Cerita Horor #21 TERLUPAKAN 👀
TERLUPAKAN
Bab 1: Kejatuhan Sang
Pejabat
Budi Santoso, seorang pejabat daerah yang dikenal luas sebagai sosok
dermawan dan berwibawa, duduk nyaman di belakang meja besar di kantornya yang
mewah. Ruangan itu dipenuhi dengan barang-barang mahal—lukisan-lukisan dari
seniman terkenal, sofa kulit, dan karpet Persia yang lembut di bawah kaki. Di
mejanya, terletak tumpukan dokumen proyek pembangunan yang tampak rapi. Namun,
di balik semua itu, ada sesuatu yang gelap dan busuk, tersembunyi di balik
senyum karismatik dan penampilan terhormatnya.
Di luar sana, rakyat di kotanya menjerit karena kemiskinan dan kelaparan,
tetapi bagi Budi, mereka hanyalah angka-angka di lembaran laporan keuangan.
Dengan cekatan, Budi telah menyelewengkan miliaran rupiah dari anggaran
pemerintah untuk keperluan pribadi. Uang yang seharusnya digunakan untuk
membangun rumah sakit, sekolah, dan jalan raya telah berpindah ke
rekening-rekening rahasia di luar negeri.
“Bodoh sekali mereka, percaya pada semua omong kosong yang kuucapkan,” gumam
Budi sambil tersenyum sinis.
Ia menyandarkan punggungnya ke kursi empuk, menghirup napas panjang,
menikmati kemenangan kecilnya. Jam dinding berdetak pelan, waktu menunjukkan
pukul 10 malam. Budi menatap sekeliling kantornya dengan puas. Semua terlihat
sempurna. Tapi malam itu, ada sesuatu yang tidak biasa. Udara di ruangan terasa
lebih dingin dari biasanya, meskipun pendingin ruangan sudah diatur pada suhu
standar.
Suara samar terdengar dari jendela di belakangnya, seperti langkah kaki yang
berderit pelan di lantai kayu. Budi menoleh, namun tidak ada siapa-siapa.
Ruangan itu tetap sunyi. “Ah, cuma imajinasi,” pikirnya. Ia kembali fokus ke
dokumen-dokumen di mejanya.
Saat sedang menandatangani beberapa berkas, tiba-tiba lampu di ruangan itu
berkedip. Sekali. Dua kali. Lalu mati. Ruangan itu mendadak gelap gulita, hanya
diterangi cahaya remang dari luar jendela. Budi mengerutkan kening dan
mengumpat pelan.
“Sial, kenapa lagi lampu ini?” Ia meraih telepon genggamnya, mencoba
menyalakan senter. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, suara itu kembali.
Kali ini lebih jelas—seperti rintihan, suara orang yang menahan sakit. Pelan,
namun terus berulang. Suara itu datang dari arah belakang meja. Jantung Budi
berdebar keras.
"Siapa di sana?" tanya Budi, suaranya bergetar sedikit. Tak ada
jawaban. Hanya keheningan yang mencekam.
Dia menelan ludah, mencoba meyakinkan diri bahwa semua itu hanyalah efek
dari kelelahan. Namun, sebelum ia sempat menenangkan pikirannya, bayangan samar
muncul di dinding di depannya. Bayangan itu tampak seperti seseorang yang
berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kurus, dengan wajah pucat. Mata bayangan itu
hitam pekat, tak berkelopak. Budi membeku. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
"Hei! Siapa kau?!" seru Budi, kini dengan nada suara yang lebih
tinggi, berusaha terlihat berani. Namun, suaranya pecah di tengah-tengah
kalimat.
Bayangan itu tak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatapnya dengan mata
kosong yang menyeramkan. Budi menggigil. Napasnya semakin berat. Dalam
kepanikan, ia meraih telepon di meja dan mencoba menghubungi satpam di lantai
bawah, namun suara yang keluar dari telepon itu hanyalah dengungan statis.
“Tidak mungkin…” desisnya, dengan gemetar.
Tiba-tiba, bayangan itu bergerak mendekat, perlahan namun pasti. Setiap
langkah yang diambilnya terdengar jelas, seolah-olah sepatu yang berat
menghentak lantai kayu. Budi mundur dengan panik, kursinya terbalik, dan ia
hampir terjatuh. Lampu berkedip sekali lagi, menyalakan ruangan dengan cahaya
yang sangat redup. Ketika lampu menyala sebentar, bayangan itu hilang. Namun
suara rintihan terus terdengar.
Di saat yang bersamaan, bisikan aneh mulai memenuhi ruangan. “Mengapa kau
mengambil hak kami?” suara itu bergema, menyelinap masuk ke dalam telinga Budi
seperti racun.
"Siapa kalian?" Budi memekik, semakin panik. Ia melangkah mundur,
punggungnya menabrak dinding. Ia kini terperangkap di antara meja besar dan
dinding yang dingin. Bisikan itu semakin keras, berulang-ulang, sampai terasa
memenuhi seluruh ruangan. "Kau akan membayar... Kami akan menuntut
balas... Kau tak akan bisa kabur..."
Budi mulai gemetar hebat. Ia menutup telinganya dengan kedua tangan,
berusaha menghalau suara-suara itu, namun percuma. Bisikan itu menembus setiap
penghalang, merambat ke dalam otaknya, meracuni pikirannya dengan teror.
Pandangannya mulai kabur, dan tiba-tiba ia merasa seperti tak bisa bernapas.
Dia berlari ke pintu, membuka knop dengan kasar. Saat pintu terbuka, ia
terkejut melihat sosok seorang wanita tua berdiri tepat di depannya. Wajahnya
penuh keriput, kulitnya kering dan pucat seperti mayat. Matanya menatap lurus
ke arah Budi, tapi mulutnya bergerak, berbisik sesuatu yang tidak bisa didengar
dengan jelas.
"Anak-anakku... mati karena kau..." bisik wanita itu, suaranya
lemah namun jelas menusuk hati Budi.
Tanpa pikir panjang, Budi berlari melewati sosok itu dan menuju lift. Di
lorong, lampu-lampu berkedip, bayangan-bayangan mengikuti langkahnya, seakan
mengejarnya dengan bisikan-bisikan yang semakin menyeramkan. Sesampainya di
lift, ia menekan tombol turun dengan panik. Pintu lift terbuka perlahan, tapi
sebelum Budi sempat masuk, suara tawa yang menakutkan terdengar dari dalam
kabin lift.
"Tak ada jalan keluar, Budi... tak ada jalan keluar..."
Pintu lift menutup dengan sendirinya, meninggalkan Budi yang kini terjebak
di lorong yang gelap dan penuh bayangan. Wajah-wajah mulai muncul di dinding di
sekitarnya, mengelilinginya. Semua wajah itu tampak familiar—wajah orang-orang
yang pernah ia lihat di desanya, namun kini berubah. Mata mereka kosong, mulut
mereka terbuka lebar seolah menjerit, tapi tidak ada suara keluar. Hanya
tatapan penuh dendam dan sakit yang terpancar dari mereka.
Budi tersungkur ke lantai, tubuhnya gemetar hebat. Dia menutup wajahnya
dengan kedua tangan, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Tapi suara
bisikan itu kembali, lebih keras, lebih menyeramkan.
“Kau mencuri dari kami... kau akan membayar...”
Malam itu, Budi merasa seluruh dunia berbalik melawan dirinya. Suara-suara,
bayangan, dan wajah-wajah itu seakan menjeratnya dalam kegelapan yang tiada
akhir. Dan dia tahu, mulai dari malam ini, hidupnya tidak akan pernah sama
lagi.
Bab 2: Wajah-wajah Tak
Dikenal
Pagi itu, Budi terbangun dengan perasaan gelisah yang masih tersisa dari
malam sebelumnya. Mimpi buruk dan suara-suara aneh seolah masih menggelayuti
pikirannya. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menggenggam kepalanya yang berat.
Keringat dingin membasahi punggungnya, dan di dadanya, ada perasaan tidak
nyaman yang tak bisa dijelaskan.
“Kau hanya terlalu banyak berpikir,” gumamnya pada diri sendiri.
Namun, di kedalaman pikirannya, Budi tahu ada sesuatu yang salah. Sesuatu
yang mengganggu, sesuatu yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Ia menghempaskan
diri ke dalam rutinitas harian—sarapan terburu-buru, lalu bergegas menuju
kantor. Namun rasa tidak nyaman itu tetap ada, seperti bayangan gelap yang
membuntuti.
Sesampainya di kantor, ia mencoba fokus pada pekerjaannya. Tumpukan dokumen
menunggu di meja, dan ia mulai memeriksa laporan keuangan yang biasa ia
manipulasi. Setiap angka, setiap proyek, semua berjalan seperti rencana. Tapi
ketika ia menatap layar laptopnya, ada sesuatu yang aneh. Pandangannya kabur
sejenak, dan di layar, ia melihat sekilas—sebuah wajah. Wajah seorang ibu tua
dengan rambut acak-acakan dan mata penuh penderitaan.
Budi terdiam, terpaku melihat layar. Matanya berkedip beberapa kali, dan
wajah itu menghilang. Yang tersisa hanyalah angka-angka biasa di layar laptop.
"Sial, kenapa aku jadi paranoid begini?" Budi menghela napas panjang,
mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya efek dari kelelahan.
Tak lama setelah itu, pintu kantornya diketuk pelan. Sekretarisnya, Rina,
muncul di ambang pintu.
“Pak Budi, ada yang perlu ditandatangani?” tanyanya sambil membawa setumpuk
dokumen ke meja.
"Ya, taruh saja di sini," jawab Budi tanpa menoleh, suaranya
terdengar datar dan lelah.
Rina melirik bosnya dengan sedikit cemas. “Pak, apa Bapak baik-baik saja?
Bapak terlihat… kurang sehat.”
Budi menoleh, matanya merah. “Aku baik-baik saja, Rina. Hanya sedikit lelah.
Pergi sana, aku ada banyak pekerjaan.”
Rina mengangguk, walau wajahnya masih terlihat khawatir. Ia keluar dari
ruangan tanpa berkata-kata lagi, meninggalkan Budi sendirian dengan pikirannya.
Setelah pintu tertutup, suasana kantor terasa hening, terlalu hening. Budi
kembali memandangi dokumen-dokumen di mejanya, namun perasaan aneh itu tidak
hilang.
Jam terus berdetak pelan, dan ruangan terasa semakin menekan. Layar laptop
Budi tiba-tiba berkedip. Ia memandang layar itu dengan cemas, lalu... wajah itu
muncul lagi. Kali ini lebih jelas—wajah seorang pria kurus dengan mata kosong
yang menatapnya. Mulut pria itu bergerak-gerak, seperti ingin mengatakan
sesuatu, tetapi tak ada suara yang keluar. Wajah itu tampak menderita, dengan
kulit kusam dan mata cekung.
Budi terhuyung mundur dari kursinya, menatap layar dengan penuh horor.
“Apa-apaan ini?!”
Ia menggosok matanya dengan keras, berharap pemandangan mengerikan itu
menghilang. Ketika ia membuka mata lagi, layar laptop sudah kembali normal.
Tidak ada wajah, tidak ada sosok asing, hanya angka dan laporan yang
membosankan. Jantung Budi berdegup kencang, napasnya terengah-engah.
“Ini semua pasti cuma imajinasi...” katanya pada dirinya sendiri, mencoba
menenangkan pikirannya yang kalut.
Namun, sebelum ia bisa benar-benar tenang, suara itu datang lagi. Kali ini
lebih dekat, seperti bisikan dari belakang punggungnya. “Mengapa kau mengambil
hak kami?”
Budi mematung. Jantungnya terasa berhenti sesaat. Suara itu begitu jelas,
seperti ada seseorang yang berdiri tepat di belakangnya, berbicara langsung ke
telinganya. Dengan ketakutan yang menguasai dirinya, Budi menoleh perlahan.
Tidak ada siapa pun. Hanya meja kayu dan rak buku yang sunyi.
"Siapa itu?!" teriaknya, suaranya pecah oleh ketakutan yang tak
tertahan.
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menakutkan. Budi bangkit dari kursi
dan memeriksa seluruh ruangan, membuka pintu dan melirik ke lorong kantor.
Semua tampak normal. Para staf masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Tidak ada
yang aneh.
Tapi di sudut matanya, Budi bisa melihat bayangan... samar... bergerak cepat
dari satu sudut ke sudut lainnya. Ketika ia menoleh, bayangan itu menghilang
lagi. Suara bisikan kembali terdengar, kali ini lebih keras dan lebih memekik:
“Kau telah menghancurkan hidup kami.”
Budi tersentak, meraih kepala dengan kedua tangannya, berusaha mengusir
suara itu dari pikirannya. Namun, suara-suara itu semakin keras.
Bisikan-bisikan kesakitan yang tak berkesudahan, seperti doa orang-orang yang
terpuruk.
“Kami kelaparan... anak-anak kami mati... kau merampas segalanya dari
kami...”
Bayangan wajah-wajah itu mulai muncul di setiap dinding, di setiap sudut
ruangan. Wajah-wajah rakyat miskin yang menderita, dengan mata penuh kebencian.
Mereka menatap Budi tanpa henti, bibir mereka bergerak-gerak, namun tidak ada
suara yang keluar dari mulut mereka. Hanya bisikan dari kegelapan yang menggema
di seluruh ruangan.
Budi mulai mundur perlahan, jantungnya semakin cepat berdegup. Keringat
dingin mulai mengalir di dahinya, dan napasnya semakin tidak beraturan. “Ini...
ini tidak mungkin... aku hanya sedang stres... ini hanya ilusi,” bisiknya
kepada dirinya sendiri, namun tidak ada yang bisa menghentikan teror yang
semakin nyata di depannya.
Tiba-tiba, pintu kantornya terbuka keras, membuat Budi terlonjak. Rina masuk
lagi dengan wajah cemas.
“Pak Budi, ada apa? Saya dengar Bapak berteriak...” Rina menatap bosnya yang
tampak sangat pucat dan gemetar.
Budi terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya menatap Rina dengan
tatapan kosong, masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Wajah-wajah
itu, suara-suara itu... mereka lenyap seketika begitu Rina masuk.
"Tak... tak ada apa-apa..." Budi akhirnya berbicara, meskipun
suaranya terdengar lemah dan tidak meyakinkan. "Aku hanya... hanya sedikit
lelah."
Rina menatapnya ragu. “Apa Bapak yakin tidak apa-apa? Mungkin Bapak butuh
istirahat.”
“Tidak! Aku bilang aku baik-baik saja!” Budi berteriak, nada suaranya penuh
kemarahan dan ketakutan. Rina terkejut, lalu dengan cepat keluar dari ruangan,
membiarkan Budi kembali sendirian.
Setelah Rina pergi, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Budi duduk di
kursinya dengan tangan gemetar. Ia tahu ada yang tidak beres. Apa yang ia alami
bukan sekadar halusinasi. Wajah-wajah itu... suara-suara itu... semuanya terasa
terlalu nyata. Ia mulai merasakan dinginnya ruangan, seperti udara yang
menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka.
Waktu berlalu dengan lambat. Budi memaksa dirinya untuk fokus bekerja, namun
setiap kali ia mencoba, wajah-wajah itu kembali muncul. Setiap angka di dokumen
tampak berubah menjadi mata-mata yang menatapnya, menuntut penjelasan. Dan
suara-suara itu... suara rakyat yang ia sakiti... terus membisik di telinganya,
tak pernah berhenti.
“Kau akan membayar... kau akan menanggung akibatnya...”
Bisikan itu semakin keras, semakin nyata. Hingga akhirnya Budi merasa tak
lagi mampu menahannya. Ia menyandarkan kepalanya di meja, menutup matanya
dengan kedua tangan, berharap suara-suara itu menghilang. Namun di kegelapan,
wajah-wajah itu tetap ada. Menatapnya.
Bab 3: Azab di Rumah
Malam itu, Budi pulang ke rumah lebih awal dari biasanya. Kelelahan dan rasa
takut menggerogoti pikirannya. Sejak siang, bisikan-bisikan itu tidak pernah
benar-benar hilang. Wajah-wajah mengerikan yang menghantuinya di kantor tetap
membayang di benaknya, walaupun tak lagi muncul secara fisik.
Rumah mewahnya yang biasanya terasa hangat dan nyaman, kini tampak berbeda.
Sejak ia melangkah melewati pintu depan, ada sesuatu yang tidak beres.
Lampu-lampu di ruang tamu berkedip pelan saat ia masuk. Udara di dalam rumah
terasa lebih dingin, meskipun ia yakin bahwa pengatur suhu ruangan bekerja
dengan baik.
"Budi... Kamu sudah pulang?" suara istrinya, Wina, terdengar dari
dapur.
Budi terkejut sejenak, lalu membalas, "Iya, aku pulang lebih
awal."
Wina keluar dari dapur, menyeka tangannya yang masih basah dengan lap. Ia
menatap suaminya yang tampak sangat pucat. "Kamu kelihatan capek sekali,
apa kamu sakit?"
Budi menggeleng, mencoba menutupi kegelisahannya. “Aku cuma... ya, sedikit
lelah. Banyak pekerjaan di kantor.”
Wina mendekat dan menyentuh dahi suaminya, merasa khawatir. “Kamu kelihatan
pucat. Kamu yakin tidak apa-apa?”
Budi memaksakan senyum. “Aku baik-baik saja. Mungkin butuh tidur lebih
awal.”
Meski masih tampak khawatir, Wina akhirnya mengangguk. “Kalau begitu, aku
akan siapkan makan malam lebih awal. Kamu butuh istirahat.”
Budi mengangguk dan berjalan menuju kamar tidur. Ketika ia melewati lorong
rumahnya, perasaan tidak nyaman semakin kuat. Gorden-gorden yang biasanya
menambah kesan mewah rumah itu kini tampak seperti bayangan-bayangan hitam yang
mengintai dari setiap sudut. Lantainya terasa dingin di bawah kakinya,
seolah-olah rumah itu telah kehilangan kehangatannya.
Sesampainya di kamar, Budi menutup pintu dan duduk di tepi tempat tidur. Ia
menatap cermin besar di dinding, bayangannya terlihat asing, seolah-olah ia
melihat orang lain di dalam cermin itu. Wajahnya kusut, matanya tampak merah
dan cekung. Kegelisahan kembali menyerang. Lalu, sesuatu yang tidak wajar
terjadi.
Bayangannya di cermin… tersenyum.
Budi tersentak, berdiri dan mendekati cermin dengan hati-hati. Bayangannya
tampak normal kembali. Tidak ada senyum mengerikan itu, hanya dirinya yang
kelelahan. Namun, jantungnya berdebar kencang. Ia menyentuh cermin dengan
tangan gemetar, berharap semua hanya imajinasi. Saat ia menyentuh permukaan
dingin cermin, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangnya—sebuah bisikan
yang ia kenal.
“Kami menunggumu…”
Budi terlonjak dan menoleh dengan cepat. Kamar itu kosong. Tidak ada siapa
pun. Ia merasa seluruh tubuhnya beku, ketakutan yang mendalam mulai merambat ke
seluruh tubuhnya.
Dia melangkah mundur, punggungnya menabrak tepi ranjang. Hawa dingin yang
tidak biasa menyelimuti kamar. Dengan panik, Budi melangkah ke arah pintu kamar
mandi yang ada di dalam kamarnya, mencoba menenangkan diri dengan membasuh
wajahnya. Ketika ia membuka pintu kamar mandi dan menyalakan lampu, cahayanya
berkedip-kedip.
Cermin di atas wastafel terpantul samar dalam cahaya yang berkedip. Dan di
dalam cermin itu, Budi melihatnya lagi—wajah yang sama seperti di kantor, pria
dengan mata kosong dan kulit yang membusuk. Kali ini wajah itu lebih dekat,
seolah-olah keluar dari dalam cermin, menatap langsung ke arah Budi dengan
kebencian yang mendalam.
Budi mundur, tangannya meraba dinding di belakangnya. "Apa yang kau
inginkan dariku?!" teriaknya, kali ini dengan kepanikan yang tak
terkendali.
Wajah itu tidak menjawab, hanya menatapnya dalam-dalam dengan mulut
menganga, seperti hendak mengatakan sesuatu tapi tak bisa. Lalu, tiba-tiba,
suara-suara itu kembali. Bisikan-bisikan mengerikan yang memenuhi ruangan,
datang dari segala arah.
“Kau merampas dari kami... Kau menghancurkan hidup kami... Kami akan
menuntut balas...”
Budi menutup telinganya dengan keras, tubuhnya bergetar hebat. “Pergi! Pergi
dari sini!” teriaknya, namun bisikan itu semakin keras, semakin menjerat pikirannya.
Cermin di depannya retak perlahan, suara kaca pecah terdengar di dalam
kesunyian. Retakan itu merambat cepat, seolah-olah wajah dalam cermin itu
berusaha keluar. Wina, yang mendengar suara teriakan Budi dari dapur, segera
berlari menuju kamar.
“Budi! Ada apa?!” panggil Wina, suaranya penuh kecemasan.
Pintu kamar mandi terbuka dengan keras, dan Wina menemukan suaminya terduduk
di lantai, tubuhnya gemetar hebat. Matanya terlihat kosong, dan tangannya masih
menutupi telinganya. Wina segera mendekat, berlutut di depan Budi, mengguncang
bahunya dengan lembut.
“Budi! Apa yang terjadi? Budi, lihat aku!” Wina mencoba menarik perhatian
suaminya, namun Budi tampak seperti tidak mendengarnya.
“Bisikan-bisikan itu... mereka... mereka terus berbicara...” Budi berbisik,
hampir tak terdengar. Matanya menatap lurus ke depan, seolah-olah melihat
sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.
Wina, yang kini semakin panik, memeluk suaminya dengan erat. “Budi! Tidak
ada apa-apa di sini! Kamu hanya kelelahan. Semua baik-baik saja, aku di sini,”
ujarnya berusaha menenangkan, meskipun di dalam hatinya ia sangat ketakutan
melihat kondisi suaminya yang tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Budi menoleh perlahan, menatap istrinya dengan mata yang masih dipenuhi
ketakutan. "Kau... tidak mengerti, mereka... mereka menuntut balas.
Wajah-wajah itu, mereka mengikutiku..."
Wina mengernyit, tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa memeluk
suaminya lebih erat, berharap bahwa ketakutan yang Budi rasakan hanyalah akibat
dari stres yang berlebihan. Namun, saat ia melepaskan pelukan untuk melihat
wajah suaminya, Wina merasakan sesuatu yang aneh.
Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang menusuk, seolah-olah ruangan itu
dipenuhi oleh energi gelap yang tak terlihat. Dan dalam sekejap, semua lampu di
dalam kamar padam. Kegelapan menyelimuti mereka.
“Budi...” Wina berbisik, matanya melirik sekeliling kamar yang gelap. “Apa
yang terjadi? Lampunya mati.”
Budi tidak menjawab. Dia masih terdiam, menatap lurus ke depan. Tapi kali
ini, Wina merasakan sesuatu yang lebih menakutkan. Di sudut-sudut ruangan yang
gelap, ia mulai melihat bayangan-bayangan aneh bergerak. Wajah-wajah yang
tampak samar, dengan mata kosong, menatap mereka dari balik kegelapan. Wina
tersentak, matanya melebar.
“Budi! Apa itu?!” Wina menarik suaminya, berharap bisa mengeluarkannya dari
ruangan itu. Namun Budi tetap terpaku, seolah-olah tubuhnya sudah tidak bisa
bergerak.
“Kita tidak bisa lari, Wina...” bisik Budi dengan suara serak. “Mereka akan
selalu mengejarku...”
Wina menatap suaminya dengan cemas, tak tahu harus berbuat apa. Sementara
itu, bayangan-bayangan semakin mendekat, wajah-wajah penuh dendam yang menatap
mereka dengan tatapan yang kosong dan kelam. Bisikan-bisikan itu kini tak hanya
terdengar di telinga Budi, tapi juga di telinga Wina. Bisikan itu memanggil
nama mereka berdua, menuntut sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
“Budi... kita harus pergi!” Wina menarik tangan suaminya dengan sekuat
tenaga. Namun, sebelum mereka bisa bergerak, suara keras terdengar dari dalam
kamar mandi. Cermin yang retak tadi pecah berkeping-keping, dan dari dalam
kegelapan, sosok-sosok mengerikan mulai keluar, merayap perlahan ke arah
mereka.
“Kami datang... kami akan membalas...”
Suara itu semakin dekat, memenuhi seluruh ruangan dengan teror yang tak
terlukiskan. Wina menjerit ketakutan, namun Budi hanya duduk terdiam, tubuhnya
gemetar hebat. Dan di dalam benaknya, ia tahu… tidak ada jalan keluar.
Malam itu, di rumah yang sunyi, bayangan-bayangan itu menuntut apa yang
telah diambil dari mereka. Teror yang Budi rasakan di kantor kini telah
menguasai seluruh hidupnya. Rumah yang dulu menjadi tempat perlindungannya,
kini menjadi tempat di mana mimpi buruknya menjadi nyata.
Bab 4: Dosa yang Tak
Termaafkan
Malam berganti, namun di rumah Budi, waktu seolah terhenti. Wina tidak bisa
tidur. Bayangan-bayangan mengerikan yang ia lihat tadi malam terus menghantui
pikirannya, dan suara-suara bisikan itu seakan masih berdengung di telinganya.
Budi, di sisi lain, seperti telah kehilangan sebagian dari dirinya. Ia duduk di
ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela yang tertutup gorden, sesekali
menoleh dengan tatapan gelisah, seolah-olah mengantisipasi sesuatu yang
mengerikan akan datang.
Wina duduk di sofa yang berhadapan dengan suaminya, memperhatikan dengan
cemas. Ia tak tahu harus berbuat apa. Wajah Budi yang biasanya penuh
kepercayaan diri kini tampak kuyu, rambutnya acak-acakan, dan kulitnya tampak
lebih pucat dari sebelumnya. Pandangannya kosong, seperti seseorang yang berada
di ambang kegilaan.
“Kamu nggak bisa terus begini, Budi,” ujar Wina akhirnya, suaranya gemetar.
“Aku nggak tahan lagi dengan semua ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang
kamu lihat? Apa yang mereka mau?”
Budi tidak langsung menjawab. Ia menatap lurus ke lantai, sebelum akhirnya
menggeleng perlahan. “Aku nggak tahu, Wina. Aku… aku nggak tahu apa yang mereka
mau. Tapi aku bisa merasakannya. Mereka marah. Mereka membenciku.”
Wina mendekat, memegang tangan suaminya yang dingin. “Kenapa? Apa yang kamu
lakukan sampai mereka bisa mengejarmu seperti ini? Apa yang kamu sembunyikan?”
Air mata mulai menggenang di sudut mata Budi. Di dalam hatinya, ia tahu
jawabannya, tapi rasa takut membuatnya enggan mengakui dosanya. Ia menggigit
bibirnya, berusaha keras menahan emosi yang meluap. Namun, dalam keheningan
malam itu, suara bisikan datang lagi—lebih keras, lebih menekan.
“Kau mencuri dari kami…”
Budi tersentak. Matanya melebar, dan tangannya dengan cepat mencengkeram tangan
Wina. “Mereka datang lagi…”
Wina merinding mendengar nada ketakutan dalam suara suaminya. “Budi,
dengarkan aku. Kita harus melakukan sesuatu. Mungkin kita bisa panggil pendeta
atau ustadz, kita butuh bantuan!”
Budi hanya menggeleng. “Ini bukan soal itu. Tidak ada yang bisa membantu.
Ini… ini dosa yang harus kutanggung sendiri. Aku yang memulai ini semua.”
Wina menatap suaminya dengan bingung. “Dosa? Apa maksudmu?”
Budi menunduk, air matanya jatuh ke lantai. “Aku… aku telah mengambil
sesuatu yang bukan hakku, Wina. Selama bertahun-tahun aku korupsi, aku mencuri
uang rakyat. Aku pikir tidak ada yang tahu. Tidak ada yang peduli, toh, semua
orang di sekitarku juga melakukan hal yang sama. Tapi ternyata, mereka tahu.
Mereka yang menderita karena perbuatanku. Orang-orang yang kehilangan
segalanya… mereka sekarang menuntut balas.”
Wina terkejut mendengar pengakuan suaminya. Ia terdiam sejenak, mencoba
mencerna semua yang baru saja ia dengar. “Tunggu… jadi semua ini—wajah-wajah
yang kamu lihat, suara-suara itu—mereka adalah…”
“Mereka adalah korban dari perbuatanku.” Budi memotong dengan nada penuh
penyesalan. “Dan mereka tidak akan berhenti sampai aku membayar semuanya.”
Kata-kata itu menggantung di udara, dan Wina merasakan ketakutan yang
merayap semakin dalam. Ia meremas tangan suaminya lebih erat. “Lalu apa yang
bisa kita lakukan? Bagaimana caranya agar mereka berhenti?”
Budi menatap istrinya dengan tatapan kosong. “Aku tidak tahu. Mungkin tidak
ada yang bisa kita lakukan.”
Keheningan kembali memenuhi ruangan. Tapi hanya beberapa saat kemudian,
suara ketukan samar terdengar dari luar. Wina tersentak dan langsung berdiri.
“Siapa itu?”
Budi tidak menjawab. Matanya terpaku pada pintu depan, yang kini mulai
bergetar pelan. Ketukan itu semakin keras, semakin mendesak. Budi memejamkan
matanya dengan ketakutan. “Mereka… mereka datang.”
“Budi, siapa yang datang?!” Wina berlari menuju pintu, mencoba mengintip
melalui lubang kecil di pintu, namun di luar sana tidak ada siapa pun. Tidak
ada sosok, tidak ada bayangan. Tapi ketukan itu terus terdengar, seperti ada
sesuatu yang tak terlihat mencoba masuk.
Dengan tangan gemetar, Wina berbalik menghadap Budi. “Tidak ada siapa pun di
luar, Budi! Ini tidak masuk akal!”
Budi hanya bisa duduk terpaku di kursinya, tangannya mencengkeram kepalanya
dengan erat. “Mereka takkan terlihat. Tapi mereka ada di sini. Mereka ingin aku
membayar.”
Saat itu, lampu ruang tamu mulai berkedip lagi. Satu per satu lampu-lampu
itu padam, meninggalkan mereka dalam kegelapan. Ruangan terasa semakin mencekam,
dan hawa dingin yang tak biasa mulai mengalir masuk ke seluruh rumah.
Tiba-tiba, bisikan-bisikan itu semakin keras. Wina bisa mendengarnya dengan
jelas sekarang.
“Kami kelaparan... Kami mati tanpa harapan... Kau mengambil segalanya dari
kami...”
“Dengar itu, Wina!” Budi menangis ketakutan, suaranya parau. “Mereka tidak
akan pernah pergi! Aku sudah menghancurkan hidup mereka! Sekarang mereka
menghancurkanku!”
Ketika Wina berusaha menenangkan suaminya, suara berat tiba-tiba muncul dari
arah dapur, seperti suara benda berat yang jatuh. Wina menoleh dengan cepat,
matanya terbelalak.
“Budi… kamu dengar itu?” tanyanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
Ketakutannya semakin memuncak.
Budi mengangguk pelan, matanya tak pernah lepas dari pintu dapur. “Mereka
ada di sini, Wina. Mereka sudah masuk.”
Wina menguatkan diri, lalu berjalan pelan menuju dapur, meskipun setiap
langkah yang ia ambil terasa seperti perjalanan menuju sesuatu yang mengerikan.
Ketika ia mencapai pintu dapur, ia bisa merasakan hawa dingin yang lebih kuat,
seperti ada sesuatu yang bersembunyi di dalam kegelapan di sana.
Dengan tangan gemetar, Wina meraih saklar lampu dan menyalakannya. Lampu
berkedip sebentar, kemudian menyala terang. Dapur terlihat kosong. Namun, saat
Wina melangkah lebih jauh, dia melihat sesuatu di lantai... sebuah panci yang
terguling, dan di sebelahnya... bercak darah.
Wina tersentak mundur. "Budi! Ada sesuatu di sini!"
Budi tidak bereaksi. Ia hanya duduk di ruang tamu, tubuhnya gemetar hebat.
Wina segera kembali, mengguncang tubuh suaminya dengan keras. "Kita harus
keluar dari sini! Tempat ini bukan lagi rumah kita!"
Namun, sebelum Wina bisa menarik Budi keluar dari kursinya, bayangan hitam
melintas cepat di sudut mata mereka. Bayangan itu besar, tidak berbentuk, dan
bergerak dengan kecepatan yang tak wajar. Bayangan itu mengelilingi ruangan,
bergerak seperti kabut hitam yang mengepung mereka dari segala arah.
Wina menjerit, tubuhnya gemetar ketakutan. “Budi! Kita harus pergi
sekarang!”
Namun, Budi hanya duduk diam, matanya terpaku pada bayangan itu, seolah-olah
ia tahu bahwa ini adalah akhir yang tak terelakkan. "Aku pantas menerima
ini, Wina..." suaranya terdengar pelan, hampir seperti berbisik.
Tiba-tiba, sosok-sosok yang mengerikan mulai muncul di sekeliling mereka.
Wajah-wajah hampa dengan mata cekung dan kulit membusuk. Mereka
melayang-layang, menatap Budi dengan kebencian yang mendalam. Mulut mereka
bergerak-gerak tanpa suara, namun bisikan mereka terus terdengar, memenuhi
udara dengan tuntutan yang tak terbantahkan.
“Kami menunggumu... Kami menuntut balas... Kau akan membayar…”
Wina tidak bisa lagi menahan teriakannya. Dia mencoba menarik Budi untuk
berdiri, namun suaminya tidak bergerak, seolah-olah kakinya sudah terpaku ke
lantai. Wajah-wajah itu semakin mendekat, mengepung mereka dari segala arah.
“Wina, pergi... tinggalkan aku...” bisik Budi, air mata mengalir deras di
pipinya. “Mereka hanya ingin aku. Ini semua salahku. Aku yang harus membayar…”
Wina mengguncang kepala, air mata bercucuran di wajahnya. “Tidak! Aku tidak
akan meninggalkanmu, Budi!”
Namun sebelum ia bisa melakukan apa pun, sosok-sosok itu menerjang ke arah
Budi. Dengan teriakan mengerikan, mereka mencengkeram tubuh Budi dan menariknya
ke dalam kegelapan. Teriakan Budi terdengar nyaring, melengking, saat tubuhnya
ditarik masuk ke dunia yang tak terlihat.
“Tidak!!” Wina berteriak putus asa, namun semuanya sudah terlambat. Suaminya
telah lenyap di antara bayangan-bayangan itu, dan yang tersisa hanyalah
kegelapan yang dingin dan sunyi.
Bab 5: Kegelapan yang Abadi
Keheningan mencekam menyelimuti rumah setelah teriakan Budi menghilang
bersama bayangan-bayangan itu. Wina berdiri di ruang tamu, tubuhnya gemetar dan
tangannya masih terulur ke tempat di mana suaminya terakhir kali berada. Ia tak
bisa bergerak. Nafasnya tersengal, dan otaknya berusaha mencerna apa yang baru
saja terjadi. Budi… lenyap. Suaminya yang ia cintai hilang diambil oleh
sosok-sosok tak kasat mata yang datang untuk menuntut balas dendam. Wajah-wajah
hampa itu masih terpatri di pikirannya, seolah mereka akan muncul kapan saja.
Wina terjatuh ke lantai, tubuhnya lemas. Air matanya tak terbendung lagi,
jatuh deras ke pipinya. “Budi... kenapa semua ini terjadi?” gumamnya lirih.
Tetapi tidak ada jawaban, hanya sunyi yang menyelimuti rumah besar itu.
Ketakutan mulai merayap lebih dalam. Wina tahu, ia harus segera keluar dari
rumah itu. Sesuatu yang jauh lebih buruk akan datang jika ia tetap tinggal.
Namun, tubuhnya terasa kaku, dan pikirannya penuh dengan bayangan sosok-sosok
gelap yang baru saja menghancurkan hidupnya.
Tiba-tiba, terdengar suara samar dari dalam dinding. Suara ketukan. Awalnya
pelan, lalu semakin keras, seolah-olah sesuatu—atau seseorang—berusaha keluar
dari balik dinding. Wina menahan napas. Matanya terpaku pada dinding ruang tamu
yang mulai bergetar pelan.
“Tidak… tidak mungkin…” Wina berbisik ketakutan. Ia mundur perlahan,
mendekat ke pintu depan, berharap bisa melarikan diri. Tetapi suara itu tidak
berhenti. Bahkan semakin keras, disertai dengan bisikan-bisikan samar yang
mulai terdengar di sekelilingnya.
“Wina…” bisikan itu memanggil namanya.
Mata Wina terbelalak. Ia menoleh cepat ke arah suara itu. “Budi?!”
teriaknya, berharap suara itu adalah suaminya yang kembali. Namun, tidak ada
yang muncul. Hanya bisikan samar yang terus memanggil namanya dari segala
penjuru.
“Wina… keluarlah…”
Suaranya tak lagi seperti suara Budi yang ia kenal. Suara itu terdengar
serak dan dingin, penuh dendam dan kebencian. Seperti suara dari makhluk lain,
bukan manusia.
Wina semakin panik. Dengan napas terputus-putus, ia berlari ke arah pintu
depan. Tangannya gemetar saat mencoba membuka pintu, tetapi pintu itu tidak
bergeming. “Tidak… tolong buka! Tolong!” teriak Wina, berusaha keras memutar
gagang pintu yang tampak terkunci rapat.
Di belakangnya, suara ketukan itu berubah menjadi gemuruh. Dinding-dinding
rumah mulai bergetar keras, dan dari celah-celah dinding, Wina melihat sesuatu
yang tak terbayangkan. Bayangan-bayangan hitam merayap keluar, perlahan
membentuk sosok-sosok yang ia kenali—wajah-wajah kosong yang sama seperti yang
menghantui Budi.
Wina terengah-engah, matanya dipenuhi ketakutan. “Tidak... pergilah!
Tinggalkan aku!” teriaknya sambil terus memaksa membuka pintu. Namun,
sosok-sosok itu tidak pergi. Mereka semakin mendekat, memenuhi ruangan dengan
kehadiran gelap mereka.
“Budi... tolong aku...” Wina berbisik penuh putus asa, matanya mencari ke
segala arah, berharap menemukan suaminya. Tapi harapannya sia-sia. Suara Budi
tak lagi terdengar, dan hanya kegelapan yang kini menyelimutinya.
Tiba-tiba, lampu ruang tamu menyala dengan sendirinya, meski sebelumnya
padam. Cahaya yang menyilaukan itu membuat Wina terkejut. Ia menoleh dengan
cepat, dan di sana, di tengah ruang tamu, berdiri sosok yang sangat ia kenal.
Budi. Namun wajahnya tak lagi seperti dulu—mata Budi kosong, bibirnya pucat,
dan kulitnya tampak membiru seperti seseorang yang sudah lama mati.
“Budi?!” Wina berteriak kaget, tidak yakin dengan apa yang ia lihat. Sosok
itu berdiri diam, tidak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang hampa.
“Wina…” suara Budi terdengar, kali ini lebih dalam, seperti berasal dari
tempat yang jauh. “Kenapa kau tidak pergi? Mereka akan datang untukmu juga…”
Wina merasa tubuhnya gemetar hebat. "Budi, apa maksudmu? Apa yang terjadi
padamu? Aku tidak akan meninggalkanmu!”
Sosok Budi hanya tersenyum tipis, senyum yang tidak wajar. "Aku sudah
bukan lagi Budi yang kau kenal. Mereka telah mengambilku, Wina. Dan kau… kau
akan menjadi berikutnya."
Kata-kata itu menggema dalam benak Wina. Ia tidak mengerti apa yang sedang
terjadi, namun instingnya memberitahunya satu hal—bahwa ini bukanlah Budi yang
sesungguhnya. Ini hanyalah bayangan dari seseorang yang pernah ia cintai.
Tiba-tiba, lampu kembali padam. Kegelapan yang pekat menyelimuti rumah itu
sekali lagi, dan Wina hanya bisa merasakan hawa dingin yang semakin menekan
dari setiap sudut ruangan. Suara ketukan di dinding kembali, namun kali ini
lebih dekat. Bisikan-bisikan itu semakin keras, mengelilinginya dari semua
arah.
“Wina… keluarlah… kami menunggumu…”
Wina menutup telinganya, berusaha menghilangkan suara-suara itu.
"Tolong... berhenti...!" tangisnya, tetapi bisikan-bisikan itu
semakin kuat. Ruangan terasa semakin sempit, seperti kegelapan itu sendiri
mencoba meremasnya hidup-hidup.
Tiba-tiba, sosok Budi muncul kembali, kali ini lebih dekat. Wina tersentak
mundur, matanya penuh ketakutan. Sosok itu tidak lagi diam. Ia melangkah
mendekat, perlahan namun pasti. Wajahnya yang pucat menampilkan senyum
menyeramkan, dan tangannya yang dingin menggapai ke arah Wina.
“Sudah waktunya, Wina… Kau harus ikut bersama kami.”
“Tidak! Jangan sentuh aku!” Wina berteriak dan berlari ke arah dapur,
berharap bisa menemukan sesuatu untuk melindungi dirinya. Ia meraih pisau dapur
yang tergeletak di meja dan menodongkannya ke arah sosok Budi yang terus
mendekat.
“Jangan mendekat! Aku peringatkan!” teriaknya panik.
Namun, sosok itu terus maju. Tatapannya tetap kosong, tidak peduli dengan
ancaman yang Wina tunjukkan. Dengan gerakan lambat namun pasti, Budi terus
melangkah ke arahnya, membawa kegelapan bersamanya.
Pisau di tangan Wina bergetar. Ketakutannya sudah sampai pada puncak. Ia
tidak tahu apa yang harus dilakukan, namun instingnya mengatakan bahwa ia harus
bertahan, walaupun percuma. Saat sosok Budi hampir mencapai dirinya, Wina
mengayunkan pisau itu dengan kuat, menusukkannya ke dada sosok suaminya.
“Pergi!” jeritnya, berharap semua akan berakhir.
Namun, pisau itu hanya menembus udara kosong. Sosok Budi menghilang begitu
saja, seperti asap yang ditiup angin. Kegelapan di sekelilingnya mendadak
semakin pekat, dan suara tawa mengerikan menggema di seluruh rumah. Tawa yang
tak berwujud namun begitu nyata, memenuhi ruang di sekitarnya.
“Kau tak bisa lari, Wina… Kau akan tetap di sini selamanya…”
Wina menjerit, air matanya membanjiri pipinya. Ia jatuh terduduk di lantai
dapur, pisau yang ia pegang terlepas dari genggamannya. Tubuhnya bergetar
hebat, dan bisikan-bisikan itu terus memenuhi pikirannya, semakin menghantuinya
dengan setiap detik yang berlalu.
“Selamanya…” suara-suara itu bergema di dalam pikirannya.
Di tengah kegelapan, Wina tahu bahwa tak ada lagi harapan. Suaminya telah
diambil, dan sekarang, giliran dirinya. Rumah ini telah menjadi penjara horor,
tempat di mana dosa-dosa Budi telah menuntut balas, dan kini Wina ikut
terperangkap di dalam kutukan itu. Tidak ada jalan keluar, tidak ada
keselamatan. Hanya kegelapan yang abadi, dan bisikan-bisikan mengerikan yang
terus mengejar, menginginkannya—selamanya.
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
%20(3).png)
Komentar
Posting Komentar