Cerita Horor #22 BOLA KEPALA 👀



BOLA KEPALA

Bab 1: Pertandingan Malam yang Mencekam

Malam itu, suara derap langkah kaki dan tawa anak-anak muda bergema di lapangan kampung yang sederhana. Rian, kapten tim, memimpin rekan-rekannya bermain sepak bola, meskipun udara dingin dan gerimis mulai turun. Lampu redup dari bohlam yang tergantung di tiang bambu menerangi sebagian lapangan yang berbatasan langsung dengan sungai kecil di sebelahnya.

“Oper sini, Arif! Cepat!” seru Rian dengan semangat. Ia berlari menuju gawang lawan, melewati beberapa pemain yang mencoba menghentikannya.

“Tahan dia! Jangan biarkan dia masukin gol lagi!” teriak Arif, kapten tim lawan.

Namun, Rian terlalu cepat. Dengan satu tendangan keras, bola melesat ke arah gawang dan masuk. “Gol! Hahaha! Lihat, aku bilang kan, kalian nggak bisa menang!” ejek Rian sambil tertawa.

Arif mendengus kesal. “Beruntung saja. Tunggu pembalasanku!”

Pertandingan semakin sengit. Suasana semakin ramai meskipun gerimis mulai berubah menjadi hujan ringan. Anak-anak muda itu tetap bermain dengan antusias, seolah tidak peduli dengan cuaca atau tanah yang mulai licin.

Namun, di pinggir lapangan, beberapa warga yang kebetulan lewat berhenti sejenak dan memandang dengan raut wajah khawatir. Salah satunya, Pak Darto, menggeleng pelan.

“Mereka masih main di dekat sungai itu, ya? Padahal sudah sering diperingatkan,” gumamnya sambil berlalu.

Di tengah pertandingan, Arif melompat tinggi mencoba merebut bola dari Rian, tetapi tendangannya meleset. Bola melambung jauh ke arah ujung lapangan, tepat ke pinggiran yang berbatasan dengan sungai kecil yang angker.

“Bola keluar! Ambil, Doni!” perintah Rian sambil menunjuk ke arah bola yang kini terguling pelan di dekat semak-semak di pinggir sungai.

Doni, seorang anak muda yang dikenal paling berani, segera berlari ke arah bola tanpa pikir panjang.

“Eh, hati-hati, Don!” teriak Bayu, salah satu pemain. “Jangan terlalu dekat ke sungai itu!”

“Ah, tenang aja! Ini cuma sungai kecil, nggak ada apa-apa!” balas Doni sambil tertawa kecil.

Namun, ketika ia mulai mendekati bola, langkah Doni mendadak melambat. Ia merasakan hawa dingin yang tiba-tiba menyeruak di sekitarnya, meskipun hujan tidak terlalu deras.

“Aneh… kenapa hawanya dingin banget di sini?” gumam Doni, matanya terpaku pada bola yang tergeletak di atas tanah basah.

“Cepetan, Don! Jangan lama-lama!” seru Arif dari kejauhan.

Doni mengulurkan tangan untuk mengambil bola itu, tapi tiba-tiba ia berhenti. Matanya membelalak. Bola yang tadinya tampak biasa kini berubah. Permukaannya mulai retak, dan dari celah retakan itu, sesuatu muncul.

“Bola ini… apa ini?” Doni mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar. Retakan pada bola semakin besar, hingga akhirnya seluruh permukaan bola runtuh, memperlihatkan sebuah kepala manusia dengan wajah pucat dan mata melotot. Rambut panjangnya basah kuyup, meneteskan air yang berbau busuk.

Kepala itu perlahan bergerak, membuka mulutnya, dan mengeluarkan suara lirih, “Keembaliikkaannn…”

Doni langsung menjerit ketakutan, terhuyung mundur. “Ya Tuhan! Apa ini?! Rian! Arif! Tolong aku!”

Jeritan Doni membuat anak-anak lain langsung berlari ke arahnya. “Kenapa, Don?! Apa yang terjadi?” Rian berlari paling depan, diikuti Arif dan Bayu.

Doni menunjuk ke arah kepala itu, tapi ketika Rian dan yang lainnya tiba, kepala tersebut sudah lenyap. Hanya bola yang tergeletak di sana, kembali seperti semula.

“Doni, kamu kenapa sih? Itu cuma bola biasa,” kata Arif dengan nada tidak percaya.

“Tadi… tadi itu kepala manusia! Aku melihatnya sendiri! Bola itu berubah jadi kepala!” teriak Doni, wajahnya pucat.

Rian mengerutkan kening. “Kamu ngelindur, Don? Jangan-jangan kamu kebanyakan takut sama cerita warga soal sungai ini?”

“Aku nggak bohong! Tadi itu nyata! Aku lihat dengan jelas!” Doni bersikeras, tapi yang lain hanya saling pandang, tidak yakin dengan ceritanya.

“Sudahlah, Don. Kalau kamu takut, biar aku yang ambil bolanya,” kata Rian akhirnya. Ia melangkah maju, mengambil bola, dan menepuk pundak Doni. “Lihat, aman-aman saja, kan? Jangan paranoid.”

Meski begitu, perasaan aneh tidak hilang dari pikiran Doni. Saat ia berjalan kembali ke tengah lapangan, ia merasa ada sesuatu yang mengawasi dari arah sungai. Sebuah perasaan yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Tanpa mereka sadari, permainan malam itu baru saja membuka pintu ke sesuatu yang jauh lebih menyeramkan.

Bab 2: Hawa Mencekam di Pinggir Lapangan

Malam semakin larut, tapi permainan di lapangan masih berlangsung. Anak-anak muda itu tertawa dan berteriak penuh semangat, meskipun gerimis terus membasahi tubuh mereka. Namun, Doni, yang biasanya bersemangat, tampak lebih banyak diam setelah insiden dengan bola di pinggir lapangan tadi.

“Don, kamu kenapa sih? Kok mukamu tegang banget?” tanya Bayu sambil mendekatinya.

“Enggak... aku cuma nggak enak badan,” jawab Doni, suaranya pelan.

“Kamu nggak bohong kan?” desak Bayu. “Kalau ada apa-apa, cerita aja. Jangan bikin kita penasaran.”

Doni menoleh, matanya gelisah. “Tadi... aku nggak bohong soal yang aku lihat, Bay. Bola itu beneran berubah jadi kepala. Kepalanya perempuan, matanya melotot, dan mulutnya ngomong sesuatu.”

Bayu menelan ludah, tapi ia berusaha tetap tenang. “Ah, paling kamu cuma kebanyakan nonton film horor, Don. Udah, lupakan aja. Itu cuma imajinasi kamu.”

Doni menggeleng keras. “Enggak, Bay. Itu nyata! Bahkan aku masih bisa ngerasain bau busuknya sampai sekarang.”

Rian yang mendengar percakapan mereka mendekat sambil tertawa kecil. “Doni, kamu jangan mulai bikin drama di sini. Kita lagi seru-serunya main, tahu!”

“Aku serius, Rian!” Doni membalas dengan nada tinggi. “Aku yakin ada sesuatu yang nggak beres di sini. Kita nggak seharusnya main di lapangan ini malam-malam!”

Arif, yang sedang bersiap untuk melanjutkan permainan, ikut bergabung. “Hei, kalian kenapa sih ribut terus? Udah, kita lanjutin aja mainnya. Malam ini belum tentu kita dapet kesempatan main lagi kayak gini!”

Namun, sebelum ada yang menjawab, terdengar suara gemerisik dari arah pinggir lapangan, tepat di tempat bola tadi jatuh.

“Apa itu?” bisik Bayu sambil melirik ke arah semak-semak.

Semua mata langsung tertuju ke tempat tersebut. Gemerisik itu semakin jelas, seperti ada sesuatu yang bergerak di antara semak-semak.

“Paling cuma kucing atau hewan lain,” kata Rian dengan santai, meski suaranya terdengar sedikit gemetar.

“Kalau cuma kucing, kenapa rasanya hawa di sini jadi makin dingin?” balas Doni, sambil mengusap lengannya yang merinding.

Arif mencoba memberanikan diri. “Udah, aku cek aja. Nggak usah panik.” Ia berjalan mendekati semak-semak itu, meskipun langkahnya terlihat ragu.

“Arif, jangan terlalu dekat!” seru Doni, tapi Arif hanya melambaikan tangan, meminta mereka diam.

Ketika Arif mencapai semak-semak, ia mendorong dedaunan itu dengan kakinya. Tidak ada apa-apa di sana, hanya tanah basah dan beberapa ranting.

“Nggak ada apa-apa, tuh!” seru Arif sambil tertawa kecil. “Kalian penakut banget sih!”

Namun, tepat saat ia berbalik, sesuatu bergerak cepat di belakangnya. Sosok bayangan hitam melintas, begitu cepat hingga hampir tak terlihat.

“Arif! Cepat keluar dari sana!” teriak Rian, wajahnya pucat.

Arif membeku. Ia merasa hawa dingin menyeruak di belakangnya. Perlahan, ia menoleh, dan matanya membelalak. Di sana, berdiri sosok perempuan dengan rambut panjang basah, wajahnya tertutup rambut, hanya menyisakan mata merah menyala yang menatap tajam ke arahnya.

“Keembaalliiiikkaannn…” suara serak itu bergema, membuat Arif mundur dengan panik.

“Lari, Arif! Cepat!” teriak Rian lagi.

Arif tidak berpikir dua kali. Ia langsung berlari ke arah teman-temannya, meninggalkan semak-semak itu. Tapi sosok perempuan itu tidak hilang. Ia muncul di tepi lapangan, berdiri kaku dengan tubuh melayang beberapa inci di atas tanah.

Doni menunjuk dengan gemetar. “Itu dia! Itu sosok yang aku lihat tadi!”

Semua anak muda di lapangan langsung terpaku. Tawa dan canda yang sebelumnya mengisi malam berubah menjadi sunyi mencekam. Sosok perempuan itu tidak bergerak, hanya menatap mereka dengan pandangan tajam yang seolah menusuk langsung ke jiwa mereka.

“Kita… kita harus pergi dari sini,” bisik Bayu dengan suara gemetar.

“Setuju. Cepat tinggalkan lapangan ini!” sahut Rian sambil menarik Doni yang tampak masih terpaku di tempat.

Namun, sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, sosok itu membuka mulutnya lebar, mengeluarkan jeritan panjang yang membuat telinga mereka berdenging. Lampu yang menerangi lapangan berkedip-kedip, kemudian padam total, meninggalkan mereka dalam kegelapan.

“Cepat lari!” teriak Rian.

Mereka semua berhamburan meninggalkan lapangan, berlari secepat mungkin ke arah kampung, meninggalkan suara jeritan yang terus menggema di belakang mereka. Tapi, meskipun sudah jauh, rasa dingin dan perasaan diawasi tidak pernah benar-benar hilang.

Bab 3: Jejak yang Tak Terlihat

Setelah berhasil keluar dari lapangan, Doni dan teman-temannya berlari menuju pos ronda di dekat kampung. Napas mereka tersengal, pakaian basah oleh gerimis, dan wajah mereka penuh ketakutan. Lampu redup dari pos ronda menjadi satu-satunya penerangan di tengah gelapnya malam.

“Bayu, kamu nggak apa-apa?” tanya Arif sambil menepuk bahunya.

Bayu hanya mengangguk pelan sambil menyeka keringat di dahinya. “Aku nggak ngerti, Rif. Apa yang barusan kita lihat tadi… beneran atau cuma ilusi?”

“Itu bukan ilusi!” Doni memotong, suaranya tinggi. “Aku udah bilang dari tadi. Ada yang nggak beres di lapangan itu!”

“Tenang, Don.” Rian mencoba menenangkan, meski wajahnya sendiri masih tegang. “Kita semua lihat hal yang sama. Tapi sekarang kita udah jauh dari sana. Mungkin dia nggak bakal ngikutin kita.”

“Jangan terlalu yakin,” gumam Doni sambil melirik ke arah jalan setapak yang mereka lalui tadi.

Tiba-tiba, suara langkah terdengar dari arah gelap. Semua langsung memandang ke jalan itu dengan waspada. Langkah kaki itu semakin dekat, pelan namun jelas.

“Kalian dengar itu?” bisik Bayu.

“Dengar,” jawab Arif, suaranya gemetar. “Siapa itu? Jangan-jangan dia…”

Doni maju satu langkah, mencoba menenangkan dirinya. “Halo? Siapa di sana?” panggilnya dengan suara lantang.

Tak ada jawaban, hanya suara langkah yang terus mendekat.

“Apa kita harus lari lagi?” tanya Rian sambil menggenggam tangan Bayu, yang mulai bergetar.

“Jangan panik!” Arif berkata, meskipun nada suaranya sendiri terdengar tak yakin. “Mungkin itu cuma orang kampung yang kebetulan lewat.”

Namun, saat langkah itu berhenti tepat di batas cahaya dari lampu pos ronda, mereka semua membeku. Tidak ada siapa pun di sana.

“Tidak mungkin…” bisik Bayu.

Doni mundur perlahan. “Kita harus cerita ke Pak RT. Ini nggak bisa dibiarkan!”

Belum sempat mereka bergerak, suara jeritan panjang terdengar lagi dari arah lapangan. Kali ini lebih keras dan menyeramkan, seperti mengandung kemarahan. Jeritan itu membuat bulu kuduk mereka berdiri, dan mereka merasa hawa dingin kembali merasuk ke tubuh.

“Kita nggak aman di sini!” teriak Rian.

Mereka langsung berlari menuju rumah Pak RT, yang berjarak sekitar 200 meter dari pos ronda. Saat tiba, mereka mengetuk pintu dengan panik.

“Pak RT! Tolong buka pintunya!” panggil Doni.

Pak RT, seorang pria paruh baya dengan tubuh tinggi besar, membuka pintu sambil mengucek matanya. “Ada apa ini malam-malam ribut begitu?” tanyanya.

“Pak, tolong kami! Ada sesuatu yang aneh di lapangan!” kata Doni dengan napas tersengal.

Pak RT mengernyitkan dahi. “Aneh? Maksud kalian apa?”

“Di pinggir lapangan, Pak,” tambah Arif. “Kami lihat... sesuatu. Sosok perempuan dengan mata merah. Dia muncul setelah bola kami jatuh ke pinggiran lapangan yang dekat sungai itu.”

Pak RT tampak terkejut mendengar cerita mereka. “Kalian bilang... sungai dekat lapangan? Apa kalian nggak tahu kalau tempat itu dianggap angker?”

“Angker?” Bayu menelan ludah, wajahnya semakin pucat.

Pak RT mengangguk serius. “Dulu, ada perempuan yang bunuh diri di sungai itu. Katanya dia meninggal dengan cara tragis, dan arwahnya sering terlihat berkeliaran di sekitar lapangan, terutama kalau malam hari.”

Rian terdiam, lalu bertanya dengan suara pelan, “Tapi... kenapa dia muncul ke kami, Pak?”

“Siapa tahu?” Pak RT menghela napas. “Mungkin kalian tanpa sadar melakukan sesuatu yang mengganggunya. Apa kalian membawa sesuatu dari sana?”

Semua saling berpandangan, lalu Doni teringat sesuatu. “Bola! Bola itu!” serunya.

“Kenapa dengan bola itu?” tanya Pak RT.

Doni menelan ludah. “Tadi... bola itu sempat jatuh ke pinggir sungai, dan aku yang mengambilnya. Tapi waktu aku ambil, bola itu berubah menjadi kepala perempuan...”

Pak RT terlihat semakin serius. “Kalau begitu, kalian memang telah memicu kemarahannya. Arwah itu mungkin menganggap kalian mengambil sesuatu dari tempatnya.”

“Kita harus gimana, Pak?” tanya Bayu, hampir menangis.

“Kalian semua tetap di sini dulu,” kata Pak RT dengan nada tegas. “Aku akan memanggil beberapa orang untuk melihat ke lapangan. Tapi ingat, jangan pergi sendirian, dan jangan coba-coba kembali ke sana tanpa izin.”

Malam itu, mereka semua berkumpul di rumah Pak RT dengan perasaan gelisah. Sementara itu, Pak RT dan beberapa warga kampung mempersiapkan diri untuk menyelidiki lapangan yang kini terasa seperti pusat dari sesuatu yang mengerikan.

Bab 4: Kembali ke Lapangan

Malam semakin larut. Di rumah Pak RT, Doni dan teman-temannya duduk di ruang tamu, wajah mereka penuh kecemasan. Pak RT baru saja pergi bersama beberapa warga untuk menyelidiki lapangan, meninggalkan mereka dengan pesan tegas untuk tidak pergi ke mana-mana.

“Apa menurut kalian Pak RT bakal baik-baik aja?” tanya Rian, memecah kesunyian.

“Aku nggak tahu, Ri,” jawab Doni sambil memegang dahinya. “Tapi aku yakin, tempat itu memang ada sesuatu yang nggak beres.”

Bayu yang sejak tadi diam tiba-tiba berbicara, “Kita nggak bisa cuma duduk di sini! Gimana kalau Pak RT dan warga butuh bantuan?”

“Kamu gila, Yu?” potong Arif. “Kamu lupa apa yang tadi kita lihat? Kalau kita balik ke sana, mungkin kita nggak akan pulang lagi!”

“Tapi gimana kalau ada yang terluka?” desak Bayu. “Aku nggak bisa duduk diam sementara mereka menghadapi makhluk itu sendirian.”

Rian menghela napas panjang. “Aku setuju sama Bayu. Kalau mereka butuh bantuan, setidaknya kita harus siap. Kita nggak perlu mendekat ke lapangan, tapi kita bisa mengawasi dari jauh.”

Doni menatap mereka dengan ragu. “Kalau kita pergi dan sesuatu terjadi, siapa yang bakal nolong kita?”

Bayu berdiri, menatap Doni dengan serius. “Aku lebih baik mencoba daripada hanya menunggu di sini sambil ketakutan.”

Akhirnya, setelah debat panjang, mereka sepakat untuk menyusul warga. Dengan senter seadanya, mereka berjalan pelan menuju lapangan. Hawa malam semakin dingin, dan suara jangkrik terdengar jelas di sepanjang jalan.

“Kenapa suasananya jadi begini sunyi?” tanya Arif sambil melirik sekeliling.

“Jangan banyak ngomong, Rif,” bisik Rian. “Kita nggak tahu apa yang ada di sekitar kita.”

Saat mereka mendekati lapangan, mereka melihat cahaya dari beberapa senter warga yang sedang memeriksa area pinggir lapangan dekat sungai. Pak RT berdiri di tengah, berbicara dengan seorang warga.

“Kita dekati mereka,” ajak Bayu sambil berjalan lebih cepat.

Namun, sebelum mereka sampai, suara gemerisik dari semak-semak di dekat mereka membuat langkah mereka terhenti.

“Kalian dengar itu?” tanya Doni dengan suara bergetar.

“Iya… dari sana,” jawab Arif sambil menunjuk ke arah semak-semak.

Mereka menyalakan senter ke arah itu, tetapi tidak ada apa-apa. Hanya semak yang bergoyang pelan, seperti tertiup angin.

“Mungkin cuma hewan kecil,” ujar Rian mencoba menenangkan.

Namun, saat mereka berbalik untuk melanjutkan perjalanan, suara tawa pelan terdengar dari belakang mereka.

“Hahaha…”

Mereka semua membeku. Tawa itu terdengar aneh, seperti berasal dari seseorang, tapi juga tidak sepenuhnya manusiawi.

“Siapa itu?” tanya Bayu dengan suara gemetar, mencoba menyalakan senter ke arah suara.

Tidak ada jawaban, tetapi tawa itu semakin keras, bergema di sekitar mereka. Doni menggenggam tangan Bayu dengan erat. “Kita… kita harus pergi ke Pak RT sekarang!”

Mereka berlari sekuat tenaga menuju lapangan, di mana warga berkumpul. Napas mereka tersengal saat tiba.

“Pak RT! Pak RT!” teriak Doni.

Pak RT menoleh dengan wajah terkejut. “Kenapa kalian ke sini? Aku bilang tunggu di rumah!”

“Kami dengar suara tawa aneh, Pak!” jawab Bayu dengan cepat. “Di semak-semak dekat jalan ke sini!”

Wajah Pak RT mengeras. Dia segera memberi aba-aba kepada warga untuk berhenti memeriksa dan berkumpul.

“Semua, kembali ke kampung sekarang. Ada yang nggak beres.”

“Tapi Pak, kita belum nemu apa-apa,” protes seorang warga.

“Jangan ambil risiko!” tegas Pak RT. “Kalau memang ada yang mengganggu, kita harus berkumpul dan mencari cara bersama-sama. Jangan ceroboh!”

Namun, sebelum mereka bisa bergerak, sesuatu terjadi. Lampu senter Pak RT tiba-tiba padam, diikuti oleh senter warga lainnya.

“Kenapa lampunya mati?” tanya salah satu warga panik.

Dalam kegelapan, terdengar suara gemerisik dari arah sungai, diikuti oleh jeritan panjang yang melengking. Jeritan itu begitu keras hingga membuat mereka semua menutup telinga.

“Cepat! Lari!” perintah Pak RT.

Mereka semua berlari meninggalkan lapangan, tetapi Doni dan teman-temannya tertinggal di belakang. Saat mereka mencoba mengejar, Doni menoleh ke belakang dan melihat sesuatu yang membuatnya nyaris pingsan.

Di tengah lapangan, sosok perempuan berambut panjang berdiri diam. Matanya merah menyala, menatap langsung ke arah mereka.

“Cepat! Jangan lihat ke belakang!” teriak Rian sambil menarik tangan Doni.

Mereka akhirnya sampai di kampung dengan napas tersengal, tetapi teror itu belum selesai. Sosok perempuan itu tetap muncul dalam bayangan pikiran mereka, seperti ingin menyampaikan bahwa semua ini baru permulaan.

Bab 5: Akhir yang Mencekam

Pagi hari di kampung itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan gerimis masih turun, menyisakan genangan air di sepanjang jalan tanah yang mengarah ke lapangan. Doni, Rian, Bayu, dan Arif duduk bersama Pak RT dan beberapa warga di balai kampung. Mereka semua berusaha mencari solusi atas peristiwa aneh yang terjadi malam sebelumnya.

“Semua ini nggak masuk akal,” ujar salah satu warga, Pak Manto, sambil menggelengkan kepala. “Lapangan itu memang sudah lama dianggap angker, tapi nggak pernah separah ini.”

“Harus ada yang menyelesaikan ini,” kata Pak RT dengan nada serius. “Kalau kita biarkan, bisa jadi bencana untuk kampung kita.”

Doni yang duduk di pojok ruangan tiba-tiba angkat bicara, suaranya terdengar ragu. “Pak RT, menurut saya… semua ini mulai terjadi sejak bola itu berubah menjadi kepala. Apa mungkin kita harus mencari bola itu?”

Semua mata langsung tertuju ke Doni. Beberapa warga berbisik-bisik, sementara Pak RT mengangguk pelan.

“Mungkin ada benarnya,” jawab Pak RT. “Bola itu bisa jadi kunci dari semua kejadian ini. Tapi siapa yang berani mencarinya?”

Hening. Tidak ada yang berani menawarkan diri. Rian, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara, “Pak, kalau memang nggak ada yang mau, kami berempat saja yang mencarinya.”

“Kamu yakin, Rian?” tanya Pak RT dengan nada khawatir. “Ini bukan perkara main-main.”

“Kami yang melihat kejadiannya langsung, Pak,” tambah Bayu. “Kalau bukan kami, siapa lagi?”

Setelah diskusi panjang, akhirnya diputuskan bahwa Doni, Rian, Bayu, dan Arif akan pergi ke lapangan bersama Pak RT dan dua warga lain. Mereka membawa beberapa senter, kayu untuk berjaga-jaga, dan dupa yang dibakar sebagai bentuk perlindungan.


Menuju Lapangan

Saat mereka tiba di lapangan, suasana terasa berbeda. Udara dingin menusuk, dan kabut tipis menyelimuti area sekitar. Grimis yang turun membuat tanah licin, menambah kesan mencekam.

“Baik, kita berpencar,” perintah Pak RT. “Tapi jangan terlalu jauh. Kalau ada yang melihat sesuatu, langsung beri tanda.”

Mereka mulai menyisir lapangan dengan hati-hati. Doni berjalan bersama Rian, senter mereka menyoroti setiap sudut lapangan yang kosong.

“Kamu nggak takut, Ri?” tanya Doni pelan.

“Takut,” jawab Rian jujur. “Tapi kalau kita nggak selesaikan ini, siapa yang tahu apa yang bakal terjadi nanti?”

Saat mereka mendekati pinggir lapangan, tempat sungai kecil mengalir, Doni merasa ada sesuatu yang aneh. “Ri, lihat itu,” bisiknya sambil menunjuk ke arah semak-semak.

Di antara semak-semak yang basah, terlihat benda bulat berwarna putih. Mereka mendekat dengan hati-hati, dan Doni merasa napasnya tertahan saat melihatnya lebih jelas.

“Itu… bola kita,” bisik Rian.

Namun, saat Doni mencoba meraih bola itu, suara tawa pelan terdengar dari sungai. Mereka langsung berhenti dan saling pandang dengan wajah tegang.

“Kamu dengar itu?” tanya Doni dengan suara gemetar.

“Iya…” jawab Rian sambil memutar senter ke arah sungai.

Tawa itu semakin keras, dan tiba-tiba bola di depan mereka bergerak sendiri, berguling perlahan ke arah sungai. Doni dan Rian mundur dengan panik.

“Pak RT! Pak RT!” teriak Doni sekeras-kerasnya.

Pak RT dan warga lain segera berlari ke arah mereka. “Ada apa?” tanya Pak RT dengan wajah cemas.

“Bola itu… bergerak sendiri!” jawab Rian sambil menunjuk ke arah sungai.

Pak RT mendekat, menyoroti bola itu dengan senter. Tiba-tiba, bola tersebut berhenti berguling dan berubah menjadi kepala yang mereka lihat malam sebelumnya. Mata kepala itu terbuka lebar, menatap mereka dengan tatapan penuh amarah.

“Cepat mundur!” teriak Pak RT sambil menarik Doni dan Rian ke belakang.

Kepala itu melayang perlahan ke udara, mengeluarkan suara tawa menyeramkan yang menggema di seluruh lapangan. Semua orang terpaku, tidak bisa bergerak.


Puncak Teror

“Apa yang kau mau?!” teriak Pak RT dengan lantang.

Suara kepala itu terdengar seperti bisikan, namun cukup keras untuk didengar semua orang. “Kalian mengambil milikku… Kembalikan…”

“Maksudmu apa?” tanya Pak RT bingung.

“Kalian bermain di tempatku… mengambil hakku…” Kepala itu mulai melayang mendekati Doni, yang berdiri membeku di tempatnya.

“Tolong… jangan ganggu kami,” bisik Doni dengan suara lirih.

“Kembalikan… darah…”

Pak RT segera mengambil dupa yang dibawa dan menyalakannya dengan cepat. Asap dari dupa itu membuat kepala tersebut mundur perlahan, mengeluarkan jeritan melengking.

“Kalian semua harus pergi dari tempat ini! Jangan pernah kembali!” teriak Pak RT sambil menaburkan garam yang dibawa salah satu warga.

Kepala itu akhirnya menghilang ke dalam sungai, meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.


Epilog

Setelah kejadian itu, lapangan kampung ditutup dan dianggap terlarang. Tidak ada yang berani mendekati area tersebut, apalagi bermain di sana. Doni dan teman-temannya tetap dihantui oleh bayangan kepala itu, meski mereka berusaha melupakan.

Namun, di malam-malam tertentu, suara tawa samar masih terdengar dari arah sungai. Sebuah peringatan bahwa apa yang mereka alami tidak pernah benar-benar berakhir.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri


Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG