#43 PERJALANAN HOROR LEWAT HUTAN
PERJALANAN LEWAT HUTAN
Bab 1: Perjalanan Dimulai
Aku dan rombongan
warga kampung baru saja selesai menghadiri takziah di kota seberang. Karena
acara selesai larut malam, kami tidak punya pilihan selain pulang malam itu
juga. Bus yang kami sewa terlihat tua, dengan suara mesin yang berderak setiap
kali melintasi jalan berlubang. Perjalanan melewati jalan hutan sudah menjadi
perbincangan sejak awal. Konon, jalan itu terkenal angker, dan banyak cerita
seram yang beredar di kalangan masyarakat. Namun, kami tidak punya pilihan
lain.
Di dalam bus,
suasana cukup ramai. Beberapa ibu-ibu berbincang pelan, anak-anak kecil tidur
di pangkuan orang tuanya, dan beberapa laki-laki duduk di barisan belakang,
asyik mengobrol. Aku duduk di tengah, mencoba untuk tetap tenang meskipun rasa
lelah dan gelisah mulai menghantui.
"Masih jauh,
Pak Sopir?" tanya salah satu bapak di depan.
"Paling dua
jam lagi kalau nggak ada hambatan," jawab sopir sambil fokus menatap jalan
yang gelap. Lampu bus yang redup menjadi satu-satunya penerangan, dan
pohon-pohon besar di sisi jalan seperti membentuk dinding gelap yang menelan
cahaya.
"Hati-hati,
ya, Pak. Jalanan di sini katanya sering ada yang aneh-aneh," tambah
seorang ibu yang duduk di dekat sopir.
Aku hanya diam
mendengar pembicaraan mereka, berusaha menenangkan diri dengan membaca doa
dalam hati. Ketika bus semakin jauh masuk ke kawasan hutan, udara terasa
berubah. Gelapnya malam ditambah deretan pohon tinggi di sepanjang jalan
membuat suasana semakin mencekam. Aku memutuskan untuk tiduran sambil membaca
buku yang sengaja kubawa dari rumah, mencoba mengalihkan pikiranku dari rasa
takut.
Saat aku mulai
membaca buku, tiba-tiba aku merasakan sesuatu. Angin dingin berhembus di
telingaku, seperti ada seseorang yang meniup-niupnya. Aku menjamkan mata dan
menoleh ke sekitarku. Di kursi sebelahku kosong, dan penumpang lainnya tampak
sibuk dengan urusan masing-masing. Aku menggelengkan kepala, mencoba berpikir
bahwa itu hanya imajinasiku.
Namun, saat aku
kembali menundukkan kepala untuk melanjutkan membaca, tiupan itu kembali
terasa, kali ini lebih jelas dan lebih dingin. "Astaghfirullah,"
gumamku sambil memegang telinga. Aku menoleh ke belakang, berharap menemukan
sesuatu yang bisa menjelaskan kejadian itu. Tapi yang ada hanya penumpang lainnya
yang tampak lelah.
"Kenapa,
Mas? Kok pucat gitu?" tanya Pak Jono, yang duduk di kursi belakangku.
"Nggak, Pak.
Cuma angin," jawabku ragu.
"Angin dari
mana? Jendela bus kan semua tertutup," balasnya sambil tertawa kecil.
Aku mencoba
tersenyum, meski jelas-jelas rasa takut mulai merayap. Aku mengalihkan
pandangan ke jendela, melihat deretan pohon yang terus berganti. Namun, rasa
tidak nyaman itu tidak hilang. Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya,
dan aku hanya bisa berharap perjalanan ini segera berakhir.
Bab 2: Bus yang Mogok
Beberapa saat
setelah kejadian itu, bus tiba-tiba berhenti. Sopir mengutuk pelan sambil
mencoba menyalakan mesin kembali. Mesin berderak, namun tidak kunjung menyala.
"Kayaknya mogok," kata sopir sambil turun untuk memeriksa mesin.
"Mogok? Kok
bisa? Tadi baik-baik saja, kan?" tanya Pak Jono, yang duduk di dekatku.
"Ya namanya
juga mesin tua, Pak. Saya cek dulu ya," jawab sopir sambil membawa senter
keluar.
Kami semua turun
dari bus untuk menghirup udara segar. Udara malam di tengah hutan terasa
menusuk tulang, dan suara jangkrik terdengar sangat jelas. Beberapa dari kami
mulai gelisah. Salah satu bapak-bapak, Pak Jono, mencoba membantu sopir,
sementara yang lain hanya menunggu dengan wajah cemas.
"Duh, di
tengah hutan lagi. Kalau sampai nggak bisa nyala, gimana kita pulangnya?"
keluh Bu Minah, salah satu ibu-ibu di rombongan.
"Tenang
saja, Bu. Pasti bisa. Ini cuma masalah kecil," balas Pak Jono mencoba
menenangkan.
Aku berdiri di
dekat pintu bus, mencoba mencari sinyal di ponselku, tapi sia-sia. Hutan ini
benar-benar terisolasi. "Pak Jono, ada yang aneh nggak di sini?"
tanyaku pelan.
"Aneh
gimana, Mas?" Pak Jono menoleh sambil mengernyit.
"Entahlah,
rasanya seperti ada yang memperhatikan dari balik pohon-pohon itu,"
jawabku sambil menunjuk ke arah hutan yang gelap gulita.
Pak Jono
mengarahkan senternya ke arah yang kutunjuk, tapi tidak ada apa-apa. "Ah,
Mas ini, jangan nakut-nakutin. Tapi ya, di tempat begini, kita harus
hati-hati," katanya sambil tersenyum kecil.
Sopir kembali ke
dalam bus untuk mengambil beberapa alat, wajahnya terlihat kesal.
"Mesinnya kayaknya overheat. Tapi tenang, saya coba akalin," katanya
sambil berjalan kembali ke depan bus.
Sementara itu,
beberapa ibu-ibu mulai berdoa bersama, membaca ayat-ayat Al-Quran dengan suara
pelan. Suasana semakin sunyi, hanya diselingi suara jangkrik dan sesekali bunyi
burung malam yang terdengar seperti tangisan.
Aku mencoba
mengalihkan perhatian dengan bercakap-cakap dengan Pak Jono. "Pak, pernah
dengar cerita aneh di jalan ini?" tanyaku iseng.
"Wah, Mas,
banyak. Tapi nggak tahu ya, benar atau cuma mitos. Katanya sih, dulu jalan ini
tempat orang buang mayat waktu zaman penjajahan. Banyak yang hilang nggak jelas
di sini," jawabnya sambil menyalakan rokok.
Perkataannya
membuat bulu kudukku meremang. "Serius, Pak? Kok jadi ngeri begini?"
Pak Jono tertawa
kecil. "Ah, tenang saja, Mas. Kita ramai-ramai begini, nggak bakal ada
apa-apa." Tapi aku bisa melihat dari wajahnya bahwa ia juga mulai merasa
tidak nyaman.
Tiba-tiba
terdengar suara langkah dari arah belakang bus. Semua orang yang sedang
berkumpul di sekitar bus langsung menoleh. Aku meraih senterku dan mengarahkan
cahaya ke sumber suara, namun tidak ada apa-apa. "Siapa itu?" tanya
sopir dengan nada sedikit panik.
Tidak ada yang
menjawab. Kami semua saling berpandangan, mencoba mencari penjelasan logis.
"Mungkin hewan, Pak. Hutan begini kan banyak binatangnya," kata Pak
Jono mencoba menenangkan, meskipun suaranya terdengar gemetar.
Sopir kembali ke
pekerjaannya, dan aku mencoba mengabaikan rasa takut yang mulai menghantui.
Malam itu terasa semakin dingin, dan suara hutan seolah berubah menjadi lebih
menyeramkan. Kami hanya bisa berharap bus segera bisa jalan kembali.
Bab 3: Warung yang Kosong dan Aneh
Setelah hampir
satu jam mencoba memperbaiki bus, sopir akhirnya menyerah. "Mesinnya perlu
waktu lebih lama. Kayaknya radiatornya bocor," katanya sambil menghela
napas.
Pak Jono menepuk
bahu sopir. "Ya sudah, Pak. Kalau begitu kita cari bantuan saja. Tadi saya
lihat ada warung beberapa ratus meter ke belakang. Siapa tahu ada orang yang
bisa bantu."
Aku dan beberapa
orang setuju untuk ikut. Warung yang dimaksud terlihat kecil dari kejauhan,
dengan lampu redup yang hampir padam. Kami berjalan bersama-sama, ditemani
suara malam yang semakin membuat suasana mencekam.
Saat tiba di
depan warung, kami ragu-ragu untuk masuk. Warung itu tampak sangat tua, dengan
papan nama yang sudah pudar dan pintu kayu yang berderit saat didorong.
"Permisi!"
teriak Pak Jono sambil mengetuk meja kayu di dalam.
Tidak ada
jawaban. Warung itu kosong, hanya ada beberapa kursi rotan tua dan rak yang
penuh dengan debu. Anehnya, ada sepiring gorengan di meja, seolah-olah baru
saja diletakkan. Aku merinding melihatnya. "Pak, ini kok kayak baru
ditinggalin?" bisikku.
"Iya, aneh
ya," jawab Pak Jono sambil mengamati sekeliling. "Tapi coba kita
tunggu sebentar. Siapa tahu pemiliknya muncul."
Kami duduk dengan
perasaan was-was. Tidak ada suara, kecuali bunyi angin yang menerpa dinding
warung. Setelah beberapa menit, tiba-tiba terdengar langkah kaki
Langkah kaki
itu terdengar mendekat dari arah belakang warung. Aku, Pak Jono, dan beberapa
orang yang ikut mulai saling pandang, tidak yakin harus bersiap atau tetap
duduk diam. Pak Jono berdiri dan memegang salah satu kursi kayu, seolah bersiap
untuk berjaga-jaga.
"Permisi!
Ada orang di sini?" teriak Pak Jono dengan nada sedikit tegas.
Langkah itu
berhenti. Hening. Semua mata tertuju ke arah pintu belakang warung, yang hanya
tertutup oleh kain gorden tipis berwarna kusam. Kain itu bergoyang pelan,
meskipun tidak ada angin. Aku merasakan bulu kudukku berdiri, dan jantungku
mulai berdegup lebih cepat.
"Aku
nggak yakin, Pak. Kita nggak harusnya di sini," bisikku pelan, mencoba
menahan rasa takut.
"Tenang,
Mas. Jangan langsung takut dulu," jawab Pak Jono, meskipun suaranya
terdengar bergetar.
Tiba-tiba,
kain gorden itu tersingkap, dan seorang lelaki tua dengan tongkat muncul.
Rambutnya putih panjang, kulitnya keriput, dan matanya cekung seperti tidak
punya kehidupan. Ia mengenakan pakaian lusuh, tetapi tubuhnya terlihat tegap
meskipun memegang tongkat. Tidak ada yang tahu dari mana ia datang.
"Nyari
apa kalian di sini?" suaranya serak, hampir seperti berbisik, namun cukup
jelas untuk terdengar oleh kami semua.
Pak Jono,
yang tadinya terlihat percaya diri, tampak sedikit goyah. "E-eh, permisi,
Pak. Bus kami mogok di jalan. Kami nyari bantuan... mungkin ada orang di sini
yang bisa bantu."
Pria tua itu
menatap kami satu per satu dengan tatapan tajam, seperti sedang menilai
sesuatu. "Warung ini sudah lama tidak ada pemiliknya," katanya datar.
Aku menelan
ludah, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Tapi, Pak, tadi kami lihat
ada gorengan di meja. Itu... baru diletakkan, kan?" tanyaku ragu-ragu.
Pria tua itu
tersenyum samar, tetapi senyum itu justru membuat suasana semakin menyeramkan.
"Kalian makan saja kalau mau. Tapi jangan lama-lama di sini. Malam ini
bukan waktu yang tepat untuk berada di hutan ini."
Ucapan itu
membuat semuanya merinding. Bu Minah, yang ikut bersama kami, mendekatkan diri
ke Pak Jono. "Pak, kok saya jadi nggak enak, ya? Ayo kita balik aja. Ini
orangnya juga aneh," bisiknya dengan suara bergetar.
Pak Jono
mencoba mengabaikan rasa takut yang mulai menjalar. "Baik, Pak. Kalau
begitu kami pamit saja. Terima kasih," katanya sambil membungkuk sedikit.
Namun,
sebelum kami bisa berbalik dan keluar, pria tua itu melanjutkan,
"Tunggu." Ia mengangkat tongkatnya, menunjuk ke arah meja tempat
gorengan itu berada. "Satu dari kalian harus makan dulu sebelum
pergi."
Semua orang
terdiam. Udara terasa semakin dingin, dan aku merasa darahku berhenti mengalir.
"Apa maksudnya, Pak? Kenapa harus makan dulu?" tanyaku dengan nada
yang hampir tidak terdengar.
"Itu
tanda bahwa kalian tamu yang sopan. Kalau tidak, kalian mungkin tidak akan
selamat dari hutan ini," jawabnya sambil tersenyum lebar, menunjukkan
giginya yang kuning dan tidak rata.
Pak Jono
menoleh ke kami semua, seolah meminta saran. "Gimana, ini? Ada yang mau
coba?"
Bu Minah
langsung menggeleng keras. "Saya nggak mau, Pak! Ini aneh banget. Kita
pergi saja."
Aku
memandangi gorengan itu. Meski terlihat biasa saja, aku tidak yakin apakah aman
untuk memakannya. Perasaan aneh menyelimuti ruangan. "Pak, gimana kalau
kita nggak makan dan langsung pergi saja?" saranku dengan hati-hati.
Pria tua itu
mendadak tertawa kecil, tetapi tawa itu terdengar lebih seperti bisikan yang
memecah keheningan. "Silakan kalau mau pergi tanpa makan. Tapi jangan
salahkan aku kalau kalian menemukan hal-hal yang tidak kalian inginkan di jalan
nanti," ucapnya dengan nada penuh misteri.
Pak Jono
akhirnya mengambil keputusan. "Baik, Pak. Kalau itu syaratnya, saya saja
yang makan." Ia melangkah ke meja dengan ragu-ragu, mengambil salah satu
gorengan, dan menelannya perlahan.
Ketika ia
selesai, pria tua itu tersenyum puas. "Bagus. Sekarang, kalian boleh
pergi. Jangan berhenti lagi sampai keluar dari hutan ini."
Kami semua
langsung keluar dari warung dengan langkah cepat, tidak berani menoleh ke
belakang. Saat kami sudah cukup jauh dari warung, Bu Minah memecah keheningan.
"Pak Jono, tadi gorengannya gimana rasanya?"
Pak Jono
menggeleng sambil mengusap mulutnya. "Nggak ada rasa apa-apa. Tapi... aku
nggak yakin itu makanan biasa."
Aku hanya
diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ketika kami sampai di bus,
sopir menyambut kami dengan wajah bingung. "Kok kalian lama banget? Saya
tadi dengar suara ketawa dari arah hutan, tapi nggak lihat siapa-siapa."
Tidak ada
yang menjawab. Kami hanya naik ke dalam bus dengan pikiran masing-masing. Tidak
ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di warung itu, atau siapa pria tua
misterius tersebut. Tapi satu hal yang pasti, perjalanan ini masih jauh dari
kata selesai.
Bab 4: Hutan
yang Hidup
Keputusan
untuk kembali ke bus dengan tangan kosong terasa sangat berat. Setelah
pertemuan dengan pria tua misterius di warung, suasana di antara kami semakin
mencekam. Tidak ada yang berbicara selama perjalanan kembali ke bus, hanya
suara langkah kaki di atas tanah yang menggema di tengah sunyi. Namun, di dalam
keheningan itu, aku merasa seperti ada yang mengikuti dari balik pepohonan.
Setibanya di
bus, sopir masih mencoba memperbaiki mesin dengan bantuan Pak Jono. Beberapa
orang mulai masuk kembali ke dalam bus untuk beristirahat. Aku memilih duduk di
dekat pintu, mencoba meredakan ketegangan.
Namun, baru
saja aku duduk, tiba-tiba terdengar suara pelan seperti gumaman dari arah
belakang bus. Awalnya, aku mengira itu salah satu penumpang yang sedang
berbicara. Tapi saat aku menoleh, aku melihat sesuatu yang membuatku terpaku.
Di jendela
belakang bus, samar-samar terlihat bayangan seseorang berdiri diam, menatap ke
arah kami. Wajahnya tidak jelas, hanya siluet gelap dengan mata yang menyala
merah seperti bara.
"Pak
Jono... itu... itu apa?" bisikku sambil menunjuk ke arah jendela belakang.
Pak Jono,
yang sedang merokok di dekat pintu bus, segera menoleh ke arah yang kutunjuk.
Namun, saat ia melihat, bayangan itu menghilang begitu saja. "Kamu
ngelindur, Mas. Udah, jangan bikin orang tambah takut," katanya sambil
tersenyum tipis. Tapi aku tahu, dari sorot matanya, dia juga merasa ada yang
tidak beres.
Tidak lama
setelah itu, terdengar suara dari dalam hutan. Suara ranting patah dan dedaunan
yang bergemerisik, seolah ada sesuatu yang besar sedang bergerak mendekat.
Semua orang yang masih di luar bus segera panik.
"Ayo
masuk! Cepat masuk ke bus!" teriak sopir sambil memegang kunci inggris di
tangannya.
Kami semua
berlari masuk ke dalam bus. Sopir mencoba menyalakan mesin, tetapi lagi-lagi
hanya suara berderak yang keluar. Sementara itu, suara dari dalam hutan semakin
jelas. Kali ini bukan hanya langkah, tapi juga suara desahan panjang, seperti
napas makhluk besar yang sedang mengintai.
Aku menatap
keluar jendela, mencoba mencari sumber suara itu. Saat itulah aku melihatnya.
Di antara pepohonan, terlihat sosok tinggi besar dengan tubuh hitam pekat.
Wajahnya tidak bisa dikenali, tapi matanya menyala merah, sama seperti bayangan
yang tadi kulihat di belakang bus.
Makhluk itu
berdiri diam, mengawasi kami. Tubuhnya setinggi pohon, dan setiap kali ia
bergerak, ranting-ranting patah di bawah kakinya. "Astaghfirullah... itu
apa?" teriak salah satu ibu-ibu di dalam bus.
Sopir terus
mencoba menyalakan mesin, kali ini dengan lebih panik. "Ayo, nyala! Nyala!
Jangan bikin sial malam ini!" katanya dengan suara penuh emosi.
Tiba-tiba,
makhluk itu mulai bergerak mendekat. Setiap langkahnya membuat tanah bergetar.
Beberapa penumpang mulai menangis, sementara yang lain membaca doa dengan suara
keras. Aku sendiri hanya bisa mematung, tubuhku terasa kaku melihat sosok itu
semakin dekat.
Ketika
jaraknya tinggal beberapa meter dari bus, tiba-tiba terdengar suara keras dari
arah hutan, seperti auman binatang buas. Makhluk itu berhenti, menoleh ke arah
suara, lalu perlahan mundur ke dalam kegelapan.
Sopir
akhirnya berhasil menyalakan mesin, dan tanpa pikir panjang, ia langsung
menginjak gas. Bus melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan tempat itu.
Di dalam bus,
suasana masih tegang. Beberapa penumpang berusaha menenangkan diri, sementara
aku hanya bisa duduk diam, masih memikirkan makhluk itu. "Apa yang barusan
kita lihat tadi, Pak?" tanyaku kepada Pak Jono.
Pak Jono
menghela napas panjang. "Entahlah, Mas. Tapi sepertinya bukan makhluk
biasa. Kita beruntung masih bisa pergi dari sana."
Aku menatap
keluar jendela, melihat bayangan pepohonan yang terus berlalu. Tapi jauh di
dalam hati, aku tahu perjalanan ini belum selesai. Hutan itu masih hidup, dan
sepertinya belum melepaskan kami sepenuhnya.
Bab 5: Jalan
yang Tidak Pernah Berujung
Mesin bus
terus menderu kencang, memecah keheningan malam yang semakin gelap. Sopir
tampak gugup, memegang setir erat-erat dengan pandangan fokus ke jalanan
berbatu yang terus membentang di depan. Sementara itu, para penumpang di dalam
bus masih sibuk berdoa, beberapa bahkan terlihat pingsan karena ketakutan.
Aku mencoba
memerhatikan jalanan melalui jendela. Meski bus melaju kencang, suasana di luar
terasa aneh. Pohon-pohon tinggi tampak melengkung, seperti membentuk lorong
gelap yang menelan bus. Dan yang lebih aneh, jalan yang kami lewati terasa
tidak pernah berubah. Batu yang sama, tikungan yang sama, dan pohon yang sama
terus terlihat, seperti kami berjalan di tempat.
"Pak,
ini kok jalannya kayak nggak habis-habis, ya?" bisikku pada Pak Jono yang
duduk di sebelahku.
Pak Jono,
yang biasanya tenang, kini terlihat gelisah. Ia menoleh ke arah sopir dan
bertanya dengan nada cemas, "Pak, kita ini sebenarnya sudah sampai mana?
Kok rasanya muter-muter terus?"
Sopir
menggeleng pelan, keringat dingin membasahi dahinya. "Saya juga nggak
ngerti. Harusnya jalan ini tembus ke desa paling dekat, tapi... semua ini nggak
masuk akal."
Suasana di
dalam bus semakin mencekam. Beberapa penumpang mulai menyadari ada yang tidak
beres. "Pak, kok kita belum sampai-sampai? Ini jalannya benar, kan?"
seorang bapak tua di bangku belakang mulai bersuara.
Sopir hanya
menjawab dengan gumaman pelan, "Sabar, Pak... kita pasti sampai..."
Tapi dari nadanya, jelas dia sendiri tidak yakin.
Tak lama
kemudian, sesuatu yang lebih aneh terjadi. Lampu bus tiba-tiba redup, lalu mati
total. Bus melaju dalam kegelapan. Penumpang langsung panik, beberapa berteriak
histeris.
"Tenang!
Tenang! Jangan ada yang panik!" teriak Pak Jono sambil berdiri. Tapi saat
itu juga, bus mendadak berhenti dengan sentakan keras, membuat semua orang
terhempas ke depan.
Sopir mencoba
menyalakan mesin kembali, tapi tidak ada hasil. Suara starter hanya
menghasilkan bunyi berdecit yang menyakitkan telinga. Di luar, suasana semakin
sunyi. Bahkan suara jangkrik pun tak terdengar lagi.
Aku
memberanikan diri untuk melihat keluar melalui jendela. Apa yang kulihat
membuat darahku berdesir. Di kejauhan, samar-samar terlihat cahaya kecil,
seperti api unggun. Cahaya itu bergerak mendekat, dan tak lama kemudian,
terlihat bayangan-bayangan hitam berjalan perlahan ke arah bus.
"Bapak,
Ibu... ada yang mendekat!" teriakku dengan suara gemetar.
Semua orang
langsung mengarahkan pandangan ke jendela. Beberapa penumpang berusaha
mengintip, tapi ketika mereka melihat apa yang kulihat, jeritan langsung
memenuhi bus.
Bayangan-bayangan
itu kini terlihat lebih jelas. Mereka adalah sosok-sosok tinggi kurus dengan
tubuh yang dipenuhi luka. Wajah mereka kosong tanpa ekspresi, hanya dua lubang
hitam tempat mata seharusnya berada. Mereka membawa obor di tangan, dan langkah
mereka terasa lambat namun penuh tekad, seperti sedang mengintai mangsa.
"Jangan
keluar! Jangan buka pintu apa pun!" seru Pak Jono dengan suara tegas,
mencoba menenangkan penumpang yang mulai histeris.
Sosok-sosok
itu kini semakin dekat, mengelilingi bus. Salah satu dari mereka menghampiri
jendela tempat aku duduk. Tubuhku gemetar hebat saat sosok itu menatapku
langsung. Meski tanpa mata, aku bisa merasakan pandangannya menusuk hingga ke
dalam jiwa.
Tiba-tiba,
terdengar suara ketukan keras di pintu bus. Tok! Tok! Tok!
Sopir, yang
duduk paling dekat dengan pintu, menoleh dengan wajah penuh ketakutan.
"Siapa... siapa di luar?" tanyanya dengan suara gemetar.
Tidak ada
jawaban, hanya ketukan yang semakin keras. Tok! Tok! Tok!
"Jangan
buka, Pak! Jangan buka!" teriak beberapa penumpang. Tapi sopir tampak
bimbang. Ia memegang gagang pintu, seolah sedang bertarung dengan dirinya
sendiri untuk memutuskan apa yang harus dilakukan.
Ketukan itu
berhenti, digantikan dengan suara pelan dari luar. Suara itu terdengar seperti
bisikan, namun cukup jelas untuk didengar semua orang. "Keluar... kalian
tidak akan bisa pergi... keluarlah..."
Pak Jono
berdiri dan meraih bahu sopir, memaksanya untuk menjauh dari pintu.
"Jangan dengarkan! Itu cuma trik mereka!" katanya tegas.
Tiba-tiba,
bus berguncang keras, seperti ada sesuatu yang memukul sisi kendaraan.
Penumpang berteriak ketakutan, sementara aku hanya bisa berpegangan erat pada
kursi. Ketika aku menoleh ke arah jendela, aku melihat sesuatu yang membuat
jantungku hampir berhenti.
Sosok besar
dari hutan tadi kini berdiri di belakang bayangan-bayangan yang membawa obor.
Mata merahnya menyala terang, menatap kami dengan intensitas yang mengerikan.
Ia mengangkat tangannya, lalu memukul bus sekali lagi, membuat kaca-kaca
jendela retak.
"Ayo,
Pak! Jalankan busnya!" teriak salah satu penumpang.
Sopir kembali
mencoba menyalakan mesin dengan panik. Kali ini, mesin menyala dengan suara
berderak. Tanpa pikir panjang, ia langsung menginjak gas, membuat bus melaju
kencang.
Bayangan-bayangan
itu mengejar kami, sementara sosok besar itu hanya berdiri diam, memperhatikan
kami pergi. Tapi sebelum kami meninggalkan tempat itu sepenuhnya, aku mendengar
suara tawa yang dalam dan menakutkan, menggema di seluruh hutan.
Perasaan lega
hanya bertahan sebentar. Jalanan di depan kami tiba-tiba berubah. Bukannya
menuju desa, jalan itu kini seperti membawa kami kembali ke tempat awal. Aku
menoleh ke arah Pak Jono, dan dia hanya menggeleng pelan.
"Kita
belum keluar dari sini," bisiknya lirih. "Hutan ini belum selesai
dengan kita."
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri
.jpg)
Komentar
Posting Komentar