#50 KISAH HOROR TUKANG OJEK PENAKUT
Kisah Horor Tukang Ojek
Penakut.
Setiap
hari adalah perjuangan bagi Yono. Bukan hanya perjuangan mencari nafkah sebagai
tukang ojek daring, tapi juga perjuangan melawan rasa takutnya. Ia dikenal
sebagai tukang ojek yang paling penakut di pangkalan. Bagi Yono, malam adalah
teror yang nyata, terutama malam yang harus dihabiskan di jalanan. Ada satu
jalan pulang yang selalu menghantuinya: jalan setapak di ujung desa, tepatnya
di bawah pohon asem raksasa yang sudah terkenal angker. Tidak ada jalan lain.
Itu satu-satunya akses menuju rumahnya yang sederhana, tempat istrinya dan
kedua anaknya menunggu.
Karena
ketakutannya, Yono selalu berusaha pulang sebelum senja menelan habis cahaya.
Dia rela bangun subuh buta, berangkat di kala fajar masih malu-malu, demi
mengejar penumpang di siang hari. Pekerjaan apa pun dia lahap, asalkan dia bisa
mengumpulkan rezeki dan pulang sebelum kegelapan merayap. Namun, kebutuhan tak
bisa ditawar. Dinding rumah yang mulai retak, biaya sekolah anak-anak yang
terus naik, dan perut yang harus diisi, semua itu memaksanya untuk terus
berjuang, bahkan jika itu berarti berhadapan dengan ketakutan terbesarnya.
Sore itu,
tepat ketika Yono hendak mengemasi tasnya dan bersiap pulang, ponselnya
berdering. Notifikasi pesanan ojek daring muncul di layar. Jaraknya lumayan
jauh, menuju sebuah daerah terpencil yang jarang dijangkau. Matanya menyapu
nominal yang tertera di aplikasi, dan seketika keraguan menyeruak. Angkanya
cukup besar, rezeki nomplok yang bisa menutupi kebutuhan beberapa hari
ke depan. Namun, itu berarti ia akan pulang sangat larut, dan mau tidak mau,
harus melewati jalan di bawah pohon asem raksasa yang angker itu.
"Duh,
jam segini masih ada order jauh begini," gumam Yono pada teman-teman
sesama ojol di pangkalan. "Ini mah sampai sana udah gelap gulita."
Seorang
teman, menoleh. "Ambil saja Yon! Rezeki jangan ditolak. Lagian, itu
duitnya lumayan buat beli beras."
Yono
menghela napas panjang. Ia tahu temannya itu benar. Kebutuhan di rumah
mendesak. Anak sulungnya baru saja masuk SMP dan memerlukan biaya tambahan.
Istrinya juga sering mengeluh persediaan bahan makanan menipis. Dengan berat
hati, ia menekan tombol "Terima Order". Bisikan-bisikan ketakutan
langsung merayap di benaknya, namun ia berusaha mengusirnya. "Demi anak
istri," pikirnya, mencoba menguatkan hati.
Perjalanan
mengantar penumpang berjalan lancar, meski memakan waktu lebih lama dari
perkiraan Yono. Jalanan semakin sepi ketika ia memasuki daerah tujuan, hanya
ada beberapa rumah dengan lampu temaram di kejauhan. Penumpangnya, seorang
wanita muda, turun dengan mengucapkan terima kasih.
"Hati-hati
Pak. Di sini agak sepi kalau malam," kata wanita itu sebelum masuk ke
rumahnya.
Yono hanya
tersenyum tipis, rasa cemas mulai menyergap. Ia membuka aplikasi peta untuk
mencari rute pulang, dan warna jingga di langit sudah berganti menjadi biru
gelap pekat. Bintang-bintang mulai bermunculan satu per satu, berkelip
redup, dan hawa dingin malam mulai menusuk kulit. Ia melirik jam di ponselnya: pukul
delapan malam. Jantung Yono berdebar tak karuan.
"Mampus,"
gumamnya pelan, merutuk dalam hati. Ia harus melewati jalan di bawah pohon asem
angker itu. Tidak ada jalan lain.
Ia mencoba
menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam. "Ini cuma ketakutanmu, Yono.
Tidak ada apa-apa," ia membisikkan kata-kata itu pada dirinya sendiri,
mencoba meyakinkan, meski suaranya sedikit bergetar.
Yono
mempercepat laju motornya, seolah ingin segera melarikan diri dari kegelapan
yang mulai mengepung. Jalanan yang ia lewati semakin sepi. Suara deru mesin
motornya menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan. Lampu-lampu rumah
penduduk sudah banyak yang padam, menandakan sebagian besar warga sudah
terlelap dalam tidurnya. Udara malam terasa dingin, namun keringat mulai muncul
di kening Yono. Ia terus melaju, berharap bisa segera melewati malam dan tiba
di rumah.
Pukul
sepuluh malam. Jarum jam seolah bergerak lebih lambat, mengiringi setiap detik
yang terasa seperti jam. Yono akhirnya sampai di persimpangan yang menuju jalan
setapak itu. Dari kejauhan, siluet pohon asem raksasa tampak menjulang,
hitam pekat melawan langit malam. Bentuknya yang menjulang dengan dahan-dahan
meliuk seolah-olah tangan-tangan raksasa yang siap mencengkeram. Hawa di
sekitarnya terasa langsung berubah, menjadi lebih dingin dan berat, seolah
lapisan udara di sana lebih padat dari biasanya. Bulu kuduk Yono merinding
hebat, rasa takut mencengkeramnya erat. Ia menguatkan pegangan pada setang
motornya, kakinya terasa lemas, hampir tak mampu menopang bobot tubuhnya
sendiri.
"Ayo Yono,
sebentar lagi sampai," bisiknya pada diri sendiri, suaranya sedikit
bergetar, lebih seperti erangan ketimbang ucapan. Ia mencoba meyakinkan
dirinya, memberi semangat pada hati yang sudah menciut. "Ini cuma
perasaanmu saja Yon. Cuma angin malam."
Ia
memaksakan diri untuk memutar gas, melaju perlahan memasuki jalan setapak yang
gelap gulita. Hanya cahaya redup dari lampu motornya yang menerangi jalanan,
menciptakan lingkaran kecil cahaya di tengah kegelapan yang tak berujung. Suara
jangkrik dan binatang malam lainnya yang biasanya riuh, seakan
menghilang, digantikan oleh keheningan yang mencekam. Yono merasa setiap
helaan napasnya terdengar begitu keras di telinganya sendiri, bahkan detak
jantungnya yang berpacu kencang terasa memekakkan.
Yono
melaju di bawah naungan dahan-dahan pohon asem yang menjuntai rendah, seolah
hendak menyentuh kepalanya. Udara terasa pengap, seolah ada sesuatu yang
menekan dari atas, membuatnya sulit bernapas. Keringat dingin mulai
bercucuran di pelipisnya. Ia mempercepat laju motornya, berharap bisa segera
melewati tempat terkutuk itu, tempat yang sudah menjadi momok baginya selama
bertahun-tahun.
Tiba-tiba…
Brak!
Motornya
tersentak hebat, lalu mesinnya mati total. Yono terhuyung dan hampir jatuh,
namun ia berhasil mencengkeram rem dengan kuat. Jantungnya berpacu seperti
genderang perang, memompa darah dengan kecepatan gila.
"Kenapa
ini?!" gumamnya panik, suaranya hampir tak keluar. Ia mencoba menyalakan
motornya kembali, memutar kunci kontak berkali-kali, menekan tombol starter
berulang-ulang dengan harapan motornya akan hidup kembali. Namun, motornya
tetap diam, tak ada tanda-tanda kehidupan, bahkan lampu indikator di dashboard
pun mati total. "Aduh, mati lagi!" serunya frustrasi, namun di balik
frustrasinya itu, ada ketakutan yang lebih besar mulai merayap. Ia tahu betul,
ini bukan mati mesin biasa. Ini adalah pertanda.
Keringat
dingin
membanjiri tubuh Yono, meskipun udara malam terasa begitu dingin menusuk
tulang. Ia mencoba menenangkan diri, jantungnya masih berdebar tak karuan. Ia
turun dari motor, meraih senter kecil dari kantong jaketnya, dan mulai
memeriksa mesin. Ia menyusuri setiap kabel, setiap sambungan, mencari-cari
penyebab motornya mogok. Tidak ada yang aneh, tidak ada kabel putus, tidak ada
bau gosong.
"Mungkin
businya basah," pikirnya, mencoba mencari penjelasan rasional yang
paling masuk akal. "Iya, pasti cuma businya saja."
Dengan
terpaksa, Yono mulai menuntun motornya. Ia berharap ada bengkel terdekat, atau
setidaknya rumah penduduk yang masih terjaga dan bisa dimintai bantuan. Namun,
jalanan itu semakin gelap dan sepi, seolah-olah seluruh dunia telah tertidur
pulas dan meninggalkannya sendirian dalam kegelapan. Setiap langkah yang ia
ambil terasa semakin berat, seolah ia sedang menyeret beban yang tak terlihat.
Motornya terasa seperti ditarik oleh kekuatan gaib dari belakang. Yono
mengerahkan seluruh tenaganya, otot-ototnya menegang, napasnya
tersengal-sengal.
"Ayo,
sedikit lagi. Pasti ada rumah," ia membisikkan pada dirinya sendiri,
suaranya parau karena kelelahan dan ketakutan.
Semakin ia
menuntun, semakin berat motornya terasa. Seolah-olah ada beban raksasa yang tak
kasat mata menindih jok belakang. Beban itu begitu nyata, membuat ban belakang
motornya seolah menempel di aspal. Otak Yono mulai memutar skenario-skenario
terburuk yang selama ini ia coba singkirkan dengan mati-matian. Bulu romanya
meremang, dinginnya udara malam terasa tak sebanding dengan hawa dingin yang
menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun.
"Ada
apa ini? Kenapa berat sekali?" gumam Yono, pandangannya mulai kabur karena
kelelahan dan ketakutan yang memuncak.
Dengan
gemetar, ia memberanikan diri menengok ke belakang, menembus kegelapan di atas
jok motornya.
Dan di
sanalah, di atas jok motornya, duduklah sesosok makhluk raksasa. Tubuhnya
dipenuhi bulu lebat berwarna hitam legam, begitu pekat hingga menyatu
dengan kegelapan malam. Matanya merah menyala seperti bara api, menatap
tajam ke arah Yono, seolah menembus relung jiwanya. Taringnya menyembul
dari balik bibirnya yang tebal, dan kuku-kukunya panjang, hitam, dan tajam,
mencengkeram erat jok motor. Makhluk itu menyeringai, menunjukkan barisan
giginya yang runcing dan mengerikan.
Sebuah
nama melintas di benak Yono, nama yang selama ini hanya ia dengar dalam
cerita-cerita seram: Genderuwo.
Sebuah jeritan
tertahan keluar dari tenggorokan Yono, suara itu tercekat di antara
napasnya yang putus-putus. Ia tidak berpikir panjang lagi, insting bertahan
hidup mengambil alih segalanya. Ketakutan itu mengalahkan semua rasionalitas,
semua pertimbangan. Ia melepaskan pegangannya dari motornya,
membiarkannya tergeletak begitu saja di tengah jalan yang gelap.
"Tidakkkk!"
teriaknya, suara itu hampir tidak terdengar.
Yono lari
sekencang-kencangnya, tanpa arah, tanpa mempedulikan apa pun. Ia menerobos
kegelapan malam, menyelinap di antara pepohonan, kakinya melaju seperti
kesetanan, meninggalkan motor dan semua ketakutannya di belakang. Suara derap
kakinya yang panik dan napasnya yang terengah-engah adalah satu-satunya suara
yang terdengar di malam yang mencekam itu, menemani setiap langkahnya yang
penuh horor. Ia terus berlari, tak peduli ke mana ia akan tiba, asalkan jauh,
sejauh mungkin, dari pohon asem dan makhluk mengerikan yang ada di sana.
Yono
ditemukan keesokan paginya, tergeletak pingsan di pinggir jalan desa, beberapa
kilometer dari pohon asem. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar hebat, dan
matanya menunjukkan ketakutan yang mendalam. Ia segera dilarikan ke rumah
sakit. Setelah sadar, ia hanya bisa bergumam dan menangis, tak mampu
berkata-kata jelas. Keluarganya berusaha menenangkan, mengira ia hanya
kelelahan atau sakit biasa. Tapi Yono tahu, ia tidak sakit fisik. Jiwanya
terguncang oleh kengerian yang tak terlukiskan.
Motornya ditemukan di tempat ia meninggalkannya, teronggok di bawah pohon asem. Tidak ada kerusakan berarti, mesinnya menyala normal saat dicoba. Penduduk desa hanya menggeleng-gelengkan kepala, meyakini bahwa pohon asem itu memang memiliki penunggu. Sejak kejadian itu, Yono tidak pernah lagi mau menarik ojek malam hari, atau bahkan melewati jalan di ujung desa itu. Pekerjaannya sebagai tukang ojek daring ia tinggalkan. Ia memilih bekerja serabutan di siang hari, apa pun yang penting tidak berhadapan dengan kegelapan. Ketakutan itu, kini, bukan lagi sekadar bayangan. Ia adalah trauma yang nyata, sebuah pengingat abadi akan malam yang mengubah segalanya, di bawah naungan pohon asem yang angker.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar