#55 CERITA HOROR: PEMBELI TENGAH MALAM

 


Pembeli Tengah Malam

Senja selalu membawa dualisme bagi Ibu Sumi. Di satu sisi, ia adalah waktu di mana keramaian pasar mulai mereda, memberinya sedikit jeda dari hiruk pikuk siang. Namun di sisi lain, senja juga menandai dimulainya "shift" kedua bagi Ibu Sumi—menjajakan buah-buahan segar di lapak pinggir jalan yang temaram hingga larut malam. Ini bukan pilihan, melainkan sebuah keharusan. Setelah mengetahui suaminya, Pak Tejo, terlibat perselingkuhan dan uang tabungan keluarga terkuras habis, Ibu Sumi harus memutar otak lebih keras demi menyambung hidup dan membiayai sekolah kedua anaknya. Rasa sakit hati dan kecewa seringkali menyatu dengan dinginnya malam, membuat pundaknya terasa lebih berat.

Ibu Sumi adalah wanita sederhana, gigih, dan praktis. Ia percaya pada kerja keras dan doa, bukan pada takhayul. Namun, malam-malam sepi di lapak pinggir jalan terkadang menyimpan rahasia yang tak terduga. Di antara deru kendaraan yang semakin jarang dan bayangan pepohonan yang menari ditiup angin, Ibu Sumi akan berhadapan dengan sesuatu yang melampaui logika dan keyakinannya. Sebuah pertemuan yang akan mengubah cara pandangnya tentang batas antara dunia nyata dan dunia lain, dan menguji seberapa jauh ia sanggup bertahan demi keluarganya.

Matahari mulai condong ke barat, melemparkan bayangan panjang ke lapak buah Ibu Sumi yang sederhana. Udara sore di pinggir jalan utama kota di wilayah perbukitan itu mulai terasa sejuk, membawa semilir angin yang sedikit meredakan gerah di tubuh, namun sama sekali tidak mampu melarutkan gerah di hati Ibu Sumi. Ia dengan cekatan menata kembali buah-buahan yang tersisa—apel yang memerah, jeruk yang menggoda, pisang ranum, dan potongan semangka segar—berharap masih ada pembeli yang singgah sebelum malam benar-benar tiba dan jalanan menjadi sepi total.

Pikirannya melayang pada suaminya, Pak Tejo, yang seharusnya sudah membantu di lapak ini, atau setidaknya di rumah mengurus anak-anak mereka. Namun, sejak kebenaran pahit tentang perselingkuhan suaminya terkuak, dan yang lebih menyesakkan, uang tabungan keluarga yang ia kumpulkan susah payah lenyap entah ke mana, Ibu Sumi harus menanggung semua beban sendirian. Pundaknya terasa berat, seolah memikul seluruh dunia.

Rasa sakit hati dan kecewa masih membekas dalam setiap tarikan napasnya, namun ia tak punya waktu untuk meratap. Sekolah kedua anaknya, Budi yang masih SD dan Sari yang baru TK, adalah prioritas utamanya, bahan bakarnya untuk terus bertahan. Itulah mengapa, setiap malam, ia harus berjualan lebih lama, hingga larut, bahkan kadang hingga tengah malam. Lapak kecilnya yang hanya beratapkan terpal usang dan diterangi lampu minyak tanah sederhana yang berkedip-kedip, menjadi saksi bisu perjuangan seorang ibu yang tak kenal lelah.

"Bu, mangganya tinggal sedikit?" tanya seorang ibu muda yang lewat, melirik keranjang mangga yang memang hampir kosong.

"Iya Bu. Tinggal sisa ini, yang tadi sudah diborong pembeli lain," jawab Ibu Sumi dengan senyum ramah yang dipaksakan, meskipun pikirannya berkecamuk memikirkan tagihan esok hari. "Mau kiloan atau satuan? Dijamin manis kok Bu."

Setelah pembeli itu pergi dengan sekantung mangga, Ibu Sumi menghela napas panjang. Jalanan di depannya mulai sepi, hanya sesekali terdengar deru motor atau mobil yang lewat dengan kecepatan tinggi, menciptakan hembusan angin yang menerbangkan debu. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia harus terus bertahan, memaksa kelopak matanya tetap terbuka.

Terkadang, di tengah kesunyian yang mencekam, ia merasa sangat kesepian. Di tengah kegelapan yang mulai menyelimuti, bayangan pohon besar di seberang jalan tampak menyeramkan, dahan-dahannya melambai seperti tangan raksasa. Angin malam berhembus pelan, membuat terpal lapaknya bergesekan, menciptakan suara-suara aneh seperti bisikan. Ibu Sumi mencoba mengusir pikiran-pikiran negatif dan tetap fokus pada buah-buahannya, mengelapnya berulang kali seolah membersihkan beban di hatinya. Ia selalu percaya pada kekuatan doa dan tidak terlalu memikirkan hal-hal mistis yang sering diceritakan tetangga.

"Semoga ada rezeki lagi malam ini," gumamnya pelan, mengusap lelah wajahnya yang mulai keriput, tangannya menggenggam tasbih kecil di balik punggung. Ia harus kuat. Demi anak-anaknya. Ia menatap jalanan yang semakin sepi, menunggu pembeli yang mungkin masih lewat, berharap ada secercah harapan di balik kegelapan malam.

Malam semakin larut. Jarum jam tua di lapak Ibu Sumi yang reot menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit. Jalanan sudah sangat sepi, nyaris tak ada kendaraan yang melintas, hanya sesekali terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Ibu Sumi mulai berpikir untuk segera berkemas, meskipun hasil jualannya hari itu belum seberapa untuk menutupi kebutuhan besok. Dinginnya malam mulai menusuk tulang, dan rasa kantuk yang berat tak bisa lagi ia tahan, membuat kelopak matanya terasa semakin berat.

Tiba-tiba, dari kejauhan, di ujung kegelapan jalan, Ibu Sumi melihat siluet seorang wanita berjalan kaki mendekati lapaknya. Langkahnya sangat pelan, nyaris tanpa suara, seolah melayang di atas aspal. Wanita itu mengenakan pakaian serba putih, longgar, seperti kain jarik atau daster tua, dengan rambut panjang terurai yang menutupi sebagian wajahnya. Semakin dekat wanita itu, hawa dingin yang aneh mulai menyelimuti lapak Ibu Sumi, bukan dingin malam biasa yang menusuk kulit, melainkan dingin yang membuat bulu kuduk meremang. Bersamaan dengan itu, aroma kembang melati yang sangat pekat, namun bercampur dengan bau tanah basah yang samar dan menusuk hidung, menyeruak di udara, menciptakan kombinasi bau yang aneh dan mencekam.

Ibu Sumi sedikit heran. "Pukul segini ada wanita berjalan kaki sendirian dengan pakaian seperti itu?" gumamnya dalam hati. Namun, ia berusaha bersikap profesional dan mengabaikan firasat aneh yang mulai merayapi benaknya. "Malam Bu. Mau beli buah apa?" tanyanya ramah, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya.

Wanita berbaju putih itu berhenti tepat di depan lapak Ibu Sumi. Wajahnya terlihat pucat pasi, nyaris seperti tak berdarah, matanya cekung dan agak gelap, seolah kurang tidur berhari-hari atau dilanda sakit parah. Ia tidak tersenyum, atau menunjukkan ekspresi apapun. "Ada buah apel Bu?" suaranya sangat pelan, nyaris berbisik, seperti hembusan angin yang lewat, namun terdengar jelas di telinga Ibu Sumi yang peka.

"Ada Bu. Yang ini apel merah segar, manis rasanya," jawab Ibu Sumi, menunjuk tumpukan apel merah yang masih tersisa di keranjang, mencoba untuk tetap fokus pada jualannya.

Wanita itu hanya mengangguk pelan. "Berapa harganya?"

"Kalau sekilo dua puluh ribu Bu. Tapi kalau mau beli satuan juga bisa, lima ribu satu buah," jelas Ibu Sumi, berharap wanita itu akan membeli dalam jumlah banyak.

Wanita itu perlahan mengulurkan tangannya yang pucat, jemarinya terlihat kurus dan dingin. Bukan uang yang ia berikan, melainkan sebuah daun sirih kering yang sudah menghitam dan rapuh, seolah telah lama tersimpan. Ibu Sumi mengerutkan kening, kebingungannya bercampur dengan rasa tak nyaman yang meningkat.

"Maaf Bu. Saya jualan buah, bukan tukar sirih," kata Ibu Sumi, mencoba menolak dengan sopan namun nada suaranya sedikit ragu. Ia menatap daun itu, lalu ke wajah wanita itu.

Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan daun sirih itu lebih dekat, memaksa Ibu Sumi untuk mengambilnya, dan pandangan matanya yang cekung menatap lurus ke mata Ibu Sumi, seolah memohon atau memerintah. Hawa dingin yang menguar darinya semakin kuat, membuat bulu kuduk Ibu Sumi meremang dan jantungnya berdegup tak karuan.

"Maaf Bu, saya benar-benar tidak bisa menerima ini," ulang Ibu Sumi, mencoba menolak lebih tegas, meskipun ia merasa ketakutan mulai merayapi dirinya.

Namun, wanita itu tiba-tiba tersenyum. Senyumannya tipis, namun membuat Ibu Sumi merasakan kengerian yang luar biasa. Gigi-giginya terlihat sedikit menghitam, dan senyum itu terasa dingin, seperti senyuman yang bukan berasal dari makhluk hidup. "Tidak apa-apa Ibu... Saya akan datang lagi besok..." bisiknya, suaranya kini terdengar lebih jauh, seolah datang dari lorong yang sangat panjang dan hampa.

Sebelum Ibu Sumi sempat bereaksi, sebelum ia sempat berteriak atau melarikan diri, wanita berbaju putih itu tiba-tiba menghilang. Bukan berjalan pergi atau berlari, melainkan lenyap begitu saja dari pandangannya, seperti kabut yang ditiup angin, meninggalkan kekosongan yang membingungkan. Ibu Sumi terdiam, mematung di tempat, napasnya tersengal. Hanya aroma melati dan tanah basah yang masih tertinggal pekat di udara, menusuk hidungnya dan mengikatnya pada kenyataan yang baru saja ia alami. Daun sirih kering itu, masih tergeletak di meja lapaknya, menjadi bukti nyata dari pertemuannya dengan pembeli misterius di tengah malam itu.

Kejadian semalam terus menghantui pikiran Ibu Sumi. Ia berulang kali mencoba mencari penjelasan yang logis atas apa yang dialaminya. "Mungkin aku terlalu lelah," ia membatin, "Atau hanya berhalusinasi karena kurang tidur dan banyak pikiran." Namun, daun sirih kering yang masih tergeletak di meja lapaknya, kaku dan menghitam, adalah bukti nyata yang tak bisa ia sangkal. Itu bukan mimpi, bukan halusinasi.

Malam berikutnya, Ibu Sumi memutuskan untuk menutup lapak lebih awal dari biasanya. Ia merasa sangat tidak nyaman, takut kejadian itu akan terulang lagi. Rasa takut itu begitu kuat, hampir melumpuhkannya. Akan tetapi, rasa takut itu pada akhirnya kalah oleh kebutuhan yang mendesak. Jualan buahnya tidak terlalu laku hari itu, dan ia sangat membutuhkan uang untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya esok hari. "Bagaimana bisa aku menutup lapak kalau uang belanja besok pagi saja belum cukup?" bisiknya pada diri sendiri.

Ia bergegas pulang, tiba di rumah sebelum jam sembilan. Budi, anak sulungnya yang baru kelas tiga SD, langsung menyambutnya di teras. "Bu, kenapa pulangnya cepat? Biasanya Ibu pulangnya malam sekali," tanyanya polos, matanya memancarkan kelegaan melihat sang ibu tiba lebih awal.

Ibu Sumi tersenyum paksa, mengusap kepala Budi. "Ibu capek sekali Nak. Besok Ibu jualan lagi kok, lebih semangat," jawabnya, berusaha menyembunyikan ketegangan dalam suaranya. Ia tidak ingin anak-anaknya khawatir.

Malam itu, ia mencoba tidur, namun bayangan wanita berbaju putih itu terus membayang di pelupuk matanya. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah pucat dengan mata cekung itu muncul. Aroma melati dan tanah basah seolah tercium kembali, mengisi rongga hidungnya, membuatnya mual dan gelisah. Tidurnya tak nyenyak, penuh dengan mimpi buruk yang samar dan perasaan tidak tenang.

Keesokan harinya, dengan sisa keberanian yang ia miliki, Ibu Sumi kembali berjualan seperti biasa. Ia mencoba bersikap biasa saja, mengusir jauh-jauh pikiran tentang kejadian aneh itu. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya kebetulan, atau ia salah lihat. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa malam itu akan datang lagi.

Dan benar saja, malam pun tiba. Pukul sepuluh lewat, jalanan mulai sepi. Hawa dingin yang aneh kembali merayap di sekitar lapaknya, lebih pekat dari dingin malam biasa. Dan, ya, aroma melati dan tanah basah itu kembali tercium, semakin kuat, seolah memenuhi udara di sekelilingnya.

Dari kejauhan, siluet wanita berbaju putih itu kembali terlihat, muncul dari kegelapan, berjalan pelan mendekati lapaknya. Langkahnya tetap nyaris tak bersuara, namun kali ini Ibu Sumi merasakan jantungnya berdebar kencang tak terkendali, berdentum keras di dadanya seolah ingin meloncat keluar. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia ingin lari, ingin segera menutup lapak dan pulang, namun kakinya terasa terpaku di tempat, kaku dan tak mampu bergerak. Seluruh tubuhnya seolah terperangkap dalam ketakutan.

Wanita itu kembali berhenti tepat di depan lapak Ibu Sumi. Wajahnya tetap pucat, matanya cekung tanpa ekspresi, seperti boneka. "Ada apel Ibu?" bisiknya lagi, suaranya sangat pelan, mirip dengungan lebah yang jauh, namun kali ini terdengar lebih jelas dari semalam.

Ibu Sumi mengangguk kaku, nyaris tak bersuara. "Ada Bu," jawabnya, tenggorokannya tercekat.

Wanita itu kembali mengulurkan tangannya, dan kali ini, bukan daun sirih kering. Di telapak tangannya yang pucat dan kurus, tergeletak dua butir kerikil hitam yang basah, seolah baru saja diambil dari dalam tanah yang lembap. Kerikil itu memantulkan sedikit cahaya rembulan, terlihat begitu aneh dan tidak wajar.

"Ini bayarannya Ibu," katanya, nada suaranya sedikit lebih jelas dan mengandung penekanan, seolah ini adalah transaksi yang sah.

Ibu Sumi menatap kerikil itu, lalu ke wajah wanita tersebut. Ketakutan yang mencekiknya kini berubah menjadi keyakinan penuh. Ia tahu ini bukan manusia biasa. Ini adalah pembeli dari dunia lain, makhluk gaib yang datang untuk suatu tujuan yang tak ia mengerti. Ketakutan membungkusnya, namun ia tidak bisa bersuara, hanya napasnya yang tersengal-sengal.

"Tidak... tidak bisa Bu," bisik Ibu Sumi akhirnya, suaranya bergetar hebat, nyaris tak terdengar. Ia berusaha menepis tangan wanita itu.

Wanita itu lagi-lagi tersenyum tipis, senyuman yang dingin dan kosong, namun kini terlihat sedikit lebih lebar, menampakkan gigi-gigi menghitam. "Saya akan datang lagi besok Ibu... Sampai Ibu mau menerimanya..." Dan seperti semalam, bahkan lebih cepat, ia menghilang begitu saja, lenyap tanpa jejak dari pandangan Ibu Sumi, seperti hembusan angin yang tiba-tiba sirna.

Ibu Sumi terdiam di sana, mematung, napasnya terengah-engah. Dua butir kerikil hitam basah itu kini tergeletak di meja lapaknya, bukti nyata dari pertemuan mengerikan yang baru saja terjadi. Aroma melati dan tanah basah semakin kuat, seolah merayapi seluruh lapaknya, meresap ke dalam kain-kain dan buah-buahan, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di benak Ibu Sumi. Ia tahu, perjuangannya belum berakhir.

Dua malam berturut-turut bertemu dengan pembeli misterius itu membuat Ibu Sumi tak bisa tidur tenang. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan wanita pucat dengan mata cekung itu muncul, diiringi aroma melati dan bau tanah basah. Kerikil hitam basah yang ditinggalkan wanita itu, yang kini ia simpan di dalam toples kecil, terasa dingin dan berat di tangannya, seolah menyimpan energi tak wajar yang terus menariknya. Ia bahkan mencoba membuang kerikil itu ke tempat sampah di ujung jalan, namun setiap kali ia melakukannya, ia merasakan pusing dan mual yang hebat, dan keesokan paginya, kerikil itu entah bagaimana akan kembali muncul di dekat lapaknya, seperti sebuah kutukan yang tak terelakkan.

"Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini," rintih Ibu Sumi dalam hati, suaranya parau oleh ketakutan dan keputusasaan. "Uang sudah habis, suami... sekarang ada lagi makhluk seperti ini." Ia mulai memercayai sepenuhnya bahwa ia berhadapan dengan makhluk gaib, sebuah entitas dari dunia lain yang entah mengapa memilihnya sebagai target.

Ia mencoba mencari tahu tentang penampakan wanita berbaju putih di sekitar area lapaknya dari penduduk setempat yang sudah lama tinggal di sana. Dari beberapa cerita yang didengarnya, ia tahu desas-desus tentang seorang wanita muda yang dulu pernah menghilang secara misterius di sekitar area jalanan ini puluhan tahun lalu, tepatnya di area bekas ladang yang kini sudah menjadi jalan raya. Konon, wanita itu pergi tanpa jejak, dan warga percaya arwahnya gentayangan karena ada sesuatu yang belum selesai, sebuah takdir yang belum tuntas.

Setiap malam, Ibu Sumi berjualan dengan ketakutan yang mencekik. Meskipun ia butuh uang, ia selalu memastikan lapaknya terang benderang. Ia bahkan menambah lampu senter yang digantung di tiang lapak, berharap cahaya bisa mengusir apa pun yang bersembunyi di kegelapan. Namun, tak ada yang bisa mengusir hawa dingin yang aneh, aroma melati yang menusuk, dan kehadiran tak kasat mata yang selalu terasa dari kejauhan, semakin mendekat seiring waktu.

Pada malam ketiga, ketakutan Ibu Sumi menjadi kenyataan. Ia melihatnya lagi. Wanita berbaju putih itu kembali, muncul dari balik pepohonan di kegelapan, berjalan pelan mendekati lapaknya. Namun, kali ini ada yang berbeda. Setiap langkah wanita itu, meskipun tanpa suara napas atau derap kaki, meninggalkan jejak air yang samar di aspal jalan, seolah ia berjalan di atas genangan yang tak terlihat. Dan di belakangnya, terdengar suara kerisik daun yang sangat pelan, berirama, seolah ada yang menyeret sesuatu, atau mungkin ada bagian dari tubuhnya yang menyeret-nyeret di tanah.

Wanita itu berhenti di depan lapak, wajah pucatnya menatap lurus ke arah Ibu Sumi. "Apelnya Ibu," bisiknya, suaranya terdengar lebih jelas dari sebelumnya, namun tetap dingin dan datar, tanpa emosi.

Kali ini, yang ia berikan adalah segenggam tanah merah basah yang lengket dan berbau apek, serta beberapa helai rambut panjang yang sudah kering dan kusam, terlepas dari kulit kepala. Pamungkas nyaris menjerit melihatnya. Ini bukan lagi sekadar kelereng atau daun sirih, ini adalah sesuatu yang terasa lebih pribadi, lebih intim dengan keberadaan wanita itu.

Ibu Sumi tak sanggup lagi. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. "Tidak! Saya tidak mau! Pergi kau! Jangan ganggu saya lagi!" teriaknya, suaranya parau oleh ketakutan dan kemarahan yang memuncak, air mata mulai mengalir deras membasahi pipinya yang lelah.

Wanita itu hanya menatapnya dengan tatapan kosong, tak bergeming oleh teriakan Ibu Sumi. Kemudian, ia tersenyum lagi. Senyumannya kini terlihat lebih lebar, menampilkan gigi-gigi hitamnya, namun jauh dari kesan ramah. Itu adalah senyuman yang menakutkan, seperti senyuman mayat yang dipaksakan. "Saya akan datang lagi Ibu... sampai Ibu mau menerimanya..." bisiknya lagi, ancaman tersirat dalam nada suaranya yang dingin. Dan lagi-lagi, ia lenyap begitu saja dari pandangan Ibu Sumi, seperti kabut yang ditiup angin, meninggalkan jejak air di aspal dan bau tanah yang semakin kuat, kini bercampur dengan bau anyir yang samar. Tanah merah dan rambut itu tergeletak di meja lapak Ibu Sumi, menjadi bukti nyata dari ancaman yang ia terima.

Ibu Sumi terduduk lemas di bangku, terisak-isak, memeluk dirinya sendiri dalam kegelapan. Ia tahu, ia tidak bisa lagi lari atau mengabaikannya. Ia harus melakukan sesuatu. Ini tidak bisa terus berlanjut. Ini bukan hanya tentang rezeki, tapi tentang keselamatan dan ketenangannya.

Ibu Sumi tidak bisa lagi menahan diri. Rasa takut yang bercampur keputusasaan mencapai puncaknya setelah malam ketiga yang mengerikan. Pagi itu, dengan hati yang berat dan langkah gontai, ia memutuskan untuk mencari bantuan dari seorang tetua bijaksana di komunitasnya. Wanita sepuh itu, yang dihormati karena pengetahuannya tentang cerita-cerita lama dan kearifan lokal, tinggal di sebuah rumah sederhana di ujung desa. Dengan suara bergetar dan sesekali terisak, Ibu Sumi menceritakan semua kejadian aneh yang dialaminya: dari penampakan pembeli misterius, transaksi dengan daun sirih kering, kerikil hitam basah, hingga yang terakhir, tanah merah dan helai rambut.

Tetua itu mendengarkan dengan saksama, tatapan matanya teduh, sesekali mengangguk pelan. Setelah Ibu Sumi selesai bercerita, tetua itu menghela napas panjang. "Nak Sumi, yang kamu temui itu adalah arwah penasaran," jelas tetua itu dengan suara yang menenangkan, "Dia bukan berniat jahat, dia justru meminta pertolongan."

Ibu Sumi menatapnya bingung, ketakutan masih terpancar di wajahnya. "Meminta pertolongan? Tapi... dia menakutiku Nenek."

"Iya Nak. Itu cara dia berkomunikasi, karena mungkin itu satu-satunya cara yang dia tahu," lanjut tetua itu. "Dulu, puluhan tahun lalu, di area lapakmu itu adalah bekas ladang yang kini menjadi jalan. Ada seorang gadis muda yang dulu menghilang secara misterius di sana. Konon, ia mengalami nasib tragis di area itu—ada yang bilang terbunuh, ada yang bilang kecelakaan—namun jasadnya tidak pernah ditemukan. Yang dia tinggalkan padamu adalah petunjuk."

"Petunjuk apa Nenek?" tanya Ibu Sumi, merasa ngeri sekaligus penasaran yang luar biasa. Pikiran-pikiran tak masuk akal mulai berkelebat.

Tetua itu menjelaskan dengan tenang, "Daun sirih itu bisa jadi simbol dari janji yang tak terpenuhi, atau mungkin sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya. Kerikil itu simbol dari kekosongan atau beban yang ia bawa dalam perjalanannya. Dan tanah serta rambut itu adalah simbol paling jelas dari jasadnya yang terpendam, yang belum tenang. Dia ingin jasadnya ditemukan dan dimakamkan dengan layak agar arwahnya bisa beristirahat dengan damai. Dia sudah terperangkap di sana puluhan tahun Nak."

Tetua itu kemudian memberikan beberapa petunjuk praktis dan nasihat. "Malam ini, perhatikan baik-baik di mana jejak air itu berakhir saat dia berjalan. Di sanalah mungkin ada tanda-tanda lebih lanjut. Bawakan juga sapu lidi yang bersih dan beberapa bunga melati segar saat kamu ke sana, sebagai bentuk penghormatan dan pengantar jalan baginya."

Malam harinya, dengan hati yang masih dipenuhi ketakutan namun juga tekad yang kuat untuk mengakhiri teror ini, Ibu Sumi kembali ke lapaknya. Ia membawa sapu lidi yang baru, seikat bunga melati segar dari kebun tetangga, dan juga beberapa jeruk serta pisang terbaiknya sebagai sesaji kecil, diletakkan di dalam kantong plastik. Ia menata lapaknya seperti biasa, memastikan semua buah tertata rapi.

Pukul sepuluh malam, suasana jalanan kembali sepi. Dan seperti dua malam sebelumnya, wanita itu datang lagi. Kali ini, auranya terasa lebih kuat, dan suara kerisik daun di belakangnya terdengar lebih jelas, seolah ada kegelisahan yang mendalam.

"Sudah siap Ibu?" bisiknya, suaranya sedikit lebih bersemangat, namun tetap dingin. Ada nada harapan yang samar di sana.

Ibu Sumi mengangguk, mencoba menguatkan diri. Ia menarik napas dalam-dalam. "Saya siap Nak. Saya akan bantu kamu," jawabnya, suaranya kini lebih mantap, meskipun kakinya masih sedikit gemetar.

Wanita itu tersenyum, senyuman yang kini terlihat lebih damai, tidak lagi menakutkan seperti senyuman mayat. Sebuah beban seolah terangkat dari raut wajah pucatnya. "Ikuti saya Ibu."

Wanita itu berbalik, berjalan perlahan di pinggir jalan yang sepi. Ibu Sumi mengikutinya dari belakang, memegang erat sapu lidi di satu tangan dan bunga melati di tangan lainnya. Wanita itu berjalan lurus ke arah sebuah pohon besar yang rimbun di seberang jalan, tempat di mana warga mengatakan ada sejarah kelam tentang tanah itu. Jejak air yang samar kembali terlihat di setiap langkahnya di aspal yang gelap, seolah menjadi penunjuk jalan.

Wanita itu berhenti tepat di bawah pohon besar itu, di dekat sebuah gundukan tanah yang tidak terlalu tinggi, tersembunyi di antara akar-akar pohon yang menjulang. Jejak air berhenti persis di gundukan itu, menghilang.

"Di sini Ibu," bisiknya, menunjuk tanah dengan tangannya yang kini tampak sedikit lebih jelas dan tidak lagi pucat pasi.

Ibu Sumi meletakkan sapu lidi. Ia lalu menaburkan bunga melati di atas gundukan tanah itu, menyebarkannya dengan lembut. Kemudian, ia meletakkan jeruk serta pisang di sampingnya. Ia memejamkan mata, memanjatkan doa dalam hati, memohon agar arwah gadis itu tenang dan menemukan jalan menuju kedamaian abadi.

"Terima kasih Ibu..." suara wanita itu terdengar untuk terakhir kalinya, kini lebih jernih dan penuh rasa syukur yang mendalam, seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya selama berpuluh-puluh tahun. Ibu Sumi membuka mata, melihat bayangan wanita itu perlahan memudar, melebur dengan kegelapan malam, bersama dengan aroma melati yang kini terasa manis dan menenangkan, bukan lagi busuk atau mencekik.

Keesokan paginya, tanpa ragu, Ibu Sumi melaporkan penemuan gundukan tanah di bawah pohon besar kepada pihak berwenang dan beberapa warga sekitar yang ia percayai. Setelah dilakukan penggalian oleh tim yang berwenang, ditemukanlah kerangka seorang gadis muda lengkap dengan sisa-sisa pakaian yang mirip dengan yang dikenakan arwah tersebut, yang telah membusuk dan menyatu dengan tanah. Jenazah itu akhirnya dimakamkan dengan layak di pemakaman umum. Sejak saat itu, lapak Ibu Sumi tidak pernah lagi diganggu. Tidak ada lagi pembeli tengah malam yang aneh, tidak ada lagi aroma melati busuk, atau kerikil serta tanah yang muncul begitu saja. Usaha Ibu Sumi perlahan membaik, rezekinya mengalir lebih lancar. Ia masih bekerja keras, namun kini ia merasa lebih ringan dan damai. Ia tahu, ia tidak hanya berjualan buah, tetapi juga telah membantu sebuah jiwa yang terperangkap menemukan ketenangan. Kisahnya menjadi pengingat bahwa terkadang, rezeki datang dalam bentuk yang tak terduga, bahkan dari dunia lain, membawa misi yang tak terduga pula.

-- TAMAT -- 

Buat teman-teman pembaca yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya.. Buat teman teman lainnya yang mau ikut mensupport dipersilahkan juga.. 😁🙏

#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#31 PERJALANAN MALAM NAIK BUS HANTU 👀

#39 RONDA MALAM YANG HOROR 👀

#70 CERITA HOROR SUNDEL BOLONG