#52 TEMAN DI BAWAH LANTAI

 

Teman di Bawah Lantai.

Setiap rumah memiliki cerita, dan beberapa cerita lebih gelap dari yang lain. Rumah keluarga Bima dan Rina, yang baru saja mereka beli di pinggir kota, tampak biasa saja dari luar. Sebuah rumah tua dengan pekarangan luas, sempurna untuk tempat tumbuh kembang putri semata wayang mereka, Lala, yang baru berusia lima tahun. Namun, tak ada yang tahu, di bawah lantai kayu ruang tamu yang berderit, ada sebuah rahasia yang telah terkubur lama, menunggu untuk ditemukan.

Lala adalah anak yang periang dan imajinatif. Ia sering terlihat berbicara sendiri, tertawa, dan bermain seolah-olah ada orang lain bersamanya. Awalnya Bima dan Rina menganggapnya sebagai bagian dari dunia fantasi anak-anak. Namun, ketika Lala mulai menggambar, detail dari "teman bermainnya" itu mulai menimbulkan keraguan. Mereka tidak tahu, bahwa imajinasi Lala jauh lebih gelap dari yang mereka duga, dan "teman" yang ia maksud bukanlah teman khayalan biasa. Itu adalah sebuah jiwa yang terperangkap, sebuah kehadiran yang menunggu untuk dibebaskan, atau mungkin, untuk menarik Lala ke dunianya.

Keluarga kecil Bima dan Rina baru saja pindah ke rumah baru mereka di pinggir kota. Rumah itu adalah sebuah rumah tua dengan arsitektur klasik yang menawan, namun memiliki lantai kayu yang sesekali berderit saat diinjak, seolah-olah mengeluh di setiap langkah. Meskipun demikian, putri semata wayang mereka, Lala, yang berusia lima tahun, segera betah dan menemukan dunianya sendiri di sana. Lala adalah anak yang sangat ceria, penuh imajinasi, dan seringkali terlihat bermain sendiri di ruang tamu, berbicara dan tertawa seolah ada teman imajiner di sampingnya.

"Lala lagi main sama siapa Nak?" tanya Rina suatu sore, mengamati putrinya yang asyik tertawa sendiri sambil menggambar di buku gambarnya. Suara tawa Lala begitu renyah, memenuhi ruangan yang luas itu.

"Sama Rio Bu," jawab Lala polos, tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas. Jari-jemarinya yang mungil dengan lincah menggoreskan pensil warna. "Rio baik sekali Bu. Dia suka main petak umpet sama Lala."

Bima dan Rina hanya tersenyum maklum. Mereka tahu Lala memiliki imajinasi yang sangat kuat, hal yang lumrah pada anak seusianya. Namun, beberapa hari kemudian, Lala mulai menggambar teman imajinernya itu. Ada yang aneh dari gambar-gambar Rio. Hampir di setiap gambar, Rio selalu digambar dengan warna-warna pucat, seolah tak memiliki rona kehidupan. Ekspresi wajahnya tanpa ekspresi jelas, dan yang paling mencolok, ia selalu terlihat mengintip dari bawah sebuah garis lurus yang seolah-olah adalah representasi lantai.

Suatu sore, Bima menghampiri Lala yang sedang serius menggambar. "Ini Rio lagi ngapain Nak?" tanya Bima, menunjuk gambar Rio yang tampak mengintip dari bawah lantai, hanya terlihat bagian atas kepalanya dan matanya yang cekung.

"Rio main petak umpet Ayah. Dia suka ngumpet di bawah lantai, terus ngintip Lala dari sana," jawab Lala sambil tertawa kecil, suara tawanya kini sedikit bernada misterius. "Rio nggak bisa keluar Ayah. Kan pintunya dikunci."

Bima dan Rina saling pandang. Ada sedikit rasa tidak nyaman yang merayap di benak mereka. "Di bawah lantai? Maksudnya di mana Sayang?" tanya Rina lagi, mencoba mencari tahu lebih detail, hatinya mulai dipenuhi firasat aneh.

Lala menunjuk lantai kayu ruang tamu yang sudah tua itu. "Di sini Bu. Rio tinggalnya di bawah sini." Ia lalu mengetuk-ngetuk lantai itu dengan jari mungilnya, persis di area di mana derit kayu sering terdengar.

Malam itu, setelah Lala sudah tidur pulas di kamarnya, Rina dan Bima membicarakan hal itu di ruang keluarga. "Aneh ya Mas. Lala kok bilangnya Rio tinggal di bawah lantai," kata Rina, suaranya sedikit cundung khawatir. "Rumah ini kan lantai kayu semua, di bawahnya cuma pondasi kan?"

"Mungkin dia cuma asal bicara Bu. Namanya juga anak-anak, imajinasinya kan tinggi," jawab Bima, mencoba bersikap rasional dan menenangkan Rina, serta dirinya sendiri. Namun, dalam hati kecilnya, ia tak bisa mengabaikan rasa geli yang timbul. Terutama karena derit lantai kayu di ruang tamu, terkadang, terdengar seolah ada sesuatu yang bergerak di bawahnya, bukan sekadar suara gesekan papan tua, melainkan seperti langkah kaki kecil yang samar. Kegelisahan mulai menyelimuti, sebuah awal dari kengerian yang akan segera terungkap.

Sejak percakapan tentang "Rio yang tinggal di bawah lantai", Bima dan Rina mulai lebih memperhatikan Lala dan interaksinya dengan teman khayalannya. Mereka sering melihat Lala bermain di ruang tamu, tepat di atas area lantai yang sering berderit. Lala akan menunduk, berbicara pada lantai seolah ada seseorang di baliknya, lalu tertawa riang sendiri. Kadang, ia akan tiba-tiba berhenti bermain, mendengarkan sesuatu dengan saksama, lalu mengangguk-angguk seolah Rio sedang memberitahunya sesuatu yang penting.

"Rio bilang Lala harus hati-hati Bu. Nanti ada orang jahat," kata Lala suatu pagi, tanpa diminta. Matanya memancarkan keseriusan yang tak biasa untuk anak seusianya.

Meskipun terdengar seperti imajinasi anak-anak, ada hal lain yang mulai mengganggu Bima dan Rina. Setiap malam, terutama saat dini hari ketika seluruh rumah dan lingkungan sekitar tenggelam dalam keheningan, mereka sering mendengar derit lantai kayu dari ruang tamu. Derit itu tidak seperti derit biasa yang disebabkan oleh injakan atau pergeseran furnitur. Lebih seperti suara gesekan pelan dan berulang, seolah ada yang bergerak pelan namun konstan di bawah sana, menciptakan irama aneh yang menusuk kesunyian.

Suatu malam, sekitar pukul dua dini hari, Rina terbangun oleh suara bisikan lirih dari arah ruang tamu. Jantungnya berdebar pelan. Itu bukan suara Lala yang biasa mengigau dalam tidur. Suara itu terdengar seperti suara anak kecil, namun sangat pelan dan penuh kesedihan, seolah sedang menangis tertahan atau merintih. Rina segera membangunkan Bima, menyentuh lengannya dengan tergesa.

"Mas, dengar itu?" bisik Rina, cemas, matanya membesar karena ketakutan.

Bima yang terbangun dari tidur, ikut mendengarkan. Ya, suara itu jelas. Sebuah bisikan yang tak jelas kata-katanya, namun mengandung nada kesedihan yang mendalam. Suara itu berasal dari bawah, dari arah lantai ruang tamu, tepat di area yang Lala tunjuk.

"Itu... suara Lala?" tanya Bima, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanyalah putrinya.

"Bukan Mas. Suara Lala tidur kan di kamar sebelah," jawab Rina, suaranya bergetar. "Ini... suara lain. Seperti... anak kecil yang menangis."

Mereka berdua bangkit perlahan dari ranjang, berjalan mengendap-endap menuju ruang tamu. Semakin dekat, bisikan itu semakin jelas, dan kini, diselingi dengan suara ketukan-ketukan kecil dan ritmis dari bawah lantai, seperti orang mengetuk dari dalam, mencoba menarik perhatian.

Tok... tok... tok... Tok... tok... tok...

Bima dan Rina saling pandang dalam remang-remang cahaya malam yang masuk dari jendela. Wajah mereka pucat pasi, terpampang jelas rasa takut yang mendalam. Ketukan itu terdengar begitu putus asa, seolah ada yang meminta pertolongan, terperangkap di bawah sana. Mereka tahu, itu bukan sekadar derit kayu biasa atau imajinasi. Ada sesuatu di bawah lantai itu. Sesuatu yang terperangkap, dan entah bagaimana, berhubungan dengan "teman" Lala yang bernama Rio.

Kejadian bisikan dan ketukan misterius yang berasal dari bawah lantai semakin hari membuat Bima dan Rina gelisah tak terkendali. Tidur mereka tak lagi nyenyak, dan suasana di rumah terasa semakin mencekam. Mereka tidak bisa lagi mengabaikan perkataan polos Lala tentang "Rio yang tinggal di bawah lantai" sebagai sekadar imajinasi anak-anak. Pikiran mereka terus mencari penjelasan rasional untuk fenomena aneh ini. "Mungkin ada pipa air yang bocor di bawah sana?" usul Bima. "Atau mungkin hewan pengerat besar yang bersarang?" timpal Rina.

Untuk mencari jawaban, Bima bahkan mencoba memanggil tukang ledeng dan petugas pengusir hama. Tukang ledeng datang, memeriksa setiap sudut pipa di bawah rumah dengan saksama, namun ia menggelengkan kepala. "Pipa aman Pak. Tidak ada kebocoran sama sekali," katanya. Kemudian, petugas pengusir hama juga datang dengan peralatan lengkap, menyisir setiap celah dan sudut di bawah lantai, namun tak menemukan jejak hewan pengerat, bahkan kotoran tikus sekalipun.

Rina, yang sudah frustrasi, mencoba meyakinkan petugas itu. "Tapi suara itu nyata Pak! Kami mendengarnya setiap malam, bisikan dan ketukan itu!" tegasnya, suaranya sarat kecemasan.

Petugas itu hanya mengangkat bahu, acuh tak acuh. "Mungkin cuma perasaan Bu. Atau efek rumah tua yang memang sering berbunyi. Maklum, rumah lama." Ia berlalu begitu saja, meninggalkan Bima dan Rina dengan kebingungan dan ketakutan yang tak terjawab.

Meskipun orang lain menganggapnya delusi, Bima dan Rina tidak bisa mengabaikan apa yang mereka dengar dan rasakan. Terlebih lagi, Lala semakin sering berbicara dengan Rio. Ia tak hanya bermain, tapi seolah terlibat dalam percakapan serius. Ia bahkan pernah dengan mata berbinar dan penuh harap meminta Bima untuk "membukakan pintu Rio", agar temannya itu bisa keluar dari tempat persembunyiannya.

"Ayah, Rio kedinginan di bawah," pinta Lala polos suatu pagi, sambil menunjuk lantai ruang tamu dengan jari mungilnya. "Dia mau keluar. Ayah bisa bantu Rio? Dia bilang gelap sekali di sana." Nada suaranya begitu tulus, membuat hati Bima dan Rina pilu.

Wajah Bima dan Rina semakin pucat pasi mendengar permintaan Lala. Mereka tahu, ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang jauh melampaui logika. Perasaan cemas yang awalnya samar, kini berubah menjadi ketakutan yang mencekik. Mereka mulai mengurangi waktu mereka di ruang tamu, bahkan sebisa mungkin tidak menginjak bagian lantai yang sering berderit dan mengeluarkan suara aneh. Mereka merasa terdesak, terperangkap di rumah mereka sendiri.

Suatu malam, saat mereka sedang menonton televisi di ruang keluarga, tiba-tiba listrik padam. Seluruh rumah menjadi gelap gulita, menyisakan keheningan yang menyesakkan. Hanya ada cahaya rembulan yang samar-samar menembus celah jendela, menciptakan bayangan-bayangan menyeramkan. Di tengah kegelapan dan keheningan yang absolut, mereka kembali mendengar suara itu. Bukan hanya bisikan dan ketukan yang samar, tapi kali ini, sebuah rintihan panjang yang pilu, terdengar sangat dekat dan jelas dari bawah lantai ruang tamu. Rintihan itu begitu menyayat hati, persis seperti suara anak kecil yang kesakitan atau ketakutan yang luar biasa.

"Ma... ma..." sebuah suara parau dan lemah, terucap dari balik lantai.

Rina spontan memeluk Lala yang sedang tidur di pangkuannya, mendekapnya erat, seolah ingin melindunginya dari bahaya tak kasat mata. Bima, dengan tangan gemetar, meraih ponselnya dan segera menyalakan senter. Sorot cahaya itu jatuh tepat ke lantai ruang tamu yang gelap, menyorot papan-papan kayu yang menyimpan rahasia. Ketukan dan rintihan itu semakin keras, semakin putus asa, seolah ada yang mencoba keluar dengan sekuat tenaga, memohon pertolongan.

"Kita harus melakukan sesuatu Mas," bisik Rina, suaranya bergetar hebat, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku tidak tahan lagi. Kita tidak bisa terus begini." Bima mengangguk, ia tahu Rina benar. Mereka harus bertindak, sebelum teror di bawah lantai itu merenggut lebih banyak dari kewarasan mereka.

Ketakutan yang tak tertahankan akhirnya membuat Bima dan Rina mengambil keputusan drastis. Mereka tidak bisa lagi hidup berdampingan dengan teror tak terlihat ini, yang setiap malam mengikis kewarasan mereka, dan yang terpenting, demi ketenangan Lala. Pagi harinya, tanpa menunda lagi, Bima segera menghubungi Pak Dede, seorang tukang bangunan kenalan lamanya yang sangat ia percaya.

"Mas Dede, saya mau renovasi lantai ruang tamu," kata Bima melalui telepon, suaranya sedikit tegang dan tercekat. "Bisa tolong dibongkar semua lantai kayunya? Saya mau ganti keramik total."

Pak Dede, yang dikenal ramah dan lugas, sedikit terkejut. "Tumben Pak Bima. Padahal kayunya masih bagus lho. Sudah dilapisi vernis juga. Kenapa mau dibongkar semua?" tanyanya, nada bingung.

Bima menarik napas dalam-dalam, berusaha terdengar setenang mungkin. Ia tidak berani menceritakan alasan sebenarnya. "Ada beberapa bagian yang lapuk Pak. Terus juga, kami merasa kurang nyaman saja dengan lantai kayu. Sekalian saja diganti total biar lebih modern," jawab Bima beralasan, berharap Pak Dede tak bertanya lebih jauh. "Bagaimana, bisa dimulai secepatnya?"

"Oh begitu. Bisa Pak Bima. Minggu depan saya dan tim bisa mulai," jawab Pak Dede.

Beberapa hari kemudian, proses pembongkaran pun dimulai. Suara palu dan gergaji yang memekakkan telinga memenuhi seluruh sudut rumah. Lantai-lantai kayu yang selama ini menjadi saksi bisu misteri itu mulai diungkit satu per satu. Lala, yang biasanya ceria dan bersemangat, tampak murung dan gelisah sejak pagi. Ia mendekati Bima, matanya berkaca-kaca.

"Ayah... kenapa Rio mau diusir?" tanyanya dengan suara bergetar, menunjuk ke arah ruang tamu yang sedang dibongkar. "Dia kan teman Lala."

Bima segera memeluk putrinya erat, mencium keningnya. "Tidak Sayang. Kita cuma mau memperbaiki rumah biar lebih bagus kok. Rio tidak diusir. Nanti Rio bisa main lagi sama Lala, tapi di tempat yang lebih bersih dan nyaman ya?" Ia berusaha menenangkan Lala, meskipun hatinya sendiri penuh kecemasan dan ketakutan akan apa yang mungkin akan mereka temukan.

Saat para pekerja membongkar papan-papan kayu di area yang sering berderit dan menjadi pusat suara-suara aneh, sebuah bau apek dan lembap yang aneh, seperti bau tanah bercampur sesuatu yang basi, langsung menyeruak dengan kuat. Bau itu begitu menyengat hingga membuat para pekerja spontan menutup hidung. "Bau apa ini Pak Bima?" tanya salah satu pekerja, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan.

Bima hanya menggelengkan kepala, jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya. Ia tahu, saatnya akan tiba. Firasatnya mengatakan, mereka sudah dekat.

Setelah beberapa papan kayu diangkat dengan paksa, sorot senter salah seorang pekerja jatuh ke bawah, ke ruang kosong di antara pondasi rumah, yang biasanya gelap dan tertutup rapat. Sebuah penemuan yang membuat semua orang terdiam.

Di sana, tergulung di bawah tumpukan tanah dan sedikit puing, terbaringlah sebuah kerangka kecil. Ukurannya jelas menunjukkan itu adalah kerangka anak kecil. Posisinya meringkuk, seolah sedang tidur atau meringkuk ketakutan dan kedinginan. Di dekat kerangka itu, berserakan beberapa kelereng yang kusam dan sebuah boneka kain lusuh yang sudah usang dan kotor, terlihat usianya sudah sangat lama.

Para pekerja terperangah. Mereka sontak mundur beberapa langkah, wajah mereka memucat pasi, beberapa bahkan tampak ingin muntah. Bima dan Rina, yang menyaksikan dari kejauhan dengan napas tertahan, langsung terpaku di tempat. Rasa dingin yang luar biasa menjalari tulang mereka, lebih dingin dari hawa dingin mistis yang selama ini mereka rasakan.

"Astaga..." bisik Rina, tangannya refleks menutup mulut, matanya dipenuhi air mata yang mulai menetes.

Bima mendekat dengan langkah gemetar, tubuhnya terasa berat. Ia melihat kerangka itu dengan pandangan tak percaya, lalu pandangannya jatuh pada kelereng-kelereng dan boneka kain di dekatnya. Itu adalah mainan anak-anak. Kerangka itu... adalah Rio. Sosok yang selama ini bermain dan berkomunikasi dengan putri mereka. Sebuah kebenaran yang mengerikan telah terungkap di bawah lantai rumah mereka.

Penemuan kerangka anak kecil di bawah lantai rumah itu mengguncang seluruh keluarga Bima dan Rina, dan juga desa kecil tempat mereka tinggal. Polisi segera dipanggil, dan penyelidikan pun dimulai. Kerangka itu diidentifikasi sebagai milik seorang anak laki-laki bernama Rio, yang dilaporkan hilang puluhan tahun lalu, tak lama setelah rumah itu dibangun. Kisah-kisah lama mulai bermunculan, tentang keluarga pemilik rumah pertama yang mendadak pindah tanpa alasan jelas, dan desas-desus tentang anak mereka yang hilang secara misterius.

Jenazah Rio akhirnya dimakamkan dengan layak di pemakaman umum. Setelah kejadian itu, suara derit lantai, bisikan, dan ketukan dari bawah lantai tidak pernah lagi terdima. Keheningan yang normal kembali menyelimuti rumah itu. Lantai ruang tamu diganti total dengan keramik baru, menghilangkan semua jejak masa lalu yang kelam.

Lala, anehnya, tampak lebih tenang setelah Rio "keluar". Ia tidak lagi berbicara dengan teman imajinernya itu. Ketika ditanya tentang Rio, ia hanya tersenyum samar dan berkata, "Rio sudah pulang Ayah. Dia sudah tidak kedinginan lagi."

Bima dan Rina tidak pernah bisa sepenuhnya melupakan apa yang terjadi. Setiap kali mereka menginjak lantai ruang tamu, bayangan kerangka kecil itu akan melintas di benak mereka. Mereka sadar, rumah yang mereka beli menyimpan sebuah kisah tragis.

Pengalaman itu mengubah pandangan mereka tentang dunia. Mereka yang tadinya rasional dan skeptis, kini percaya bahwa ada jiwa-jiwa yang terperangkap, yang membutuhkan pertolongan. Mereka belajar bahwa terkadang, yang disebut "imajinasi" anak-anak bisa jadi adalah sebuah jendela ke dunia yang tak terlihat, sebuah jembatan antara yang hidup dan yang telah tiada. Rumah itu kini terasa damai, namun kedamaian itu dibangun di atas sebuah rahasia yang mengerikan, sebuah pengingat abadi akan teman di bawah lantai yang akhirnya menemukan ketenangan.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG