Cerita Horor #23 RONGSOK 👀


RONGSOK
Bab 1: Rongsokan Terlarang

Darto adalah tukang rongsok yang dikenal gigih di desanya. Setiap hari, ia berkeliling kampung dengan gerobaknya, mengumpulkan barang-barang bekas yang bisa dijual kembali. Meski hidupnya sederhana, Darto tidak pernah mengeluh. Ia pandai mencari barang-barang yang dianggap orang lain sudah tidak berguna, dan itu selalu membuatnya cukup untuk hidup.

Namun, ada satu rumah di ujung desa yang selalu membuat Darto penasaran. Rumah tua itu berdiri di pinggiran desa, jauh dari rumah-rumah lainnya, hampir tertutup oleh tanaman liar yang menjalar di sekelilingnya. Catnya sudah mengelupas, atapnya retak, dan jendelanya pecah. Rumah itu tampak seperti hantu di tengah hutan kecil yang tumbuh di sekelilingnya. Setiap kali Darto melintas di depan rumah itu, ia merasakan hawa dingin yang aneh.

Warga kampung sudah lama tidak ada yang berani mendekati rumah itu. Konon, rumah itu pernah ditinggali seorang dukun yang meninggal secara misterius bertahun-tahun lalu, dan sejak saat itu, banyak yang percaya rumah tersebut dihuni oleh roh-roh jahat. Beberapa orang bahkan mengatakan pernah mendengar suara-suara aneh dan melihat bayangan di jendelanya, meski tidak ada seorang pun yang tinggal di sana.

Pagi itu, Darto sedang berkeliling seperti biasa. Cuaca sedikit mendung, angin bertiup sepoi-sepoi, menambah kesan kelam di udara. Saat ia melintasi rumah tua itu, pandangannya tertuju pada halaman depan yang penuh dengan barang-barang rongsokan. Tampak tumpukan panci tua, besi karatan, dan sebuah cermin besar yang retak di bagian tengahnya.

Mata Darto berbinar. "Ini bisa jadi uang banyak!" pikirnya.

Namun, di saat yang sama, ia merasakan desakan aneh di dadanya, seperti peringatan untuk tidak mengambil apa pun dari sana. Ia pernah mendengar cerita-cerita seram tentang orang-orang yang berani masuk ke rumah itu dan mengalami hal-hal yang mengerikan. Tapi Darto menggeleng, menepis ketakutan itu.

“Ah, cuma cerita lama yang nggak masuk akal,” gumamnya.

Dia melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang yang melihat. Tak jauh dari rumah, ia melihat temannya, Jono, yang juga tengah berkeliling mengerjakan tugasnya sebagai tukang bangunan. Jono tampak berhenti sejenak saat melihat Darto berada di dekat rumah angker itu.

“Darto! Apa yang kau lakukan di sana?” seru Jono dengan nada cemas.

Darto mendekatkan tubuhnya pada pagar, melambaikan tangannya kepada Jono. “Lihat, No! Banyak rongsokan di sini! Kalau aku jual, bisa dapat untung besar!”

Wajah Jono berubah tegang, matanya melebar. “Kau gila, Tar! Itu rumah terkutuk! Jangan ambil apa pun dari sana!” katanya sambil melangkah mundur, seolah-olah takut mendekat.

Darto tertawa kecil, mencoba menghilangkan kecanggungan. “Ah, sudahlah! Kau terlalu percaya takhayul. Ini cuma barang-barang rongsok biasa. Lagipula, sudah bertahun-tahun rumah ini kosong. Tak ada yang peduli dengan cerita-cerita itu.”

Jono menggeleng dengan wajah serius. "Kau salah, Tar. Bukan hanya cerita. Kau belum pernah dengar tentang Pak Amin? Dia pernah berani masuk ke rumah itu dan sejak saat itu, dia sakit parah tanpa alasan. Tidak ada yang bisa menyembuhkannya. Dan akhirnya, dia mati dalam keadaan mengenaskan."

Darto menelan ludah, tapi tetap memaksakan senyum. "Ah, mungkin Pak Amin memang sudah tua dan lemah. Itu hanya kebetulan."

Jono mendesah, masih berdiri di tempatnya dengan wajah was-was. "Kau benar-benar keras kepala, Tar. Kau nggak takut sama cerita-cerita itu? Banyak yang sudah membuktikan, dan sekarang mereka tidak ada lagi. Kau bisa jadi korban berikutnya."

Darto menatap barang-barang di halaman itu sekali lagi. Matahari pagi mulai tertutup awan mendung, membuat suasana semakin suram. Namun, dalam pikirannya hanya ada satu hal: uang.

“Aku nggak percaya hal-hal begitu, No. Semua itu cuma kebetulan. Kalau aku percaya cerita horor setiap hari, aku nggak akan bisa cari makan,” kata Darto, menyakinkan dirinya sendiri lebih dari siapa pun.

Jono menghela napas dalam-dalam, lalu menggeleng sekali lagi. “Kalau kau nekad, jangan bilang aku tidak memperingatkanmu.”

Darto hanya tertawa kecil dan mulai mengumpulkan barang-barang itu, meskipun hatinya masih diliputi kegelisahan yang samar. Angin tiba-tiba bertiup kencang, menggoyangkan pepohonan di sekitar rumah itu. Suara dedaunan yang bergesekan menambah ketegangan di udara, seolah-olah alam pun memperingatkan Darto untuk berhenti. Namun, ia tetap meneruskan kegiatannya, mengumpulkan besi-besi tua dan memasukkannya ke dalam gerobaknya.

Saat ia mengangkat cermin retak itu, ia merasakan hawa dingin yang aneh menyusup ke tulangnya. Cermin itu tampak biasa, tetapi ketika ia mengangkatnya, bayangannya di cermin tampak buram. Sesuatu di balik retakan cermin itu membuatnya merinding. Namun, ia hanya menggeleng dan meletakkan cermin itu di atas tumpukan rongsokan.

Saat Darto hendak pergi, Jono kembali memanggilnya dengan cemas. “Tar, serius! Jangan bawa barang-barang itu ke rumah. Aku punya firasat buruk!”

Darto menatap Jono, kemudian kembali ke barang-barangnya. “Santai saja, No. Aku baik-baik saja. Lihat saja, besok aku akan jual ini dan kita bisa makan enak.”

Jono tetap di tempatnya, diam menatap Darto pergi dengan gerobaknya. Hati Jono tidak tenang. Sesuatu tentang rumah itu selalu membuatnya merasa tidak nyaman. Dan sekarang, dengan Darto yang mengambil barang dari sana, firasat buruk semakin kuat menghantuinya. Namun, ia hanya bisa menggeleng dan kembali ke pekerjaannya.

Darto mendorong gerobaknya, mengabaikan rasa dingin yang mulai merambati tubuhnya. Saat ia melangkah menjauh dari rumah angker itu, awan mendung semakin tebal di langit, seolah-olah cuaca pun mengikuti perasaannya yang semakin gelisah. Di sepanjang perjalanan pulang, ia merasa seperti ada yang mengawasinya, tetapi setiap kali ia menoleh ke belakang, tak ada siapa pun di sana.

Namun, Darto tidak peduli. Di benaknya, hanya ada bayangan keuntungan yang akan ia dapatkan dari barang-barang itu. Tapi ia tidak tahu bahwa barang-barang yang diambilnya dari rumah terkutuk itu membawa lebih dari sekadar benda mati—mereka membawa kutukan yang akan segera menghancurkan hidupnya.

Bab 2: Malam yang Mencekam

Malam itu, setelah seharian bekerja keras, Darto pulang ke rumahnya dengan perasaan puas. Barang-barang rongsokan yang ia ambil dari rumah angker kini tertumpuk di halaman samping rumahnya. Dengan senyum lebar, Darto membayangkan uang yang akan ia dapatkan setelah menjual semua itu esok hari. Ia melemparkan tubuhnya ke atas kasur, mencoba beristirahat sejenak.

Namun, seiring malam semakin larut, perasaan tidak nyaman mulai menyelimutinya. Meskipun tubuhnya lelah, matanya tidak bisa terpejam. Sesuatu di dalam dirinya merasakan kegelisahan yang tidak dapat dijelaskan.

Sekitar tengah malam, angin berhembus lebih kencang, membuat ranting-ranting pepohonan di luar rumahnya berderit. Suara angin yang biasanya menenangkan malam kini terdengar aneh, seperti bisikan-bisikan yang berusaha merayap masuk ke dalam pikirannya. Darto berusaha memejamkan mata lebih erat, tapi suara-suara itu semakin jelas.

Kemudian, suara lain mulai terdengar dari luar rumah. Sebuah derit pelan, seperti logam yang bergesekan, membuat bulu kuduk Darto meremang. Awalnya, ia mencoba mengabaikannya, berpikir bahwa itu hanya angin yang memainkan tumpukan rongsokannya. Namun, suara itu semakin keras, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di antara barang-barang yang ia kumpulkan.

"Apa itu?" gumam Darto pelan, meski ia tahu tak ada orang lain di rumah.

Dia bangun dari tempat tidurnya dan berjalan ke jendela, mengintip ke luar. Gelap. Tidak ada yang aneh. Tumpukan rongsokan masih berada di tempat yang sama, diam tak bergerak di bawah sinar bulan yang terhalang awan tipis. Darto menghela napas, menenangkan dirinya.

Namun, begitu ia hendak kembali ke tempat tidur, suara langkah kaki yang berat terdengar di luar pintunya. Langkah-langkah itu pelan, seperti seseorang yang berjalan dengan sangat hati-hati. Darto menahan napas, jantungnya berdetak semakin kencang.

"Siapa di luar?" serunya, mencoba menguasai ketakutannya. Tidak ada jawaban.

Langkah-langkah itu berhenti tepat di depan pintu rumahnya. Sekarang, hanya ada kesunyian yang menakutkan. Darto ragu sejenak, namun ia merasa perlu memeriksa. Ia meraih tongkat kayu yang biasa ia gunakan untuk menjaga diri dari anjing liar di jalan, lalu membuka pintu dengan pelan.

Di luar, udara terasa dingin menusuk, lebih dingin dari biasanya. Darto memandang sekeliling, matanya menelusuri halaman yang kosong. Tidak ada siapa pun. Namun, pandangannya tertuju pada tumpukan rongsokan yang tampak tidak seperti biasanya. Di atas tumpukan itu, cermin retak yang diambilnya dari rumah angker berdiri miring, seolah-olah menatapnya.

Darto mendekat dengan langkah pelan, matanya tertuju pada cermin itu. Ketika ia sudah berada di depannya, sesuatu yang aneh terjadi. Bayangan di dalam cermin tidak memantulkan dirinya. Sebaliknya, cermin itu menunjukkan bayangan sebuah ruangan gelap, dengan dinding yang penuh dengan goresan-goresan tangan.

Kemudian, dari dalam cermin, terdengar suara serak yang tidak asing lagi di telinga Darto.

“Kenapa kau mengambil milikku?”

Suara itu seakan berasal dari dalam cermin, bukan dari dunia nyata. Darto mundur beberapa langkah, tangannya gemetar.

"Apa… Apa ini?" gumam Darto, matanya masih terpaku pada cermin itu.

Bayangan di cermin tiba-tiba berubah. Kini, ia melihat sosok wanita tua dengan rambut kusut dan kulit pucat. Wanita itu menatapnya dengan tatapan penuh kebencian, dan bibirnya bergerak-gerak, meskipun suara yang keluar hanya tawa pelan yang terdengar serak dan mengerikan.

“Kembalikan…” bisik wanita itu, suaranya semakin mendesak. “Kau harus mengembalikannya...”

Darto melangkah mundur dengan panik, tak mampu berpikir jernih. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan seluruh tubuhnya gemetar. Dia tidak bisa memalingkan pandangannya dari cermin itu, meskipun hatinya menjerit untuk lari.

"Aku tidak melakukan apa-apa... Aku hanya mengambil rongsokan..." bisik Darto putus asa, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Tawa wanita itu semakin keras, seolah mengejek. Mata kosongnya kini memancarkan kebencian yang mendalam, dan Darto merasa seolah-olah tangan-tangan tak terlihat mulai menariknya masuk ke dalam cermin. Udara di sekitar Darto tiba-tiba menjadi sangat dingin, begitu dingin hingga napasnya terlihat seperti asap putih.

"Kembalikan..." Suara wanita itu terdengar lagi, kali ini lebih mengancam.

Dengan panik, Darto mundur lebih jauh, akhirnya berhasil berbalik dan berlari masuk ke dalam rumahnya. Ia menutup pintu dengan keras, mengunci semua kunci yang ada. Tubuhnya gemetar hebat, kakinya nyaris tidak mampu menopang berat tubuhnya. Ia terhempas ke lantai, napasnya tersengal-sengal.

Di dalam rumah, keheningan menguasai. Darto mencoba mendengarkan dengan seksama, berharap suara itu telah menghilang. Namun, suara derit logam itu kembali, kali ini lebih dekat—seolah-olah benda-benda rongsokan di luar bergerak dengan sendirinya.

"Ini tidak mungkin... ini hanya halusinasi..." bisik Darto, memegangi kepalanya yang terasa berat.

Kemudian, suara tawa wanita tua itu kembali terdengar, kali ini dari dalam rumah. Darto terperanjat. Tidak mungkin. Pintu masih terkunci, tidak ada yang masuk. Tapi suara tawa itu jelas-jelas ada di dalam, mengelilingi setiap sudut ruangan.

Mata Darto terbelalak ketakutan. Dia merasa ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan di dalam rumahnya. Sebuah bayangan bergerak cepat di sudut matanya. Ia menoleh, tapi tidak ada apa-apa. Nafasnya semakin cepat, tubuhnya lemah, namun ia tetap berusaha untuk bertahan.

“Apa yang kau inginkan dariku?” seru Darto, suaranya hampir tak terdengar.

Tidak ada jawaban selain tawa mengerikan yang terus menggema di seluruh rumah. Bayangan-bayangan mulai muncul di dinding, menggeliat dan bergerak, seolah-olah hidup. Darto mundur hingga punggungnya menempel ke dinding, matanya menatap lekat bayangan yang semakin besar.

"Tidak... ini tidak nyata... ini hanya mimpi buruk..." katanya, berharap ia akan terbangun dari mimpi buruk ini. Namun, kenyataan yang dihadapinya jauh lebih mengerikan daripada yang bisa ia bayangkan.

Malam itu menjadi malam terpanjang dalam hidup Darto, dan ia tahu bahwa kutukan dari rumah angker itu sudah mulai mengambil alih hidupnya.

Bab 3: Tamu Tak Diundang

Keesokan paginya, Darto bangun dengan tubuh lemas dan kepala yang terasa berat. Semalaman ia tidak bisa tidur dengan tenang. Mimpi-mimpi buruk terus menghantuinya—wanita tua dari cermin itu muncul berulang kali, dengan tatapan penuh kebencian dan tawa yang mengerikan. Namun, saat ia terbangun, ia berharap semua itu hanyalah mimpi buruk biasa.

Tapi begitu ia keluar dari rumah, tubuhnya langsung menegang. Tumpukan rongsokan yang kemarin ia kumpulkan masih berada di sana, dan cermin retak itu kembali berdiri tegak, meskipun semalam ia yakin telah meletakkannya dengan hati-hati. Seolah-olah cermin itu memiliki keinginan sendiri untuk menatapnya.

Darto mencoba menenangkan dirinya. “Mungkin semalam aku terlalu lelah dan membayangkan hal yang tidak-tidak,” gumamnya sambil menggosok wajah.

Sementara itu, suara ketukan di pintu depan membuat Darto terkejut. Ia tidak mengharapkan tamu di pagi seperti ini. Dengan langkah ragu, ia berjalan ke pintu dan membukanya. Di luar, Jono berdiri dengan wajah cemas.

"Tar, kau baik-baik saja?" tanya Jono, suaranya penuh kekhawatiran.

Darto mencoba tersenyum, meskipun senyum itu tampak dipaksakan. "Aku baik-baik saja. Kenapa kau datang pagi-pagi begini?"

Jono melirik ke arah tumpukan rongsokan di samping rumah, terutama ke arah cermin retak yang berdiri mencolok. Wajahnya berubah tegang. "Kau benar-benar nekat, Tar. Barang-barang itu... terutama cermin itu... sebaiknya kau kembalikan ke tempat asalnya. Aku dengar semalam ada yang aneh terjadi di sini?"

Darto mengerutkan dahi, tidak langsung menjawab. Ia tak ingin mengakui bahwa semalam ia memang mengalami hal-hal aneh, karena itu akan membuatnya terdengar konyol. "Ah, cuma angin malam dan bayangan. Aku terlalu lelah, mungkin cuma halusinasi." Tapi dalam hatinya, ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu yang lebih dari sekadar mimpi buruk telah terjadi.

Jono tetap tidak terpengaruh. "Tar, kau tahu kan, dulu Pak Amin juga berpikir begitu. Dia bilang hal yang sama, sampai akhirnya..." Jono berhenti sejenak, menelan ludah, seolah takut melanjutkan ceritanya. "Sampai akhirnya dia mulai melihat... hal-hal yang tak seharusnya dia lihat."

Darto tertawa, meskipun tawa itu terdengar hampa. "Sudahlah, No. Jangan percaya takhayul. Itu cuma cerita orang-orang kampung. Aku tidak akan kena kutukan hanya karena mengambil rongsokan dari rumah tua itu." Namun, dalam hatinya, perasaan takut mulai merayap pelan.

Jono menghela napas berat, menatap Darto dengan pandangan serius. "Aku hanya berharap kau benar. Tapi kalau kau merasakan sesuatu yang aneh lagi... sebaiknya kau bawa barang-barang itu kembali."

Setelah Jono pergi, Darto kembali ke pekerjaannya. Ia berusaha mengabaikan cermin itu, tapi setiap kali ia melewati tumpukan rongsokan, cermin itu seolah-olah memanggilnya, menarik perhatiannya dengan cara yang tidak bisa dijelaskan. Setiap kali ia melihat bayangannya di cermin, ada sesuatu yang berbeda. Bayangannya tampak lebih buram, lebih gelap, dan ada sensasi dingin yang aneh ketika ia mendekatinya.

Hari itu, Darto mencoba tetap sibuk. Ia berkeliling kampung seperti biasa, mengumpulkan barang-barang bekas, meskipun pikirannya terus menerawang ke arah rumahnya, ke arah cermin terkutuk itu.

Menjelang sore, ketika ia kembali ke rumah, perasaan gelisah semakin kuat. Ia mendengar suara-suara yang tidak jelas dari dalam rumahnya—suara seperti bisikan, samar-samar namun jelas berasal dari dalam. Ia memeriksa setiap sudut rumah, tetapi tidak ada siapa pun.

Malam pun tiba. Darto duduk di ruang tamu, menonton televisi dengan volume keras, berusaha mengusir kegelisahan yang mulai merayap kembali. Namun, setiap kali ia menoleh ke jendela, ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya dari luar. Bayangan-bayangan pohon tampak seperti sosok-sosok yang berdiri di kejauhan, memperhatikan setiap gerakannya. Darto mencoba mengalihkan perhatiannya, tetapi perasaan itu semakin kuat.

Tiba-tiba, lampu di ruang tamu berkedip. Sekali. Dua kali. Kemudian padam sepenuhnya. Gelap melingkupi seluruh rumah, membuat Darto panik sejenak. Ia berlari ke arah senter yang biasa ia simpan di meja, menyalakannya, dan memeriksa seluruh ruangan.

"Sial... kenapa mati listrik begini?" Darto bergumam pada dirinya sendiri.

Saat ia berjalan menuju pintu depan untuk melihat apakah rumah-rumah tetangga juga mengalami hal yang sama, Darto mendengar suara derit pelan dari belakangnya. Ia menoleh dengan cepat, senter di tangannya bergetar.

"Siapa di sana?" serunya, meski ia tahu tidak mungkin ada siapa pun.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam.

Darto melangkah pelan menuju suara itu. Saat sinar senter menyapu ruangan, matanya menangkap sesuatu yang aneh. Di sudut ruang tamu, tempat biasanya tidak ada apa-apa, sekarang berdiri cermin retak yang ia ambil dari rumah angker itu. Ia yakin betul telah meletakkannya di luar, bersama barang-barang rongsokan lainnya. Tapi kini cermin itu ada di dalam rumahnya, berdiri miring dengan retakan yang semakin dalam.

"Bagaimana...?" Darto tertegun, tidak percaya pada apa yang dilihatnya.

Saat ia mendekat, sinar senter bergetar, dan bayangan di cermin mulai berubah. Awalnya, hanya bayangan dirinya yang tampak, namun kemudian bayangan itu mengabur, digantikan oleh sosok lain—wanita tua yang sama dari mimpinya. Wajah pucatnya tersenyum mengerikan, dan bibirnya berbisik pelan.

"Kembalikan..."

Darto mundur dengan ketakutan, hampir menjatuhkan senternya. "Tidak... ini tidak mungkin..." Ia menelan ludah, tubuhnya mulai menggigil meskipun keringat dingin mengalir di wajahnya.

Wanita di dalam cermin bergerak, mendekati permukaan kaca seolah-olah hendak keluar dari sana. Mata kosongnya menatap Darto dengan tatapan tajam, dan sekali lagi, suara seraknya terdengar.

"Kembalikan apa yang bukan milikmu..."

Jantung Darto berdegup kencang, suaranya nyaris terhenti di tenggorokan. Dengan gemetar, ia mengambil langkah mundur, berusaha menjauh dari cermin itu, tetapi setiap kali ia melangkah, wanita di dalam cermin semakin mendekat, hingga wajahnya hampir menempel di permukaan kaca.

Kemudian, dari dalam cermin, terdengar suara lain—suara benda logam yang diseret, gemeretak keras di lantai. Suara itu semakin mendekat, seolah-olah berasal dari ruangan yang sama. Darto menoleh, mencoba mencari sumber suara itu, tapi tidak ada apa-apa di sana. Suara itu terus terdengar, semakin dekat, semakin menghantuinya.

"Aku tidak akan... kembalikan... semua itu..." Darto berbisik, meskipun ia tahu bahwa semakin ia menolak, semakin kuat kehadiran wanita itu terasa. Kini, ia tidak bisa lagi menyangkal bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan barang-barang yang ia ambil dari rumah angker tersebut.

Dalam keheningan yang mencekam, Darto merasakan keberadaan yang tidak terlihat di sekelilingnya. Suara napas berat terdengar di telinganya, membuat bulu kuduknya berdiri. Cermin itu, kini penuh dengan bayangan dan goresan, seolah-olah akan pecah kapan saja. Dan dari dalam cermin, tawa serak wanita itu kembali terdengar, menggema di seluruh ruangan, menghantui Darto yang kini terjebak dalam kengerian yang tak berujung.

Bab 4: Teror yang Mencengkeram

Keesokan harinya, Darto bangun dengan perasaan tubuh yang terasa jauh lebih lemah dari biasanya. Ia terhuyung-huyung keluar dari kamar, mencoba mencari kesadaran setelah semalam diisi dengan mimpi buruk yang terus menghantui. Wanita tua itu—dengan wajah menyeramkan, mata yang kosong, dan tawa serak yang menggema di seluruh rumah—tidak berhenti menghantui pikirannya. Namun, bukan hanya itu yang membuat Darto merasa aneh. Seluruh tubuhnya terasa seperti dipenuhi beban yang berat, seolah-olah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan.

Dia melihat ke arah jendela dan menyadari bahwa pagi itu mendung. Cahaya matahari yang biasanya menyinari halaman kini terhalang oleh awan gelap, membuat seluruh suasana rumah menjadi lebih muram dan dingin. Udara di dalam rumahnya juga terasa lembap, seperti tidak ada ventilasi yang cukup.

Darto berjalan ke dapur, mencoba menenangkan dirinya dengan secangkir kopi. Namun, sebelum ia sempat menyalakan kompor, terdengar ketukan pelan dari pintu depan. Itu bukan ketukan biasa, melainkan suara yang sangat pelan, seperti jari-jari yang mengetuk dengan ragu.

"Siapa lagi pagi-pagi begini?" gumam Darto sambil berjalan menuju pintu, merasa sedikit jengkel dengan tamu yang tidak diharapkannya.

Saat ia membuka pintu, yang muncul adalah wajah yang dikenalnya—Jono, tetangga dan temannya yang kemarin datang memperingatkannya. Namun, kali ini wajah Jono tampak lebih pucat, dan matanya terlihat cemas.

"Tar..." Jono berbicara pelan, hampir berbisik. "Aku... aku dengar kabar tentang rumahmu semalam. Ada beberapa orang yang lewat, mereka bilang... mereka lihat cahaya aneh di rumahmu."

Darto tertegun, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. Cahaya aneh? Tidak ada yang aneh di sini, kecuali… kecuali semalam, saat lampu rumahnya berkedip dan cermin itu tiba-tiba muncul di dalam rumah.

"Apa maksudmu, cahaya aneh?" tanya Darto, mencoba bersikap acuh tak acuh.

Jono melirik ke dalam rumah, seolah-olah takut sesuatu akan keluar dari dalam. "Kata mereka, semalam ada kilatan cahaya dari jendela rumahmu, dan beberapa dari mereka mendengar suara tawa... tawa yang tidak biasa."

Jantung Darto berdegup lebih kencang. Suara tawa itu... Ia tahu betul suara tawa yang dimaksud oleh Jono. Itu suara wanita tua dari cermin terkutuk itu. Namun, Darto tidak ingin membuat Jono semakin khawatir.

"Mereka mungkin cuma salah dengar atau lihat hal yang tidak jelas, No. Aku cuma kecapekan semalam. Tidak ada yang aneh di sini," jawab Darto dengan suara yang dipaksakan tenang.

Jono tidak terlihat yakin. Dia menatap Darto lekat-lekat, seolah ingin memastikan bahwa temannya itu benar-benar baik-baik saja. "Aku berharap kau benar, Tar. Tapi aku... aku benar-benar merasakan ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini. Kau yakin tidak ada yang perlu kau ceritakan?"

Darto hendak menjawab, namun sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara gesekan yang keras dari arah belakang rumah. Seperti suara besi yang diseret di atas lantai beton. Darto dan Jono menoleh bersamaan, mata mereka melebar dalam ketakutan.

"Apa itu?" Jono berbisik, tubuhnya tampak tegang.

Darto menelan ludah, mencoba untuk tidak panik. "Aku... aku tidak tahu. Mungkin cuma angin yang menggeser barang-barang rongsokan di luar," jawabnya, meskipun ia sendiri tidak percaya dengan ucapannya.

Mereka berdua berjalan perlahan menuju sumber suara, menuju halaman belakang di mana tumpukan rongsokan Darto berada. Namun, semakin dekat mereka melangkah, semakin jelas suara itu terdengar. Suara gesekan itu seolah-olah semakin keras, seperti ada sesuatu yang dengan sengaja menyeret benda-benda logam itu.

Ketika mereka tiba di halaman, pemandangan yang disaksikan membuat darah Darto seakan berhenti mengalir. Tumpukan rongsokan yang kemarin ia kumpulkan kini berserakan di mana-mana, seperti ada yang dengan sengaja mengacak-acak semuanya. Cermin retak yang sebelumnya berdiri di tempat yang sama kini sudah jatuh dan pecah lebih banyak lagi. Potongan-potongan kacanya tersebar di tanah, mencerminkan wajah-wajah aneh yang tidak ada di sana.

Jono tertegun. "Apa-apaan ini, Tar? Kau... kau yakin ini bukan ulah seseorang? Mungkin pencuri?"

Namun, Darto tahu betul tidak ada pencuri yang akan repot-repot mengacak-acak rongsokan tanpa alasan. Dia ingat betul betapa cermin itu tadi malam seolah-olah memiliki nyawa, dan sekarang, melihat kaca yang pecah dengan bayangan yang tak wajar, Darto merasa semakin yakin bahwa sesuatu yang jahat sedang mengintainya.

Sebelum ia sempat menjawab, suara tawa serak itu kembali terdengar—kali ini lebih dekat. Tawa yang sama dengan yang ia dengar dari cermin. Jono menatap Darto dengan mata yang membelalak, wajahnya memucat.

"Kau dengar itu, kan?" bisik Jono dengan suara gemetar.

Darto hanya mengangguk pelan, tubuhnya kini terasa kaku karena ketakutan. Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari kembali ke dalam rumah, Jono mengikutinya dari belakang. Pintu rumah segera ditutup dengan keras, dan mereka berdua berdiri di ruang tamu dengan napas yang tersengal-sengal.

"Tar, kau harus kembalikan barang-barang itu. Aku tidak tahu apa ini, tapi ini jelas bukan hal yang normal!" seru Jono, suaranya penuh kepanikan.

Darto menatap sahabatnya, merasakan ketakutan yang sama. Ia tahu bahwa Jono benar, namun sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa sudah terlambat. Barang-barang itu kini telah membawa sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Wanita itu, sosok dari cermin, tidak akan membiarkan dirinya bebas begitu saja.

Mereka berdua duduk di lantai, berusaha menenangkan diri. Namun, sebelum mereka sempat berbicara lagi, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan keras di jendela ruang tamu. Ketukan itu terdengar seperti seseorang yang memukul kaca dengan keras, membuat kaca jendela bergetar.

Mata Darto dan Jono tertuju pada jendela tersebut, dan apa yang mereka lihat membuat darah mereka seakan membeku. Di balik jendela, samar-samar tampak bayangan wanita tua itu—dengan wajah yang pucat dan mata kosong, menatap mereka berdua dengan tatapan yang begitu dingin dan menyeramkan. Bibir wanita itu bergerak, namun tidak ada suara yang keluar. Hanya senyum menyeramkan yang tampak semakin lebar.

Jono mundur beberapa langkah, terhuyung-huyung hampir jatuh. "Tar... ini... ini sudah keterlaluan. Kita harus keluar dari sini!"

Namun sebelum Darto sempat menggerakkan tubuhnya, suara itu kembali terdengar. Suara serak, suara yang tidak akan pernah ia lupakan.

"Kembalikan... barangku..."

Suara itu seperti perintah dari dalam kegelapan, membuat seluruh tubuh Darto menggigil. Kini ia tahu, tidak ada jalan lain. Wanita itu tidak akan berhenti. Tidak akan pergi. Tidak akan melepaskannya, kecuali ia mengembalikan apa yang sudah ia ambil.

Dengan napas tersengal, Darto berbisik, "Aku... aku harus kembalikan semuanya..."

Jono menatapnya dengan ketakutan yang masih belum hilang dari wajahnya. "Kita harus segera pergi, Tar! Kalau kau yakin dengan itu, kita harus bawa semuanya kembali sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi!"

Namun dalam hatinya, Darto sudah tahu—bahkan jika ia mengembalikan barang-barang itu, mungkin sudah terlambat. Teror ini sudah mulai mencengkeram hidupnya, dan wanita itu tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan apa yang ia inginkan—atau mengambil lebih dari sekadar barang-barang.

Bab 5: Harga yang Harus Dibayar

Malam tiba dengan cepat, dan Darto serta Jono sudah berdiri di depan rumah angker yang tadi malam menjadi sumber mimpi buruk mereka. Udara di sekitar rumah terasa lebih dingin dan berat, seolah-olah ada sesuatu yang tak kasat mata menekan dada mereka. Pohon-pohon besar di sekeliling rumah itu bergoyang pelan meski tidak ada angin, dan bayangan mereka tampak seolah-olah bergerak sendiri.

"Tar... aku rasa ini bukan ide bagus," gumam Jono dengan suara pelan, pandangannya tak lepas dari jendela rumah tua itu, yang tampak gelap dan tak terjamah selama bertahun-tahun.

Darto, meskipun gemetar, menelan ludah dan berusaha menegarkan diri. "Aku nggak punya pilihan, No. Kalau nggak dikembalikan sekarang, entah apa lagi yang bakal terjadi." Suaranya terdengar putus asa, penuh rasa takut yang sudah lama tidak ia rasakan.

Di tangannya, Darto memegang cermin retak yang menjadi sumber dari semua masalah ini. Cermin itu terasa dingin, seolah-olah menyerap semua kehangatan dari tubuhnya. Setiap kali ia melihat retakan di cermin, ia merasa ada sesuatu di dalamnya—sebuah mata yang terus mengintip dan menunggu saat yang tepat untuk keluar. Wajah wanita tua yang menghantui mimpi buruknya seakan terpampang di setiap sudut kaca, menertawakan keputusasaannya.

Jono menggelengkan kepala dengan putus asa. "Kenapa kau nekat banget ngambil barang-barang dari sini? Rumah ini udah lama dianggap angker, bahkan orang-orang kampung bilang ini bukan tempat yang harus disentuh."

"Aku nggak tahu, No..." Darto membalas dengan suara serak. "Waktu itu cuma lihat rongsokan biasa, nggak ada yang aneh. Tapi setelah bawa pulang barang-barang ini... semuanya berubah."

Mereka berdiri di depan pagar yang berkarat, melihat pintu kayu rumah itu yang sudah lapuk. Tanpa banyak bicara lagi, Darto membuka pagar perlahan, menghasilkan suara berderit yang mengerikan. Langkah kaki mereka terasa berat saat mereka melangkah masuk ke halaman. Jono terus melihat ke sekeliling, takut kalau-kalau ada sesuatu yang mengintai di balik pepohonan yang gelap.

Sesampainya di depan pintu, Darto meletakkan cermin itu di tanah, berharap dengan melakukannya, semuanya akan berakhir. Namun, tidak ada perubahan. Suasana di sekitar mereka justru semakin mencekam. Udara semakin dingin, dan sebuah suara yang sangat pelan mulai terdengar—seperti bisikan dari jauh, semakin lama semakin jelas.

"Kembalikan..." suara itu bergaung di kepala Darto. Dia merasa pusing, seolah-olah sesuatu sedang menghisap energinya. Dia menatap Jono yang tampak sama pucatnya.

"Kau dengar itu?" tanya Darto dengan napas terengah-engah.

Jono mengangguk pelan. "Aku dengar. Ini... ini bukan cuma perasaan kita. Ada sesuatu di sini, Tar. Kita harus cepat-cepat pergi!"

Namun sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, pintu rumah tua itu tiba-tiba terbuka dengan suara yang nyaring dan melengking. Jono mundur beberapa langkah, matanya terbelalak karena takut. "Siapa... siapa yang buka pintu itu?!"

Darto menatap pintu yang kini terbuka lebar. Tidak ada siapa pun di sana, namun bayangan gelap tampak menyelimuti bagian dalam rumah. Dari dalam, terdengar suara tawa yang samar—tawa wanita tua yang telah menghantui Darto selama beberapa hari terakhir.

"Dia... dia nggak akan biarin kita pergi begitu aja," kata Darto, suaranya bergetar. "Aku harus masuk dan kembalikan barang-barang ini."

"Kau gila?! Jono membalas dengan nada marah bercampur takut. "Kita harus pergi dari sini! Ini sudah jelas-jelas salah!"

Namun Darto tahu, meskipun dirinya juga diliputi rasa takut yang luar biasa, tidak ada jalan lain. Jika ia tidak mengembalikan cermin dan barang-barang lainnya ke dalam rumah itu, teror ini tidak akan berhenti. Dengan napas yang berat, ia mengambil cermin itu lagi, dan melangkah menuju pintu rumah.

"Tunggu di sini, No," katanya tanpa menoleh. "Kalau ada yang terjadi... setidaknya kau bisa lari."

"Gila kau, Tar! Aku nggak bisa biarin kau masuk sendiri!" Jono hampir menangis karena ketakutan, tapi Darto tetap melangkah masuk.

Begitu Darto memasuki rumah tua itu, suasana di dalam terasa berbeda—lebih berat dan mencekam daripada di luar. Udara di dalam rumah seakan dipenuhi bau busuk yang menusuk hidung, campuran dari kelembapan dan sesuatu yang membusuk. Kegelapan seakan menelan setiap sudut ruangan, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar masuk melalui jendela retak.

"Aku... aku kembalikan semuanya..." Darto berbicara kepada kegelapan, suaranya gemetar. "Aku nggak mau masalah lagi. Tolong, biarkan aku pergi!"

Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang memekakkan telinga. Namun, di balik keheningan itu, Darto merasa seperti ada sesuatu yang bergerak di sekelilingnya, meskipun ia tidak bisa melihatnya.

Langkah-langkah kaki Darto menggema di lantai kayu yang tua saat ia berjalan lebih dalam ke dalam rumah. Suara derit kayu di bawah kakinya membuatnya semakin merasa gelisah. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah-olah rumah itu sendiri tidak ingin membiarkannya keluar.

Di tengah ruangan, Darto meletakkan cermin itu di lantai, tepat di tempat ia menemukannya. Namun, begitu cermin itu menyentuh lantai, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Cermin itu tiba-tiba mulai bergetar, dan retakannya semakin membesar, seolah-olah akan pecah sepenuhnya.

"Tidak... tidak...! Apa lagi ini?!" Darto berteriak panik, melangkah mundur.

Saat retakan cermin itu semakin melebar, dari dalam cermin muncul sosok yang tidak pernah ingin dilihat Darto lagi. Wanita tua itu—dengan rambut putih acak-acakan, wajah pucat, dan mata kosong—keluar dari cermin dengan gerakan lambat namun pasti. Tawa seraknya memenuhi ruangan, menggema di setiap sudut, membuat bulu kuduk Darto merinding.

"Kembalikan... nyawamu..." suara wanita itu terdengar, kali ini lebih jelas, lebih nyata.

Darto terhuyung ke belakang, hampir jatuh ke lantai. "Aku sudah kembalikan barang-barangmu! Biarkan aku pergi!" teriaknya putus asa, air mata mulai mengalir di wajahnya.

Namun wanita itu hanya tersenyum menyeramkan, seolah tidak peduli dengan permohonan Darto. "Barang-barangku... hanya awal... Sekarang... nyawamu."

Darto mencoba berlari, namun kakinya terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang menariknya ke bawah. Wanita itu semakin mendekat, tangannya yang keriput terulur ke arah Darto.

Tiba-tiba, dari belakang, terdengar suara Jono yang berteriak. "Darto! Cepat keluar! Cepat!" Jono berdiri di ambang pintu, matanya penuh dengan ketakutan, namun keberaniannya mendorongnya untuk mencoba menyelamatkan sahabatnya.

Dengan sisa tenaga yang ada, Darto melompat dan berlari ke arah pintu, sementara wanita tua itu terus mengejarnya, langkah-langkahnya pelan namun penuh ancaman.

"Jangan biarkan dia menyentuhmu!" Jono berteriak lagi.

Begitu Darto hampir sampai di pintu, tangan wanita itu hampir menyentuhnya. Namun pada detik terakhir, Darto berhasil keluar dari rumah, diikuti oleh Jono yang langsung menutup pintu keras-keras. Mereka berdua berlari sejauh mungkin dari rumah angker itu, napas mereka tersengal-sengal, tubuh mereka lemas karena ketakutan.

Malam itu, Darto dan Jono tidak kembali ke rumah tua tersebut. Meskipun mereka berhasil selamat, Darto tahu dalam hatinya bahwa pengalaman itu tidak akan pernah sepenuhnya meninggalkannya. Setiap kali ia menutup mata, ia bisa merasakan tatapan wanita tua itu, menunggunya di balik kegelapan.

Dan meskipun ia telah mengembalikan cermin terkutuk itu, Darto tahu bahwa beberapa hal tidak akan pernah bisa dikembalikan sepenuhnya.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG