#45 POHON SAWO ANGKER
POHON SAWO ANGKER.
Malam
itu, gerimis tipis tak henti-hentinya membasahi gubuk reot Pak Ujang.
Suara rintik hujan yang jatuh di atap seng bolong-bolong seolah ikut
menyanyikan lagu kesedihan. Di dalam, hanya diterangi lampu teplok yang
remang-remang, cahayanya menari-nari di dinding bilik bambu, menciptakan
bayangan-bayangan panjang yang menari. Di atas dipan usang, terbaringlah Rangga,
putra semata wayang Pak Ujang, wajahnya pucat pasi, bibirnya kering
pecah-pecah. Dahi kecilnya dikompres handuk basah yang sudah hangat.
Demam tinggi membuat tubuh mungil itu
menggigil tak terkendali. Setiap rintihan lirih yang keluar dari bibir
Rangga seolah belati yang menghunjam langsung ke hati Pak Ujang. Ia tak
bisa berbuat banyak, hanya bisa duduk di samping anaknya, menatap nanar. Sepanjang
malam, Pak Ujang tak bisa memejamkan mata sedikit pun. Rasa kantuk yang
luar biasa ia paksa usir.
"Panas
sekali, Nak," bisiknya lirih, tangannya tak henti mengusap kening
putranya, merasakan suhu tubuh Rangga yang tak kunjung turun. Sesekali, ia
membisikkan doa-doa yang ia tahu, berharap panas itu segera turun,
berharap Rangga bisa pulih seperti sedia kala.
"Rangga
haus, Pak," rintih Rangga dengan suara serak.
Cepat-cepat
Pak Ujang mengambil segelas air putih dan membantu putranya minum. "Minum
pelan-pelan, Nak."
Pikirannya
melayang pada obrolan sore tadi dengan bidan desa. "Demamnya cukup tinggi,
Pak Ujang. Harus segera diberi obat penurun panas yang kuat dan vitamin. Kalau
sampai besok tidak turun, harus dibawa ke puskesmas," kata Bidan Aminah
dengan nada khawatir.
Mengingat
itu, hati Pak Ujang semakin mencelos. "Bapak janji, Nak," bisiknya
lagi, suaranya parau dan penuh keputusasaan. "Besok kita beli obat
yang paling bagus, ya. Kamu harus segera sembuh." Namun, ia sendiri tak
yakin dari mana uang itu akan datang. Kantongnya kosong melompong,
bahkan untuk sekadar membeli beras pun ia harus berhutang pada tetangga.
Malam
tanpa tidur, ditambah beban pikiran yang menggunung akan biaya
pengobatan Rangga yang terus membayangi, membuat seluruh tubuh Pak Ujang
terasa remuk redam. Tulang-tulangnya serasa ngilu, matanya perih dan berat.
Namun, demi sang putra satu-satunya, ia harus kuat. Ia harus berjuang lebih
keras lagi esok hari, meskipun ia tahu, tenaganya sudah terkuras habis malam
ini.
Bab 1: Godaan Lapangan Angker
Pagi
menjelang. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah dinding gubuk.
Panas di dahi Rangga memang sedikit mereda, namun tubuh Pak Ujang terasa
seperti dihantam batu berkali-kali. Setiap persendiannya linu, dan kantuk
menyerang hebat, membuat matanya terasa sangat berat. Rasanya ingin sekali
ia merebahkan diri dan terlelap. Namun, gerobak ciloknya sudah menanti
di halaman, dan hari ini, ia harus menghasilkan banyak uang. Obat untuk Rangga
tak bisa ditunda.
Dengan
langkah gontai, Pak Ujang mendorong gerobaknya menyusuri jalanan kampung yang
mulai ramai. Sesekali ia menguap lebar, mencoba mengusir rasa kantuk yang
membandel. Kepalanya terasa pening, sisa-sisa begadang semalam masih
terasa.
"Mang
Ujang! Hari ini mangkal di mana?" sapa seorang ibu langganan yang sedang
menjemur pakaian, suaranya ceria.
Pak
Ujang memaksa sebuah senyum tipis. "Di dekat lapangan saja, Bu! Ramai di
sana, lumayan kalau ada rezeki lebih." Ia tahu betul. Lapangan
sepak bola kampung itu memang selalu menjadi magnet. Dari pagi hingga sore,
tak pernah sepi. Sore hari, anak-anak muda bermain bola, ibu-ibu berolahraga,
dan para bapak-bapak berkumpul ngopi di warung dekat situ. Artinya, dagangan
ciloknya akan laris manis.
Namun,
di salah satu sudut lapangan itu, berdiri kokoh sebuah pohon sawo tua yang
sangat besar dan rindang. Batangnya yang besar, kulitnya yang keriput, dan
dahan-dahannya yang menjulur panjang, seolah menjadi saksi bisu ribuan tahun.
Pohon itu terkenal angker. Cerita-cerita tentang penunggu pohon sawo,
sesosok Genderuwo berbulu lebat dan bermata merah, sudah menjadi legenda
di kampung itu. Tidak ada yang berani mangkal di bawahnya, apalagi saat senja
mulai datang. Pak Ujang tahu betul cerita itu, sering kali ia dengar dari
obrolan warung kopi.
"Jangan
dekat-dekat pohon sawo itu, Mang Ujang," pesan Bu Tejo, seorang tetangga
yang kebetulan lewat sambil menenteng keranjang belanja. Wajahnya menunjukkan
kekhawatiran. "Angker tempatnya. Banyak yang bilang sering lihat
penunggunya muncul kalau sudah sore, Mang."
Pak
Ujang hanya mengangguk dan tersenyum tipis. "Iya, Bu,
hati-hati." Namun, dalam hati ia berpikir keras. Ia melihat ke arah
lapangan, ke arah kerumunan orang-orang di dekat pohon sawo itu. Dekat pohon
sawo itu, posisi mangkalnya sangat strategis. Ia bisa menjangkau lebih
banyak pembeli, apalagi anak-anak sekolah yang biasanya langsung menyerbu
ciloknya sepulang sekolah. Desakan kebutuhan obat Rangga membuat akal
sehatnya sedikit menipis. Rasa takutnya sejenak tersingkir oleh kebutuhan yang
mendesak.
"Tidak
apa-apa, kan masih siang," bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan
hatinya. "Lagipula, kan aku cuma mau jualan, tidak mengganggu siapa-siapa.
Cuma numpang lewat saja." Ia mencoba mengabaikan bisikan-bisikan lain yang
memperingatkannya.
Akhirnya,
ia memarkir gerobak ciloknya tidak jauh dari pohon sawo itu, di bawah kerumunan
bayangan rindang yang seharusnya menyejukkan, namun entah mengapa terasa
sedikit mencekam. Udara di bawah pohon itu terasa lebih dingin, seolah
ada sesuatu yang mengintai dari balik dedaunan lebat. Sebuah keputusan yang
diambil di tengah keputusasaan, yang akan membawa Pak Ujang pada pengalaman
yang tak pernah ia bayangkan.
Bab 2: Tertidur di Bawah Bayangan
Siang
berganti sore. Mentari mulai condong ke barat, sinarnya tak lagi terik menusuk
kulit, digantikan semilir angin yang membawa aroma tanah basah. Dagangan Pak
Ujang lumayan laris. Dari pagi hingga menjelang sore, gerobak ciloknya tak
henti diserbu pembeli. Anak-anak yang bermain bola di lapangan menyerbu,
berteriak riang meminta cilok dengan saus pedas. Para ibu yang berolahraga sore
juga tak ketinggalan, mampir sejenak untuk mencicipi cilok hangat.
"Mang,
ciloknya enak sekali!" puji seorang anak dengan mulut penuh.
Pak
Ujang tersenyum lebar, meski senyum itu terasa berat. Senang hatinya melihat
dagangannya laku, uang yang terkumpul bisa untuk membeli obat Rangga. Namun, kelelahan
semalam suntuk menunggui Rangga yang sakit, kini mulai menuntut balas
dengan kejam. Kantuk yang luar biasa menyerang Pak Ujang, seolah ribuan
beban ditarik ke kelopak matanya. Beberapa kali ia menguap lebar,
mulutnya terbuka tak terkontrol, dan matanya terasa sangat berat, perih
seperti tak pernah terpejam.
"Sudah
mau magrib, Mang," kata seorang pembeli terakhir, seorang pemuda yang baru
selesai bermain bola. Ia mengambil sisa cilok di mangkoknya. "Sebentar
lagi sepi ini, Mang. Baiknya segera beres-beres."
Pak
Ujang hanya mengangguk, senyumnya dipaksakan. "Iya, Nak, ini mau
dibereskan." Ia memang berniat membereskan dagangannya setelah pembeli
terakhir ini pergi. Ia sudah membayangkan kembali ke gubuknya, beristirahat,
dan melihat Rangga sudah lebih baik.
Namun,
setelah pembeli itu berlalu dan menjauh, kesunyian mulai merayap di
seluruh area lapangan. Lapangan yang tadinya ramai, dengan suara tawa
anak-anak dan sorakan pemain bola, kini mulai kosong. Hanya tersisa
beberapa anak terakhir yang bergegas pulang, suara riuh mereka menghilang ditelan
senja.
Pak
Ujang menyandarkan punggungnya ke gerobak ciloknya yang dingin. Ia menghela
napas panjang, mencoba mengusir kantuk. "Ah, cuma sebentar saja,"
pikirnya. Ia hanya ingin memejamkan mata sejenak, melepas lelah, sebelum
membereskan semuanya. Angin semilir dari bawah pohon sawo terasa begitu
sejuk, membelai wajahnya, dan entah mengapa, terasa begitu mengundang kantuk.
Desir dedaunan di atasnya seolah menjadi lagu pengantar tidur.
Dalam
sekejap, tak sampai lima menit, Pak Ujang pun terlelap. Sebuah tidur
yang dalam, tidur yang membalas dendam atas malam tanpa tidurnya, tidur
yang menyeretnya ke dalam kegelapan pekat, tak menyadari bahwa ia telah
membiarkan dirinya terperangkap di bawah bayangan pohon angker itu saat waktu
mulai berpindah tangan dari senja ke malam.
Bab 3: Senja yang Menjelma Malam
Ketika
Pak Ujang membuka mata, ia terkesiap. Samar-samar ia merasakan ada yang aneh.
Langit sudah gelap gulita, pekat, tanpa ada lagi semburat oranye atau
merah dari senja yang seharusnya baru berlalu. Hanya kegelapan pekat
yang menyelimuti seluruh area lapangan. Lampu-lampu jalan belum menyala,
menambah kesan mencekam yang mencengkeram.
Ia
buru-buru menatap jam tangannya, dan seketika, matanya membelalak
lebar. Pukul delapan malam! Bagaimana bisa ia tertidur selama itu?
Panik menyeruak. "Ya ampun, Rangga!" bisiknya lirih, teringat
putranya di rumah.
Hawa dingin yang menusuk tulang segera
menyadarkannya bahwa ia tidak sendirian di bawah pohon sawo ini. Lapangan yang
tadinya ramai dengan suara tawa dan sorakan, kini sunyi senyap, hanya suara
jangkrik yang bersahutan dan desauan angin yang menerpa dedaunan.
Bukan lagi angin sejuk yang mengundang tidur, melainkan angin yang membawa
getaran misterius. Lalu, sebuah aroma aneh tercium, bau tanah basah
bercampur aroma bunga melati yang menyengat tiba-tiba menyeruak, bukan
harum, melainkan bau yang membuat bulu kuduk berdiri.
Jantung Pak Ujang berdebar kencang,
memukul-mukul dadanya seperti genderang perang. Ia segera meraih senter
kecil di gerobaknya yang tadi ia lupa matikan, dan menyalakannya. Sinar
senter yang lemah itu menari-nari di antara bayangan pepohonan besar,
menciptakan ilusi-ilusi menyeramkan yang bergerak-gerak. Setiap bayangan
seolah-olah adalah sosok yang mengintai.
Tiba-tiba,
ia mendengar suara langkah kaki mendekat, sangat berat dan menyeret,
seolah ada beban besar yang diangkut. Suara itu semakin lama semakin jelas,
langkah demi langkah. Lalu, sebuah suara parau, dalam, menggelegar
memecah keheningan malam yang mencekam.
"Cilooookk...!"
Suara
itu terdengar sangat dekat, seperti berada tepat di belakang gerobaknya. Pak
Ujang nyaris melompat dari tempatnya. Keringat dingin langsung membanjiri
seluruh tubuhnya. Dengan tangan gemetar, ia mengarahkan senternya ke arah suara
itu.
Dari
balik kegelapan di bawah rindangnya pohon sawo, perlahan muncul sesosok
bayangan tinggi besar, menjulang hingga nyaris menyentuh dahan tertinggi
pohon. Tubuhnya diselimuti bulu lebat, hitam kelam, seolah terbuat dari
malam itu sendiri. Matanya merah menyala seperti bara api di kegelapan,
memancarkan aura kegelapan yang menakutkan. Wajahnya menyeramkan, dengan
taringnya yang panjang dan tajam mencuat dari mulutnya yang sedikit
menganga, dan kuku-kukunya yang runcing seperti cakar binatang buas.
Sosok
itu, dengan wujudnya yang mengerikan, adalah Genderuwo, makhluk yang
selama ini hanya ia dengar dalam cerita-cerita seram di kampung. Pak Ujang tak
bisa bergerak. Tubuhnya kaku, kakinya seolah terpaku di tanah. Senter di
tangannya bergetar hebat.
Genderuwo
itu melangkah mendekat, perlahan namun pasti. Setiap langkahnya terasa seperti
dentuman di dada Pak Ujang. Bau busuk yang sangat menyengat, seperti
bangkai yang membusuk, mengikutinya, membuat Pak Ujang mual dan ingin muntah.
Makhluk itu berhenti tepat di depan gerobak cilok Pak Ujang, bayangan tubuh
besarnya menutupi gerobak sepenuhnya.
"Cilok...
satu porsi..." ucap Genderuwo itu dengan suara berat dan menyeramkan,
nafasnya yang berbau busuk menusuk hidung Pak Ujang. Mata merah menyalanya
menatap tajam ke arah Pak Ujang, seolah menuntut.
Pak
Ujang terdiam, tubuhnya kaku, tak bisa bergerak sedikit pun. Ia hanya bisa
menatap Genderuwo itu dengan mata terbelalak ketakutan, lidahnya kelu, tak
mampu mengeluarkan suara. Keringat dingin mengucur deras di seluruh tubuhnya,
membasahi pakaiannya. Ia tahu, ia telah melakukan kesalahan besar.
Bab 4: Teror yang Mencekik
Pak
Ujang tak sanggup bersuara, tenggorokannya tercekat, bahkan untuk
menarik napas pun terasa sulit. Seluruh ototnya mengeras, kaku, apalagi
bergerak. Ia hanya bisa menatap sosok Genderuwo di depannya yang
menjulang tinggi, bayangannya menelan kegelapan di sekitarnya. Taringnya
yang panjang dan kuku-kuku runcing di jari-jemari besarnya tampak
mengerikan di antara remang cahaya senter. Bau busuk yang terpancar dari
makhluk itu semakin menyengat, membuat perutnya bergejolak dan ingin
muntah.
Genderuwo
itu mengulurkan tangan berbulu lebatnya ke arah gerobak cilok,
jari-jarinya yang besar dan cakar-cakarnya yang tajam menunjuk ke arah tempat
saus kacang yang tersimpan dalam wadah alumunium.
"Yang
pedas..." katanya dengan suara berat yang menggetarkan, seolah
guntur bergemuruh dari dalam perut bumi. Suara itu begitu dekat, seolah
Genderuwo itu berdiri hanya beberapa inci darinya, padahal jarak mereka masih
beberapa langkah.
Tiba-tiba,
dari atas pohon sawo yang rindang dan gelap, terdengar sebuah suara
cekikikan perempuan, melengking tinggi namun sarat aura kejahatan. Suara
itu disusul dengan desahan-desahan aneh, seperti rintihan kesakitan yang
bercampur dengan tawa gila, seolah ada yang sedang menangis atau tertawa
secara bersamaan. Bulu kuduk Pak Ujang meremang hebat, berdiri tegak
dari leher hingga punggungnya. Ia tahu, Genderuwo itu tidak sendirian.
Ada entitas lain di sana, mengintai dari kegelapan.
"A-aku...
tidak... tidak punya kembalian," gagap Pak Ujang, berusaha mencari alasan
yang paling masuk akal, padahal ia tahu Genderuwo itu tidak akan membayar, atau
bahkan mengerti konsep uang. Suaranya bergetar, hampir tak terdengar.
Genderuwo
itu hanya menatapnya dengan mata merah menyala, sorot matanya tajam dan
menusuk, seolah membaca pikirannya. Makhluk itu tidak berkedip, hanya
terus menatap Pak Ujang dengan tatapan penuh ancaman. Tiba-tiba, ia menggeram
pelan, sebuah suara yang lebih mirip dengusan binatang buas. Seketika itu
juga, hawa dingin menusuk tulang Pak Ujang, rasa dingin yang datang
bukan dari angin, melainkan dari kehadiran makhluk itu.
Gerobak ciloknya bergetar hebat, seolah ada
yang mengguncangnya dengan kasar dari bawah. Suara derit roda dan benturan besi
terdengar nyaring di tengah kesunyian. Mangkok-mangkok yang tersusun
rapi di atas gerobak berjatuhan satu per satu, pecah berserakan di
tanah, pecahannya terpental ke segala arah. Kompor kecil di samping
gerobak, tempat ia memasak cilok, tiba-tiba mati dengan sendirinya,
padahal gasnya masih penuh dan api sebelumnya menyala terang. Minyak panas di
wajan mendadak dingin.
"Sudah
malam... jangan mengganggu..." suara berat Genderuwo itu berbisik tepat
di telinga Pak Ujang, sangat dekat, terasa seperti napas panas dan berbau
busuk yang menusuk hidung. Bisikan itu bukan hanya suara, melainkan getaran
mengerikan yang meresap ke dalam otaknya. Napasnya yang panas dan berbau
busuk itu membuat Pak Ujang mual dan pusing, seolah ia akan pingsan.
Kepala Pak Ujang terasa berputar,
pandangannya berkunang-kunang. Ia tidak bisa lagi menahan ketakutannya
yang sudah mencapai puncaknya. Pemandangan mengerikan di depannya, suara-suara
aneh yang mengganggu dari segala arah, dan bau busuk yang menyesakkan
hidung, semuanya bergabung menjadi satu teror yang mencekiknya, mengunci
semua indranya dalam cengkeraman ketakutan yang absolut. Ia merasa nyawanya
akan ditarik paksa.
Epilog: Lari Tunggang Langgang
"Aaaaaarrgghhh!"
Tanpa berpikir panjang, sebuah jeritan nyaring dan penuh ketakutan lolos
dari tenggorokan Pak Ujang. Teriakan itu pecah di kesunyian malam,
memantul-mantul dari dinding-dinding lapangan dan pepohonan sekitarnya,
menembus dinginnya udara. Ia bahkan tak peduli lagi dengan gerobak ciloknya
yang kini sudah menjadi satu-satunya sumber penghasilan. Mangkok-mangkok pecah
dan cilok yang berserakan sudah tak berarti. Yang ada di benaknya hanya satu
kata: lari!
Dengan
kecepatan yang tak pernah ia miliki sebelumnya, seolah ada energi luar biasa
yang mendorongnya, Pak Ujang berbalik badan dan lari tunggang langgang.
Ia tidak lagi memikirkan arah, hanya terus berlari menjauh dari pohon sawo itu,
tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Ia menerobos kegelapan
lapangan yang pekat, tak peduli jika kakinya tersandung akar pohon yang
mencuat atau bebatuan yang berserakan di tanah. Napasnya
terengah-engah, paru-parunya serasa meledak dan terbakar, setiap hembusan
napas adalah perjuangan. Ia berlari sekuat tenaga, seolah ada iblis yang
benar-benar mengejarnya, siap mencengkeramnya kapan saja. Ia bahkan tak
sempat terpikir untuk mengayuh gerobaknya, saking hebatnya ketakutan yang
merasuki jiwa dan raganya.
"Rangga...
Sumi..." Hanya nama anak dan istrinya yang terus berkelebat di
benaknya, bagai mantra yang memberinya kekuatan untuk terus berlari,
menjauhi tempat terkutuk itu dan kengerian yang baru saja ia alami. Mereka
adalah satu-satunya alasan ia harus selamat.
Ia
terus berlari hingga napasnya benar-benar habis, hingga kakinya terasa lumpuh
dan tak sanggup menopang tubuhnya lagi. Ketika ia akhirnya tiba di gubuknya
yang reot, ia langsung menerobos masuk, membanting pintu rapat-rapat
dan menguncinya dari dalam, seolah dinding bambu tipis itu mampu menghalau
teror yang membayanginya. Tubuhnya terhuyung jatuh ke lantai, bersandar
pada pintu, gemetar hebat.
Sumi
yang terbangun karena suara ribut, segera menghampirinya dengan wajah cemas.
Ia menyalakan lampu teplok. "Pak! Ada apa? Kenapa Bapak basah keringat
dan pucat sekali? Kenapa Bapak gemetar begitu?" tanya Sumi khawatir,
suaranya dipenuhi kepanikan melihat kondisi suaminya yang sangat kacau.
Pak
Ujang tak sanggup menjawab. Lidahnya kelu, tenggorokannya masih tercekat
oleh ketakutan. Ia hanya bisa memeluk erat Sumi dan Rangga yang ikut
terbangun, membenamkan wajahnya di bahu istrinya, berusaha mencari perlindungan.
Tubuhnya masih gemeter hebat, seolah listrik mengalir di sekujur
tubuhnya. Malam itu, ia tak bisa tidur lagi. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan
Genderuwo dengan mata merah menyala dan suara-suara horor yang ia
dengar terus menghantuinya, memenuhi benaknya dengan kengerian.
Sejak
kejadian mengerikan itu, Pak Ujang tak pernah lagi berani mendekati lapangan
sepak bola itu saat malam hari, apalagi mangkal di bawah pohon sawo angker
itu. Bahkan melintas di dekatnya saat siang hari pun, ia selalu mempercepat
langkah. Gerobak ciloknya tertinggal di sana, menjadi saksi bisu malam
itu. Pagi harinya, beberapa warga yang menemukan gerobak cilok itu dalam
keadaan rusak, mangkok pecah, dan cilok berserakan, hanya bisa menggelengkan
kepala penuh pertanyaan. Mereka tahu, Pak Ujang telah mengalami sesuatu yang tidak
biasa di bawah pohon sawo itu, meskipun tak ada yang berani bertanya lebih
jauh.
-- TAMAT --
Buat teman-teman yang mau membawakan cerita ini di channel youtubenya, kami kenakan fee Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) per cerita. Bisa dibayarkan melalui link ini: teer.id/hororpsikologis. Terima kasih.. Sukses selalu channelnya..
#ceritahoror #ceritahorror #ceritaseram #ceritaserem #ceritamistis #ceritamisteri #kisahhoror #kisahhorror #kisahseram #kisahserem #kisahmistis #kisahmisteri #hororindonesia #horrorindonesia #seramindonesia #seremindonesia #mistisindonesia #misteriindonesia #pengalamanhoror #pengalamanhorror #pengalamanseram #pengalamanserem #pengalamanmistis #pengalamanmisteri #perjalananhoror #perjalananhorror #perjalananseram #perjalananserem #perjalananmistis #perjalananmisteri

Komentar
Posting Komentar