ketakutan mulai merayapi tubuhku, membuatku menyesal telah keluar dari kamar. Dengan perasaan was-was, aku berusaha mengabaikan semua itu dan kembali ke kamar, mencoba untuk tidur. Namun, suara ketukan itu terus terdengar hingga fajar mulai menyingsing.
Bab 9: Bantuanku yang Belum Tuntas
Keesokan harinya, aku menemui Pak Surya, menceritakan kejadian baru yang kutemui. Pak Surya tampak prihatin dan berpikir dalam-dalam. Setelah beberapa saat, ia mengatakan bahwa kemungkinan besar arwah anak itu masih merasa belum lepas dari dunianya. Ada sesuatu yang mengikatnya kuat di rumah itu.
"Kita perlu lakukan upacara terakhir yang lebih mendalam," kata Pak Surya. "Aku akan mencoba membantu lebih dari sekadar membersihkan rumah ini."
Malam itu, Pak Surya datang bersama asistennya. Mereka membawa dupa, sesajen, dan beberapa benda yang tampak suci. Aku dan suamiku menyaksikan dari kejauhan ketika mereka memulai ritualnya di lantai dua. Pak Surya melantunkan doa-doa dalam bahasa Jawa kuno, mengiringi setiap langkah dengan gerakan penuh kehati-hatian. Perlahan, suasana di lantai dua terasa lebih berat, seperti ada tekanan yang semakin menekan.
Ketika doa-doa mencapai puncaknya, tiba-tiba terdengar suara tangisan anak kecil yang begitu memilukan. Tangisan itu semakin keras, seakan-akan memenuhi seluruh ruangan. Aku memeluk suamiku, berusaha menahan ketakutan yang mencengkeram.
Pak Surya tetap melanjutkan doanya tanpa terganggu. Hingga akhirnya, suara tangisan itu perlahan mereda dan hilang. Suasana menjadi hening, begitu hening hingga hanya suara napas kami yang terdengar.
Pak Surya menoleh kepada kami, tampak lelah namun puas. "Seharusnya sekarang ia sudah tenang dan bisa beristirahat dengan damai."
Bab 10: Ketenangan yang Sesungguhnya
Setelah ritual terakhir dari Pak Surya, rumah itu benar-benar berubah. Tidak ada lagi suara-suara aneh, tidak ada lagi ketukan di tangga atau suara langkah kaki di lantai dua. Malam-malam kami berlalu dengan tenang, tanpa gangguan.
Aku bisa merasakan bahwa energi rumah ini kini berbeda, lebih ringan dan damai. Perasaan takut yang sebelumnya menyelimuti rumah ini perlahan tergantikan oleh rasa nyaman. Suamiku pun mulai merasa betah, dan kami mulai mendekorasi rumah sesuai keinginan kami, menjadikannya tempat tinggal yang sesungguhnya.
Beberapa minggu kemudian, aku berdiri di lantai dua, menatap ke arah jendela dengan perasaan lega. Dalam hati, aku berterima kasih kepada arwah anak itu, berharap bahwa kini ia telah menemukan tempat yang lebih baik. Di rumah ini, aku tak lagi merasa menjadi tamu yang tak diundang, tapi benar-benar pemiliknya.
Meski ada sedikit rasa sedih mengetahui bahwa rumah ini menyimpan kisah tragis, aku yakin bahwa kehadiran kami di sini juga membawa perubahan bagi arwah yang pernah menghuni tempat ini.
Malam itu, aku duduk di ruang keluarga bersama suamiku, merasakan kehangatan rumah yang kini benar-benar terasa milik kami.
"Sekarang rumah ini terasa damai, ya?" kata suamiku sambil tersenyum.
Aku mengangguk. "Ya. Rasanya seperti ada yang mengawasi, tapi dengan niat baik. Sepertinya, kita akhirnya diterima."
Kami tersenyum, dan perasaan lega akhirnya benar-benar melingkupi hati kami. Rumah ini akhirnya menjadi rumah yang sebenarnya, dan aku tahu bahwa kami kini bisa menjalani hidup di sini dengan tenang.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
.png)
Komentar
Posting Komentar