#56 CERITA HOROR: KURSI DIREKTUR BERHANTU

 


Kursi Direktur Berhantu.

Dalam dunia konten kreator yang serba cepat, kenyamanan adalah kunci. Bagi Heriyanto, seorang content creator muda yang sedang merintis karier di berbagai platform media sosial, jam-jam di depan komputer adalah medan perangnya. Ia membutuhkan dukungan penuh, bukan hanya dari follower, tapi juga dari perabot kerjanya. Maka, ketika matanya tertuju pada sebuah kursi direktur bekas yang tampak masih kokoh dan empuk di tengah tumpukan barang loak, hatinya langsung terpikat. Harga yang miring, kondisi yang prima—semuanya terasa sempurna untuk menunjang produktivitasnya di rumah.

Heriyanto, yang dikenal rasional dan sedikit skeptis terhadap hal-hal mistis, tak pernah menyangka bahwa kursi impiannya itu menyimpan sebuah kisah kelam. Sebuah kisah tentang kehampaan, keputusasaan, dan kematian tragis seorang pejabat tinggi di sebuah perusahaan besar. Kursi itu bukan sekadar tempat duduk, melainkan saksi bisu, sebuah wadah yang merekam kenangan horor yang tak terucap. Sejak kursi itu tiba di rumah Heriyanto, batas antara kenyataan dan dunia lain mulai kabur, menyeretnya ke dalam teror yang akan menguji batas kewarasannya.

Pagi itu, udara di pasar loak pinggiran kota terasa sedikit lembap, namun semangat Heriyanto tak surut. Dengan langkah yang penuh harapan, ia menyusuri lorong-lorong sempit yang ramai, di antara tumpukan barang-barang bekas yang membentuk gunung kecil. Aroma tanah basah bercampur debu dan karat menguar di udara. Heriyanto datang ke sana dengan satu misi penting: mencari sesuatu yang bisa menunjang aktivitasnya sebagai konten kreator.

Selama berbulan-bulan, punggung dan lehernya sering terasa pegal dan kaku. Ini semua karena ia terpaksa bekerja di depan layar komputer selama berjam-jam menggunakan kursi plastik seadanya yang keras dan tanpa sandaran yang layak. Ia tahu betul, untuk bisa fokus menghasilkan konten berkualitas di berbagai platform media seperti YouTube dan TikTok, ia butuh kursi yang nyaman, yang bisa membuatnya betah berlama-lama duduk di depan monitor tanpa disiksa rasa pegal.

Di sudut paling belakang pasar, tersembunyi di balik tumpukan lemari kayu tua dan televisi tabung yang usang, mata Heriyanto tertuju pada sebuah objek yang langsung menarik perhatiannya: sebuah kursi direktur. Kursi itu tampak menonjol di antara barang rongsokan lainnya, seolah memiliki auranya sendiri. Berbahan kulit sintetis berwarna hitam legam, dengan sandaran tinggi yang elegan dan bantalan lengan yang tebal, kursi itu terlihat masih sangat bagus dan empuk. Ketika ia mendekat dan mencoba menggerak-gerakkannya, mekanisme putar dan pengatur tingginya pun masih berfungsi sempurna, tanpa kendala sedikit pun.

"Wah, kursi ini masih bagus sekali Pak. Bekas kantor ya?" tanya Heriyanto pada pedagang yang duduk santai di samping tumpukan barangnya, mengipasi wajahnya dengan majalah bekas. Pedagang itu, seorang pria paruh baya bertopi lusuh dengan kumis tebal, menoleh ke arahnya.

"Betul sekali Mas. Ini bekas kantor besar di pusat kota, gedung tinggi itu lho," jawab pedagang itu, mengangguk perlahan. "Baru saya dapat kemarin dari tukang loak langganan. Mau dijual murah saja Mas. Empuk sekali ini, coba saja Mas duduk. Dijamin nyaman buat kerja berjam-jam Mas," tambahnya, menepuk-nepuk bantalan kursi.

Heriyanto pun mencoba duduk. Rasanya memang luar biasa nyaman. Ia bisa merasakan bantalannya memeluk tubuhnya. Terlena oleh kenyamanan itu, ia semakin tertarik. "Memang harganya berapa Pak?"

"Untuk Mas, kalau mau, lima ratus ribu saja," jawab pedagang itu, tersenyum lebar menampakkan gigi kuningnya.

Heriyanto terkejut. Harga itu jauh di bawah dugaannya. Ia sempat curiga, mengingat betapa bagusnya kondisi kursi itu. "Kenapa murah sekali Pak? Ada cacatnya? Atau rusak di bagian mana?" tanyanya, mencoba mencari tahu, karena harga semewah itu biasanya bisa berkali-kali lipat.

Pedagang itu menggeleng pelan. "Tidak ada Mas. Tidak ada cacatnya sama sekali. Mungkin memang rezeki Mas saja ini. Saya kan juga cuma jual cepat biar dagangan cepat laku. Rezeki Mas ini, sudah jangan banyak tanya," ujarnya sambil terkekeh.

Tanpa pikir panjang, Heriyanto langsung setuju. Ia merasa begitu beruntung, seolah mendapatkan harta karun. Membayangkan bisa mendapatkan kursi direktur semewah itu dengan harga semurah motor bebek bekas, membuatnya diliputi kegembiraan. Ia segera mengeluarkan dompetnya, menyerahkan lembaran uang, lalu dibantu pedagang itu mengangkut kursi ke mobil bak terbuka yang ia sewa khusus. Selama perjalanan pulang, perasaannya begitu gembira, membayangkan betapa nyamannya ia akan bekerja di rumah, mengedit video dan membuat skrip konten dengan kursi barunya itu. Ia tak tahu, sedikit pun tak terbersit dalam benaknya, bahwa ia baru saja membeli sebuah benda yang akan membawa serta kenangan horor yang melekat padanya, sebuah teror yang akan segera mengubah hidupnya.

Kursi direktur yang baru dibeli itu kini tegak berdiri dengan anggun di sudut kamar kerja Heriyanto, tepat di depan meja komputernya. Warnanya yang hitam pekat dan desainnya yang kokoh terlihat gagah dan modern, menciptakan kontras mencolok dengan perabot lain di ruangan itu yang lebih sederhana. Heriyanto tersenyum puas, tatapannya memancarkan kepuasan. Ia segera mengatur posisi monitor dan keyboard agar sesuai dengan ketinggian kursi yang bisa disesuaikan. Semuanya terasa pas, menjanjikan sesi kerja yang produktif.

"Akhirnya punggungku bisa istirahat," gumamnya pelan, meregangkan badan yang pegal setelah berbulan-bulan disiksa kursi plastik. Ia lalu dengan hati-hati mendudukkan dirinya di kursi barunya yang empuk.

Saat ia duduk, bantalan empuk dan sandaran tinggi kursi itu terasa sangat nyaman, memeluk punggungnya dengan sempurna. Ia memutar-mutar kursi ke kiri dan ke kanan, merasakan kebebasan bergerak dan kelancaran mekanismenya. Ini memang investasi yang sangat tepat dan ia merasa sangat beruntung. Malam itu, ia berencana lembur mengerjakan proyek video terbarunya untuk kanal YouTube dan akun TikTok-nya, sebuah serial video ulasan produk teknologi yang sedang naik daun.

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Heriyanto larut dalam pekerjaannya, fokus pada layar monitor yang memancarkan cahaya biru, mengedit video dengan headphone terpasang rapat di telinganya, memblokir suara luar. Tiba-tiba, ia merasakan hembusan udara dingin yang menusuk di belakang lehernya, sebuah sensasi yang aneh karena AC kamarnya tidak menyala dan jendela pun tertutup rapat. Ia mengabaikannya, berpikir mungkin hanya angin dari ventilasi atau perasaannya saja.

Namun, tak lama kemudian, ia merasakan kursi yang ia duduki sedikit bergetar. Awalnya ia berpikir mungkin ia terlalu asyik bergerak atau meregangkan tubuh. Tapi getaran itu terasa seperti dorongan pelan dari belakang, bukan getaran yang dihasilkan oleh gerakannya sendiri. Heriyanto melepas headphone-nya, menoleh ke belakang, ke sandaran kursi yang kosong, tidak ada siapa-siapa. Ia melihat sekeliling ruangan, semuanya normal, lampu-lampu menyala terang.

"Ada apa ini?" gumamnya, sedikit cemas. Ia mencoba mengusir pikiran negatif dan kembali fokus pada layar.

Beberapa menit kemudian, suara derit yang sangat pelan terdengar jelas dari mekanisme kursi. Bukan derit normal karena gesekan roda atau pegas yang sudah tua, melainkan derit seperti ada beban tambahan yang tidak terlihat sedang berpindah posisi di atas kursi. Lalu, ia kembali merasakan hembusan napas dingin di dekat telinganya, kali ini disertai bau obat-obatan yang samar, seperti bau antiseptik rumah sakit bercampur aroma pahit yang tajam dan sedikit apek. Bau itu membuat perutnya sedikit mual.

Heriyanto mulai merasa sangat tidak nyaman. Perasaan menyeramkan merayapi tubuhnya. Ia mencoba berdiri, namun seolah ada sesuatu yang menahannya di kursi, seperti ada tangan tak terlihat yang menekan pundaknya. Ia merasa seperti ada tekanan ringan di bahu kirinya, membuatnya sulit beranjak. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya. Ia memaksa diri untuk berdiri, mengerahkan sedikit tenaga, dan saat ia berhasil, kursi itu berputar pelan dengan sendirinya hingga menghadap ke arah pintu kamar, seolah ada yang baru saja meninggalkannya.

Heriyanto terdiam, mematung di tengah ruangan, napasnya tersengal-sengal. Ia menatap kursi direktur itu dengan pandangan tak percaya, matanya membelalak. Cahaya monitor yang memantul di permukaan kulit kursi menciptakan bayangan-bayangan aneh yang menari-nari. Malam pertamanya dengan kursi baru yang ia kira akan membawa kenyamanan, justru berakhir dengan perasaan takut yang mencengkeram, dan firasat bahwa ia tidak sendirian di kamar itu.

Setelah malam pertama yang menegangkan, Heriyanto mencoba mati-matian untuk bersikap rasional. "Mungkin aku cuma kelelahan, terlalu banyak begadang," pikirnya, mencoba menenangkan diri. Ia bahkan sempat membersihkan seluruh bagian kursi direktur itu, memeriksa setiap baut dan mekanisme untuk memastikan tidak ada kerusakan mekanis yang bisa menyebabkan getaran atau suara aneh. Namun, setiap kali ia duduk di kursi itu, ia merasakan tidak nyaman. Hawa dingin yang aneh itu selalu ada, menyelimuti tubuhnya, dan sesekali ia merasa seperti ada sepasang mata tak terlihat yang mengawasinya dari belakang, membuat bulu kuduknya meremang.

Beberapa hari berlalu, dan kejadian aneh itu bukannya mereda, malah semakin intens. Teror itu seolah mengikuti Heriyanto ke mana pun ia berada di dalam kamar kerjanya. Saat Heriyanto sedang asyik mengedit video atau membuat skrip konten di meja kecilnya, ia akan mendengar suara kursi berderit pelan di sampingnya, padahal ia sedang duduk di kursi lain yang berbeda. Derit itu bukan derit biasa, melainkan seperti suara beban yang berat sedang bergerak di atas kursi, seolah ada yang sedang duduk dan berpindah posisi. Atau terkadang, ia akan melihat bayangan samar melintas cepat di pantulan layar monitornya, tepat di belakang punggungnya, seolah ada seseorang yang berdiri di belakang kursi direktur itu, mengintip setiap gerakannya.

Suatu sore yang cerah, Heriyanto sedang melakukan siaran langsung (live streaming) di salah satu platformnya, membahas tips dan trik editing video. Ia duduk di kursi direktur tersebut, mencoba bersikap santai dan interaktif di depan kamera, menyapa para subscriber-nya. Di tengah asyiknya streaming, ia tiba-tiba merasakan tekanan kuat di bahunya, seolah ada tangan yang tak terlihat sedang menekan tubuhnya, membuatnya sedikit terhuyung. Rasa dingin menjalar dari titik tekanan itu. Ia nyaris berteriak kaget, namun berhasil menahan diri mati-matian demi menjaga profesionalisme di depan penontonnya.

"Maaf, teman-teman, sepertinya ada gangguan teknis sebentar," katanya, mencoba tersenyum canggung ke arah kamera, padahal ia merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Ia menggeser tubuhnya sedikit, mencoba melepaskan tekanan itu, namun tekanan itu tak hilang, justru terasa semakin kuat, seperti cengkeraman.

Kemudian, di salah satu sudut bingkai kamera, di belakang bahunya, Heriyanto melihatnya. Sebuah bayangan samar yang awalnya transparan, kini terlihat lebih jelas, membentuk sosok manusia yang sedang duduk di kursi direktur itu, tepat di sebelahnya, seolah ikut menemaninya siaran langsung. Bayangan itu transparan, namun bentuknya jelas: kepala yang tertunduk lesu, bahu yang merosot lunglai, dan aura kesedihan yang kuat terpancar darinya. Dan, ia bersumpah, ia melihat warna biru kehitaman yang mengerikan di bibir bayangan sosok itu, seperti bibir orang yang kedinginan atau kehabisan napas.

Heriyanto langsung mematikan live streaming-nya tanpa peringatan, dengan alasan pura-pura ada masalah jaringan yang mendadak. Ia menatap kursi itu dengan napas tersengal, tubuhnya bergetar hebat. Tidak ada keraguan lagi di benaknya. Jelas sekali, itu adalah penampakan hantu. Sosok itu seolah terus mengawasinya, dan kini, seolah ingin menunjukkan kehadirannya lebih nyata, lebih dekat, untuk memberikan pesan yang tak terucap. Ia merasakan hawa dingin yang luar biasa menjalari seluruh tubuhnya, dari ujung kaki hingga kepala, seolah ia berada di tengah kuburan. Ia tak sanggup lagi mengabaikan teror ini. Ia harus segera mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh "penghuni" kursi tersebut.

Ketakutan Heriyanto memuncak. Setelah penampakan sosok di kamera, ia tahu ia tak bisa lagi mengabaikan semua kejadian aneh ini. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia tak bisa lagi tidur di kamar kerjanya, bahkan seringkali ia terbangun di tengah malam dengan rasa tercekik yang nyata dan bau obat-obatan yang kuat memenuhi hidungnya, seolah baru saja terbangun dari mimpi buruk yang sangat nyata.

Dengan keberanian yang tersisa, ia memutuskan untuk mencari informasi tentang asal-usul kursi direktur itu. Ia kembali ke pasar loak yang ramai, berharap menemukan pedagang yang menjual kursi tersebut. Sayangnya, pedagang itu sudah tidak ada di lapaknya, mungkin sedang libur atau sudah pindah tempat. Namun, Heriyanto tak menyerah. Ia bertanya pada seorang pedagang lain yang lebih tua dan sudah lama berjualan di sana, yang kebetulan mengenal pedagang kursi itu.

"Oh, kursi itu ya Mas? Yang hitam besar itu?" tanya pedagang tua itu, sambil mengernyitkan dahi. "Itu bekas dari kantor perusahaan multinasional yang di jalan besar dekat jembatan itu. Dulu pernah heboh sekali Mas, karena direktur mereka meninggal di kursi itu." Suaranya pelan, seolah takut didengar orang lain.

Jantung Heriyanto berdegup kencang, darahnya berdesir dingin. Sebuah firasat buruk merayapinya. "Meninggal bagaimana Pak?" tanyanya, suaranya tercekat.

Pedagang tua itu menghela napas. "Bunuh diri Mas. Overdosis obat-obatan. Kabarnya, dia stres berat karena masalah perusahaan yang sedang collapse, tekanan kerja yang luar biasa. Ditemukan sudah kaku di kursi itu, masih mengenakan pakaian kantor lengkap. Kejadiannya sudah sekitar lima tahun lalu, tapi sempat jadi omongan banyak orang di kalangan pedagang sini Mas," jelas pedagang itu, mengedikkan bahu. "Makanya kursi itu cepat-cepat dijual oleh kantornya, dibersihkan habis-habisan, tapi ya tetap saja... ada saja yang bilang angker Mas. Sering ada cerita aneh-aneh dari pembeli selanjutnya."

Heriyanto terdiam, mematung. Semua potongan puzzle di benaknya kini tersambung dengan sempurna. Kursi itu adalah kursi kematian. Hawa dingin yang selalu ia rasakan, bau obat-obatan yang menusuk hidung, sosok yang menunduk dengan bahu merosot, bibir kebiruan yang ia lihat di cermin monitor. Itu semua adalah arwah sang direktur yang bunuh diri, terperangkap di kursi yang menjadi saksi bisu kematian tragisnya. Rasa kasihan dan ngeri bercampur aduk di dalam dirinya.

Sejak mengetahui kebenaran itu, teror yang dialami Heriyanto semakin gila, seolah arwah itu kini merasa "dikenali" dan ingin menunjukkan kehadirannya lebih intens. Setiap malam, terutama setelah lewat tengah malam, kursi itu akan berputar dan berderit sendiri dengan keras, seolah ada yang sedang duduk dan bergerak-gerak gelisah di atasnya. Kadang terdengar seperti orang yang sedang gelisah, menggeser pantat, atau menghentakkan kaki. Terkadang, ia mendengar suara rintihan pelan dari arah kursi, seperti suara orang kesakitan atau menangis dalam diam. Yang lebih mengerikan, sesekali ia mendengar bisikan kata-kata yang tak jelas, namun terdengar putus asa dan penuh penyesalan, "Sialan... tak berguna... hancur...".

Puncaknya, suatu malam, saat Heriyanto sedang tidur pulas di kamarnya, ia terbangun tiba-tiba karena merasakan tekanan berat yang luar biasa di dadanya, seolah ada beban tak terlihat yang menindihnya hingga sulit bernapas. Ia membuka mata dengan susah payah, dan dalam kegelapan yang remang-remang, ia melihat sosok samar berbaju jas lengkap sedang duduk di dadanya, seperti bayangan yang menghimpitnya. Wajahnya menunduk, rambutnya acak-acakan menutupi sebagian wajah. Bibirnya terlihat kebiruan, pucat dan gelap, seperti orang yang kekurangan oksigen atau keracunan. Sosok itu perlahan mengangkat wajahnya, menatap Heriyanto dengan mata kosong yang dipenuhi kesedihan dan keputusasaan yang tak terhingga, sebuah pandangan yang membuat Heriyanto merinding hingga ke sumsum tulang. Dan ia mendengar bisikan yang sangat jelas, menusuk gendang telinganya, "Kenapa... kau... tinggalkan aku... sendiri..."

Heriyanto menjerit sekuat tenaga, suaranya serak dan tercekat di tenggorokan, lalu terbangun dengan napas terengah-engah, jantungnya berdebar kencang seolah akan melompat keluar dari dada. Ia merasakan bekas tekanan yang begitu nyata di dadanya. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Itu bukan mimpi. Itu adalah kenyataan yang mengerikan. Ia tidak bisa lagi bertahan di rumah itu dengan kursi sialan itu. Kursi itu harus pergi. Segera.

Setelah malam puncak yang mengerikan, di mana sosok tak kasat mata itu muncul begitu nyata di atas dadanya, Heriyanto tidak bisa lagi mentolerir keberadaan kursi direktur itu di rumahnya. Rasa takut yang mencengkeram bercampur dengan kekhawatiran mendalam akan keselamatan keluarganya. Ia memiliki anak kecil yang terkadang masuk ke ruang kerjanya untuk bermain, dan membayangkan anaknya terpapar teror itu adalah hal yang paling ia takuti. Ia tak peduli lagi dengan kerugian uang yang harus ditanggungnya; yang terpenting adalah kedamaian batin dan keamanan keluarganya.

Dengan sisa keberanian yang ia miliki, Heriyanto memutuskan untuk menyingkirkan kursi direktur tersebut secepatnya. Awalnya, ia mencoba menghubungi beberapa kenalan dan mencoba menjualnya kembali secara online, memotretnya dari berbagai sudut dan menulis deskripsi yang menarik. Namun, tak ada satu pun pembeli yang tertarik, bahkan setelah ia menurunkan harganya berkali-kali. Seolah ada aura tak nyaman yang terpancar dari kursi itu, membuat siapa pun yang melihat iklannya enggan mendekat. Ponselnya sepi, tak ada notifikasi pembeli.

"Sepertinya kursi ini memang tidak mau pergi dengan cara normal," gumam Heriyanto pasrah. Akhirnya, ia memutuskan untuk membawa kembali kursi itu ke pasar loak tempat ia membelinya, berharap pedagang yang dulu menjualnya mau mengambilnya kembali.

Pagi-pagi sekali, sebelum pasar loak benar-benar ramai, Heriyanto sudah tiba di sana dengan mobil bak terbuka sewaan yang sama. Ia segera mencari lapak pedagang yang dulu menjual kursi itu. Kebetulan, pedagang itu sedang duduk santai, menyesap kopi dan membaca koran lama.

"Pak, selamat pagi," sapa Heriyanto, suaranya sedikit gemetar namun berusaha terdengar tenang. Ia menunjuk ke kursi direktur yang sudah diturunkan dari mobil bak. "Kursi ini... saya kembalikan."

Pedagang itu mengangkat alisnya, lalu menatap Heriyanto dengan senyum samar, seolah sudah menduga hal ini akan terjadi. Tatapannya seolah mengatakan, "Sudah kuduga kau akan kembali." Ia meletakkan korannya. "Lho, kenapa Mas? Tidak nyaman ya? Padahal kemarin Mas kelihatan senang sekali," tanyanya, nada suaranya sedikit mengejek.

Heriyanto menghela napas panjang. Ia tidak ingin menceritakan pengalaman horornya secara detail. Ia tahu pedagang seperti ini mungkin sudah sering mendengar cerita serupa, atau bahkan sengaja menjual barang-barang seperti itu. "Iya Pak. Sepertinya tidak cocok dengan saya, entah kenapa kok kurang pas saja," Heriyanto mencoba mencari alasan yang paling masuk akal. "Mungkin ada pembeli lain yang lebih butuh dan lebih cocok dengan kursi ini."

Pedagang itu mengangguk-angguk. "Ya sudah, kalau begitu saya ambil lagi. Tapi harganya tidak bisa sama ya Mas. Barang sudah dipakai, sudah pernah keluar dari lapak saya," tawarnya, jelas ingin mengambil keuntungan.

Heriyanto mengangguk cepat, bahkan tanpa memikirkan harga. "Tidak apa-apa Pak. Berapa pun saya terima. Yang penting kursi ini bisa pergi dari rumah saya. Saya sudah tidak tahan lagi," katanya jujur, nada keputusasaan jelas terasa.

Akhirnya, kursi direktur itu dibeli kembali oleh pedagang dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan saat Heriyanto membelinya. Hanya seratus lima puluh ribu rupiah, jauh dari harga awalnya. Heriyanto tidak peduli sama sekali. Ia merasa lega luar biasa saat kursi itu diangkut kembali ke dalam tumpukan barang bekas, seolah beban berton-ton terangkat dari pundaknya. Ia membayar sopir mobil bak, lalu bergegas pulang dengan perasaan damai yang sudah lama tidak ia rasakan.

Sejak kursi itu pergi, teror di rumah Heriyanto berhenti total. Tidak ada lagi hawa dingin yang aneh, tidak ada lagi bau obat yang menusuk hidung, tidak ada lagi derit kursi yang bergerak sendiri, apalagi penampakan sosok menyeramkan di tengah malam. Malam-malamnya kini diisi dengan ketenangan, dan ia bisa kembali fokus pada pekerjaannya sebagai konten kreator dengan kursi lamanya yang sederhana, atau bahkan duduk di lantai sekalipun. Ia tidak lagi peduli dengan kenyamanan fisik yang dulu ia cari mati-matian, yang terpenting baginya adalah kenyamanan batin dan kedamaian di rumahnya.

 

Pengalaman horor dengan kursi direktur berhantu itu menjadi pelajaran tak terlupakan bagi Heriyanto. Ia kini lebih berhati-hati dalam membeli barang bekas, terutama yang memiliki "sejarah" yang tidak jelas. Ia masih menjadi content creator yang sukses, namun ia tak pernah lagi mencari kenyamanan berlebihan dari benda mati. Baginya, ketenangan jiwa jauh lebih berharga daripada kursi paling empuk sekalipun.

Kisah tentang direktur yang bunuh diri di kursi itu, dan teror yang ditimbulkannya, akan selalu menjadi bagian dari ingatannya. Sebuah pengingat bahwa terkadang, barang-barang yang kita anggap tak bernyawa bisa menyimpan energi dan kenangan yang kuat, menunggu untuk dilepaskan. Heriyanto kini menjalani hidupnya dengan lebih bersyukur, dan selalu memastikan bahwa ruang kerjanya—dan rumahnya—bebas dari jejak-jejak masa lalu yang kelam.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG