Cerita Horor #20 KUBURAN TUA 👀
KUBURAN TUA
Intro:
Peringatan dari Leluhur
Malam itu, hujan rintik-rintik
membasahi desa yang sunyi. Sebuah cerita kuno mengalun dari bibir seorang kakek
tua kepada cucu-cucunya yang duduk di sekeliling perapian. Cerita tentang
kuburan tua di pinggir desa yang menyimpan harta karun dari zaman penjajahan,
tetapi terkutuk oleh roh penjaga.
“Siapa saja yang berani menyentuh
makam itu, tidak akan pernah hidup tenang. Roh penjaga tidak akan membiarkan
mereka lolos,” ujar kakek sambil menatap serius ke arah cucu-cucunya.
“Kalau ada harta, kenapa nggak ada
yang berani ambil, Kek?” tanya salah satu cucunya penasaran.
Kakek hanya menggeleng, “Yang
mencoba sudah banyak. Tapi mereka semua menghilang atau mati dengan cara yang
mengerikan.”
Jauh dari cerita si kakek, seorang
pria bernama Tarno, seorang pencuri ulung, mendengar desas-desus tentang
makam itu. Tarno, yang terkenal tidak percaya takhayul, memutuskan untuk
mencoba peruntungannya. Baginya, kutukan hanyalah cara untuk menakut-nakuti
orang agar tidak mengambil harta berharga itu.
Bab 1: Godaan Harta Karun
Warung kopi kecil itu penuh dengan asap rokok dan suara obrolan pelan. Tarno
duduk di sudut, mendengarkan dengan seksama percakapan sekelompok warga desa di
meja sebelah. Wajahnya dingin, tapi matanya menyala penuh minat.
“Aku dengar cincin emas itu besar sekali. Katanya, pemiliknya dulu orang
kaya dari zaman penjajahan,” bisik seorang pria tua dengan suara serak.
“Tapi siapa yang berani ambil? Kuburan itu dijaga oleh roh penjaga,
katanya,” tambah pria lain, wajahnya pucat seolah mengingat sesuatu yang
menakutkan.
“Pernah ada yang coba? Apa yang terjadi?” tanya seorang pemuda dengan
penasaran.
Pria tua itu menatapnya tajam. “Ada. Beberapa. Tapi semuanya nggak balik.
Kalau pun balik, mereka jadi gila. Malam-malam mereka teriak-teriak seperti
melihat sesuatu, sampai akhirnya mati mengenaskan.”
Suasana di warung mendadak hening. Hanya bunyi sendok yang mengaduk kopi
terdengar samar.
Tarno tertawa kecil, memecahkan kesunyian. “Harta terkutuk, roh penjaga?
Omong kosong. Kalau ada harta karun sebesar itu, kalian semua terlalu pengecut
untuk mengambilnya.”
Pria tua itu mengalihkan pandangannya kepada Tarno. “Kau boleh meremehkan,
Nak. Tapi jika kau berani melangkah ke sana, jangan berharap kembali dengan
selamat. Roh penjaga tidak kenal ampun.”
Tarno menyeringai, mengabaikan peringatan itu. “Baiklah, kita lihat saja
nanti. Kalau aku kembali membawa cincinnya, kalian semua harus traktir aku kopi
sebulan penuh.”
Pemilik warung, seorang wanita paruh baya yang sejak tadi diam, tiba-tiba
bersuara. “Mas Tarno, jangan main-main. Ada alasan kenapa tempat itu dibiarkan
begitu saja. Kalau sampai terjadi sesuatu, siapa yang mau bertanggung jawab?”
Tarno berdiri, menaruh uang untuk kopinya di meja, lalu menatap mereka
dengan penuh keyakinan. “Tenang saja. Aku ini orang yang realistis. Kalau ada
harta, aku ambil. Kalau nggak ada, aku balik. Simple.”
Malam itu, bulan bersinar pucat di atas hutan yang lebat. Tarno, dengan
sekop, senter, dan tas besar di punggungnya, berjalan menuju makam tua di
tengah hutan. Suara angin menggoyangkan dedaunan, menciptakan bisikan lirih
yang hampir seperti suara manusia.
“Berbaliklah…” suara samar terdengar, membuat langkah Tarno berhenti
sejenak. Dia menoleh ke kanan dan kiri, hanya untuk menemukan kegelapan.
“Ah, cuma angin,” gumamnya sambil melanjutkan langkahnya.
Makin mendekati lokasi, suasana semakin aneh. Pohon-pohon besar tampak
seperti sosok tinggi yang mengintai, dan akar-akar pohon menjalar seperti
tangan yang ingin mencengkeram. Bau anyir samar tercium di udara, membuat Tarno
mengernyit.
Ketika sampai di makam itu, pemandangan yang ia lihat tidak jauh berbeda
dari cerita orang-orang. Sebuah makam besar, dikelilingi oleh batu-batu nisan
kecil yang tampak usang. Lumut hijau menutupi sebagian besar nisan, dan sebuah
pohon besar dengan akar mencengkeram tanah berdiri di tengah-tengah makam itu,
seperti penjaga abadi.
“Aku akan kaya,” gumamnya, mencoba menghilangkan rasa takut yang mulai
merayap di pikirannya.
Dia mulai menggali tanah di depan makam besar itu. Suara sekop yang
menghantam tanah menggema di malam yang sunyi.
“Tinggalkan… pergi…” suara lirih terdengar lagi, kali ini jelas di telinga Tarno.
Dia menghentikan gerakannya sejenak, menoleh ke sekeliling dengan senter di
tangan.
“Siapa di sana?” teriaknya, mencoba terlihat berani. Tapi hanya suara
jangkrik yang menjawab.
Tarno menggeleng, kembali fokus menggali. Tapi semakin dalam dia menggali,
semakin berat sekopnya terasa. Seolah-olah tanah itu melawan.
Saat dia mencangkul lebih dalam, hawa dingin menusuk tulang, dan bisikan
aneh terdengar semakin dekat. Tarno mencoba mengabaikan semuanya, membujuk
dirinya bahwa itu hanyalah efek dari kelelahan dan suasana malam.
Akhirnya, ujung sekopnya mengenai sesuatu yang keras. Dengan semangat, Tarno
menggali lebih cepat hingga sebuah peti kayu tua muncul. Kayu itu sudah rapuh,
tapi ukiran kuno terlihat samar di permukaannya.
“Ini dia,” bisiknya penuh antusias. Dia membuka peti itu perlahan, dan di
dalamnya terdapat cincin emas besar yang memancarkan kilauan meski di bawah
cahaya senter yang redup.
Namun, saat tangannya meraih cincin itu, suara geraman terdengar di
belakangnya. Dia menoleh, dan samar-samar, dia melihat sosok bayangan tinggi
dengan mata merah menyala berdiri di antara pepohonan.
“Serahkan… kembali…”
Tarno menelan ludah, tapi rasa tamaknya lebih kuat dari ketakutannya. “Aku
tidak percaya takhayul!” katanya sambil memasukkan cincin itu ke dalam tasnya
dan berlari meninggalkan makam.
Tapi langkahnya terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang menariknya ke
belakang. Bisikan dan erangan mengerikan terus mengejarnya, seolah-olah malam
itu hidup dan berusaha menangkapnya.
“Sialan! Ini cuma sugesti!” teriaknya, mencoba menguatkan diri sambil terus
berlari menuju jalan keluar hutan. Namun, dia tidak sadar bahwa roh penjaga
makam telah menancapkan tatapan maut padanya, menunggu waktu untuk membalas
dendam.
Bab 2: Penemuan yang
Terlarang
Cahaya bulan menyorot samar ke area makam, membuat suasana semakin mencekam.
Tarno, yang sudah menggali selama beberapa jam, mulai kehabisan tenaga.
Keringat membasahi wajahnya, bercampur dengan debu dan tanah. Namun, ketika
ujung sekopnya kembali menghantam sesuatu yang keras, seluruh rasa lelah itu
lenyap seketika.
“Akhirnya!” serunya, napasnya terengah-engah. Dengan penuh semangat, dia
membersihkan tanah di sekitar benda itu hingga terlihat jelas sebuah peti kayu
tua.
Peti itu penuh dengan ukiran aneh—pola melingkar yang tampak seperti simbol
kuno. Kayunya sudah lapuk, namun ada sesuatu yang tampak memancarkan aura
menyeramkan darinya. Tarno menatap peti itu dengan rasa ingin tahu bercampur
takut.
“Cuma peti biasa. Harta karunnya pasti di dalam,” bisiknya, mencoba
meyakinkan diri.
Dia mengusap kedua tangannya, mencoba menghilangkan rasa gemetar, sebelum
menarik penutup peti yang hampir rapuh itu. Kayu tua itu mengeluarkan bunyi krek
pelan, seperti suara erangan, saat terbuka.
Tarno menyorotkan senter ke dalam peti. Matanya melebar ketika melihat
sebuah cincin emas besar yang berkilauan, meskipun cahaya senter hampir redup.
Ukiran pada cincinnya tampak mewah, dengan pola yang menyerupai ular melingkar,
mencengkram batu permata merah di tengahnya.
“Harta karun ini akhirnya jadi milikku,” gumam Tarno dengan mata berbinar.
Tangannya gemetar saat mengambil cincin itu, seolah-olah cincin itu memiliki
daya tarik magis yang tak bisa dia lawan.
Namun, ketika cincinnya terangkat dari peti, udara mendadak berubah. Angin
dingin bertiup kencang, menggoyangkan dedaunan, dan suara seperti rintihan
terdengar dari kejauhan.
“Hahaha, suara angin saja,” kata Tarno, mencoba mengabaikan perasaan tidak
nyaman yang tiba-tiba muncul.
Dia memasukkan cincin itu ke dalam tasnya dengan cepat, tapi saat dia
berbalik untuk pergi, suara gemuruh kecil terdengar dari tanah di sekitarnya.
“Tarno… jangan…”
Suara itu serak, dalam, dan terdengar tepat di telinganya. Tarno berhenti,
tubuhnya membeku. Dia menoleh ke kanan dan kiri dengan senter, namun tidak ada
siapa pun.
“Siapa itu?!” teriaknya, mencoba terdengar tegas meskipun suaranya bergetar.
Tidak ada jawaban. Hanya suara dedaunan yang bergoyang.
“Ini cuma imajinasiku,” gumamnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Dia
mengatur napas dan memulai langkah cepat menjauhi makam.
Tapi baru beberapa langkah, suara gemuruh itu kembali, kali ini lebih keras,
seperti berasal dari bawah tanah. Pohon-pohon di sekitarnya bergoyang liar, dan
dari arah belakangnya, suara langkah berat mulai terdengar.
“Serahkan kembali…”
Tarno berhenti, menelan ludah. Dia menoleh dengan senter, dan kali ini dia
melihat sesuatu.
Sebuah bayangan besar muncul di antara pohon-pohon. Sosok itu tinggi,
mungkin setinggi dua meter lebih, dengan tubuh kekar yang dipenuhi bulu.
Wajahnya tidak jelas, namun dua mata merah menyala memandang lurus ke arah Tarno.
“Ap-apaan ini?” Tarno tergagap, keringat dingin mengalir di dahinya.
“Serahkan kembali…”
Suaranya bergema, berat, dan terdengar seperti campuran beberapa suara
sekaligus.
Tarno panik. “Aku nggak takut sama kamu!” teriaknya dengan nada putus asa,
meskipun kakinya mulai gemetar. Dia meraih tasnya erat dan mulai berlari ke
arah jalan pulang.
Namun, tanah di bawahnya terasa berat, seperti mencoba menahan setiap
langkahnya. Dia terjatuh beberapa kali, tapi terus memaksa dirinya bangkit.
Suara gemuruh dan rintihan terus mengikutinya.
“Pergi! Jangan ganggu aku!” teriaknya sambil berlari tanpa menoleh ke
belakang.
Sampai di batas hutan, suara-suara itu perlahan mereda, namun angin dingin
masih terasa menusuk tulang. Tarno berhenti sejenak untuk mengatur napas,
meyakinkan dirinya bahwa semua itu hanyalah efek dari kelelahan dan suasana
mencekam.
“Aku pasti terlalu lelah. Ini cuma halusinasi,” katanya sambil menyeka
keringat di wajahnya. Dia membuka tasnya, melihat cincin itu sekali lagi.
“Bagaimanapun, cincin ini akan membuatku kaya. Semua ini akan terbayar,”
ujarnya dengan senyum tipis, mencoba menenangkan dirinya.
Namun, jauh di dalam hutan, sosok bayangan besar itu masih berdiri,
mengawasinya. Mata merahnya menyala tajam, dan dari mulutnya terdengar geraman
rendah yang menyeramkan.
Bab 3: Teror di Rumah
Tarno tiba di rumah dengan napas tersengal. Kegelapan malam terasa lebih
pekat daripada biasanya, seolah-olah memburu langkahnya yang tergesa. Setelah
mengunci pintu dengan hati-hati, dia meletakkan tas di atas meja kayu kecil di
ruang tengah. Cincinnya dikeluarkan dan diletakkan di depan lampu meja yang
redup. Kilauan permata merahnya tampak semakin hidup, seolah-olah memancarkan
cahaya sendiri.
“Ini cuma cincin biasa,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri. Tangannya
bergetar saat mengusap wajah yang basah oleh keringat dingin. “Apa yang terjadi
tadi itu cuma kebetulan. Aku terlalu lelah, itu saja.”
Dia mencoba menenangkan dirinya dengan menyalakan televisi. Suara tayangan
berita memenuhi ruangan, namun pikiran Tarno terus melayang kembali ke bayangan
besar yang dilihatnya di hutan.
"Bayangan itu... tidak nyata. Aku pasti terlalu paranoid." Dia
meneguk segelas air, berusaha menghilangkan rasa kering di tenggorokannya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar rumahnya—pelan, tetapi
jelas, seperti seseorang berjalan mengelilingi rumah. Tarno menghentikan
gerakannya, telinganya fokus mendengar. Langkah itu terhenti sesaat, lalu
bergerak lagi, semakin dekat ke jendela ruang tengah.
"Siapa di luar?" seru Tarno, mencoba terdengar berani. Dia bangkit
dan melangkah ke jendela, menarik tirai sedikit untuk mengintip.
Tidak ada siapa-siapa di luar, hanya kegelapan yang menyelimuti halaman
kecilnya. Namun, saat dia hendak menutup tirai, matanya menangkap sesuatu. Jauh
di ujung jalan, berdiri bayangan besar yang tidak bergerak. Matanya memerah
seperti bara api, menatap lurus ke arahnya.
Jantung Tarno berdegup kencang. Dia cepat-cepat menutup tirai dan mundur ke
belakang. “Itu cuma ilusi… cuma ilusi!” katanya, tapi suaranya terdengar lebih
seperti bisikan ketakutan.
“Tarno… Kembalikan…”
Suara serak itu muncul begitu dekat, seolah-olah seseorang berbisik langsung
di telinganya. Tarno terlonjak, matanya liar mencari sumber suara.
"Tidak mungkin! Aku sudah di rumah! Ini aman!" katanya
keras-keras, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Dia berlari ke pintu depan, memastikan kuncinya masih terpasang. Dengan
tergesa, dia menutup semua jendela dan mengunci pintu-pintu lainnya. Namun,
suara langkah itu kini terdengar di dalam rumah, menyusuri lantai kayu dengan
gemerisik yang perlahan semakin mendekat.
“Tidak! Tidak mungkin!” Tarno memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar
hebat. Lampu di ruang tengah mulai berkedip-kedip, menciptakan bayangan
menyeramkan yang menari di dinding.
Suara seperti kuku mencakar dinding terdengar, menggores perlahan namun
terus-menerus. Tarno menatap ke arah dinding ruang tengah dengan mata
membelalak, dan tiba-tiba goresan-goresan itu muncul secara nyata, menciptakan
bekas panjang yang dalam.
"Berhenti! Siapa pun kau, pergilah!" Tarno berteriak, nadanya
penuh panik.
Suara kuku mencakar itu berhenti, tetapi kini ada sesuatu yang lain. Suara
napas berat dan kasar terdengar di belakangnya, sangat dekat.
“TARNO!”
Suara itu menggelegar, mengguncang seluruh ruangan. Lampu padam total,
meninggalkan Tarno dalam kegelapan yang pekat. Dia terengah-engah, tangannya
meraba-raba meja, mencari sesuatu untuk dijadikan senjata. Namun, sebelum dia
menemukan apa pun, pintu kamar terbuka dengan keras, seolah ditendang oleh sesuatu
yang sangat kuat.
Dalam kegelapan itu, dua mata merah menyala muncul di ambang pintu. Sosok
besar dengan tubuh kekar berdiri di sana, hampir memenuhi seluruh bingkai
pintu. Wajahnya tidak jelas, tertutup bayangan, tetapi auranya memancarkan
kebencian yang mendalam.
“Ke-kau… siapa?” Tarno tergagap, tubuhnya gemetar tak terkendali.
“Serahkan kembali…” suara itu terdengar berat dan dalam, bergema
seperti berasal dari kedalaman bumi.
Tarno mundur hingga punggungnya menabrak dinding. Sosok itu mulai melangkah
masuk, setiap langkahnya membuat lantai kayu berderak.
"Pergi! Aku tidak mengambil apa pun darimu!" Tarno memohon, namun
suaranya hampir tak terdengar.
Sosok itu tidak berhenti. Ketika jaraknya hanya beberapa meter darinya,
sosok itu mengangkat tangannya yang besar dan kasar, seolah-olah hendak
mencengkeram Tarno.
“Tidak! Jangan!” Tarno berteriak, lalu semuanya menjadi gelap. Tubuhnya
limbung, dan dia jatuh ke lantai, kehilangan kesadaran.
Bab 4: Kutukan Dimulai
Ketika Tarno membuka matanya keesokan paginya, dia mendapati dirinya
terbaring di lantai ruang tengah. Kepala terasa berat, seperti dihantam
sesuatu. Dia memaksa dirinya bangkit sambil memegangi dahi.
“Cincin itu…” gumamnya, mengingat malam sebelumnya. Pandangannya segera
beralih ke meja tempat dia meletakkan cincin emas berpermata merah yang diambil
dari makam.
Namun, meja itu kosong.
Tarno berdiri dengan panik, matanya menyapu ruangan. "Kemana perginya?
Tidak mungkin menghilang begitu saja!" serunya. Dia memeriksa di bawah
meja, di sudut-sudut ruangan, bahkan tasnya. Tetapi cincin itu benar-benar
lenyap.
Ketika dia hendak menyerah, matanya menangkap sesuatu di tangan kanannya.
Ada bekas luka bakar berbentuk cincin yang melingkar di jarinya, memerah
seperti baru saja terbakar.
"Apa-apaan ini?" Tarno mencoba menggosok bekas itu, tetapi rasa
nyeri yang luar biasa membuatnya menjerit. Dia terjatuh ke kursi, mengelus
tangan kanannya dengan hati-hati.
“Tidak mungkin… tidak mungkin ini terjadi karena cincin itu,” bisiknya
dengan napas tersengal.
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Bayangan
aneh mulai muncul di rumahnya. Di cermin kamar mandi, dia melihat sosok hitam
besar berdiri di belakangnya. Namun, ketika dia menoleh, tidak ada apa-apa.
“Ini cuma halusinasi. Aku cuma kelelahan,” katanya berulang-ulang untuk
menenangkan diri, meskipun tubuhnya terus gemetar.
Di malam hari, suara langkah kaki kembali terdengar. Kali ini lebih nyata,
berputar-putar di sekitar rumahnya. Kadang-kadang langkah itu berhenti tepat di
depan pintu kamarnya.
“Siapa itu?!” teriaknya suatu malam, setelah suara itu terdengar lebih keras
dari biasanya. Tidak ada jawaban, tetapi pintu kamarnya berderit pelan, seperti
seseorang sedang membukanya.
Tarno meraih pisau dapur dari bawah bantal, berjaga-jaga. Tetapi pintu
berhenti bergerak, tetap setengah terbuka. Dia mencoba mengatur napas, tetapi
tiba-tiba sebuah suara berbisik di telinganya, “Kembalikan…”
Pisau di tangannya terjatuh ke lantai. “Tidak… ini tidak nyata…” dia
berbisik, matanya menatap liar ke sekeliling kamar.
Namun, teror itu tidak berhenti. Suatu malam, dia memutuskan untuk
mengakhiri semuanya. Dia membawa cincin itu, yang entah bagaimana kembali ke
mejanya, ke sebuah sungai besar di luar desa.
Dengan tangan gemetar, dia melempar cincin itu ke dalam air. Permukaan
sungai beriak, cincin itu tenggelam ke dasar.
“Habis perkara,” gumamnya, menarik napas panjang.
Namun, ketika dia pulang, cincin itu sudah ada di meja ruang tengah, bersih
tanpa setetes air pun.
“Bagaimana bisa?!” teriak Tarno, melemparkan meja itu hingga terbalik. Dia
mencoba membakar cincin itu, tetapi api tidak meninggalkan bekas sedikit pun.
Keputusasaan membuat Tarno mendatangi Pak Darman, seorang tetua desa yang
dikenal bijaksana.
Pak Darman mendengarkan ceritanya dengan ekspresi serius. Wajahnya berubah
suram ketika Tarno selesai berbicara. “Kamu sudah melanggar batas yang tidak
seharusnya dilanggar, Nak. Roh penjaga makam itu tidak akan pernah berhenti
mengejarmu.”
“Apa yang harus saya lakukan, Pak? Tolong bantu saya!” Tarno memohon dengan
suara serak.
Pak Darman menggeleng perlahan. “Tidak ada yang bisa membantu. Satu-satunya
cara adalah mengembalikan cincin itu ke tempatnya semula. Tapi itu saja tidak
cukup. Kamu harus meminta maaf kepada roh penjaga makam itu. Jika tidak…”
Pak Darman terdiam, tetapi matanya yang penuh rasa takut sudah mengatakan
semuanya.
Tarno menunduk, wajahnya pucat. “Kalau begitu, saya akan melakukannya. Saya
akan mengembalikan cincin itu. Saya tidak mau hidup seperti ini lagi.”
Pak Darman menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Kalau begitu,
berangkatlah malam ini. Jangan tunda. Jangan sampai menunggu mereka datang lagi
untuk mengambilmu sendiri.”
Kata-kata itu membuat bulu kuduk Tarno meremang. Dia tahu waktunya semakin
sedikit.
Bab 5: Akhir yang Tragis
Malam itu, Tarno berdiri di depan makam tua yang telah ia rusak sebelumnya.
Kakinya gemetar, tangan yang memegang sekop terasa dingin dan berkeringat.
Angin malam berhembus kencang, membuat dedaunan pohon bergesekan seperti
bisikan makhluk tak kasat mata. Suara burung hantu terdengar memecah kesunyian,
mengiringi langkah berat Tarno yang mendekati makam.
“Aku harus mengembalikannya… aku harus melakukannya,” bisiknya kepada diri
sendiri, seolah meyakinkan hati yang hampir ciut.
Langkahnya terhenti di depan lubang yang telah ia gali beberapa malam lalu.
Tanahnya masih berantakan, seperti luka terbuka di permukaan bumi. Di bawah
cahaya bulan, bayangan pepohonan di sekitarnya menciptakan siluet menyeramkan
yang seperti mengintip setiap gerakannya.
Dengan perlahan, Tarno berlutut dan mulai menggali lagi, kali ini untuk
mengembalikan apa yang telah ia ambil.
Saat sekop pertama menyentuh tanah, suara berat dan serak terdengar di
belakangnya, “Kau kembali…”
Tarno membeku. Tubuhnya terasa dingin, bahkan lebih dingin daripada angin
malam yang menusuk tulangnya. Perlahan, ia menoleh ke belakang, tetapi tidak
ada apa-apa.
“Itu hanya imajinasi… hanya angin…” gumamnya pelan, berusaha mengalihkan
pikirannya dari ketakutan yang mulai menguasai. Namun, tangannya tetap gemetar
saat melanjutkan menggali.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, peti kayu tua itu
kembali terlihat. Tarno menarik napas dalam-dalam, lalu membuka penutup peti
dengan hati-hati. Di dalamnya, ruang kosong tempat cincin itu dulu berada
tampak menantinya.
Ia mengeluarkan cincin emas dari kantongnya dan memegangnya erat. “Aku minta
maaf… aku tidak tahu ini milikmu… tolong bebaskan aku…” katanya dengan suara
gemetar. Air matanya mengalir saat ia meletakkan cincin itu kembali ke dalam
peti.
Namun, ketika ia hendak menutup peti, suara berat itu terdengar lagi, kali
ini lebih keras dan dekat. “Permintaan maafmu tidak cukup, pencuri!”
Tarno tersentak mundur. Dari bayangan di belakangnya, sesosok tinggi besar
perlahan muncul. Wujudnya menyerupai manusia, tetapi kulitnya hitam legam
seperti arang, dengan mata merah menyala dan mulut penuh taring tajam. Makhluk
itu berdiri dengan kepala hampir menyentuh cabang pohon, tubuhnya besar seperti
raksasa.
“Tidak… tidak… aku sudah mengembalikannya! Aku sudah minta maaf!” teriak Tarno,
berlutut sambil menangis.
Makhluk itu mendekat dengan langkah berat, setiap gerakannya membuat tanah
di sekitarnya bergetar. “Kau telah mengganggu ketenangan. Bukan hanya mencuri,
kau telah melanggar batas yang tidak boleh disentuh!”
Tarno berusaha bangkit dan melarikan diri, tetapi tanah di bawahnya terasa
seperti mencengkeram kakinya. Ia berteriak panik, berusaha melepaskan diri,
tetapi semakin ia meronta, semakin kuat cengkraman itu.
“Tolong! Jangan! Aku tidak akan melakukannya lagi!” Tarno memohon dengan
putus asa, air matanya bercucuran.
Makhluk itu menunduk, menatapnya dengan mata merah yang menyala-nyala.
“Kutukan ini tidak dapat dihapus begitu saja. Kau akan menjadi pelajaran untuk
yang lain!”
Tangan besar dan kasar makhluk itu meraih kaki Tarno, menariknya dengan
kekuatan yang tidak dapat dilawan. Tarno berteriak keras, suaranya memecah
malam yang dingin. Tubuhnya perlahan ditarik ke dalam tanah, seolah bumi itu
sendiri memakannya hidup-hidup.
“Jangan! Tolong! Tolong aku!” jerit Tarno dengan suara yang semakin lemah.
Hanya suara makhluk itu yang terdengar, bergema seperti lonceng kematian.
“Bersiaplah untuk membayar…”
Saat tubuh Tarno menghilang sepenuhnya ke dalam tanah, hutan kembali sunyi.
Hanya sekop dan tas lusuhnya yang tertinggal di dekat makam, seolah menjadi
saksi bisu dari apa yang telah terjadi.
Epilog
Keesokan harinya, seorang petani yang melintas di area itu menemukan sekop
dan tas Tarno. Tidak ada tanda-tanda keberadaan pria itu, hanya jejak langkah
yang berakhir di dekat makam.
Berita tentang hilangnya Tarno menyebar dengan cepat di desa. Pak Darman,
tetua desa, hanya menggeleng pelan saat mendengar cerita itu. “Dia sudah
diperingatkan, tetapi keserakahan memang sulit dilawan,” ucapnya dengan nada
penuh penyesalan.
Cerita ini menjadi legenda di desa itu, menjadi peringatan bagi siapa saja
yang berani mengganggu makam tua. Penduduk desa tahu, harta yang terkubur di
sana mungkin menggiurkan, tetapi kutukan yang menyertainya lebih mengerikan
dari apa pun yang bisa dibayangkan.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
%20(2).png)
Komentar
Posting Komentar