#57 CERITA HOROR: PULANG TAK KEMBALI


 

Pulang Tak Kembali.

Prolog

Kekayaan dan kenyamanan seringkali memisahkan manusia dari kenyataan pahit di luar sana. Bagi pasangan Nyonya Anisa dan Tuan Hardi, kehidupan mereka berjalan mulus, ditopang oleh kemewahan dan kesetiaan seorang pembantu rumah tangga bernama Mbok Tinah. Selama dua puluh tahun, Mbok Tinah bukan hanya sekadar pekerja, melainkan bagian tak terpisahkan dari keluarga mereka, menjadi saksi bisu setiap tawa dan tangis di rumah megah itu. Namun, sebuah kabar duka datang, memutus ikatan yang telah terjalin lama. Kepergian Mbok Tinah yang tiba-tiba meninggalkan kekosongan, tidak hanya di rumah, tetapi juga di hati Nyonya Anisa dan Tuan Hardi.

Mereka tak menyangka, perjalanan mereka untuk mencari kebenaran justru akan membuka pintu menuju teror yang tak terduga. Sebuah kunjungan tulus yang berujung pada kenyataan pahit, dan sebuah kepulangan yang seharusnya membawa kebahagiaan, malah menjadi awal dari mimpi buruk yang akan mengubah segalanya.

Bab 1: Kesetiaan yang Terputus

Rumah mewah megah milik Nyonya Anisa dan Tuan Hardi terasa hampa, sunyi senyap. Keheningan yang tak biasa itu sangat terasa di setiap sudut ruangan, di balik kilauan lantai marmer dan perabot mahal. Itu semua berasal dari kekosongan yang ditinggalkan oleh sosok setia mereka, Mbok Tinah. Selama dua puluh tahun, kehadiran Mbok Tinah telah menjadi denyut nadi di rumah itu, dari suara langkahnya yang teratur di pagi hari hingga bisikan lembutnya saat menyajikan teh di malam hari. Ia bukan sekadar pembantu, melainkan pilar yang menjaga agar rumah itu tetap hidup dan teratur.

Namun, sekitar sebulan lalu, semua rutinitas indah itu terhenti. Tiba-tiba, Mbok Tinah meminta izin untuk pulang kampung dengan raut wajah yang penuh dengan kecemasan.

"Bu, saya minta izin pulang kampung," ujar Mbok Tinah kala itu, suaranya terdengar pelan dan bergetar, matanya menunduk. "Ibu saya sakit keras di kampung. Kata tetangga, kondisinya memburuk."

Nyonya Anisa dan Tuan Hardi, yang sudah menganggap Mbok Tinah seperti keluarga sendiri, segera mengizinkan. "Tentu saja, Mbok. Pulanglah, jangan pikirkan kami di sini. Kamu harus menemani ibumu," kata Nyonya Anisa tulus, mengusap bahu Mbok Tinah. Tuan Hardi juga ikut menambahkan, "Ini, Mbok. Tolong terima uang saku tambahan ini untuk biaya berobat ibumu. Semoga cepat sembuh, ya."

Mbok Tinah menerima uang itu dengan rasa haru, sambil tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Setelah itu, ia pun pulang kampung, menjanjikan akan segera kembali setelah ibunya membaik.

Seiring berjalannya waktu, satu minggu, dua minggu, hingga satu bulan berlalu, janji itu tak kunjung terpenuhi. Mbok Tinah tak kunjung kembali ke rumah itu. Telepon yang mereka coba hubungi tidak aktif, dan tak ada kabar apa pun yang sampai. Awalnya Nyonya Anisa dan Tuan Hardi mencoba berpikiran positif, mungkin di kampung tidak ada sinyal atau Mbok Tinah terlalu sibuk mengurus ibunya. Namun, sebulan tanpa kabar membuat kekhawatiran pun mulai merayapi hati mereka.

Suatu sore, Nyonya Anisa duduk di sofa, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. "Mas, sudah sebulan Mbok Tinah tidak ada kabar," katanya, suaranya penuh kekhawatiran. "Aku jadi tidak tenang, perasaanku tidak enak. Bagaimana kalau kita saja yang ke kampungnya? Kita jenguk ibunya sekalian menjemput Mbok Tinah."

Tuan Hardi mengangguk setuju, ia juga merasakan kegelisahan yang sama. "Baik, Nisa. Aku juga merasa tidak enak. Tidak biasanya Mbok Tinah tidak memberi kabar seperti ini. Besok pagi kita berangkat," jawabnya tegas. Mereka berdua pun memutuskan untuk mencari tahu kebenaran di balik hilangnya kabar dari Mbok Tinah.

Bab 2: Kunjungan ke Desa dan Kabar Duka

Perjalanan menuju kampung halaman Mbok Tinah memakan waktu seharian penuh. Melintasi jalanan berliku yang menanjak dan menurun, jauh dari hiruk pikuk kota, membuat kekhawatiran Nyonya Anisa dan Tuan Hardi semakin menjadi-jadi. Semakin dekat dengan desa tujuan, perasaan mereka campur aduk antara cemas dan rindu pada sosok Mbok Tinah.

Saat akhirnya tiba di sebuah desa terpencil yang asri, mereka segera menanyakan letak rumah Mbok Tinah kepada beberapa warga yang sedang duduk di teras. Beberapa tetangga menunjuk ke sebuah rumah kayu sederhana di ujung jalan, yang terlihat usang dan sepi.

Dengan langkah ragu, mereka berjalan ke sana. Di dalam rumah yang temaram, mereka menemukan Ibu Mbok Tinah yang sudah tua renta, terbaring lemah di ranjang bambu yang reyot. Tatapan matanya kosong, menerawang jauh ke langit-langit, seolah sudah tak mampu lagi menopang beban hidup dan kesedihan.

"Ibu... kami Anisa dan Hardi, majikannya Mbok Tinah," kata Nyonya Anisa perlahan, mencoba membangunkan Ibu Mbok Tinah dengan suara lembut.

Ibu Mbok Tinah tersentak, mencoba untuk duduk dengan susah payah. Ia menatap Nyonya Anisa dan Tuan Hardi dengan mata berkaca-kaca. "Anisa... Nak Hardi... kalian datang..." suaranya serak dan parau, isaknya tertahan di tenggorokan. Air matanya menetes, mengalir di pipi yang keriput.

Nyonya Anisa dan Tuan Hardi saling pandang, bingung melihat tangisan itu. "Ada apa, Ibu? Mbok Tinah di mana? Kenapa dia belum kembali ke Jakarta?" tanya Nyonya Anisa dengan cemas, duduk di sisi ranjang.

Ibu Mbok Tinah menggeleng lemah, isaknya pecah. Ia berusaha keras menahan tangisnya namun tak berhasil. "Mbok Tinah... anak saya... dia sudah pergi, Nak..."

Tuan Hardi dan Nyonya Anisa terkejut. "Pergi ke mana, Bu?" tanya Tuan Hardi, tangannya refleks menggenggam tangan Nyonya Anisa. Ia berpikir Mbok Tinah mungkin pergi merantau ke tempat lain.

"Dia sudah meninggal, Nak... beberapa hari setelah sampai di sini, dia jatuh sakit mendadak. Badannya panas, lalu tiba-tiba sesak napas," Ibu Mbok Tinah tak bisa melanjutkan, tangisnya semakin menjadi-jadi. "Kata dokter... sakit jantung. Kami sudah berusaha, tapi Tuhan lebih sayang padanya..."

Kabar itu seperti sambaran petir di siang bolong bagi Nyonya Anisa dan Tuan Hardi. Mereka terpaku, sulit memercayai apa yang baru saja mereka dengar. Untuk meyakinkan diri, Tuan Hardi beranjak keluar, meminta konfirmasi dari beberapa tetangga yang kebetulan lewat. Semua tetangga mengonfirmasi cerita itu dengan wajah penuh duka. Bahkan, mereka menyebutkan, "Belum genap empat puluh hari Mbok Tinah meninggal. Kami baru saja menggelar tahlilan terakhir untuknya."

Hati Nyonya Anisa dan Tuan Hardi hancur berkeping-keping. Mereka merasa bersalah karena tidak tahu dan tidak bisa hadir di saat-saat terakhir Mbok Tinah. Duka yang mendalam merayapi mereka berdua, menambah beban kesedihan yang sudah ada.

Sebagai wujud belasungkawa, Tuan Hardi kembali ke dalam rumah dan dengan perlahan menyerahkan amplop berisi uang yang cukup besar kepada Ibu Mbok Tinah. "Ibu, ini titipan dari kami. Tolong gunakan untuk biaya pengobatan Ibu dan keperluan lainnya. Jangan sungkan," kata Tuan Hardi tulus. Ibu Mbok Tinah menerima amplop itu dengan air mata syukur.

Dengan hati yang berat dan duka yang mendalam, Nyonya Anisa dan Tuan Hardi berpamitan, meninggalkan desa dengan membawa berita duka yang sama sekali tidak mereka sangka.

Bab 3: Kepulangan yang Janggal

Setelah perjalanan panjang kembali ke kota, Nyonya Anisa dan Tuan Hardi merasa sangat terpukul. Kabar duka tentang Mbok Tinah, yang sudah mereka anggap seperti keluarga sendiri, meninggalkan luka yang mendalam. Selama beberapa hari, rumah mereka yang dulunya selalu ramai dengan aktivitas dan suara Mbok Tinah, kini terasa hampa dan dipenuhi kesedihan yang mencekam. Mereka tak punya semangat untuk melakukan apa pun, dan makanan di meja pun sering tak tersentuh.

Suatu malam, sekitar pukul sepuluh malam, langit seolah ikut berduka. Hujan deras mengguyur kota, disertai gemuruh petir yang memekakkan telinga. Nyonya Anisa dan Tuan Hardi duduk berdekatan di sofa empuk di ruang keluarga, menonton televisi dan mencoba mengusir kesedihan mereka. Mereka berharap suara gemuruh petir dan rintikan hujan bisa memecah keheningan yang menyesakkan di dalam rumah.

Tiba-tiba, sebuah ketukan pintu terdengar dari pintu depan. Tok! Tok! Tok!

Nyonya Anisa dan Tuan Hardi saling pandang, bingung. "Siapa, Mas? Sudah malam begini, hujan lagi," bisik Nyonya Anisa, suaranya dipenuhi pertanyaan.

"Tidak tahu. Mungkin tetangga?" Tuan Hardi beranjak dari sofa, melangkah menuju pintu depan. Namun, sebelum ia sempat mencapai pintu, ketukan itu kembali terdengar, kali ini lebih keras dan tergesa. Tok! Tok! Tok!

Tuan Hardi mengurungkan niatnya, berdiri terdiam. "Aneh, siapa ya?" gumamnya.

"Sudah, biar aku saja," kata Nyonya Anisa, merasa lebih berani. Ia mengambil langkah perlahan menuju pintu, jantungnya berdegup tak karuan. Ia mengintip dari lubang kecil yang ada di pintu, berharap melihat siapa yang datang. Namun, yang ia lihat hanya kegelapan malam yang pekat dan rintikan hujan. Tak ada siapa-siapa.

Nyonya Anisa menghela napas, berpikir mungkin hanya iseng anak-anak atau mungkin suara ranting pohon yang jatuh. Ia berbalik, hendak kembali ke ruang keluarga. Namun, ketukan pintu kembali berlanjut. Kali ini terdengar seperti ketukan yang menuntut dan sabar. Nyonya Anisa merasa bulu kuduknya meremang. Dengan memberanikan diri, ia memegang kenop pintu dan perlahan-lahan membukanya.

Begitu pintu terbuka, ia terkejut. Di sana, di depan ambang pintu, berdiri tegak seorang wanita dengan pakaian lusuh yang basah kuyup karena hujan. Wajahnya terlihat pucat pasi, namun di wajah itu tersungging senyuman yang hangat. Wajah itu... sangat ia kenal.

"Mbok Tinah...?" bisik Nyonya Anisa, tak percaya. Matanya membelalak, ia tak bisa memproses apa yang ia lihat.

Wanita itu, sosok yang mirip Mbok Tinah, perlahan mengangkat wajahnya, menatap Nyonya Anisa dengan tatapan lurus dan kosong. Senyumannya semakin lebar, namun tidak ada kehangatan di matanya. Bibirnya yang pucat bergerak.

"Bu, saya pulang..."

Nyonya Anisa mematung di tempatnya, seluruh tubuhnya kaku, seolah tak bisa bergerak. Jantungnya terasa berhenti berdetak. Sosok di hadapannya adalah Mbok Tinah, pembantu setia mereka yang sudah meninggal dan dimakamkan di kampungnya. Ia yakin, ini bukan manusia.

Epilog

Kehadiran Mbok Tinah yang tak terduga di ambang pintu itu, yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan, seketika mengubah duka menjadi teror yang tak berkesudahan. Malam-malam setelah itu, Nyonya Anisa dan Tuan Hardi harus menghadapi kenyataan pahit yang mengerikan: Mbok Tinah kembali ke rumah mereka, bukan sebagai manusia yang setia, melainkan sebagai arwah penasaran yang terperangkap antara dua dunia.

Rumah megah yang dulunya hangat dan penuh kenangan kini terasa dingin dan mencekam. Setiap malam, mereka akan mendengar suara langkah kaki yang pelan di koridor, aroma melati yang tiba-tiba menyeruak dari dapur, atau bahkan bisikan serak yang menyebut nama mereka dari sudut-sudut ruangan yang gelap. Terkadang, mereka melihat bayangan samar Mbok Tinah melintas di balik jendela, atau berdiri di ambang pintu kamar, menatap mereka dengan tatapan kosong dan penuh kesedihan, seolah menuntut sesuatu yang tak terucap.

"Kita harus pergi, Mas. Aku tidak tahan lagi," bisik Nyonya Anisa suatu malam, tubuhnya gemetar ketakutan.

Tuan Hardi mengangguk, wajahnya pucat pasi. "Aku juga, Nisa. Tapi ke mana? Arwahnya sepertinya terikat dengan rumah ini, dengan kita."

Mereka akhirnya memahami, kadang ada hal-hal yang tidak bisa diselesaikan dengan uang. Janji setia Mbok Tinah untuk kembali, yang tak pernah ia penuhi karena maut menjemputnya, telah menciptakan ikatan yang tak bisa diputuskan oleh kematian. Arwahnya kembali untuk menuntaskan janji itu, kembali ke tempat yang ia anggap rumah, kepada orang-orang yang ia anggap keluarga.

Mereka pun memutuskan untuk menjual rumah itu dan pindah, meninggalkan semua kenangan manis dan teror yang pernah ada. Namun, mereka tahu, kisah tentang Mbok Tinah akan selalu menjadi pengingat abadi. Bahwa kesetiaan dan ikatan batin jauh lebih kuat dari apa pun, bahkan dari maut sekalipun, dan bahwa terkadang, sebuah janji yang tak sempat terucap bisa membawa konsekuensi yang jauh lebih menakutkan dari yang pernah kita bayangkan.

 -- TAMAT -- 

Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG