#49 SUNGAI ANGKER
SUNGAI ANGKER.
Di kampung kami, setiap sore adalah ritual. Sebuah
lapangan bola tanah berdebu di pinggir kampung, yang langsung berbatasan dengan
rimbunnya hutan dan sungai angker, selalu menjadi saksi bisu tawa dan teriakan
anak-anak. Aku, Upis, adalah salah satu dari sekian banyak anak laki-laki yang
hidup untuk sepak bola. Dan selalu bersamaku, ada adik laki-lakiku, Ipis.
Kami tumbuh besar dalam bayang-bayang kepergian
Bapak yang terlalu cepat. Sejak itu, hanya aku dan Ipis yang mengisi rumah
kecil kami, bersama Ibu yang berjuang keras menghidupi kami berdua. Meski
begitu, kehidupan kami penuh dengan bumbu pertengkaran khas kakak-beradik.
Rebutan makanan, saling goda, hingga adu argumen sengit tentang siapa yang
lebih jago bermain bola. Ipis, dengan segala kecerobohan dan kenakalannya,
selalu berhasil membuatku jengkel. Tapi di balik semua itu, ada ikatan tak
terlihat yang mengikat kami, sebuah ikatan yang jauh lebih kuat dari sekadar
pertengkaran sehari-hari. Dia adalah satu-satunya adikku, darah dagingku,
belahan jiwaku yang lain.
Sore itu, semua terasa normal. Suara bola beradu
dengan kaki, teriakan gol, dan ledekan antar tim memenuhi udara. Namun, siapa
sangka, sore yang biasa itu akan berubah menjadi titik balik dalam hidup kami.
Sebuah tendangan bola, yang terlalu kencang, yang terlalu jauh, akan membawa
Ipis ke dalam dimensi lain. Ke sebuah tempat yang tak seharusnya ia kunjungi.
Ke sebuah pertemuan yang tak seharusnya terjadi.
Dan ketika Ipis kembali, ia membawa serta sebuah
rahasia. Sebuah kehadiran yang asing, sebuah tatapan yang kosong, yang
membuatku bertanya-tanya: Apakah Ipis yang pulang itu, benar-benar Ipis adikku?
Atau adakah sesuatu yang lain, yang jauh lebih menyeramkan, telah mengambil
alih tubuhnya? Aku tidak tahu, tapi aku merasa, hidupku, dan hidup Ipis, baru
saja dimulai dalam sebuah kengerian yang tak terbayangkan.
Lapangan
bola di pinggir kampung kami selalu ramai. Setiap sore, selepas asar hingga
matahari tergelincir di ufuk barat, gemuruh tawa dan teriakan anak-anak laki-laki
dari berbagai usia memenuhi udara. Mereka berkumpul, menendang bola kulit yang
sudah lusuh hingga senja tiba, terkadang bahkan hingga magrib. Aku, Upis,
adalah salah satu pemain tetap di antara mereka. Aku punya seorang adik
laki-laki, Ipis, yang tingginya sebahu dan usianya dua tahun di bawahku.
Dia juga selalu ikut bermain, tak pernah absen.
Kami
berdua, meski terikat darah sebagai saudara kandung, sering sekali tidak akur.
Ada saja yang diperdebatkan, dari rebutan bola saat di rumah sampai siapa yang
lebih jago mencetak gol di lapangan. Saling ledek, saling dorong kecil, dan
protes keras sudah jadi makanan sehari-hari. "Upis, curang! Itu tadi handball!"
Ipis sering memprotes keputusanku di lapangan, padahal jelas-jelas tidak. Aku
akan membalasnya dengan ledekan tak kalah pedas. "Makanya Pis, latihan
yang benar biar bisa nendang bola, jangan cuma protes saja!" Tapi di balik
itu semua, ada ikatan kuat yang tak terucapkan.
Sore
itu, pertandingan sedang seru-serunya. Aku dan Ipis berada dalam satu tim,
melawan tim anak-anak yang lebih tua. Kami berjuang mati-matian. Ipis, dengan
semangatnya yang meluap-luap dan wajahnya yang memerah karena terlalu
bersemangat, mendapatkan bola. Ia menggiringnya cepat, lalu melayangkan
tendangan keras ke arah gawang lawan. Namun, tendangannya terlalu kuat, meleset
dari sasaran. Bola itu meluncur cepat, melewati batas lapangan yang berupa
gundukan tanah, dan menggelinding deras menuju tepi sungai angker yang
membatasi lapangan dengan hutan kecil di belakangnya.
Suasana
langsung hening. Sungai itu, bagi kami anak-anak kampung, lebih dari sekadar
pembatas alam. Sungai itu terkenal angker di kalangan warga kampung.
Banyak cerita mistis beredar tentang penampakan makhluk aneh, suara-suara
misterius, dan kejadian orang hilang tanpa jejak di sana. Kami dilarang keras
bermain terlalu dekat dengannya, apalagi menceburkan diri.
Semua
anak terdiam, menatap bola yang terhenti tepat di bibir sungai. Aturan tak
tertulis di antara kami adalah: siapa yang menendang bola terlalu jauh hingga
ke sungai, dia yang harus mengambilnya. Itu adalah wujud tanggung jawab
yang tak bisa ditawar. Dan kali ini, giliran Ipis.
"Ipis,
ambil bolanya!" teriak Roni, salah satu teman tim kami, sedikit
memerintah.
Ipis
menoleh ke arah sungai, wajahnya cemberut dan pucat. Dia terlihat menelan
ludah, jelas ada keraguan di matanya. Tapi dia mengangguk, lalu berjalan pelan
dan enggan menuju tepi sungai. Aku melihatnya, langkahnya hati-hati, seolah
setiap pijakan terasa berat. Aku sendiri merasakan sedikit khawatir yang
menusuk. Meskipun kami sering bertengkar dan beradu mulut, dia tetap adikku,
satu-satunya keluargaku yang tersisa selain Ibu.
Kami
semua menunggu di pinggir lapangan, tegang. Satu menit berlalu, dua menit, tiga
menit... Ipis tidak muncul. Keheningan mulai menyelimuti lapangan yang
tadinya riuh. Tawa dan teriakan yang riang kini lenyap, digantikan kecemasan
yang perlahan merayap. Burung-burung pun seolah ikut diam, tak ada suara selain
deru angin semilir.
"Kok
Ipis lama sekali?" gumamku pada diriku sendiri, perasaanku mulai tak enak.
Perasaan tidak nyaman itu semakin kuat.
"Ayo
kita lihat!" ajak Doni, yang paling berani di antara kami.
Semua
anak mulai bergerak, mendekati lokasi bola. Kami melangkah hati-hati, dengan
perasaan was-was. Saat kami sampai di tepi sungai, dan kami melihatnya. Bola
tergeletak di tepi sungai, hanya beberapa jengkal dari air yang mengalir
tenang. Bola itu seolah menunggu pemiliknya. Namun, sosok Ipis tidak
ditemukan. Dia hilang begitu saja, seperti ditelan bumi. Tidak ada jejak kaki,
tidak ada suara, hanya keheningan.
"IPISS!"
teriakku, suaraku tercekat di tenggorokan, pecah menjadi sebuah tangisan. Aku
berlari ke tepi sungai, mataku menyapu setiap inci area itu, ke semak-semak di
sekitarnya, ke permukaan air yang tampak tak beriak, berharap melihatnya muncul
dari balik pepohonan.
"IPIS!
KAU DI MANA?! JAWAB KAMI!" teriak teman-teman yang lain, ikut panik,
memanggil namanya berulang kali. Suara kami memantul di antara pepohonan rimbun
yang gelap. Kami mencari di balik semak-semak yang lebat, di bawah pohon-pohon
besar yang akarnya mencengkeram tanah, bahkan di pinggir sungai yang dangkal.
Namun, Ipis tetap tidak ditemukan. Tidak ada jejak, tidak ada petunjuk. Air
sungai terlihat tenang, seolah tak ada yang pernah jatuh ke dalamnya, seolah
Ipis tak pernah ada di sana.
Air
mata mulai mengalir deras di pipiku, membasahi wajahku yang kotor oleh debu
lapangan. Aku menangis sejadi-jadinya, isak tangis yang menyesakkan dada.
Adikku, yang biasanya selalu bersamaku, yang selalu mengisi hari-hariku dengan
ledekan dan tawa, kini menghilang begitu saja di sungai angker itu. Rasa sesal
yang mendalam mulai menghantuiku. Kenapa aku tidak ikut menemaninya? Kenapa aku
membiarkannya pergi sendirian ke tempat menyeramkan itu? Seharusnya aku yang
mengambil bola itu.
Ketakutan
dan kepanikan semakin memuncak seiring waktu. Kami segera melaporkan kejadian
itu kepada orang dewasa di kampung. Tak lama kemudian, warga kampung mulai
berdatangan, membawa obor dan senter, melakukan pencarian besar-besaran di
sekitar sungai dan hutan. Aku ikut mencari, memanggil nama Ipis hingga suaraku
serak. Namun, hingga malam menjelang, hingga bulan menggantung tinggi di
langit, Ipis tetap tak ditemukan. Rumah kami, yang biasanya diisi celotehan dan
tawa Ipis, kini terasa begitu hampa dan gelap, diselimuti kesedihan yang
mencekam. Aku hanya bisa menangis dalam diam, berharap ini semua hanya mimpi
buruk yang akan segera berakhir saat aku terbangun. Namun, hati kecilku tahu,
ini adalah kenyataan yang pahit.
Malam itu, adalah
malam terpanjang dan tergelap dalam hidupku. Setiap detik terasa seperti
berjam-jam. Seluruh warga kampung, dengan semangat gotong royong, ikut mencari
Ipis hingga larut malam. Lampu senter yang mereka bawa menyorot ke segala arah
di sepanjang sungai, membelah kegelapan malam. Suara teriakan memanggil nama
Ipis terus bergema di hutan dan sawah, menyatu dengan suara jangkrik yang lebih
nyaring dari biasanya. Aku sendiri tak henti-hentinya berdoa, memohon kepada
Tuhan agar adikku ditemukan dalam keadaan selamat, tanpa kurang suatu apa pun.
Bapak sudah tiada, dan kini Ipis... Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku
akan hidup sebatang kara, tanpa kehadirannya yang kadang menjengkelkan namun
juga tak tergantikan.
Sekitar pukul
sebelas malam, saat keputusasaan mulai merangkul kami semua, dan udara malam
terasa semakin dingin menusuk tulang, sebuah keajaiban terjadi. Salah
satu tetangga kami, Pak RT, yang sedang memimpin pencarian di dekat
jalan setapak menuju rumah, berteriak dari depan rumah kami. Suaranya penuh
kegembiraan dan lega. "Upis! Upis! Ipis sudah pulang!"
Mataku yang
sembab dan lelah langsung membelalak lebar. Jantungku berdebar tak karuan. Aku
segera berlari ke depan, tanpa memedulikan kaki telanjangku yang menginjak
tanah. Dan benar saja. Di depan pintu rumah, berdiri Ipis. Dia terlihat
sedikit basah di bagian ujung celana dan kausnya, pakaiannya sedikit kotor oleh
tanah dan dedaunan, tapi dia berdiri tegak, tanpa luka sedikit pun di tubuhnya.
Wajahnya sedikit pucat, namun dia tersenyum tipis, sebuah senyum yang terasa
begitu melegakan.
"Ipis!"
teriakku, segera menerjang dan memeluknya erat-erat. Aku menangis lagi, kali
ini bukan tangisan kesedihan, melainkan tangisan lega dan haru yang membanjiri
wajahku. "Kau dari mana saja? Kami semua khawatir setengah mati! Ke mana
saja kau ini Adik?!"
Ipis hanya
membalas pelukanku dengan lemah, tangannya tidak melingkar erat seperti biasa.
"Aku... aku hanya tersesat Kak," jawabnya dengan suara pelan dan agak
serak. "Tadi aku ketiduran di semak-semak dekat sungai, jadi tidak dengar
kalian memanggil."
Meskipun
penjelasannya terdengar aneh dan tidak sepenuhnya masuk akal – siapa yang bisa
tidur nyenyak di semak-semak dekat sungai angker di tengah malam? – kami semua
terlalu lega dan bahagia untuk menanyakannya lebih lanjut. Ibu, di alam sana,
pasti ikut bahagia melihat anak bungsunya selamat. Warga kampung yang tadinya
panik dan cemas, kini merasa senang dan lega karena Ipis tidak kenapa-kenapa.
Mereka bubar satu per satu, meninggalkan kami dalam kehangatan rumah yang
kembali terasa utuh, setidaknya untuk sesaat.
Namun, kelegaan
itu perlahan memudar seiring berjalannya hari. Sejak kepulangannya, ada yang
aneh dengan tingkah laku Ipis. Perubahan itu terjadi secara perlahan,
hampir tak terasa pada awalnya, namun lama-kelamaan menjadi semakin jelas dan
mengkhawatirkan, seperti noda tinta yang perlahan menyebar di kain putih.
Pertama, Ipis
yang biasanya cerewet, suka bercanda, dan tak pernah lelah berdebat denganku
tentang hal-hal sepele, kini menjadi sangat pendiam. Dia lebih suka mengurung
diri di kamarnya terus-menerus. Pintu kamarnya selalu tertutup, seolah dia
ingin mengasingkan diri dari dunia luar. Dia tidak lagi mau bermain bola di
lapangan, bahkan ketika teman-temannya datang mengajaknya dengan antusias.
"Ipis! Ayo
main bola! Lapangan sudah ramai nih!" teriak Roni dari depan rumah suatu
sore.
Ipis hanya akan
menoleh sebentar dari balik jendela kamarnya, lalu kembali masuk. "Tidak,
aku malas," jawabnya singkat dan dingin, tanpa keluar menemui mereka.
Dia juga sering menolak
makan bersama, padahal dulu dia paling suka kalau ada masakan enak dari
Ibu. Dulu dia bisa makan dua piring nasi dengan lauk apa saja. Kini, ia hanya
menyentuh makanannya sedikit, atau bahkan tidak sama sekali.
"Ipis, ayo
makan! Sudah Kakak siapkan makanan kesukaanmu nih!" panggilku suatu sore,
saat aroma ikan bakar menyebar di dapur.
"Nanti saja
Kak," jawabnya singkat dari balik pintu kamar yang tertutup rapat, tanpa
ada nada ketertarikan.
Ketika dia keluar
dari kamarnya – yang sangat jarang terjadi – dia hanya akan berbicara
sepatah dua patah kata, seperlunya saja. Obrolan kami yang dulu penuh tawa,
saling ledek, dan cerita petualangan sehari-hari, kini menjadi hambar, penuh
keheningan canggung yang menyesakkan. Dia seperti menarik diri dari dunia luar,
menciptakan dinding tak terlihat di sekelilingnya, membuatku merasa semakin
sendirian di rumah ini.
Yang paling
mengkhawatirkan adalah pandangan matanya. Mata Ipis yang dulu selalu
berbinar ceria dan penuh semangat masa kecil, kini sering terlihat kosong
dan hampa, seolah tidak ada kehidupan di dalamnya. Seperti sepasang mata
boneka kaca. Wajahnya juga sering terlihat pucat pasi, meskipun dia
tidak sakit atau demam. Dia seperti boneka yang hidup, bergerak dan berbicara,
tapi tanpa emosi, tanpa ekspresi jiwa. Senyumnya pun terasa aneh, kaku, dan
tidak tulus.
"Ipis, kau
baik-baik saja?" tanyaku suatu malam, mencoba meraih bahunya, ingin
memastikan dia baik-baik saja.
Ipis hanya
menatapku dengan tatapan kosong itu, tanpa berkedip. Tidak ada kilatan emosi di
matanya. Lalu dia mengangguk pelan tanpa ekspresi. "Aku baik-baik saja
Kak. Jangan khawatir."
Perasaan aneh dan
tidak nyaman mulai menyelimutiku. Ini bukan Ipis adikku. Ada yang salah. Aku
mulai curiga, tapi tak berani mengungkapkan ketakutan yang merayap di benakku.
Aku mencoba menepis pikiran-pikiran buruk itu. Mungkin dia masih trauma dengan
kejadian di sungai. Ya, pasti itu. Dia hanya butuh waktu untuk pulih. Aku harus
lebih bersabar, meyakinkan diriku sendiri.
Tapi suatu malam,
saat aku terbangun karena suara langkah kaki yang pelan di ruang tengah, aku
melihat Ipis berjalan menuju dapur, mungkin untuk minum. Dia tidak menyadari
kehadiranku, atau mungkin dia tidak peduli. Aku melihat punggungnya, lalu
sebuah detail kecil membuat darahku berdesir dingin, membuatku berhenti
bernapas sesaat. Ada noda lumpur kering samar-samar di bagian belakang
celana Ipis, tepat di dekat mata kaki. Lumpur itu persis sama dengan lumpur
yang ada di tepi sungai angker itu, lumpur yang dulu menempel di sepatu kami
saat bermain bola. Dan seingatku, Ipis sudah mandi bersih dan mengganti bajunya
dengan pakaian rumah setelah pulang malam itu. Bagaimana mungkin masih ada
lumpur di sana?
Aku mulai
bertanya-tanya, apakah Ipis yang pulang malam itu... adalah Ipis yang
sesungguhnya? Atau ada sesuatu yang lain, sesuatu yang mengerikan, yang
telah kembali bersamanya? Ketakutan baru mulai merayap, jauh lebih menyeramkan
dari sekadar kehilangan. Aku merasa, rahasia gelap tentang kepulangan Ipis akan
segera terungkap, dan itu akan mengubah segalanya.
Kecurigaanku
tentang noda lumpur yang samar di celana Ipis membuatku gelisah sepanjang
malam. Pikiranku terus berputar tak karuan, mencoba mencari penjelasan logis
untuk setiap keanehan yang kulihat. Tapi semakin kupikirkan, semakin banyak
ketidakwajaran yang muncul dari tingkah laku Ipis sejak dia pulang dari sungai
itu. Sikapnya yang tiba-tiba pendiam, tatapan matanya yang kosong tanpa
ekspresi, keengganannya untuk bermain, dan kini noda lumpur yang misterius
itu... semuanya terasa janggal, seperti ada bagian dari puzzle yang
hilang. Tidurku tak nyenyak sama sekali; setiap desahan angin, setiap suara
jangkrik, seolah membisikkan kemungkinan terburuk.
Keesokan harinya,
aku memutuskan untuk mengamati Ipis lebih dekat, mencari petunjuk, atau
setidaknya memancingnya untuk bercerita. Aku sengaja mengajaknya mengobrol,
mencoba bersikap senormal mungkin, meskipun hatiku terasa dingin.
"Ipis,"
kataku saat kami sarapan, mencoba bersikap santai sambil menyendok nasi ke
piringku. "Ceritakan lagi dong, waktu itu kamu tersesat di mana sampai
bisa ketiduran di semak-semak dekat sungai?" Aku menatapnya, berharap
melihat kilatan emosi atau memori di matanya.
Ipis hanya
mengangkat bahu, mengaduk-aduk nasi di piringnya dengan sendoknya, tanpa
menatapku. "Sudahlah Kak. Aku juga tidak ingat jelas. Pokoknya aku jalan
terus, lalu capek, terus ketiduran." Nada suaranya datar, tanpa emosi
sedikit pun, seperti robot yang berbicara.
"Tapi, kan,
di sana gelap sekali Pis," aku mencoba lagi, bersikeras. "Di dekat
sungai itu banyak pohon besar dan semak belukar. Apa kamu tidak takut tidur di
sana sendirian? Itu kan tempat angker."
Dia akhirnya
menatapku, tapi tatapan matapan matanya tetap kosong itu, lalu tersenyum tipis.
Senyum yang terasa dingin, kaku, dan tidak seperti senyum Ipis yang kukenal.
"Untuk apa takut Kak?"
Jawaban itu
membuatku merinding. Ipis yang kukenal adalah anak yang paling penakut di
antara kami. Jangankan tidur di semak belukar gelap, pergi ke kamar mandi
sendirian di malam hari saja dia harus mengajakku. Perubahan ini terlalu
drastis, terlalu cepat.
Beberapa hari
berikutnya, aku semakin yakin ada yang tidak beres. Ipis yang dulu lahap
menyantap masakan Ibu, kini jarang sekali makan. Jika makan pun,
porsinya sangat sedikit, hanya mengunyah beberapa suap lalu pergi. "Sudah
kenyang," katanya singkat, padahal perutnya dulu seperti tong tanpa dasar.
Dia juga tidak pernah mau disentuh, selalu menghindar secara refleks jika aku
mencoba memeluknya, menepuk bahunya, atau sekadar mengacak rambutnya seperti
biasa. Jika tidak sengaja bersentuhan, kulitnya terasa dingin, seperti
bukan kulit manusia normal yang hangat. Rasanya seperti menyentuh benda mati.
Dan yang paling
menyeramkan, aku mulai mencium bau tanah basah yang pekat dan aroma melati
samar-samar setiap kali Ipis berada di dekatku, terutama saat malam hari.
Bau itu persis sama dengan bau yang sering tercium di sekitar sungai angker
itu, bau yang selalu membuatku merasa tak nyaman.
Suatu malam, aku
tak bisa lagi menahan kecurigaan dan ketakutanku. Setelah Ipis masuk ke
kamarnya, aku perlahan mendekati pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Aku
mendengar gumaman pelan dari dalam, bukan suara Ipis yang kukenal, bukan
pula suaraku atau suara Ibu. Itu adalah gumaman berat, seperti suara seorang
pria yang sedang bergumam. Aku mengintip dari celah pintu yang sempit. Aku
melihat Ipis duduk di pojok kamar, menghadap dinding yang gelap, sedang
menggumamkan sesuatu yang tak jelas, seperti mantra atau doa-doa aneh. Wajahnya
terlihat semakin pucat di bawah cahaya lampu tidur yang redup, dan kulitnya
tampak seperti berlapiskan abu.
Aku memberanikan
diri, mendorong pintu hingga terbuka lebih lebar. "Ipis, kamu bicara
dengan siapa?" tanyaku, suaraku sedikit lebih keras dari bisikan.
Ipis tersentak,
lalu menoleh ke arahku dengan tatapan kosong yang menusuk, membuatku seolah
terpaku di tempat. Wajahnya terlihat aneh, sedikit membengkak, dan matanya
cekung, benar-benar tidak seperti wajah adikku yang kukenal. Ada senyum
tipis yang kaku di bibirnya, namun matanya sama sekali tidak menunjukkan
kehangatan atau pengenalan. "Aku... aku bicara sendiri Kak,"
jawabnya, suaranya terdengar serak dan dalam, bukan suara Ipis yang nyaring.
Seketika itu
juga, hawa dingin langsung menyelimuti seluruh ruangan, seolah suhu
udara mendadak turun drastis. Aku bisa merasakan perbedaan aura yang kuat, sebuah
kehadiran yang berat dan menekan. Ini bukan Ipis. Adikku sudah tidak ada di
dalam tubuh itu.
Aku melangkah
mundur perlahan, setiap langkah terasa berat, kakiku gemetar tak terkendali.
"Kamu... kamu bukan Ipis kan?" suaraku bergetar, hampir tidak keluar.
Sosok itu tidak
menjawab dengan kata-kata. Senyumnya semakin lebar, namun matanya tetap kosong,
tanpa sepercik pun cahaya kehidupan. Lalu, perlahan, di depan mataku yang
terbelalak ngeri, sosok itu mulai berubah. Kulitnya terlihat semakin
pucat, pucat pasi seperti mayat. Tubuhnya perlahan memanjang dan menipis,
seolah ditarik ke atas. Pakaian Ipis yang ia kenakan mulai robek dan melebur,
digantikan oleh cincin-cincin kain putih kusam yang membelit tubuhnya,
menutupi seluruh tubuh dari kepala hingga kaki, seperti kain kafan yang basah.
Rambutnya memanjang terurai, berwarna hitam pekat, namun wajahnya tetap samar,
ditutupi oleh kain yang membelit. Wujud Ipis yang kukenal perlahan memudar,
digantikan oleh sosok pocong yang mengerikan, berdiri tegak di pojok
kamar.
Darahku berdesir
dingin, membekukan setiap sendi. Rasa takut yang murni dan mengerikan
membekukan tubuhku. Ini adalah hantu pocong! Dia tidak hanya menghantui
rumah ini, tapi dia telah merasuk ke dalam tubuh adikku! Atau mungkin,
yang pulang malam itu memang bukan Ipis sama sekali, melainkan pocong itu yang
menyamar dengan rupa Ipis.
Sosok pocong itu,
kini berdiri menjulang di depan mataku, hanya menatapku dengan tatapan kosong
dari balik balutan kain kafan, senyumnya tetap tipis, sebuah senyum mengerikan
tanpa emosi. Ia tidak berbicara dengan mulutnya, namun aku bisa merasakan bisikan
lirih yang sangat jelas bergaung di kepalaku, seolah langsung dari dalam
pikiranku: "Dia... bersamaku... dia kesepian... kami... sekarang tidak
sendiri... dia akan menemaniku selamanya..."
Aku berteriak
histeris, sebuah jeritan panjang yang memilukan, melangkah mundur hingga
punggungku membentur dinding koridor dengan keras. Aku tak percaya dengan apa
yang kulihat. Adikku... Ipis... telah digantikan oleh arwah ini. Teror ini
bukan lagi tentang hantu yang menampakkan diri, tapi tentang kehilangan yang
jauh lebih menyakitkan, sebuah penculikan jiwa yang kejam.
Aku harus menemukan
Ipis yang sesungguhnya. Aku harus mencari cara untuk membebaskan adikku dari
jeratan arwah penunggu sungai angker ini. Tapi bagaimana? Bagaimana aku bisa
melawan sesuatu yang tidak terlihat, yang telah mengambil alih tubuh adikku
sendiri? Aku merasa tak berdaya, putus asa, namun tekadku bulat. Aku tidak akan
membiarkan arwah ini mencuri adikku dariku. Aku harus menyelamatkan Ipis. Tapi
bagaimana caranya?
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar