#48 KURSI GOYANG NINGRUM
Kursi Goyang
Ningrum.
Namaku
Haris. Aku adalah anak tunggal, lahir dan besar di sebuah kampung pinggiran
kota yang tenang, dikelilingi hamparan sawah hijau dan ladang subur. Sejak
lulus SMA, aku merantau ke luar kota, bekerja keras demi masa depan yang lebih
baik. Namun, takdir memanggilku pulang. Ibuku, Bu Sari, yang selama ini hidup
sendiri sejak Bapak meninggal bertahun-tahun lalu, mulai sakit-sakitan. Aku
memutuskan resign dari pekerjaan, meninggalkan hiruk pikuk kota, demi
merawat satu-satunya orang tua yang kumiliki.
Dua
bulan adalah waktu yang singkat, namun penuh dengan kenangan. Aku merawat Ibu
dengan segenap hati, berharap ia bisa pulih. Tapi, Sang Pencipta berkehendak
lain. Setelah perjuangan yang berat, Ibuku meninggal dunia. Rumah yang
dulu ramai dengan tawa dan obrolan, kini terasa begitu sepi. Aku tinggal
sendirian, sebatang kara, dihantui kesunyian yang mencekam.
Aku
memutuskan untuk tidak kembali merantau. Aku ingin melanjutkan pekerjaan orang
tuaku, mengolah lahan sawah dan ladang yang mereka tinggalkan. Itu adalah
caraku untuk tetap merasa dekat dengan mereka, untuk menghormati warisan yang
mereka berikan. Namun, seiring berjalannya hari, kesunyian rumah itu mulai
berubah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang ganjil, yang dingin, yang tak
kasat mata. Peristiwa-peristiwa horor mulai terjadi, perlahan tapi pasti, menemaniku
dalam kesendirian yang mendalam. Sebuah arwah, yang ternyata bukan hantu biasa,
melainkan arwah seorang wanita muda bernama Ningrum, mulai menunjukkan
keberadaannya. Dan aku akan segera mengetahui, bahwa kesepianku bukan hanya
milikku sendiri.
Setelah
kepergian Ibu, rumah itu terasa begitu hampa. Setiap sudut, setiap barang,
menyimpan kenangan yang masih segar tentangnya. Aku sering duduk termenung di
teras depan, menatap kosong pada kursi goyang kayu yang dulu selalu
diduduki Ibu. Pagi dan sore, tak peduli cuaca, Ibu akan duduk di sana. Ia akan
menghirup udara segar yang bercampur aroma tanah dan rumput, memandangi
hamparan sawah hijau di kejauhan, atau sekadar tersenyum dan melambaikan tangan
menyapa tetangga yang lewat. Kursi itu bukan hanya perabot, tapi semacam ikon
hidupnya, saksi bisu hari-harinya, tempat ia menemukan kedamaian sederhana.
Kini, kursi itu kosong melompong, hanya akan bergerak jika tertiup angin yang
kebetulan lewat.
Rutinitas
baruku adalah mengolah sawah dan ladang peninggalan orang tua. Pekerjaan itu
sungguh melelahkan, menguras tenaga dan pikiranku. Namun, justru kelelahan
fisik itulah yang memberiku semacam pelarian dari kesunyian mencekam di rumah.
Siang hari, aku sibuk di ladang, terjemur matahari, berkutat dengan tanah.
Malam hari, aku kembali ke rumah yang gelap dan sepi, ditemani suara jangkrik
yang bersahutan di kebun belakang dan lolongan anjing sayup-sayup di kejauhan.
Sepi yang menyesakkan.
Beberapa
hari setelah kepergian Ibu, aku mulai merasakan hal-hal yang aneh, ganjil, dan
tak masuk akal. Suatu senja, sekitar pukul setengah enam sore menjelang Maghrib,
aku baru saja selesai menyiram tanaman bunga di halaman depan dan berniat masuk
kembali ke rumah. Tiba-tiba, sudut mataku menangkap pergerakan. Mataku tertuju
pada kursi goyang di teras. Kursi itu bergerak, maju mundur perlahan,
dengan irama yang konstan, seolah ada yang mendudukinya. Namun, tidak ada
siapa-siapa di sana. Hanya kursi kayu kosong yang bergoyang sendiri. Aku
menghentikan pekerjaanku, menjatuhkan selang air begitu saja. Aku menggosok
mataku kuat-kuat, memastikan aku tidak salah lihat, mengira mungkin aku terlalu
lelah. Kursi itu masih bergerak, perlahan, tanpa henti, seolah ada beban tak
terlihat yang mengayunkannya. Aku melangkah mendekat, jantungku mulai berdebar
tak nyaman. Gerakannya berhenti begitu saja saat aku hanya berjarak beberapa
langkah dari teras. Aku mencoba menggerakkan kursi itu dengan tanganku, namun
terasa berat, tak semudah yang terlihat saat bergerak sendiri tadi. Aku mencoba
menepisnya, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya karena hembusan angin,
meskipun saat itu tak ada angin kencang sama sekali. Langit pun cerah, tanpa
mendung.
Malam
harinya, saat aku hendak tidur, ketenangan itu kembali terusik. Aku mendengar suara-suara
misterius dari dalam rumah. Bukan suara tikus yang berlarian di plafon,
atau cicak yang berdecak, melainkan suara yang lebih menyerupai suara
seorang wanita. Terkadang terdengar seperti bisikan lirih yang samar,
terkadang seperti gumaman pelan yang tak jelas maknanya, bahkan sesekali
seperti tawa kecil yang terdengar dingin dan pilu. Suara itu datang dari
berbagai arah, kadang dari dapur, kadang dari ruang tengah, kadang dari kamar
Ibu yang kosong. Aku mencoba mencari sumber suara itu, menyalakan setiap lampu
di sepanjang lorong, memeriksa setiap sudut ruangan, bahkan sampai ke kamar
mandi. Namun, setiap kali aku mendekat, suara itu akan menghilang begitu saja,
hanya menyisakan keheningan yang mencekam, seolah sedang mempermainkanku.
Frustrasi
dan ketakutan mulai merayap. "Siapa di sana?" teriakku suatu malam,
suaraku sedikit bergetar, bergema di rumah yang sepi. "Apa ada orang di
rumah ini?!"
Tidak
ada jawaban. Hanya keheningan yang lebih pekat. Bulu kudukku merinding. Aku
mulai merasa tidak sendiri di rumah ini. Perasaan itu terus menghantuiku,
membuat tidurku tidak nyenyak. Setiap malam, aku meringkuk di balik selimut,
berharap pagi segera tiba.
Suatu
malam, sekitar pukul 02.00 dini hari, aku terbangun karena haus yang amat
sangat. Tenggorokanku kering, seolah aku baru saja berlari maraton. Aku
beranjak dari tempat tidur, melangkah pelan menuju dapur yang gelap. Saat
melewati ruang tengah, mataku tertuju pada teras depan yang disinari cahaya
bulan remang-remang. Dan aku melihatnya. Sesosok wanita bergaun putih
duduk di kursi goyang Ibu. Rambutnya panjang terurai ke belakang, menutupi
punggungnya. Punggungnya menghadap ke arahku, namun aura dingin yang menusuk
tulang terasa begitu kuat, seolah dia memancarkan hawa dingin dari tubuhnya. Ia
terlihat sedang mengayun-ayunkan kursi goyang itu perlahan, dengan gerakan
ritmis yang tenang, seolah menikmati suasana malam yang sunyi.
Jantungku
langsung berdebar sangat kencang, suaranya bergemuruh di telingaku. Seluruh
tubuhku kaku, tak mampu bergerak seinci pun. Darahku berdesir dingin, membuatku
merasa beku di tempat. Ini bukan halusinasi. Ini nyata. Sosok itu ada di sana,
di kursi goyang Ibu, kursi yang dulu kubiarkan kosong.
"Siapa...
siapa kau?" tanyaku, suaraku bergetar hebat, nyaris tak terdengar, memecah
keheningan yang menyesakkan.
Sosok
wanita itu tidak menjawab. Ia hanya terus mengayun-ayunkan kursi goyang, tanpa
menoleh. Namun, perlahan, ia memiringkan kepalanya sedikit, seolah ingin
menoleh ke arahku, seperti mengintip dari balik bahunya. Aku tidak bisa melihat
wajahnya, namun aku bisa merasakan tatapan mata yang tak terlihat itu
menembusku, menusuk langsung ke jiwaku. Aku merasakan hawa dingin yang menusuk
tulang, lebih dingin dari sebelumnya, seolah dia mendekatiku tanpa bergerak.
Ketakutan
yang tak tertahankan akhirnya meledak. Aku berteriak keras, tak mampu menahan
rasa takutku yang memuncak. Dan begitu suaraku pecah, sosok wanita bergaun
putih itu tiba-tiba lenyap menghilang, seperti asap yang tertiup angin
kencang, tanpa jejak, tanpa suara. Kursi goyang itu berhenti bergerak, kembali
pada posisi diamnya. Teras kembali kosong, hanya diterangi cahaya bulan yang
redup.
Aku
berlari kembali ke kamar, mengunci pintu rapat-rapat, bahkan menggeser lemari
pakaian untuk menghalangi pintu. Aku meringkuk di ranjang, memeluk lututku
erat-erat, gemetar ketakutan. Air mataku mengalir tanpa henti. Aku tahu, apa
yang kualami malam itu bukan sekadar kelelahan atau imajinasi liar. Ada
'sesuatu' di rumah ini. Sesuatu yang bukan dari dunia ini. Sesuatu yang telah
menampakkan diri kepadaku. Aku tidak tahu siapa dia, atau apa yang dia
inginkan. Namun, aku tahu satu hal: aku tidak lagi sendirian di rumah ini.
Rumah yang dulu menjadi tempatku kembali setelah merantau, kini berubah menjadi
tempat yang asing dan menakutkan.
Kengerian
malam itu tak bisa kuhilangkan dari pikiranku, seolah melekat erat di setiap
sel otakku. Penampakan sosok wanita bergaun putih di kursi goyang Ibu begitu
nyata, bukan lagi sekadar suara misterius atau pergerakan aneh. Aku tahu, aku
harus mencari tahu siapa 'dia' dan apa yang dia inginkan dariku. Namun, rasa
takut yang begitu besar menghalangi niatku untuk menyelidiki lebih jauh. Aku
mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan di sawah dan ladang, berharap lelah
fisik bisa mengusir pikiran-pikiran menakutkan itu, setidaknya untuk sementara.
Tapi, setiap kali aku kembali ke rumah, bayangan sosok itu seolah menunggu,
bersembunyi di sudut-sudut yang gelap, siap menerorku lagi.
Beberapa
hari berlalu, namun teror itu tidak berhenti. Justru, terasa semakin intens.
Suara-suara wanita itu masih sering terdengar, kadang seperti bisikan sedih
yang merintih, kadang seperti gumaman tak jelas yang membuat bulu kuduk
berdiri, atau bahkan seperti lolongan pilu dari kejauhan. Bau melati yang
dingin juga sering tercium di dalam rumah, terutama saat malam hari,
bercampur dengan bau tanah basah yang entah dari mana asalnya, seolah
ada yang baru saja keluar dari liang kubur. Aku sering terbangun di tengah
malam, merasa diawasi, meskipun tak ada siapapun di sana secara kasat mata. Aku
bahkan mulai merasakan hawa dingin yang menusuk di area-area tertentu di
rumah, seperti di lorong menuju dapur atau di dekat kamar mandi, seolah ada
kehadiran tak kasat mata yang lewat dan meninggalkan jejak suhu yang abnormal.
Suatu
siang, aku memutuskan untuk memberanikan diri membersihkan kamar Ibu.
Sejak kepergian Ibu, kamar itu memang sengaja kubiarkan tertutup, penuh dengan
kenangan dan aroma khas Ibu yang kini hanya tinggal jejak. Aku merasa inilah
saatnya. Aku ingin menata kembali semua barang Ibu, menyumbangkan yang tidak
terpakai kepada tetangga yang membutuhkan, dan mungkin, jika ketenangan bisa
kudapatkan, mengubah kamar itu menjadi kamar tamu. Aku masuk perlahan,
melangkah hati-hati, lalu segera membuka jendela lebar-lebar agar cahaya
matahari dan udara segar bisa masuk, mengusir aroma pengap dan kesedihan yang
memenuhi ruangan. Debu tebal menutupi perabot kayu tua, dan seprai di tempat
tidur sudah terlihat kusam, warnanya memudar.
Aku
mulai membersihkan rak buku tua yang menyimpan koleksi novel Ibu, menyapu
lantai kayu yang berderit, dan membersihkan meja rias Ibu yang penuh dengan
botol-botol parfum kosong. Kemudian, aku beranjak ke tempat tidur. Saat
aku hendak menarik seprai yang usang, mataku terbelalak kaget, napasku
tertahan. Di atas tempat tidur yang selama ini dipakai Ibu, terbaring
sesosok wanita. Dia mengenakan gaun putih yang sama persis dengan yang
kulihat di kursi goyang malam itu. Rambutnya panjang terurai menutupi sebagian
wajahnya, namun aku bisa melihat sebagian profilnya yang pucat. Wajahnya pucat
pasi, seperti tanpa darah, dan matanya tertutup rapat, seolah dia sedang tidur
nyenyak. Dia terbaring diam, tak bergerak sedikit pun, seperti patung lilin
yang dingin dan tak bernyawa.
Jantungku
langsung berdebar sangat kencang, nyaris melompat dari dadaku. Seluruh tubuhku
kaku, tak mampu bergerak seinci pun, seolah ada kekuatan tak terlihat yang
menahanku. Darahku berdesir dingin, membuatku merasa beku di tempat. Ini adalah
sosok wanita yang sama yang kulihat di kursi goyang. Dia ada di sini, di
kamar Ibu, terbaring di tempat tidur yang dulu Ibu gunakan. Rasa takut yang
luar biasa menyergapku, mencekik tenggorokanku. Aku ingin berteriak sekuat
tenaga, namun suaraku tercekat, tak mampu mengeluarkan suara apa pun selain
napas yang memburu.
Aku
mundur perlahan, langkahku gemetar, setiap inci tubuhku terasa berat. Mataku
tak lepas dari sosok itu, seolah terhipnotis. Aku bisa merasakan hawa dingin
yang menusuk dari tubuhnya, hawa dingin yang jauh lebih pekat dari hawa
dingin normal, seolah kamar itu dipenuhi es yang tak terlihat. Aku hanya bisa
menatapnya dengan ngeri, tak percaya dengan apa yang kulihat di depan mataku.
Tiba-tiba,
aku mendengar suara langkah kaki dari luar kamar, Bu Tutik, tetangga rumah yang
kumintai tolong membantu bersih bersih rumah waktu itu, rupanya sedang lewat,
mungkin hendak ke dapur. Aku memanfaatkan kesempatan itu, berharap ada
seseorang yang bisa menjadi saksi. "Bu Tutik!" panggilku, suaraku
sedikit tercekat dan bergetar. "Bu Tutik! Ke sini sebentar!"
Bu
Tutik segera masuk ke kamar Ibu, dengan raut wajah kebingungan. "Ada apa
Den Haris? Ada yang perlu dibantu?"
Aku
menunjuk ke arah tempat tidur, tanganku gemetar hebat. "Itu, Buk... itu...
ada..." Aku tak sanggup menyelesaikan kalimatku, kata-kataku hilang di
tengah kepanikan.
Bi
Inah menatap ke arah tempat tidur, mengerutkan keningnya, dan mengamati dengan
saksama. "Ada apa Den? Tidak ada apa-apa di sana. Hanya tempat tidur lama
Ibu. Seprainya saja sudah kusam, perlu diganti."
Mataku
membelalak. Bu Tutik tidak melihatnya? Sosok wanita bergaun putih itu
masih terbaring di sana, begitu jelas di mataku, detail gaun dan rambutnya
terlihat sempurna, namun tak terlihat oleh Bu Tutik. Aku menoleh kembali ke
tempat tidur, ke titik di mana sosok itu tadi terbaring. Dan benar saja. Sosok
itu sudah lenyap. Hanya ada seprai kusam yang berantakan, dan bantal
yang sedikit penyok, tanpa ada jejak siapapun.
Tubuhku
lemas seketika. Aku terduduk di lantai, napas terengah-engah, seperti baru saja
berlari sprint. Bu Tutik menatapku khawatir, segera mendekat. "Den Haris
kenapa? Den Haris sakit? Wajah Den pucat sekali."
"Ti-tidak
Buk. Aku... aku hanya pusing sedikit," jawabku, mencoba menyembunyikan
ketakutanku yang luar biasa. Aku tahu, Bu Tutik tidak akan percaya jika aku
menceritakan apa yang kulihat. Itu terlalu mengerikan untuk diucapkan.
Setelah
kejadian itu, aku memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh, dengan cara yang
lebih hati-hati. Aku tidak bisa hidup dalam ketakutan seperti ini. Aku mulai
bertanya-tanya kepada tetangga terdekat, terutama mereka yang sudah tinggal
lama di kampung ini dan mengenal keluargaku dengan baik. Aku sengaja tidak
menceritakan apa yang kualami, hanya mencoba mencari tahu tentang orang-orang
yang pernah tinggal atau sering berkunjung ke rumah ini sebelum aku pulang
merantau, terutama selama Ibu sakit-sakitan.
Akhirnya,
dari Bu Lastri, tetangga sebelah rumah yang sudah lama mengenal
keluargaku, aku mendapat petunjuk yang sangat penting. Bu Lastri adalah wanita
tua yang baik hati, dia sering membantu Ibu dulu saat aku merantau.
"Den
Haris, apa kabar? Sudah lama ya tidak bertemu," sapa Bu Lastri ramah, saat
aku mampir ke rumahnya dengan dalih meminjam cangkul.
"Baik
Bu Lastri, alhamdulillah. Saya cuma mau tanya-tanya sedikit Bu. Dulu, waktu
saya merantau, Ibu sering ke sini ya? Apa ada teman Ibu atau kenalan yang
sering mampir ke rumah dan menginap?" tanyaku hati-hati, berusaha
menyembunyikan nada penasaran yang terlalu jelas.
Bu
Lastri tersenyum, mengangguk. "Oh, ada Den. Dulu, Ibu Den Haris itu sering
sekali ditemani sama Ningrum. Anak KKN dulu Den. Dia itu baik sekali,
ramah, dan pintar. Setelah program KKN selesai, dia masih sering datang ke sini
Den. Katanya cocok ngobrol sama Ibu Den Haris, seperti punya Ibu sendiri.
Kadang dia juga menginap di sini lho. Kalau menginap, Ibu Den Haris kasih kamar
yang di tengah itu Den," kata Bu Lastri, menunjuk ke arah kamar Ibu yang
baru saja kumasuki dengan tatapan iba.
Jantungku
langsung berdesir hebat. Ningrum? Seorang wanita muda. Kamar Ibu. Semua
potongan informasi itu mulai membentuk sebuah gambaran yang mengerikan namun
masuk akal. Meskipun aku juga sedikit terkejut ibu tidak pernah menceritakan
tentang hal itu. Jadi aku benar benar baru tahu saat ini.
"Lalu...
dia masih sering ke sini Bu?" tanyaku, mencoba menahan kegugupanku agar
suaraku tidak bergetar.
Wajah
Bu Lastri berubah muram. Senyumnya pudar, digantikan raut kesedihan. Ia
menghela napas panjang. "Sayang sekali Den. Ningrum itu... meninggal
mendadak di kampung ini. Kejadiannya sekitar setahun yang lalu, sebelum Den
Haris pulang. Kami semua kaget sekali. Tidak ada yang tahu pasti penyebabnya.
Pagi-pagi ditemukan di kamar itu, kamar yang biasa dia pakai kalau menginap. Di
sebelahnya ada gelas berisi cairan dan kaleng obat serangga. Kasihan sekali
Den. Anak sebaik itu, nasibnya tragis..."
Darahku
berdesir dingin. Meninggal mendadak. Di kamar itu. Obat serangga. Semua
potongan teka-teki itu kini menyatu, membentuk sebuah kesimpulan yang
mengerikan.
"Dari
keluarga yang menjemput jenazahnya, kami dapat kabar Den," lanjut Bu
Lastri, suaranya pelan dan penuh empati. "Ningrum itu sedang depresi
berat. Katanya baru saja putus cinta, ditinggal menikah sama kekasihnya yang
sudah lama menjalin hubungan dengannya. Itulah yang jadi salah satu alasan
Ningrum sering pergi dari rumahnya, mencari ketenangan. Dan salah satunya ke
rumah Ibu Den Haris ini. Dia merasa cocok, seperti punya Ibu sendiri. Makanya
sering menginap."
Sekarang
semuanya jelas. Arwah Ningrum. Wanita bergaun putih itu. Sosok yang
kulihat di kursi goyang, dan yang terbaring di tempat tidur Ibu. Dia tidak
meninggalkan rumah ini. Dia masih ada di sini, dihantui kesedihan dan
keputusasaan yang sama seperti saat dia meninggal. Diduga, arwah Ningrum yang
masih bergentayanganlah yang sering muncul dan kulihat. Dia tidak jahat, dia
hanya... kesepian. Sama seperti aku.
Aku
merasakan campuran rasa takut dan iba yang mendalam. Dia tidak ingin
menyakitiku. Dia hanya ingin ditemani. Dia hanya mencari kenyamanan di tempat
yang memberinya sedikit kedamaian saat hidup. Rumah ini, rumah kami, adalah
tempat terakhirnya menemukan ketenangan. Dan kini, di tengah kesepianku setelah
kehilangan Ibu, dia muncul, mungkin juga karena ia menemukan kesamaan dalam
kesendirian kami, sebuah ikatan tak kasat mata antara dua jiwa yang terluka.
Penjelasan
Bu Lastri tentang Ningrum bagaikan kepingan puzzle yang akhirnya
tersusun sempurna dalam benakku. Rasa takutku tak serta merta hilang begitu
saja, justru bercampur dengan rasa iba yang mendalam, sebuah perasaan asing
yang belum pernah kurasakan sebelumnya terhadap makhluk tak kasat mata. Ningrum
bukanlah hantu jahat yang ingin menggangguku. Dia hanyalah arwah kesepian
yang mencari kenyamanan, mencari tempat terakhirnya menemukan sedikit
kedamaian. Sama sepertiku, dia juga kesepian, terperangkap dalam kehampaan
setelah kehilangan. Rumah ini, rumah kami, adalah tempat di mana dia menemukan
sedikit ketenangan di akhir hidupnya yang tragis.
Malam
harinya, aku kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Suara-suara lirih
yang dulu membuatku merinding kini terasa berbeda, tidak lagi semenakutkan
dulu. Aku mencoba mendengarkan dengan seksama, menguraikan makna di balik
gumaman tak jelas itu. Terkadang itu seperti senandung pelan yang menyayat
hati, terkadang seperti bisikan nama Ibu, "Bu Sari... Bu Sari...",
yang terdengar sangat dekat di telingaku, dan kadang kala seperti suara
tangisan tertahan, penuh duka yang mendalam. Bau melati dan tanah basah
masih sering tercium, menguar di sudut-sudut ruangan, namun tak lagi membuatku
panik seperti dulu. Aku mulai berpikir, mungkin Ningrum hanya ingin
berinteraksi, hanya ingin menunjukkan keberadaannya, mencari perhatian.
Aku
memberanikan diri, sebuah langkah yang sebelumnya tak pernah terpikirkan.
"Ningrum... apa kau ada di sini?" bisikku ke dalam kesunyian rumah,
suaraku sedikit gemetar. Tidak ada jawaban verbal, namun aku merasakan hawa
dingin melintas cepat, seolah ada yang mengangguk setuju di dekatku.
Perasaan itu, entah kenapa, sedikit menenangkan.
Aku
mencoba tidur di kamarku sendiri, namun sulit sekali memejamkan mata. Pikiranku
terus melayang pada kisah Ningrum. Aku teringat kata-kata Bu Lastri, bahwa
Ningrum sering menginap di kamar Ibu. Aku memutuskan untuk tidak lagi menutup
kamar Ibu. Aku bahkan sengaja membuka pintu kamar itu sedikit setiap malam, seolah
mengundangnya untuk "beristirahat" di sana, di tempat yang pernah
memberinya ketenangan. Aku merasa, dengan memberinya "izin" dan
menunjukkan bahwa aku tidak mengusirnya, mungkin teror itu akan mereda, dan
arwahnya akan lebih tenang.
Beberapa
malam kemudian, seperti dugaanku, suara-suara itu masih ada, namun terasa lebih
tenang, tidak lagi mengancam. Bau melati dan tanah basah juga tidak terlalu
menusuk, hanya samar-samar. Aku mulai merasa sedikit lega, berharap Ningrum
kini merasa sedikit lebih damai. Mungkin ini adalah cara Ningrum berterima
kasih. Aku mulai berpikir, bagaimana aku bisa membantu arwahnya agar
benar-benar tenang dan bisa pergi dengan damai. Aku ingin mendoakannya, mungkin
membacakan Yasin untuknya, agar dia bisa menemukan jalannya.
Namun,
ketenangan itu tidak berlangsung lama. Sebuah peristiwa baru, jauh lebih
mengejutkan, segera mengoyak ketenangan yang baru saja kurasakan.
Suatu
dini hari, sekitar pukul 03.00, aku terbangun karena mendengar dering
telepon rumah yang sangat nyaring. Jantungku langsung berdebar kencang,
memompa darah dengan cepat. Telepon rumah? Siapa yang menelepon sepagi ini?
Lagipula, telepon rumahku sudah lama tak terpakai, bahkan aku lupa nomornya
sendiri. Seingatku, kabel teleponnya pun sudah tidak terhubung ke jaringan
provider. Mustahil bisa berdering.
Aku
beranjak dari tempat tidur, kakiku melangkah ragu menuju telepon jadul yang ada
di ruang tengah. Layar telepon itu menyala, menunjukkan angka "Incoming
Call" yang berkedip-kedip, namun tanpa nomor penelepon. Deringnya terus
berbunyi, begitu nyaring dan monoton, memecah kesunyian malam yang pekat.
Dengan
tangan gemetar, aku mengangkat gagang telepon. "Ha-halo?" suaraku
sedikit tercekat di tenggorokan, lebih seperti bisikan.
Hening.
Tidak ada suara dari seberang, tidak ada sapaan, tidak ada jawaban. Hanya suara
napas berat yang samar-samar, seperti suara orang yang terengah-engah
setelah berlari jauh, bercampur dengan suara tangisan pilu seorang wanita
yang sangat mirip dengan tangisan yang kulihat di mimpiku tentang pemakaman.
Dan sesekali, di antara tangisan itu, terdengar suara cekikikan anak kecil
yang dingin, menusuk hingga ke tulang. Suara tangisan itu terdengar begitu
dekat, seolah berasal dari dalam rumah itu sendiri, bahkan mungkin dari balik
dinding.
Aku
mengeratkan pegangan pada gagang telepon, keringat dingin membasahi telapak
tanganku. Tiba-tiba, suara tangisan itu berubah menjadi bisikan lirih yang
sangat jelas, seolah seseorang berbicara tepat di telingaku, dengan nada
yang menyayat hati namun penuh tuntutan: "Aku sendirian... mereka...
dia... kesepian... ikut aku..."
Bisikan
itu terdengar begitu menyedihkan, penuh keputusasaan, namun juga menakutkan,
seperti sebuah undangan yang tidak bisa ditolak. Aku tahu, ini bukan telepon
dari manusia. Ini adalah Ningrum. Dan dia tidak sendiri. Ada 'mereka' yang lain
bersamanya, entitas lain yang menemaninya dalam kesepian.
"Ningrum?"
panggilku, suaraku bergetar hebat. "Apa kau baik-baik saja? Kenapa kau...
kenapa kau meneleponku?"
Belum
sempat aku menyelesaikan kalimatku, telepon itu langsung terputus. Tuut...
tuuut... Layar telepon kembali gelap, mati seketika. Keheningan kembali
menyelimuti rumah, namun kini terasa jauh lebih mencekam dari sebelumnya. Bau
busuk yang samar, yang sudah lama tak tercium, tiba-tiba menyeruak kuat,
memenuhi seluruh ruangan, bercampur dengan aroma melati yang dingin dan pekat,
membuatku mual.
Aku
berdiri mematung di samping telepon, tubuhku gemetar hebat. Pikiranku kalut,
berputar tak karuan. Ningrum tidak sendiri. Siapa 'mereka' yang bersamanya? Dan
apa maksud dari "ikut aku"? Apakah dia ingin aku menyusulnya ke alam
kematian? Atau dia ingin aku menemaninya dalam kesepian abadinya di alam
mereka?
Ketenangan
yang kuharapkan setelah mengetahui kisah Ningrum, kini hancur lebur, pecah
menjadi serpihan ketakutan. Teror ini belum berakhir. Justru, seolah baru saja
dimulai, dengan dimensi yang lebih gelap dan mengerikan. Aku menyadari, mungkin
keputusasaanku setelah kehilangan Ibu, telah membuka gerbang yang seharusnya
tetap tertutup. Aku telah terhubung dengan dunia yang tidak terlihat, dan
Ningrum, entah disengaja atau tidak, adalah perantaranya. Aku harus mencari
cara untuk membantu Ningrum agar dia bisa pergi dengan tenang, agar arwahnya
bisa menemukan kedamaian, tanpa melibatkan diriku lebih jauh ke dalam dunia
mereka. Tapi bagaimana caranya? Aku merasa benar-benar tidak berdaya.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar