Cerita Horor #18 DITEROR KUNTI 👀

DITEROR KUNTI


Namaku Aini, seorang mahasiswi semester empat yang tinggal di sebuah kost sederhana di pinggiran kota. Aku dikenal sebagai orang yang cukup berani, meskipun tidak bisa dibilang pemberani. Aku tinggal bersama sahabatku, Rossa, di kamar kost kecil yang nyaman. Kami sering melakukan segala hal bersama, mulai dari belajar, belanja kebutuhan sehari-hari, hingga makan malam di luar.

Malam itu, sekitar pukul delapan, perut kami keroncongan. Aku dan Rossa memutuskan untuk membeli makan malam di warung favorit kami yang jaraknya lumayan jauh. Biasanya kami melewati jalan pintas, tapi malam itu kami memilih rute yang lebih jauh karena jalan pintas terlalu gelap, dihiasi pohon bambu tinggi yang selalu memberiku perasaan tidak nyaman.

"Ani, ayo cepetan, laper nih," keluh Rossa sambil menarik lenganku.

"Iya, iya, sabar. Ntar aku juga mau beli es teh, biar lengkap makan malam kita," jawabku sambil terkekeh.

Setelah membeli makanan, kami langsung bergegas pulang. Udara malam itu dingin, dan jalanan sepi. Motor yang kukendarai melaju pelan di jalanan yang remang-remang. Kami mencoba mengobrol untuk mengalihkan rasa takut, meskipun tak bisa kupungkiri, suasananya membuat bulu kuduk berdiri.

"Eh, Ani, pernah denger cerita soal jalan ini gak?" tanya Rossa tiba-tiba.

Aku menoleh sedikit ke arahnya. "Cerita apa? Jangan aneh-aneh, Ros."

"Sumpah, ada yang bilang pernah lihat bayangan putih melayang di jalan ini. Tapi entahlah, mungkin cuma rumor."

"Ya ampun, Ros! Ngapain cerita begituan sekarang? Nanti kalau kita lihat beneran gimana?" aku mencoba bercanda untuk menutupi rasa takut.

Kami terus melaju sampai di pertigaan yang harus kami lewati untuk menuju kost. Jalannya sedikit menanjak di sana, dan suasananya semakin sepi. Lampu jalan di sekitar itu banyak yang mati, hanya ada cahaya samar dari bulan.

Tiba-tiba, aku merasakan Rossa menarik jaketku dengan sangat kuat dari belakang.

"Ros, kenapa?!" tanyaku panik sambil menoleh sedikit.

Dia tidak menjawab, hanya diam sambil melingkarkan tangannya erat di pinggangku. Tangannya dingin, bahkan menembus jaket tebal yang kupakai.

Aku langsung melirik spion, berharap bisa melihat apa yang terjadi. Tapi yang kulihat malah membuatku merinding. Rossa duduk sambil menunduk, tubuhnya makin mendekat ke arahku, dan tangannya mencengkeram jaketku semakin kuat.

"Ros... kamu kenapa?!" tanyaku lagi, kali ini lebih keras.

Dia tetap diam. Aku mulai panik. Dua kemungkinan langsung terlintas di pikiranku: apakah yang duduk di belakangku bukan Rossa, atau ada sesuatu yang menempel di belakang Rossa?

Tanpa pikir panjang, aku langsung tancap gas. Motor melaju kencang di jalan yang menanjak itu, sampai akhirnya aku lupa mengerem ketika tiba di depan kost. Motor kami berhenti mendadak dengan sedikit benturan di pintu gerbang kost.

"Ros, turun!" seruku.

Rossa langsung melompat turun dari motor dan berlari menuju pintu kost. Tangannya gemetar saat mencoba membuka kunci pintu. Aku segera mematikan motor dan bergegas mengikutinya masuk.

Begitu pintu tertutup dan terkunci, Rossa duduk di lantai, lemas. Wajahnya pucat, dan matanya terlihat kosong.

"Ros, kamu kenapa sih?!" tanyaku, masih berusaha menenangkan napas yang tersengal karena panik.

Dia menatapku perlahan, lalu berkata dengan suara bergetar, "Ani... tadi pas di tanjakan... aku lihat sesuatu."

"Lihat apa?!" tanyaku penasaran, meskipun sebenarnya aku tahu aku tidak akan suka dengan jawabannya.

"Di atas kepala kita..." Dia terdiam sebentar, mencoba mengatur napas. "Aku lihat kuntilanak... melayang."

Darahku serasa berhenti mengalir. Aku mematung, tidak tahu harus berkata apa. "Kuntilanak?! Serius, Ros?!"

Rossa mengangguk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Iya... aku gak berani bilang apa-apa tadi. Aku takut kalau aku bilang, dia malah ngejar. Aku cuma bisa meluk kamu biar gak lihat ke mana-mana. Ngeri banget, Ani."

Aku merasakan tubuhku mulai lemas. Kami sama-sama terdiam di dalam kamar, tidak lagi berani membicarakan hal itu. Makanan yang kami beli hanya diletakkan begitu saja di meja. Tidak ada selera untuk makan.

"Udahlah, Ros. Kita tidur aja. Biar besok semuanya lupa," kataku akhirnya.

Dia hanya mengangguk. Aku segera mengunci pintu kamar, memastikan tidak ada celah yang terbuka, lalu kami berbaring di tempat tidur masing-masing. Namun, aku tahu malam itu tidak akan berakhir dengan tenang.

Meski tubuhku sudah berbaring di kasur, pikiranku tidak berhenti berputar. Kata-kata Rossa terus terngiang-ngiang: kuntilanak melayang di atas kepala kita. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa itu hanya khayalan, atau mungkin penglihatannya salah. Tapi kenapa suasana malam tadi begitu mencekam?

"Rossa, kamu udah tidur?" tanyaku pelan dari tempat tidurku.

Belum ada jawaban. Aku melirik ke arahnya. Punggungnya membelakangiku, dan aku mendengar tarikan napasnya yang berat, seperti orang menahan ketakutan.

"Ros, kalau ada apa-apa, bangunin aku, ya," kataku lagi, mencoba menenangkan.

Kali ini dia hanya bergumam, "Hm."

Akhirnya, aku memejamkan mata, berharap malam ini segera berlalu.

Namun, tidak lama setelah itu, aku merasa pintu kamar terbuka lebar. Angin dingin masuk, membuat tubuhku menggigil. Dalam mimpiku—atau mungkin aku tidak tahu apakah itu benar-benar mimpi—aku bangkit dari kasur dan duduk sambil memandang pintu. Cahaya bulan masuk melalui celah pintu, menciptakan bayangan di lantai.

Tiba-tiba, sosok perempuan berambut panjang dengan baju putih berjalan perlahan melewati pintu kamar menuju WC. Aku ingin berteriak, tapi tenggorokanku seperti tersumbat.

Aku langsung terbangun dengan jantung berdebar. Tapi anehnya, aku merasa belum sepenuhnya sadar. Tubuhku seperti bergerak sendiri, melangkah keluar kamar menuju WC. Aku merasa semua itu tidak masuk akal, tapi aku tidak bisa menghentikan langkahku.

Pintu WC sudah setengah terbuka. Aku masuk ke dalam dan berdiri di sana, mematung. Pintu WC tidak kututup, sehingga aku masih bisa melihat ke luar.

Kemudian, suara langkah kecil terdengar mendekat. Aku melihat sesosok perempuan berdiri di depan WC, memandangku dengan senyum lebar yang membuat wajahnya semakin menyeramkan. Tawanya mulai terdengar, pelan tapi memekakkan telinga.

Aku ingin berlari, tapi tubuhku tidak bisa bergerak. Bahkan napasku terasa berat. Perempuan itu tiba-tiba menghilang dari pandangan, tapi suara tawanya masih terdengar di sekitarku. Aku mendongak perlahan ke atas, dan di sana dia berada—menempel di plafon dengan posisi kepala menghadapku. Rambutnya tergerai, dan dari ujung rambutnya menetes cairan hitam yang berbau busuk.

Aku tidak bisa lagi menahan rasa takut. Mulutku terbuka lebar untuk berteriak, tapi suaraku tidak keluar. Ketika cairan itu menetes ke dahiku, aku langsung terbangun.

Aku terengah-engah, napasku tersengal. Keringat membasahi tubuhku meski udara malam dingin. Aku meraba-raba sekitar, memastikan aku benar-benar sudah terbangun.

Di sebelahku, Rossa juga terbangun dengan ekspresi panik. Dia menatapku dengan wajah pucat.

"Ani... tadi aku mimpi buruk," katanya dengan suara gemetar.

"Aku juga," jawabku cepat. "Apa yang kamu lihat?"

Rossa menelan ludah sebelum menjawab, "Aku mimpi kuntilanak itu. Dia di depan WC, senyum dan ketawa..."

Jantungku semakin berdebar. "Ros, itu mimpi yang sama. Aku juga mimpi itu."

Kami saling memandang, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Aku meraih ponselku dan melihat waktu. Jam menunjukkan pukul 03.15 pagi. Pintu kamar, yang seingatku sudah kukunci rapat, kini terbuka lebar.

Aku menelan ludah, mencoba berkata dengan tenang, "Ros, tadi malam... kamu yakin kita udah kunci pintu?"

Rossa mengangguk dengan raut wajah takut. "Yakin banget. Aku yang terakhir ngecek. Tapi kenapa..."

Kami sama-sama tidak bisa melanjutkan kalimat itu. Sambil berusaha menenangkan diri, aku bangkit dari tempat tidur untuk menutup pintu. Tanganku gemetar saat memutar kunci.

"Ani, kita harus pindah kost," ucap Rossa tiba-tiba.

Aku hanya bisa mengangguk, meskipun dalam hati aku tahu, pindah tidak akan semudah itu.

Pagi itu, kami berdua bangun dengan wajah yang kusut dan mata panda yang parah. Malam tadi rasanya seperti mimpi buruk yang tidak berkesudahan. Setelah mandi dan bersiap, kami memutuskan untuk sarapan bersama di kamar. Bungkusan makanan yang kami beli semalam masih ada di meja, tapi isinya sudah dingin dan tidak menarik.

"Kita masak mie aja, ya, Ani?" tanya Rossa sambil melirik ke dapur kecil di sudut kamar.

Aku mengangguk malas. "Iya, makanan semalam udah nggak mungkin dimakan. Lagian aku juga belum lapar banget."

Rossa langsung ke dapur dan mulai merebus air. Aku duduk di kasur, mencoba membuka ponsel untuk mengalihkan pikiran, tapi mataku tidak bisa berhenti melirik pintu WC yang masih tertutup. Ada perasaan aneh setiap kali aku melihatnya.

"Ros, nanti kita cari kost baru aja, ya," ujarku mencoba membuka obrolan.

Rossa menghentikan gerakannya, lalu menoleh ke arahku. "Iya, aku setuju banget. Aku nggak mau tidur di sini lagi. Semalam itu... aneh banget."

Sebelum aku sempat menjawab, suara aneh tiba-tiba terdengar dari dalam WC.

Tok... tok... tok...

Aku dan Rossa saling pandang dengan mata melebar.

"Ros, kamu denger itu?" bisikku.

"Iya..." jawabnya dengan suara pelan. Tangannya menggenggam erat gagang panci.

Kami berdua diam, menunggu suara itu muncul lagi. Tapi yang terdengar justru suara yang lebih aneh.

"Ross... Rossa..."

Aku langsung berdiri. Suara itu seperti suaraku sendiri, tapi datang dari dalam WC.

"Ros, kamu denger itu juga, kan?" tanyaku dengan panik.

Rossa mengangguk sambil mundur perlahan dari dapur. "Ani, jangan-jangan..."

Belum selesai dia bicara, suara lain terdengar. Kali ini suara Rossa, memanggilku dari arah yang sama.

"Ani, ini aku. Tolong aku..."

Rossa langsung berdiri di belakangku, memegang lenganku erat. Wajahnya pucat.

"Itu bukan aku!" serunya panik.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Ros, kita harus buka pintunya. Kita nggak bisa biarin suara itu terus-terusan di sana."

"Enggak, Ani! Jangan buka pintu itu!" Rossa memeluk lenganku semakin erat.

"Tapi kalau kita diam aja, suara itu nggak akan berhenti," balasku.

Dengan tangan gemetar, aku mendekati pintu WC. Rossa mencoba menahan lenganku, tapi aku tetap maju. Aku merasa ada sesuatu yang harus aku lihat, meskipun seluruh tubuhku gemetar ketakutan.

Ketika aku sampai di depan pintu, suara itu berhenti. Hening. Aku ragu untuk menyentuh gagang pintu, tapi rasa penasaran dan ketakutanku bercampur jadi satu.

"Ani, jangan..." suara Rossa hampir seperti bisikan.

Aku menarik napas panjang, lalu meraih gagang pintu dengan tangan yang basah oleh keringat. Dengan gerakan cepat, aku membuka pintu itu lebar-lebar.

Namun, WC itu kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Tidak ada suara. Hanya aroma lembap yang menusuk hidung.

"Tuh, kosong kan," ucapku sambil mencoba menenangkan diri.

Tapi ketika aku hendak menutup pintu, mataku menangkap sesuatu. Di sudut lantai, ada bekas jejak kaki kecil yang basah, mengarah ke pintu kamar mandi. Aku langsung mundur beberapa langkah.

"Ros, kamu lihat itu?" tanyaku sambil menunjuk lantai.

Rossa tidak menjawab. Dia hanya mematung dengan mata melotot. Aku menoleh ke arahnya, lalu mengikuti pandangannya. Dia menatap ke arah cermin yang tergantung di dalam WC.

Di sana, samar-samar, terlihat bayangan seorang perempuan dengan rambut panjang dan wajah pucat menatap kami dari balik pantulan. Dia tersenyum, lalu perlahan menghilang seperti kabut yang memudar.

"Ani!" teriak Rossa sambil menarik tanganku keluar dari kamar mandi.

Kami berdua langsung berlari ke kasur, duduk bersebelahan sambil memeluk lutut. Pintu WC kubiarkan terbuka, tapi aku tidak mau lagi mendekatinya.

Rossa akhirnya bersuara, "Kita harus pergi dari sini. Hari ini juga."

Aku hanya bisa mengangguk, tidak bisa berkata apa-apa.

Hari itu, kami memutuskan untuk tidak menunda lagi. Setelah kejadian pagi tadi, aku dan Rossa segera mencari kost baru. Kami membagi tugas: aku bertugas mencari informasi secara online, sementara Rossa menghubungi teman-temannya yang mungkin tahu tempat kosong di sekitar area kampus.

“Aku nemu satu, Ros. Deket kampus, katanya masih ada dua kamar kosong. Kita coba hubungi?” tanyaku sambil menunjuk layar ponsel.

Rossa yang sedang menelepon seseorang mengangkat jarinya, memberi isyarat untuk menunggu. Setelah beberapa saat, dia menutup teleponnya dan menoleh padaku.

“Temanku bilang ada satu kost kosong di belakang kampus. Deket warung makan yang sering kita datengin. Kamu mau coba cek langsung aja?”

Aku mengangguk cepat. "Oke, yang penting kita bisa keluar dari sini secepatnya."

Setelah memastikan lokasi kost yang direkomendasikan, kami bergegas keluar. Kami meninggalkan kamar dalam keadaan seadanya, hanya mengunci pintu sebelum pergi. Namun, saat akan turun tangga, perasaan aneh kembali muncul.

Tangga kost itu sepi seperti biasa, tapi kali ini ada hawa dingin yang tidak wajar. Setiap langkah yang kami ambil terasa berat, seperti ada yang memperhatikan dari belakang. Aku sesekali menoleh, memastikan tidak ada apa-apa, tetapi entah kenapa bulu kudukku terus berdiri.

“Rossa, kamu ngerasa ada yang aneh nggak?” bisikku sambil melirik ke belakang.

Rossa mengangguk pelan. “Dari tadi aku ngerasa kayak ada yang ngikutin.”

Kami mempercepat langkah. Saat sampai di lantai dasar, aku menoleh ke arah tangga sekali lagi. Mataku membelalak saat melihat sekilas bayangan hitam melintas di sudut pandang.

“Cepat, Ros!” seruku sambil menarik tangannya.

Kami berlari keluar dari kost tanpa menoleh lagi. Di luar, cahaya matahari terasa seperti perlindungan. Kami berhenti sejenak untuk menenangkan diri di depan warung kecil, mencoba mengatur napas.

“Apa itu tadi?” tanyaku dengan suara bergetar.

Rossa hanya menggeleng. “Aku nggak lihat apa-apa. Tapi rasanya... nggak enak banget.”

Setelah membeli air mineral di warung, kami melanjutkan perjalanan ke kost yang direkomendasikan. Lokasinya tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Namun, sepanjang perjalanan, aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu masih mengikuti kami.

Ketika sampai di kost baru, kami disambut oleh pemilik kost, seorang ibu-ibu ramah yang mengenakan daster bunga-bunga. Kami langsung melihat-lihat kamar yang ditawarkan. Kamar itu terasa nyaman, jauh lebih terang dan bersih dibandingkan kamar kami sebelumnya.

“Saya ambil, Bu,” ucapku cepat, tanpa pikir panjang.

Rossa hanya mengangguk setuju. Kami berdua terlalu lelah untuk berpikir lama-lama.

Namun, saat hendak keluar dari kamar baru itu, aku mendengar sesuatu yang membuat langkahku terhenti.

Tok… tok… tok…

Suara itu terdengar samar, seperti suara ketukan dari dalam lemari pakaian yang ada di kamar tersebut. Aku langsung menoleh ke arah Rossa, berharap dia tidak mendengar hal yang sama. Tapi dari ekspresi wajahnya yang membeku, aku tahu dia mendengar itu juga.

“Ibu, ini lemari bekas penghuni lama, ya?” tanyaku pelan, mencoba mengalihkan perasaan aneh.

Si ibu tersenyum. “Oh iya, Nak. Lemari itu memang bawaan penghuni sebelumnya. Tapi sudah dibersihkan, kok.”

Aku mengangguk, mencoba menenangkan diri. Setelah melihat kamar, kami kembali ke kost lama untuk mulai mengemas barang-barang.

Namun, saat kami masuk ke kamar, suasananya terasa jauh lebih berat dari sebelumnya. Seolah-olah sesuatu yang tak terlihat marah karena kami akan pergi.

“Ani, kita buru-buru aja, ya. Jangan lama-lama di sini,” kata Rossa sambil membuka lemari untuk mengambil pakaian.

Aku mengangguk dan mulai memasukkan barang-barang ke dalam koper. Tapi saat aku mengambil tas dari bawah meja, aku melihat sesuatu yang membuat jantungku hampir berhenti.

Di bawah meja itu, ada jejak kaki kecil yang basah, sama seperti yang aku lihat di kamar mandi pagi tadi.

“Ros...” suaraku bergetar.

Rossa menoleh dan melihat ke arah yang aku tunjuk. Wajahnya langsung pucat.

“Kita harus pergi sekarang juga,” ucapnya tegas.

Kami langsung mengemasi barang-barang dengan panik, tidak peduli lagi apakah semuanya terlipat rapi atau tidak. Yang penting, kami bisa keluar dari kamar itu secepat mungkin.

Namun, saat kami hendak keluar, suara ketukan itu kembali terdengar, kali ini dari arah pintu kamar.

Tok… tok… tok…

Kami berdua saling pandang dengan wajah penuh ketakutan.

“Ani, buka pintunya,” bisik Rossa.

Aku menelan ludah, lalu dengan tangan gemetar, membuka pintu perlahan. Namun, di luar tidak ada siapa-siapa. Hanya koridor kosong yang sepi.

“Kita harus keluar sekarang juga,” ucapku sambil menarik tangan Rossa.

Kami berlari meninggalkan kost itu dengan barang seadanya. Bahkan, aku lupa apakah sudah mengunci pintu atau belum. Yang ada di pikiranku saat itu hanyalah menjauh sejauh mungkin dari tempat itu.

Setelah meninggalkan kost lama, kami memutuskan untuk kembali ke kost baru lebih awal daripada rencana. Hari itu, kami tidak sempat membawa semua barang, tetapi aku dan Rossa sepakat untuk kembali esok pagi dengan bantuan teman-teman. Kami terlalu takut untuk kembali sendirian.

Malam itu, di kost baru, suasananya jauh lebih tenang. Aku dan Rossa mencoba menenangkan diri dengan menata barang-barang seadanya yang sudah kami bawa. Kost ini terasa lebih nyaman—tidak ada hawa aneh, tidak ada suara-suara ganjil.

Namun, aku tidak bisa sepenuhnya tenang. Bayangan kejadian tadi terus menghantui pikiranku. Aku tahu Rossa juga merasakannya. Dia lebih pendiam daripada biasanya, duduk di sudut kamar dengan ponselnya.

“Ros, kamu yakin kita udah benar-benar lepas dari gangguan itu?” tanyaku, memecah keheningan.

Rossa mendongak, lalu menghela napas panjang. “Aku nggak tahu, Ani. Aku cuma berharap ini semua selesai setelah kita keluar dari kost lama.”

Aku mengangguk pelan, mencoba meyakinkan diri. “Mungkin memang cuma di situ tempatnya, ya. Di sini harusnya aman.”

Namun, saat malam semakin larut, aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Saat aku berbaring di tempat tidur, mataku terus mengarah ke lemari pakaian di sudut kamar. Lemari itu sama sekali tidak bergerak, tetapi rasanya seperti ada sesuatu di dalamnya yang memperhatikanku.

“Ros, aku mau tanya lagi soal lemari ini,” kataku sambil menunjuk ke arah lemari.

Rossa menoleh dan menatap lemari itu dengan tatapan bingung. “Kenapa? Lemarinya bagus kok. Kamu takut kejadian kayak di kost lama terulang?”

Aku mengangguk pelan. “Aku cuma nggak nyaman. Sejak tadi rasanya aneh.”

“Kita coba buka aja, yuk,” ucap Rossa tiba-tiba.

Aku terkejut dengan keberaniannya. “Kamu yakin? Kalau ada sesuatu di dalam, gimana?”

“Ya, mending kita tahu sekarang daripada terus parno,” jawabnya tegas.

Aku akhirnya setuju. Dengan perasaan cemas, aku dan Rossa mendekati lemari itu. Rossa menggenggam gagangnya dan menarik pintu lemari perlahan.

Saat pintu terbuka, kami melihat pakaian bekas tergantung rapi di dalamnya. Tidak ada yang aneh, hanya beberapa baju tua yang sudah usang.

“Tuh, kosong, kan?” kata Rossa sambil tersenyum lega.

Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Namun, saat aku hendak menutup lemari itu, sebuah aroma aneh mulai tercium. Bau busuk, seperti bangkai yang sudah lama membusuk.

“Ros, bau apa ini?” tanyaku sambil menutup hidung.

Rossa juga terlihat bingung. Dia mengendus udara di sekitarnya, lalu matanya melebar. “Bau ini... sama kayak yang aku cium waktu lihat kuntilanak di atas motor, Ani.”

Jantungku langsung berdegup kencang. Aku menatap lemari itu dengan takut-takut, berharap bau itu hanyalah imajinasiku. Namun, bau busuk itu semakin kuat, dan tiba-tiba terdengar suara tok... tok... tok dari dalam lemari.

Kami mundur beberapa langkah dengan wajah pucat. Rossa memegang tanganku erat-erat, berbisik dengan suara gemetar. “Ani, kita keluar sekarang.”

Aku mengangguk tanpa pikir panjang. Kami segera mengambil ponsel dan kunci kamar, lalu berlari keluar tanpa menoleh ke belakang.

Saat berada di luar kamar, kami bertemu dengan pemilik kost yang sedang menonton televisi di ruang tamu.

“Lho, kalian kenapa keluar malam-malam?” tanyanya heran.

Rossa tidak langsung menjawab. Aku yang akhirnya membuka suara, meskipun masih gemetar. “Bu, lemari di kamar itu... bau busuk, terus ada suara ketukan dari dalamnya.”

Wajah ibu kost langsung berubah. Dia tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang.

“Lemari itu memang sudah lama ada di kamar itu, Nak. Sebenarnya, penghuni sebelumnya sering mengeluh hal yang sama, tapi saya pikir... mungkin mereka cuma terlalu lelah dan berimajinasi.”

“Bu, kalau memang sudah ada yang mengeluh, kenapa lemari itu nggak dibuang?” tanya Rossa dengan nada kesal.

Si ibu menggeleng pelan. “Lemari itu... katanya, nggak bisa dipindahkan. Setiap kali ada yang mencoba membuangnya, selalu ada kejadian aneh. Bahkan, ada yang pernah mimpi buruk terus-terusan setelah menyentuh lemari itu.”

Kami terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

“Sudah, kalau kalian tidak nyaman, pindah saja ke kamar sebelah. Saya akan coba cari solusinya nanti,” lanjutnya dengan nada menyesal.

Kami akhirnya pindah ke kamar lain malam itu juga. Meski kamar baru itu tidak memiliki lemari, aku dan Rossa merasa jauh lebih tenang.

Namun, saat aku mencoba tidur, perasaan tidak nyaman itu kembali muncul. Aku menutup mata, tetapi bayangan lemari itu terus menghantuiku. Bau busuknya, suara ketukannya, semuanya terasa begitu nyata.

Malam itu, aku bermimpi. Dalam mimpi, aku melihat kamar lama kami. Pintu lemari terbuka perlahan, dan dari dalamnya muncul sosok perempuan berambut panjang dengan wajah pucat. Dia tersenyum ke arahku, lalu berbisik dengan suara yang menggema di seluruh ruangan:

“Jangan pergi... aku akan ikut.”

Aku terbangun dengan napas tersengal-sengal. Saat melihat ke samping, Rossa juga terbangun dan menatapku dengan wajah panik.

“Kamu mimpi, ya?” tanyanya.

Aku mengangguk pelan. “Iya... dan aku rasa dia belum selesai dengan kita.”

Rossa terdiam, wajahnya terlihat pucat. “Ani, aku juga mimpi yang sama.”

Kami hanya bisa saling menatap dalam keheningan. Gangguan ini belum selesai, dan kami tahu, selama kami belum benar-benar pergi dari tempat ini, dia akan terus mengikuti.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri


Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG